101. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”
(al-Maa’idah: 101)
Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari Anas bin Malik bahwa ketika Rasulullah saw. berkhotbah, ada seseorang yang bertanya: “Siapa bapak saya?” Nabi menjawab: “Fulan”. Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 101) sebagai teguran kepada orang-orang yang suka bertanya hal-hal yang bukan-bukan.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa ada orang-orang yang bertanya kepada Rasulullah saw. dengan maksud memperolok-oloknya. Ada yang bertanya: “Siapa bapak saya?” dan ada pula yang bertanya: “Dimana untaku yang hilang?” maka Allah menurunkan ayat ini (al-Maa-idah: 101) yang melarang orang-orang Mukmin bertanya tentang hal yang bukan-bukan.
Diriwayatkan oleh Ahmad, at-Tirmidzi, dan al-Hakim, yang bersumber dari ‘Ali. Hadits seperti ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Abu Hurairah, Abu Umamah, dan Ibnu ‘Abbas. Bahwa ketika turun ayat,….wa lillaahi ‘alan naasi hijjul baiit….(…mengerjakan haji kebaitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah..) (Ali ‘Imraan: 97), orang-orang bertanya: “Apakah tiap tahun ya Rasulallah?” Rasulullah terdiam. Mereka bertanya lagi: “Apakah tiap tahun ya Rasulallah?” Rasul menjawab: “Tidak, karena apabila kukatakan ‘ya’, tentu akan menjadi wajib (tiap tahun).” Maka Allah menurunkan ayat ini (al-Maa-idah: 101) yang melarang kaum Mukminin terlalu banyak bertanya kepada Rasul.
Keterangan: menurut al-Hafizh Ibnu Hajar, tidak ada halangan apabila ayat ini turun dalam dua peristiwa, akan tetapi hadits Ibnu ‘Abbas lebih shahih sanadnya.
106. “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu[1], jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: “(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah Ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa”.
(al-Maa’idah: 106)
[1] ialah: mengambil orang lain yang tidak seagama dengan kamu sebagai saksi dibolehkan, bila tidak ada orang Islam yang akan dijadikan saksi.
107. “Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) membuat dosa[1], Maka dua orang yang lain di antara ahli waris yang berhak yang lebih dekat kepada orang yang meninggal (memajukan tuntutan) untuk menggantikannya, lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah: “Sesungguhnya persaksian kami labih layak diterima daripada persaksian kedua saksi itu, dan kami tidak melanggar batas, Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang yang menganiaya diri sendiri”.
(al-Maa’idah: 107)
[1] Maksudnya: melakukan kecurangan dalam persaksiannya, dan hal Ini diketahui setelah ia melakukan sumpah.
108. “Itu lebih dekat untuk (menjadikan para saksi) mengemukakan persaksiannya menurut apa yang Sebenarnya, dan (lebih dekat untuk menjadikan mereka) merasa takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) sesudah mereka bersumpah[1]. dan bertakwalah kepada Allah dan dengarkanlah (perintah-Nya). Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”
(al-Maa’idah: 108)
[1] maksud sumpah itu dikembalikan, ialah saksi-saksi yang berlainan agama itu ditolak dengan bersumpahnya saksi-saksi yang terdiri dari karib kerabat, atau berarti orang-orang yang bersumpah itu akan mendapat balasan di dunia dan akhirat, Karena melakukan sumpah palsu.
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan lain-lain, dari Ibnu ‘Abbas yang bersumber dari Tamim ad-Dari. Hadits ini daif menurut at-Tirmidzi. Bahwa dua orang Nasrani yang bernama Tamim ad-Dari dan ‘Adi bin Bada’ sering pulang pergi ke Syam untuk berdagang, sebelum mereka masuk Islam. Ikut bersama mereka seorang maulaa Bani Sahm yang bernama Badil bin Abi Maryam, yang juga membawa dagangan serta membawa bejana yang terbuat dari perak. Di perjalanan, Badil bin Abi Maryam sakit dan ia berwasiat kepada kedua orang itu agar pusakanya disampaikan kepada ahli warisnya. Berkatalah Tamim: “Ketika ia mati, kami ambil bejana perak dan kami jual dengan harga seribu dirham, dan uangnya kami bagi dua bersama ‘Adi bin Bada’. Setelah kami menyampaikan amanat warisan itu kepada ahli warisnya, mereka kehilangan bejana perak serta menanyakannya kepada kami. Kami katakan bahwa Badil tidak meninggalkan selain yang telah kami serahkan.”
Setelah Tamim masuk Islam, ia merasa berdosa atas perbuatannya itu. Kemudian ia mendatangi ahli waris Badil dan mengakui terus terang serta menyerahkan uang sebanyak lima ratus dirham, sementara sisanya sebesar lima ratus dirham lagi ada pada kawannya (‘Adi bin Bada’). Maka berangkatlah ahli waris Badil beserta ‘Adi menghadap Rasulullah saw.. Rasulullah saw. meminta bukti-bukti tuduhan terhadap ‘Adi itu, tetapi mereka tidak dapat memenuhinya. Kemudian Rasulullah menyuruh mereka menyumpah ‘Adi, dan iapun bersumpah. Maka Allah menurunkan ayat ini (al-Maa-idah: 106-108) sampai…an turadda aimaanum ba’da aimaanihim…(…akan dikembalikan sumpahnya [kepada ahli waris] sesudah mereka bersumpah….). Maka berdirilah ‘Amr bin al’Ash dan seorang lainnya bersumpah untuk menjadi saksi, sehingga diputuskan agar uang yang lima ratus dirham lagi diambil dari ‘Adi bin Bada’.
Keterangan: adz-Dzahabi menetapkan bahwa Tamim di sini bukan Tamim ad-Dari. Pendapat tersebut didasarkan pada ucapan Muqatil bin Hibban.
Al-Hafizh Ibnu Hajar tidak mendapatkan keterangan yang jelas bahwa yang disebut dalam hadits itu adalah Tamim ad-Dari.
Sumber: asbabun nuzul, KHQ Shaleh dkk.