Tag Archives: akhlak yang terpuji

Hadits Arbain ke 16: Jangan Marah

10 Apr

Al-Wafi; DR.Musthafa Dieb al-Bugha

Hadits Arbain nomor 16 (Keenam belas)‘An abii Hurairata radliallaaHu ‘anHu anna rajulan qaala linnabiyyin shalallaaHu ‘alaiHi wa sallam: awshiinii, qaala: laa taghdlab faraddada miraaraa, qaala: laa taghdlab.
Abu Hurairah ra. berkata, seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw., “Berilah aku nasehat.” Beliau menjawab: “Jangan marah.” Beliau mengulanginya beberapa kali, “Jangan marah.” (HR Bukhari)

Maraji’ul Hadits (referensi hadits)
Shahih Bukhari: Kitabul Adab, Bab al-Hadzar Min al-Ghadlab. Hadits 5765.
Ahamiyatul hadits (urgensi hadits) al-Jurdani berkata: “Hadits ini sangat penting, karena menjelaskan dua kebaikan sekaligus. Yakni kebaikan dunia dan di akhirat.”

Fiqhul Hadits (kandungan hadits)
1. Akhlak seorang muslim. Seorang Muslim adalah orang yang memiliki akhlak yang terpuji, berhias dengan kesabaran dan rasa malu, berpakaian tawaadlu’ dan sayang kepada sesama. Dalam dirinya terpancar tanda-tanda keberanian, mampu menahan segala beban, berusaha untuk tidak mencelakai orang lain, pemaaf, penuh kesabaran dan mampu menahan emosi. Wajahnya senantiasa berseri-seri dalam keadaan apa pun. Arahan ini yang diberikan Rasulullah saw. kepada sahabat yang minta nasehat. Sebuah ungkapan yang singkat dan padat, mencakup semua kebaikan dan menganulir segala bentuk keburukan.
2. Rindu kepada surga. Pesan Rasulullah saw. di atas ditujukan kepada penanya yang ingin menempuh jalan ke surga, dengan meminta nasehat singkat, agar ia bisa menghafal dan memahaminya. Pesan tersebut adalah laa taghdlab (jangan marah). Artinya berakhlaklah dengan akhlak mulia, akhlak para nabi, akhlak al-Qur’an, akhlak yang bersumber dari keimanan. Jika membiasakan diri dengan akhlak ini, bahkan menjadi tabiat dan watakmu, niscaya kamu tidak akan mudah marah dan mengetahui sikap yang mesti anda ambil.
3. Kesabaran kunci kemenangan dan keridlaan. Manakala nafsu dan kekuatan jahat telah bergolak dan menguasai diri, janganlah kamu menyerah begitu saja, membiarkan diri dikuasai oleh kemarahan, merasa hanya dirimu yang berhak melarang dan memerintah, lalu kamu melanggar berbagai larangan Allah swt.. Sebaliknya bekerja-keraslah melawan seraya mengingat akhlak seorang muslim sejati. Sebagaimana disebutkan oleh Allah swt. dalam ayat-Nya yang artinya: “dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali ‘Imraan: 133-134). Dengan demikian kamu terbebas dari kemarahan Allah swt. dan berhak menjadi penghuni syurga yang kekal abadi.
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Abdullah Ibnu ‘Umar ra. bertanya kepada Nabi saw.: “Apa yang bisa menjauhkanku dari kemurkaan Allah swt.?” Rasulullah saw. menjawab: “Jangan marah.” Hasan al-Bashri berkata: “Empat perkara, siapapun yang dapat melakukannya, tentulah Allah akan menjaganya dari setan dan dijauhkan dari neraka. Yaitu orang yang mampu menguasai dirinya ketika merasa ingin, merasa takut, ketika birahinya bergejolak, dan ketika marah.”
4. Kemarahan merupakan kumpulan kejahatan. Sebaliknya, mengendalikan marah adalah kumpulan kebaikan. Dalam hadits di atas kita melihat bahwa si penanya, ketika dikatakan kepadanya: “Jangan marah.” Ia memahami dan langsung menerima nasehat tersebut. Akan tetapi ia mengulangi permintaannya untuk diberi nasehat. Seolah-olah ia mengira bahwa nasehat yang diberikan kepadanya hanyalah sesuatu yang sederhana. Maka ia ingin mendapatkan tambahan agar lebih bermanfaat, dan tujuannya masuk surga pun tercapai. Namun Rasulullah saw. tetap memberikan jawaban yang sama. Ini merupakan penegasan bahwa pesan tersebut sudah cukup, jika benar-benar dipahami maksudnya dan diamalkan.
Setelah penegasan berulang-ulang barulah penanya sadar dan memahami maksud Rasulullah saw.. Imam Ahmad meriwayatkan dari orang yang bertanya, bahwa ia berkata: “Setelah itu saya memahami, bahwa kemarahan mencakup seluruh kejahatan.” Artinya, jika tidak marah maka sebenarnya seseorang telah meninggalkan semua kejahatan. Dan barangsiapa yang meninggalkan kejahatan, maka ia akan mendapatkan semua kebaikan.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw.: “Perbuatan apakah yang paling mulia?” Rasulullah saw. menjawab: “Akhlak yang terpuji. Yaitu janganlah kamu marah, meskipun kamu mampu melampiaskan kemarahan.”
5. Kemarahan adalah kelemahan, sedangkan kesabaran adalah kekuatan. Cepat marah merupakan tanda lemahnya seseorang, meskipun ia memiliki lengan yang kuat dan badan yang sehat. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang kuat, bukanlah karena jago dalam bergulat. Orang yang kuat adalah orang yang mempu menguasai dirinya ketika marah.”
6. Dampak dari kemarahan. Marah adalah akhlak yang tercela, tabiat yang buruk, dan senjata yang membahayakan. Jika seseorang terperosok kedalam amarah, maka akan berdampak negatif bagi diri dan masyarakatnya.
a. Dampak buruk bagi dirinya. Dampak negatif ini bersifat fisik, akhlak, dan ruhiyah. Anda dengan mudah dapat mengetahui hal ini, manakala anda membayangkan orang yang tengah marah. Warna kulitnya berubah, tekanan darahnya naik, badannya gemetar, gerakannya kacau, suaranya meninggi, mulutnya mengucapkan kata-kata yang kasar, keras, membentak, mencaci dan boleh jadi mengucapkan kata-kata yang diharamkan, dan terkadang bisa mengeluarkan seseorang dari Islam. Sebagai contoh mengucapkan kata-kata kufur, kata-kata yang bertentangan dengan agama dan lain sebagainya. Ditambah lagi, perilakunya yang gegabah, menghambur-hamburkan uang dan menyakiti diri sendiri.
b. Dampak negatif bagi masyarakat. Marah akan melahirkan rasa iri dan dendam, yang selanjutnya jika mayoritas penduduknya bukan muslim, akan berakibat diusirnya kaum muslimin dari negeri itu. Bahkan senang terhadap musibah yang menimpa kaum muslimin. Dengan demikian permusuhan dan kebencian menjalar di antara teman sejawat, silaturahim antar kerabat menjadi putus, sehingga kehidupan menjadi rusak dan masyarakat menjadi hancur.
7. Mencegah kemarahan. Marah merupakan tabiat dan bawaan manusia. Akan tetapi, seorang muslim yang senantiasa berhubungan dengan Allah swt. akan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak marah. Yaitu dengan cara menjauhkan semua perkara yang dapat menimbulkan kemarahan dan berusaha meredam jika kemarahan telah meledak.
a. Penyebab kemarahan: sombong, merasa tinggi hati, membanggakan diri, menghina orang lain, banyak bercanda, suka perdebatan, melakukan perkara-perkara yang sebenarnya tidak bermanfaat, ambisi untuk harta dan kedudukan yang lebih. Seorang muslim dianjurkan untuk menjauhi akhlak-akhlak yang tercela dan mendidik dirinya dengan akhlak-akhlak yang mulia.
b. Cara mencegah marah.
– Melatih jiwa dengan akhlak yang terpuji: sabar, lemah lembut, tidak tergesa-gesa dalam segala hal, dan lain sebagainya. Teladan kita dalam hal ini adalah Rasulullah saw.. Ketika Zaid bin Sa’nah, sebelum masuk Islam, mendatangi beliau dan menagih hutang yang belum jatuh tempo, dengan sikap yang sangat kasar. Beliau menghadapinya dengan senyum dan sabar. Bahkan beliau melarang Umar yang menghardik laki-laki tersebut dengan berkata: “Hai Umar, aku dan dia tidak membutuhkan sikap seperti itu. Lebih baik engkau menyuruhku melunasi hutangku, dan menyuruhnya menagih hutang dengan baik.” Setelah itu beliau melunasi hutangnya, bahkan jumlahnya melebihi hutang semula, sebagai imbalan dari hardikan yang diterima dari Umar. Akhirnya sikap Rasulullah saw. ini menjadi penyebab masuknya Zaid bin Sa’nah ke dalam Islam.
– Mengingat-ingat dampak dari marah, keutamaan meredam marah dan keutamaan memaafkan orang yang berbuat salah. Allah berfirman: “Dan orang yang bisa meredam amarah dan memaafkan orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berlaku ihsan.” (Ali ‘Imraan: 134).
Imam Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah, meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang menahan amarah dan ia sebenarnya mampu untuk meluapkannya, maka pada hari kiamat kelak, ia akan dipanggil Allah di hadapan semua makhluk-Nya, lalu ia disuruh memilih bidadari yang ia inginkan.”
Dalam riwayat Ahmad tersebut disebutkan: “Tidaklah seseorang menahan amarah, karena Allah, kecuali rongganya akan dipenuhi keimanan.” Dan dalam riwayat Abu Dawud disebutkan, “Allah akan memenuhi perutnya dengan ketenangan dan keimanan.”
– Ta’awudz (a-‘uudzubillaaHi minasy syaithaanir rajiim). Allah berfirman, “Dan jika engkau ditimpa godaan syaitan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Mahamengetahui.” (al-A’raaf: 200)
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa dua orang laki-laki saling mencaci di samping Rasulullah saw.. Salah satunya mencaci saudaranya sambil marah, hingga wajahnya memerah. Maka Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya aku mengetahui satu kalimat, andai ia ucapkan, tentulah kemarahan yang mereka alami akan hilang. Yaitu a-‘uudzubillaaHi minasy syaithaanir rajiim (aku berlindung kepada Allah dari kejahatan syaitan yang terkutuk.)”
– Mengubah posisi. Imam Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian marah dan dia berdiri, maka duduklah. Karena kemarahan akan hilang. Jika belum hilang maka berbaringlah.” Hal itu dikarenakan posisi berdiri lebih mudah untuk meluapkan dendam, lain halnya dengan duduk ataupun berbaring.
– Menghentikan bicara. Karena dengan tetap bicara, sangat mungkin kemarahannya bertambah, atau ia mengucapkan perkataan yang akan ia sesali setelah kemarahannya reda. Rasulullah saw. bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian marah, maka diamlah.” Nabi saw. mengucapkannya tiga kali. (HR Imam Ahmad, Tirmidzi, dan Abu Dawud)
– Berwudlu. Karena pada dasarnya, kemarahan adalah api yang membara dalam diri manusia, maka air akan memadamkan api tersebut. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya kemarahan pada dasarnya adalah bara yang sedang membakar di hati anak Adam.” (Hr Imam Ahmad dan Tirmidzi). Wudlu juga merupakan ibadah dalam rangka dzikrullah (mengingat Allah) yang akan membuat syaitan yang sedang menyalakan api amarah pada diri seseorang, lari dan bersembunyi. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya amarah itu dari setan, dan setan diciptakan dari api. Jika seseorang di antara kalian marah maka berwudlulah.” (HR Ahmad dan Abu Dawud)
8. Marah karena mencari keridlaan Allah. Marah yang harus dijauhi oleh setiap muslim adalah marah yang didasari dendam dan bukan untuk membela ajaran Allah swt. Adapun marah untuk membela agama Allah, maka marah seperti itu adalah marah yang terpuji. Allah berfirman: “perangilah mereka, niscaya Allah akan menghancurkan mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman.” (at-Taubah: 14)
Dan dalam riwayat Bukhari di dari sebutkan bahwa Rasulullah saw. lebih pemalu daripada gadis dalam pinangan. Jika beliau melihat sesuatu yang tidak disukai, maka kami bisa mengetahuinya dari wajahnya.” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah saw. tidak pernah marah. Namun jika larangan Allah dilanggar, maka tidak ada sesuatu pun yang dapat meredam kemarahannya.” (HR Bukhari, Muslim, dan lainnya)
9. Orang yang marah bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Jika disaat marah, seseorang merusak harta orang lain, maka ia harus menggantinya. Jika ia membunuh seseorang, dengan sengaja dan penuh permusuhan, maka ia layak mendapatkan qishash. Jika ia mengucapkan kekufuran, maka dianggap murtad sampai ia bertaubat kembali. Jika ia bersumpah, maka sumpahnya sah dan harus dilaksanakan. Dan jika mengucapkan thalak (cerai), maka ia benar-benar telah menceraikan istrinya.
10. Hadits ini mengisyaratkan semangat yang tinggi seorang muslim untuk selalu mendapatkan nasehat, mengetahui sisi-sisi kebenaran dan senantiasa menambah pengetahuan dengan ilmu yang bermanfaat.
11. Hadits ini mengisyaratkan untuk sedikit bicara, banyak bekerja, dan memberikan pelajaran dengan keteladanan yang baik.