Arsip | 23.50

Asbabun Nuzul Surah Al-Maa-idah (9)

29 Jan

asbabun nuzul surah al-qur’an

101. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”
(al-Maa’idah: 101)

Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari Anas bin Malik bahwa ketika Rasulullah saw. berkhotbah, ada seseorang yang bertanya: “Siapa bapak saya?” Nabi menjawab: “Fulan”. Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 101) sebagai teguran kepada orang-orang yang suka bertanya hal-hal yang bukan-bukan.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa ada orang-orang yang bertanya kepada Rasulullah saw. dengan maksud memperolok-oloknya. Ada yang bertanya: “Siapa bapak saya?” dan ada pula yang bertanya: “Dimana untaku yang hilang?” maka Allah menurunkan ayat ini (al-Maa-idah: 101) yang melarang orang-orang Mukmin bertanya tentang hal yang bukan-bukan.

Diriwayatkan oleh Ahmad, at-Tirmidzi, dan al-Hakim, yang bersumber dari ‘Ali. Hadits seperti ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Abu Hurairah, Abu Umamah, dan Ibnu ‘Abbas. Bahwa ketika turun ayat,….wa lillaahi ‘alan naasi hijjul baiit….(…mengerjakan haji kebaitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah..) (Ali ‘Imraan: 97), orang-orang bertanya: “Apakah tiap tahun ya Rasulallah?” Rasulullah terdiam. Mereka bertanya lagi: “Apakah tiap tahun ya Rasulallah?” Rasul menjawab: “Tidak, karena apabila kukatakan ‘ya’, tentu akan menjadi wajib (tiap tahun).” Maka Allah menurunkan ayat ini (al-Maa-idah: 101) yang melarang kaum Mukminin terlalu banyak bertanya kepada Rasul.

Keterangan: menurut al-Hafizh Ibnu Hajar, tidak ada halangan apabila ayat ini turun dalam dua peristiwa, akan tetapi hadits Ibnu ‘Abbas lebih shahih sanadnya.

106. “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu[1], jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: “(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah Ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa”.
(al-Maa’idah: 106)

[1] ialah: mengambil orang lain yang tidak seagama dengan kamu sebagai saksi dibolehkan, bila tidak ada orang Islam yang akan dijadikan saksi.

107. “Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) membuat dosa[1], Maka dua orang yang lain di antara ahli waris yang berhak yang lebih dekat kepada orang yang meninggal (memajukan tuntutan) untuk menggantikannya, lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah: “Sesungguhnya persaksian kami labih layak diterima daripada persaksian kedua saksi itu, dan kami tidak melanggar batas, Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang yang menganiaya diri sendiri”.
(al-Maa’idah: 107)

[1] Maksudnya: melakukan kecurangan dalam persaksiannya, dan hal Ini diketahui setelah ia melakukan sumpah.

108. “Itu lebih dekat untuk (menjadikan para saksi) mengemukakan persaksiannya menurut apa yang Sebenarnya, dan (lebih dekat untuk menjadikan mereka) merasa takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) sesudah mereka bersumpah[1]. dan bertakwalah kepada Allah dan dengarkanlah (perintah-Nya). Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”
(al-Maa’idah: 108)

[1] maksud sumpah itu dikembalikan, ialah saksi-saksi yang berlainan agama itu ditolak dengan bersumpahnya saksi-saksi yang terdiri dari karib kerabat, atau berarti orang-orang yang bersumpah itu akan mendapat balasan di dunia dan akhirat, Karena melakukan sumpah palsu.

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan lain-lain, dari Ibnu ‘Abbas yang bersumber dari Tamim ad-Dari. Hadits ini daif menurut at-Tirmidzi. Bahwa dua orang Nasrani yang bernama Tamim ad-Dari dan ‘Adi bin Bada’ sering pulang pergi ke Syam untuk berdagang, sebelum mereka masuk Islam. Ikut bersama mereka seorang maulaa Bani Sahm yang bernama Badil bin Abi Maryam, yang juga membawa dagangan serta membawa bejana yang terbuat dari perak. Di perjalanan, Badil bin Abi Maryam sakit dan ia berwasiat kepada kedua orang itu agar pusakanya disampaikan kepada ahli warisnya. Berkatalah Tamim: “Ketika ia mati, kami ambil bejana perak dan kami jual dengan harga seribu dirham, dan uangnya kami bagi dua bersama ‘Adi bin Bada’. Setelah kami menyampaikan amanat warisan itu kepada ahli warisnya, mereka kehilangan bejana perak serta menanyakannya kepada kami. Kami katakan bahwa Badil tidak meninggalkan selain yang telah kami serahkan.”
Setelah Tamim masuk Islam, ia merasa berdosa atas perbuatannya itu. Kemudian ia mendatangi ahli waris Badil dan mengakui terus terang serta menyerahkan uang sebanyak lima ratus dirham, sementara sisanya sebesar lima ratus dirham lagi ada pada kawannya (‘Adi bin Bada’). Maka berangkatlah ahli waris Badil beserta ‘Adi menghadap Rasulullah saw.. Rasulullah saw. meminta bukti-bukti tuduhan terhadap ‘Adi itu, tetapi mereka tidak dapat memenuhinya. Kemudian Rasulullah menyuruh mereka menyumpah ‘Adi, dan iapun bersumpah. Maka Allah menurunkan ayat ini (al-Maa-idah: 106-108) sampai…an turadda aimaanum ba’da aimaanihim…(…akan dikembalikan sumpahnya [kepada ahli waris] sesudah mereka bersumpah….). Maka berdirilah ‘Amr bin al’Ash dan seorang lainnya bersumpah untuk menjadi saksi, sehingga diputuskan agar uang yang lima ratus dirham lagi diambil dari ‘Adi bin Bada’.

Keterangan: adz-Dzahabi menetapkan bahwa Tamim di sini bukan Tamim ad-Dari. Pendapat tersebut didasarkan pada ucapan Muqatil bin Hibban.
Al-Hafizh Ibnu Hajar tidak mendapatkan keterangan yang jelas bahwa yang disebut dalam hadits itu adalah Tamim ad-Dari.

Sumber: asbabun nuzul, KHQ Shaleh dkk.

Asbabun Nuzul Surah Al-Maa-idah (8)

29 Jan

asbabun nuzul surah al-qur’an

90. “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[1], adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
(al-Maa’idah: 90)

[1] Al Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. orang Arab Jahiliyah menggunakan anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak. Caranya ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. setelah ditulis masing-masing yaitu dengan: lakukanlah, Jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka’bah. bila mereka hendak melakukan sesuatu Maka mereka meminta supaya juru kunci ka’bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, Maka undian diulang sekali lagi.

91. “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat All’ah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).”
(al-Maa’idah: 91)

92. “Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. jika kamu berpaling, Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya kewajiban Rasul kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.”
(al-Maa’idah: 92)

93. “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh Karena memakan makanan yang Telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, Kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, Kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
(al-Maa’idah: 93)

Diriwayatkan oleh Ahmad yang bersumber dari Abu Hurairah, bahwa ketika Rasulullah saw. datang ke Madinah, beliau mendapati kaumnya suka minum arak dan makan hasil judi. Mereka bertanya kepada Rasulullah saw. tentang hal itu. Maka turunlah ayat, yas-aluunaka ‘anil khamri wal maisiri qul fiihimaa itsmung kabiiruw lin naas..(mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia…) sampai akhir ayat (al-Baqarah: 219). Mereka berkata: “Tidak diharamkan kepada kita. Minum arak hanyalah dosa besar. Merekapun terus minum arak. Pada suatu hari ada seseorang dari kaum Muhajirin mengimami para shahabat lainnya shalat magrib. Bacaan orang itu salah (karena mabuk). Maka Allah menurunkan ayat yang lebih keras daripada ayat yang tadi, yaitu ayat, yaa ayyuhal ladziina aamanuu la taqrabush shalaata wa angtum sukaaraa hattaa ta’lamuu maa taquuluun..(hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan…) (an-Nisaa’: 43).
Kemudian turun ayat yang lebih keras lagi, yaitu surah al-Maa-idah ayat 90-91 yang memberikan kepastian haramnya. Sehingga merekapun berkata: “Cukuplah, kami akan berhenti.” Kemudian orang-orang bertanya: “Ya Rasulallah, bagaimana nasib orang-orang yang gugur di jalan Allah dan yang mati di atas kasur, padahal mereka peminum arak dan pemakan hasil judi, sementara Allah telah menetapkan bahwa kedua hal itu termasuk perbuatan setan yang keji. Kemudian Allah menurunkan ayat ini (al-Maa-idah: 93) sebagai jawaban atas pertanyaan mereka.

Diriwayatkan oleh an-Nasaa-i dan al-Baihaqi, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa turunnya ayat ini (al-Maa-idah: 90) berkenaan dengan peristiwa yang terjadi pada dua suku golongan Anshar yang hidup rukun, tidak ada dendam kesumat. Tetapi apabila mereka minum sampai mabuk, mereka saling mengganggu hingga meninggalkan bekas (luka) pada muka atau kepala. Dengan demikian maka pudarlah rasa kekeluargaan mereka, lalu timbul rasa permusuhan dan langsung menuduh bahwa suku yang lainnyalah yang mengganggunya itu. Hal itulah yang biasanya menimbulkan dendam kesumat di hati mereka. Padahal mereka tidak akan berbuat seperti itu apabila mereka saling kasih sayang. Ayat ini melukiskan keberhasilan setan mengadu domba orang-orang yang beriman sebab minum arak dan main judi.
Orang-orang yang merasa berat meninggalkan minum itu memperbincangka najis (khamr) yang telah diminum oleh orang-orang yang gugur pada Perang Uhud. Maka Allah menurunkan ayat ini (al-Maa-idah: 93), sebagai penjelasan tentang kedudukan mereka yang gugur sebelum turunnya ayat larangan meminum arak dan main judi.

100. Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.”
(al-Maa’idah: 100)

Diriwayatkan oleh al-Wahidi dan al-Ashbahani di dalam Kitab at-Targhib, yang bersumber dari Jabir, bahwa ketika Nabi menerangkan haramnya arak, berdirilah orang baduy dan berkata: “Saya pernah menjadi pedagang arak, dan saya kaya raya karenanya. Apakah kekayaanku ini bermanfaat apabila saya gunakan untuk taat kepada Allah?” Nabi menjawab: “Sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali yang baik.” Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 100) yang membenarkan ucapan Rasulullah saw.

Sumber: asbabun nuzul, KHQ Shaleh dkk

Asbabun Nuzul Surah Al-Maa-idah (7)

29 Jan

asbabun nuzul surah al-qur’an

68. ‘Katakanlah: “Hai ahli kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”. Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; Maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu.’
(al-Maa’idah: 68)

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rafi’, Salam bin Musykam, dan Malik bin ash-Shaif (dari kaum Yahudi) berkata: “Hai Muhammad, bukankah engkau mengaku bahwa engkau mengikuti agama Ibrahim dan beriman kepada kitab yang ada pada kami (Taurat).” Rasulullah menjawab: “Benar. Akan tetapi kalian telah menyelewengkannya, kafir kepada isinya, dan kalianpun menyembunyikan apa yang diperintahkan untuk diterangkan kepada semua manusia.” Mereka berkata: “Sesungguhnya kami melaksanakan apa yang ada pada kami, serta mengikuti petunjuk dan kebenaran.” Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 68) sebagai penegasan bahwa mereka itu tidak mengikuti ajaran sebenarnya.

82. “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. dan Sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya kami Ini orang Nasrani”. yang demikian itu disebabkan Karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) Karena Sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri.”
(al-Maa’idah: 82)

83. “Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang Telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: “Ya Tuhan kami, kami Telah beriman, Maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad s.a.w.)”
(al-Maa’idah: 83)

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa’id bin al-Musayyab, Abu Bakr bin ‘Abdirrahman, dan ‘Urwah bin Zubair bahwa Rasulullah saw. pernah mengutus ‘Amr bin Umayyah adl Dlamari untuk menyampaikan surat kepada an-Najasyi. Sesampainya di hadapan an-Najasyi, surat itupun dibacanya. Kemudian an-Najasyi memanggil Ja’far bin Abi Thalib dan orang-orang yang hijrah (ke Habsyah)) bersamanya serta para rahib dan paderi. Ia menyuruh Ja’far bin Abi Thalib membaca al-Qur’an. Ja’far membacakan surah Maryam. Semua yang hadir beriman kepada isi Al-Qur’an dan berlinang-linang air matanya. Mereka inilah yang disebut Allah dalam ayat tersebut di atas (al-Maa-idah: 82-83).

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa’id bin Jubair bahwa an-Najasi mengirim tigapuluh orang sahabat terbaiknya kepada Rasulullah saw.. Rasulullah membacakan surah Yasin kepada mereka, sehingga mereka menangis. Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 82-83) yang menceritakan adanya kaum rahib dan pendeta Nasrani yhang tidak sombong dan beriman kepada apa yang diturunkan kepada Rasulullah saw.

Diriwayatkan oleh an-Nasa-i yang bersumber dari ‘Abdullah bin Zubair. Hadits seperti ini diriwayatkan pula oleh ath-Thabarani yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas, tetapi lebih jelas. Bahwa turunnya ayat ini (al-Maa-idah: 83) berkenaan dengan Najasi dan kawan-kawannya. Ayat tersebut menegaskan bahwa mereka mencucurkan air mata bila mendengar ayat-ayat yang diturunkan kepada Rasulullah saw. (karena mereka yakin akan kebenarannya).

87. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
(al-Maa’idah: 87)

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan lain-lain, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa seorang laki-laki menghadap Nabi saw. dan berkata: “Ya Rasulallah. Apabila aku makan daging, timbul syahwatku kepada wanita. Oleh karena itu saya haramkan daging untukku.” Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 87) sebagai larangan untuk mengharamkan yang halal.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari al-‘Aufi yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. Hadits seperti ini diriwayatkan pula oleh ‘Ikrimah, Abu Qilabah, Mujahid, Abu Malik, an-Nakha’i, as-Suddi, dan lain-lain, tetapi mursal. Bahwa beberapa sahabat, di antaranya ‘Utsman bin Mazh’un, mengharamkan bercampur dengan istrinya sendri dan mengharamkan makan daging. Mereka mengambil pisau untuk memotong kemaluannya supaya syahwatnya terputus, sehingga mereka tidak terganggu lagi beribadah kepada Allah. Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 87) yang melarang kaum Mukminin mengharamkan barang yang halal.

Keterangan: menurut riwayat as-Suddi, para shahabat yang mengharamkan itu terdiri dari sepuluh orang, antara lain: Ibnu Mazh’un dan ‘Ali bin Abi Thalib.
Menurut riwayat ‘Ikrimah, mereka itu antara lain: Ibnu Mazh’un, ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, al-Miqdad bin al-Aswad, serta Salim (‘abid yang telah dibebaskan dan diangkat sebagai keluarga Abu Hudzaifah). Sedangkan menurut riwayat Mujahid, mereka antara lain: Ibnu Mazh’un dan ‘Abdullah bin ‘Umar.

Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir di dalam kitab Taarikh-nya, dari as-Suddish Shaghir, dari al-Kalbi, dari Abu Shalih, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa turunnya ayat ini (al-Maa-idah: 87) berkenaan dengan segolongan shahabat , di antaranya Abu Bakr, ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, ‘Utsman bin Mazh’un, al-Miqdad bin al-Aswad, dan Salim (maulaa Abu Hudzaifah) yang sepakat akan mengebiri dirinya, menjauhi istrinya, tidak akan makan daging dan lemak, akan memakai pakaian paderi, dan tidak akan makan kecuali sekedarnya saja. Mereka akan berdakwah mengelilingi dunia seperti para rahib. Ayat di atas melarang perbuatan seperti itu.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Zaid bin Aslam bahwa ‘Abdullah bin Rawahah kedatangan keluarganya di saat ia berada di rumah Rasulullah saw.. Ketika pulang, ia mendapati tamunya belum disuguhi makanan, karena mereka menunggunya. Ia berkata pada istrinya: “Mengapa engkau biarkan tamuku tidak disuguhi makanan karena menungguku, padahal makanan itu haram bagiku?” Istrinya berkata: “Makanan inipun haram bagiku.” Dan tamunya juga berkata: “Makanan inipun haram bagiku.” Karena peristiwa itu, ‘Abdullah mempersilakan makan kepada tamunya, sambil mengucapkan bismillaah (dengan nama Allah), dan iapun ikut makan bersamanya. Setelah itu ia pergi kepada Rasulullah saw. seraya menceritakan kejadian di rumahnya. Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 87) yang melarang kaum Mukminin mengharamkan barang yang halal.

Sumber: asbabun nuzul, KHQ Shaleh dkk

Asbabun Nuzul Surah Al-Maa-idah (6)

29 Jan

asbabun nuzul surah al-qur’an

64. “Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”[1], Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu[2] dan merekalah yang dila’nat disebabkan apa yang Telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; dia menafkahkan sebagaimana dia kehendaki. dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. dan kami Telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. setiap mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.”
(al-Maa’idah: 64)

[1] maksudnya ialah kikir.
[2] kalimat-kalimat Ini adalah kutukan dari Allah terhadap orang-orang Yahudi berarti bahwa mereka akan terbelenggu di bawah kekuasaan bangsa-bangsa lain selama di dunia dan akan disiksa dengan belenggu neraka di akhirat kelak.

Diriwayatkan oleh ath-Thabarani yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa seorang Yahudi bernama an-Nabasy bin Qais berkata: “Sesungguhnya Rabb-mu itu bakhil (kikir), tidak mau memberi nafkah.” Maka Allah menurunkan ayat ini (al-Maa-idah: 64) sebagai bantahan atas ucapan mereka.

Diriwayatkan oleh Abusy Syaikh dari jalan lain, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas juga bahwa turunnya ayat ini (al-Maa-idah: 64) berkenaan dengan ucapan Fanhash (kepala Yahudi Bani Qainuqa’) yang menganggap Allah kikir, yang membantah ucapan tersebut.

67. “Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia[1]. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”

[1] Maksudnya: tak seorangpun yang dapat membunuh nabi Muhammad s.a.w.

Diriwayatkan oleh Abusy Syaikh yang bersumber dari al-Hasan, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengutusku untuk mengemban risalah kerasulan. Hal tersebut menyesakkan dadaku, karena aku tahu bahwa orang-orang akan mendustakan risalahku. Allah memerintahkan kepadaku untuk menyampaikannya, dan kalau tidak, Allah akan menyiksaku.” Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 67) yang mempertegas perintah penyampaian risalah disertai jaminan akan keselamatannya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Mujahid bahwa ketika turun ayat, yaa ayyuharrasuulu maa ungzila ilaika mir rabbik…(hai Rasull, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu…) (sebagian al-Maa-idah: 67), Rasulullah bersabda: “Ya Rabbi. Apa yang harus kuperbuat, padahal aku sendirian dan mereka berkomplot menghadapiku.” Maka turunlah kelanjutan ayat tersebut yang menegaskan perintah pemyampaian risalah kenabian.

Diriwayatkan oleh al-Hakim dan at-Tirmidzi, yang bersumber dai ‘Aisyah bahwa Siti ‘Aisyah menyatakan bahwa Nabi saw. biasa dijaga oleh pengawalnya, sampai turun ayat, …wallaahu ya’shimuka minan naas..(..Allah memelihara kamu dari [gangguan] manusia…) (al-Maa-idah: 67) setelah ayat itu turun, Rasulullah menampakkan diri dari Kubah sambil bersabda: “Wahai saudara-saudara. Pulanglah kalian, Allah telah menjamin keselamatanku dalam menyerbarkan dakwah ini. Sesungguhnya malam seperti ini baik untuk tidur di tempat masing-masing.”

Diriwayatkan oleh ath-Thabarani yang bersumber dari Abu Sa’id al-Kudri, bahwa al-‘Abbas, paman Nabi saw., termasuk pengawal Nabi. Ketika turun ayat ,…. wallaahu ya’shimuka minan naas.. (Allah memelihara kamu dari [gangguan] manusia…) (al-Maa-idah: 67), iapun meninggalkan pos penjagaannya.

Diriwayatkan oleh ath-Thabarani yang bersumber dari ‘Ishmah bin Malik al-Khathmi bahwa para shahabat biasanya mengawal Rasul saw. pada waktu malam, sampai turun ayat,…. wallaahu ya’shimuka minan naas..(..Allah memelihara kamu dari [gangguan] manusia…) (al-Maa-idah: 67). Sejak turun ayat tersebut merekapun meninggalkan pos penjagaannya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitab Shahih-nya, yang bersumber dari Abu Hurairah bahwa para Shahabat pernah meninggalkan Rasulullah berhenti di dalam perjalanan, dan beliau berteduh di bawah pohon besar. Ketika itu beliau menggantungkan pedangnya di pohon itu. Maka datanglah seorang laki-laki dan mengambil pedang Rasul sambil berkata: “Siapa yang akan menghalangi engkau dari dariku, hai Muhammad?” Rasulullah bersabda: “Allah yang akan melindungiku darimu. Letakkan pedang itu!” seketika itu juga pedang itu diletakkannya kembali. Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 67) yang menegaskan jaminan keselamatan jiwa Rasulullah dari tangan-tangan usil manusia.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Marduwaih, yang bersumber dari Jabir bin ‘Abdillah bahwa Rasulullah pernah berhenti untuk beristirahat dalam Peperangan Bani Anmar, di Dzatir Raqi’ di kebun kurma yang paling tinggi. Beliau duduk di atas sebuah sumur sambil menjulurkan kakinya. Berkatalah al-Warits dari Banin Najjar kepada teman-temannya: “Aku akan membunuh Muhammad.” Temannya berkata: “Bagaimana cara membunuhnya?” Ia berkata: “Aku akan berkata: ‘Cobalah berikan pedangmu.’ Dan apabila ia memberikan pedangnya, aku akan membunuhnya.”
Iapun pergi mendatangi Rasul dan berkata: “Hai Muhammad. Berikan pedangmu kepadaku agar aku menciumnya.” Pedang itu oleh Rasul diberikan kepadanya, akan tetapi tangannya gemetar. Bersabdalah Rasul saw.: “Allah menghalangi maksud jahatmu.” Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 67) yang menegaskan jaminan keselamatan jiwa bagi Rasulullah.

Diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih dan ath-Thabarani, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. Hadits ini gharib. Hadits seperti ini diriwayatkan juga oleh Ibnu Marduwaih yang bersumber dari Jabir bin ‘Abdillah. Hadits ini menunjukkan bahwa ayat di atas diturunkan di Mekah, padahal sebenarnya diturunkan di Madinah. Bahwa Rasulullah biasa mendapat pengawalan. Setiap hari Abu Thalib pun mengirimkan pengawal-pengawalnya dari bani Hasyim untuk menjaganya. Ketika turun ayat ini (al-Maa-idah: 67) Rasulullah bersabda kepada Abu Thalib yang akan mengirimkan pengawalnya: “Wahai pamanku. Sesungguhnya Allah telah menjamin keselamatan jiwaku dari perbuatan jin dan manusia.”

Sumber: asbabun nuzul, KHQ Shaleh dkk

asbabun Nuzul Surah Al-Maa-idah (5)

29 Jan

asbabun nuzul surah al-qur’an

49. “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah), Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”
(al-Maa’idah: 49)

50. “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?”
(al-Maa’idah: 50)

Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa Ka’b bin Usaid mengajak ‘Abdullah bin Shuriya dan Syas bin Qais pergi menghadap Nabi Muhammad untuk mencoba memalingkan beliau dari agamanya dengan berkata: “Hai Muhammad. Engkau tahu bahwa kami pendeta-pendeta Yahudi, pembesar dan tokoh mereka, sedang mereka tidak akan menyalahi kehendak kami. Kebetulan antara kami dengan mereka terdapat percekcokan. Kami mengharapkan agar engkau mengadilinya dan memenangkan kami dalam perkara ini. Dengan begiitu kami akan beriman kepadamu.” Nabi saw. menolak permintaan mereka, dan turunlah ayat tersebut di atas (al-Maa-idah: 49-50) yang mengingatkan untuk tetap bepegang pada hukum Allah dan berhati-hati terhadap kaum Yahudi.

51. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
(al-Maa’idah: 51)

Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Baihaqi, yang bersumber dari ‘Ubadah bin ash-Shamit bahwa ‘Abdullah bin Ubay bin Salul (tokoh munafik Madinah) dan ‘Ubadah bin ash-Shamit (salah seorang tokoh Islam dari Bani ‘Auf bin Khazraj) terikat oleh suatu perjanjian untuk saling membela dengan Yahudi Bani Qainuqa’. Ketika Bani Qainuqa’ memerangi Rasulullah saw.. ‘Abdullah bin Ubay tidak melibatkan diri. Sedangkan ‘Ubadah bin ash-Shamit berangkat menghadap Rasulullah saw. untuk membersihkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari ikatannya dengan Bani Qainuqa’ itu , serta menggabungkan diri bersama Rasulullah dan menyatakan hanya taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 51) yang mengingatkan orang yang beriman untuk tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan tidak mengangkat kaum Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin mereka.

55. “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).”
(al-Maa’idah: 55)

Diriwayatkan oleh ath-Thabarani di dalam kitab al-Ausath-dalam sanadnya terdapat rawi yang tidak dikenal- yang bersumber dari ‘Ammar bin Yasir. Hadits ini diperkuat oleh hadits-hadits: 1. Yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dari ‘Abdulwahhab bin Mujahid, dari bapaknya, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. 2. Yangdiriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih melalui rawi lain, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. 3. Yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardiwaih yang bersumber dari ‘Ali. 4. Yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Mujahid, dari Inu Abi Hatim, yang bersumber dari Salamah bin Kuhail. Hadits-hadits tersebut saling menguatkan. Bahwa ketika seorang peminta-minta datang kepada ‘Ali bin Abi Thalib yang pada waktu itu sedang shalat tathawwu’ (sunat), ia tanggalkan cincinnya dan menyerahkannya kepada si peminta-minta. Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 55) yang mengemukakan beberapa ciri pemimpin yang wajib ditaati.

57. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang Telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.”
(al-Maa’idah: 57)

59. Katakanlah: “Hai ahli kitab, apakah kamu memandang kami salah, Hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang kebanyakan di antara kamu benar-benar orang-orang yang fasik ?”
(al-Maa’idah: 59)

Diriwayatkan oleh Abusy Syaikh dan Ibnu Hibban, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rifa’ah bin Zaid bin at-Tabut dan Suwaid bin al-Harits memperlihatkan keislaman, padahal sebenarnya mereka itu munafik. Salah seorang dari kaum Muslimin bersimpati kepada kedua orang itu. Maka Allah menurunkan ayat ini (al-Maa-idah: 57) yang melarang kaum Muslimin mengangkat kaum munafik sebagai pemimpin mereka.
Selanjutnya Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa serombongan kaum Yahudi, di antaranya Abu Yasir bin Akhthab, Nafi’ bin Abi Nafi’, dan Ghazi bin ‘Amr datang menghadap Nabi saw. dan bertanya: “Kepada rasul yang mana tuan beriman?” Nabi menjawab: “Aku beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, ‘Isa, dan kepada apa-apa yang diberikan kepda nabi-nabi dari Rabb mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan hanya kepada-Nya lah kami berserah diri.” (Ali’Imraan: 84). Ketika Nabi menyebut nama ‘Isa, mereka mengingkari kenabiannya dan berkata: “Kami tidak percaya kepada ‘Isa dan tidak percaya kepada orang yang beriman kepada ‘Isa.” Maka Allah menurunkan ayat ini (al-Maa-idah: 59) berkenaan dengan peristiwa tersebut. Ayat tersebut merupakan teguran kepada orang-orang yang membenci Rasulullah karena beriman kepada rasul-rasul dan apa-apa yang diturunkan kepada mereka sebelumnya.

Sumber: asbabun nuzul, KHQ Shaleh dkkk

Asbabun Nuzul Surah Al-Maa-idah (4)

29 Jan

asbabun nuzul surah al-qur’an

33. “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[1], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,”
(al-Maa’idah: 33)

[1] maksudnya ialah: memotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan lagi Maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Yazid bin Abi Habib. Hadits seperti ini diriwayatkan pula oleh ‘Abdurrazzaq yang bersumber dari Abu Hurairah. Bahwa ‘Abdulmalik bin Marwan menulis surat kepada Anas, yang isinya menanyakan tentang ayat ini (al-Maa-idah: 33). Anas menjawab dengan menerangkan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan suku ‘Urainah yang murtad dari agama Islam dan membunuh penggembala unta serta membawa lari unta-untanya. Ayat ini (al-Maa-idah: 33) diturunkan sebagai ancaman hukum bagi orang-orang yang membuat keonaran di bumi: membunuh, mengganggu dll.

38. “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(al-Maa’idah: 38)

39. “Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, Maka Sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(al-Maa’idah: 39)

Diriwayatkan oleh Ahmad dan lain-lain, yang bersumber dari ‘Abdullah bin ‘Amr. Bahwa ada seorang wanita mencuri di zaman Rasulullah saw., kemudian dipotong tangan kanannya (sesuai dengan al-Maa-idah: 38). Ia bertanya: “Apakah tobatku diterima, ya Rasulullah?” Maka Allah menurunkan ayat berikutnya (al-Maa-idah: 39) yang menegaskan bahwa tobat seseorang akan diterima Allah apabila ia memperbaiki diri dan berbuat baik.

41. “Hari rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka:”Kami Telah beriman”, padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong[1] dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu[2]; mereka merobah[3] perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. mereka mengatakan: “Jika diberikan Ini (yang sudah di robah-robah oleh mereka) kepada kamu, Maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan Ini Maka hati-hatilah”. barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, Maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah. mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”
(al-Maa’idah: 41)

[1] maksudnya ialah: orang Yahudi amat suka mendengar perkataan-perkataam pendeta mereka yang bohong, atau amat suka mendengar perkataan-perkataan nabi Muhammad s.a.w untuk disampaikan kepada pendeta-pendeta dan kawan-kawan mereka dengan cara yang tidak jujur.
[2] Maksudnya: mereka amat suka mendengar perkataan-perkataan pemimpin-pemimpin mereka yang bohong yang belum pernah bertemu dengan nabi Muhammad s.a.w. Karena sangat benci kepada beliau, atau amat suka mendengarkan perkataan-perkataan nabi Muhammad s.a.w. untuk disampaikan secara tidak jujur kepada kawan-kawannya tersebut.
[3] Maksudnya: merobah arti kata-kata, tempat atau menambah dan mengurangi.

42. “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram[1]. jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka Maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”
(al-Maa’idah: 42)

[1] seperti uang sogokan dan sebagainya.

43. “Dan bagaimanakah mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang didalamnya (ada) hukum Allah, Kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari putusanmu)? dan mereka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman.”
(al-Maa’idah 43)

44. “Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
(al-Maa’idah: 44)

45. “Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”
(al-Maa’idah: 45)

Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa ayat ini (al-Maa-idah: 41) turun berkenaan dengan dua golongan Yahudi. Salah satu diantaranya, pada zaman Jahiliyah, suka mendzolimi orang lain, yaitu mereka memaksa hukum yang tidak seimbang. Apabila si kuat (ekonominya) membunuh si lemah, maka fidyahnya (tebusannya) 50 wasaq. Sebaliknya apabila si lemah membunuh si kuat, maka fidyahnya 100 wasaq. Ketetapan ini berlaku hingga Rasulullah saw. diutus.
Pada suatu ketika si lemah membunuh si kuat. Si kuat mengutus agar si lemah membayar fidyahnya 100 wasaq. Berkatalah si lemah: “Apakah dapat terjadi di dua kampung yang agama, turunan, dan negaranya sama, membayar tebusan berbeda (setengah dari yang lain)? Kami berikan sekarang ini dengan rasa dongkol, tertekan serta takut terjadi perpecahan. Tapi sekiranya Muhammad sudah sampai kemari, kami tidak akan memberikan itu kepadamu.” Hampir saja terjadi peperangan di antara dua golongan itu. Mereka bersepakat untuk menjadikan Rasulullah sebagai penengah. Mereka mengutus orang-orang munafik untuk mengetahui pendapat Muhammad. Ayat ini (al-Maa-idah: 41) diturunkan untuk memperingatkan Nabi agar tidak mengambil pusing perihal mereka.

Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dan lain-lain, yang bersumberdari al-Barra’ bin ‘Azib. Bahwa di depan Rasulullah saw., berlalulah orang-orang Yahudi membawa seorang terhukum yang dijemur dan dipukuli. Rasulullah saw. memanggil mereka dan bertanya: “Apakah demikian hukuman terhadap orang berzina yang kalian dapati di dalam kitab kalian?” Mereka menjawab: “Ya.” Kemudian Rasulullah memanggil seorang ulama mereka dan bersabda: “Aku bersumpah atas Nama Allah yang telah menurunkan Taurat kepada Musa, apakah demikian kamu dapati hukuman bagi orang yang berzina di dalam kitabmu?” Ia menjawab: “Tidak. Demi Allah, jika engkau tidak bersumpah lebih dulu, tidak akan kuterangkan. Sesungguhnya hukuman bagi orang yang berzina di dalam kitab kami adalah dirajam (dilempari batu sampai mati). Akan tetapi karena banyak pembesar-pembesar kami yang melakukan zina, maka kami mengabaikannya. Namun apabila seorang hina berzina, kami tegakkan hukum sesuai dengan kitab. Kemudian kami berkumpul dan mengubah hukuman tersebut dengan menetapkan hukuman yang ringan dilaksanakan, baik bagi orang hina dan pembesar, yaitu menjemur dan memukuliya.” Bersabdalah Rasulullah saw.: “Ya Allah, sesungguhnya saya yang pertama menghidupkan perintah-Mu setelah dihapus oleh mereka.” Kemudian Rasulullah menetapkan hukum rajam, kemudian dirajamlah Yahudi pezina itu. Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 41) samai dengan,….in uutiitum haadzaa fa khudzuuh…(…jika diberikan ini [yang sudah dirubah-rubah oleh mereka] kepada kamu, maka terimalah…).
Dalam peristiwa lain, kaum Yahudi mengutus orang-orang untuk meminta fatwa kepada Nabi Muhammad saw., dengan catatan apabila fatwanya menyuruh agar pezina itu dijemur dan dipukuli sesuai dengan hukum yang mereka tetapkan, maka fatwa itu akan diterima. Namun jika beliau memberi fatwa agar pezina itu dirajam, maka fatwa itu harus diabaikan. Maka turunlah ayat berikutnya (al-Maa-idah: 41-45) yang memberi peringatan agar selalu menegakkan hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah swt.

Diriwayatkan oleh al-Humaidi di dalam Musnad-nya, yang bersumber dari Jabir bin ‘Abdillah. Hadits seperti ini diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi di dalam kitab ad-Dalaa-il, yang bersumber dari Abu Hurairah. Bahwa seorang laki-laki dari suku Fadak telah berzina. Orang-orang Fadak menulis surat kepada orang-orang Yahudi di Madinah agar mereka bertanya kepada Muhammad tentang hukuman bagi pezina itu. Maka jika beliau memerintahkan dijilid (dipukuli), terimalah, dan jika beliau memerintahkan supaya dirajam, jangan diterima. Orang-orang Yahudi di Madinah bertanya kepada Nabi saw.. Nabi pun menjawab seperti yang tersebut dalam hadits di atas.kemudian diperintahkan agar orang tersebut dirajam. Maka turunlah ayat tersebut di atas (al-Maa-idah: 42) sebagai tuntunan agar Nabi menetapkan hukum sesuai dengan hukum Allah.

Sumber: Asbabun Nuzul, KHQ Shaleh dkk

Asbabun Nuzul Surah Al-Maa-idah (3)

29 Jan

asbabun nuzul surah al-qur’an

11. “Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), Maka Allah menahan tangan mereka dari kamu. dan bertakwalah kepada Allah, dan Hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal.”
(al-Maa’idah: 11)

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari ‘Ikrimah dan Yazid bin Abi Ziad. Lafal hadits ini bersumber dari Yazid. Hadits seperti ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari ‘Abdullah bin Abi Bakr, ‘Ashim bin ‘Umar bin Qatadah, Mujahid, ‘Abdullah bin Katsir, dan Abu Malik. Bahwa Nabi saw. keluar bersama Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Thalhah, dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf menuju Ka’b bin al-Asyraf dan Yahudi Banin Nadlir untuk meminjam uang sebagai pembayar diat (denda) yang harus dibayarnya. Orang Yahudi berkata: “Silakan duduk, kami akan menyajikan makanan dan memberikan apa yang tuan perlukan.” Kemudian Rasulullah saw. duduk. Hayy bin Akhthab berkata pada kawannya (tanpa setahu Nabi saw.): “Kalian tidak akan melihat dia lebih dekat dari sekarang. Timpakan batu ke kepalanya dan bunuhlah dia. Kalian nanti tidak akan menghadapi kesulitan lagi.” Mereka mengangkat batu penggiling gandum yang sangat besar untuk ditimpakan kepada Rasul. Akan tetapi Allah menahan tangan mereka, lalu datanglah Jibril memberitahukan agar Rasulullah bangkit dari tempat duduknya. Maka Allah menurunkan ayat ini (al-Maa-idah: 11) sebagai perintah untuk mensyukuri nikmat.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah bahwa ayat ini (al-Maa-idah: 11) diturunkan kepada Rasulullah saw. di saat beliau berada di kebun kurma, ketika diintai oleh Bani Tsa’labah dan Bani Muharib pada ghazwah (peperangan yang dipimpin Rasulullah saw.) yang ketujuh. Mereka bermaksud membunuh Nabi saw. yang sedang tidur, dengan mengirim seorang Arab untuk melaksanakannya. Si Arab itu mengambil pedang Nabi kemudian menghunusnya dan menggertak beliau sambil berkata: “Siapa yang menghalangi engkau dari pedang ini?” Nabi bersabda: “Allah.” Maka jatuhlah pedang itu dari tangannya, tetapi Rasulullah tidak membalasnya. Ayat ini (al-Maa-idah: 11) turun sebagai perintah untukk selalu bertawakal kepada Allah.

Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di dalam kitab Dalaa-ilun Nubuwwah, dari al-Hasan, yang bersumber dari Jabir bin ‘Abdillah bahwa seorang laki-laki dari suku Muharib, namanya Ghaurats bin al-Harits, berkata kepada kaumnya: “Akan kubunuh Muhammad untuk kemenangan kalian.” Kemudian ia datang kepada Rasulullah saw. di saat beliau duduk-duduk, sedang pedang beliau terletak di pangkuannya. Ia berkata: “Coba aku lihat pedangmu itu.” Nabi bersabda: “Boleh.” Pedang itu diambilnya, dihunus dan diayun-ayunkkannya untuk ditetakkannya (dibacokkannya) sambil berkata: “Apakah engkau tidak takut padaku?” Nabi menjawab: “Tidak.” Ia berkata lagi: “Apakah engkau tidak takut, padahal pedang ada di tanganku?” Nabi menjawab: “Tidak, karena Allah akan menghalangi dan menyelamatkanku darimu.” Kemudian pedang itu dimasukkan lagi ke dalam sarungnya seraya diserahkan kembali kepada Rasulullah saw.. Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 11) sebagai ajaran untuk selalu ingat akan nikmat yang telah Allah berikan.

15. “Hai ahli kitab, Sesungguhnya Telah datang kepadamu Rasul kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya Telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan[1]”
(al-Maa’idah: 15)

[1] cahaya Maksudnya: nabi Muhammad s.a.w. dan Kitab Maksudnya: Al Quran.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari ‘Ikrimah bahwa Nabi saw. didatangi orang-orang Yahudi yang bertanya tentang rajam. Nabi saw. bertanya: “Siapa diantara kalian yang paling ‘alim?” Mereka menunjuk Ibnu Shuriya. Nabi saw. meminta kepadanya untuk menjawab dengan sebenarnya sambil bersumpah atas Nama Allah yang telah menurunkan Taurat kepada Nabi Musa, Yang mengangkat gunung Thur, dan menetapkan sepuluh janji yang telah diterima oleh mereka serta menggemparkan mereka. Berkatalah Ibnu Shuriya: “Ketika telah banyak kaum kami yang mati dirajam karena zina, kami tetapkan hukum dera seratus kali dan kami cukur kepaalanya.” Maka ditetapkanlah kembali kepada kaum Yahudi hukum rajam. Lalu turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 15) sebagai peringatan kepada orang yang telah melalaikan hukum-hukum Allah.

18. “Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami Ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya”. Katakanlah: “Maka Mengapa Allah menyiksa kamu Karena dosa-dosamu?” (kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia(biasa) diantara orang-orang yang diciptakan-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. dan kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).”
(al-Maa’idah: 18)

Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nu’man bin Qushay, Bahr bin ‘Umar, dan Syas bin ‘Adi (dari kaum Yahudi) mengadakan pembicaraan dengan Rasulullah saw. Dalam pembicaraan itu Nabi mengajak untuk kembali kepada Allah dan mengingatkan mereka akan pembalasan-Nya. Mereka menjawab: “Hai Muhammad. Tidaklah hal tersebut menakutkan kami, karena demi Allah, kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” Omongan seperti itu biasa diucapkan oleh kaum Nasrani. Maka Allah menurunkan ayat ini (al-Maa-idah: 18) berkenaan dengan peristiwa tersebut, yang mengingatkan mereka atas siksaan yang telah menimpa nenek moyang mereka.

19. “Hai ahli kitab, Sesungguhnya Telah datang kepada kamu Rasul kami, menjelaskan (syari’at kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul agar kamu tidak mengatakan: “Tidak ada datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan”. Sesungguhnya Telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
(al-Maa’idah: 19)

Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah saw. berdakwah kepada orang-orang Yahudi supaya masuk Islam. Akan tetapi mereka menolaknya. Berkatalah Mu’adz bin Jabal dan Sa’d bin ‘Ubadah (Anshar) kepada mereka: “Wahai kaum Yahudi. Takutlah kalian kepada Allah. Demi Allah, sesungguhnya kalian mengetahui bahwa beliau adalah utusan Allah, karena dulu sebelum beliau diutus, kalian telah menerangkan kepada kami sifat-sifat yang ada padanya.” Berkatalah Rafi’ bin Huraimalah dan Wahb bin Yahudza: “Kami tidak pernah berkata demikian kepada kalian. Allah tidak menurunkan kitab sesudah Musa, dan tidak mengutus Utusan selaku pemberi kabar gembira dan peringatan sesudah Musa.” Maka Allah menurunkan ayat ini (al-Maa-idah: 19) sebagai teguran kepada orang-orang yang memungkiri ayat-ayat tentang kedatangan Rasul terakhir.

Sumber: asbabun nuzul, KHQ Shaleh dkk

Asbabun Nuzul Surah Al-Maa-idah (2)

29 Jan

asbabun nuzul surah al-qur’an

4. “Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang Telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang Telah diajarkan Allah kepadamu[1]. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu[2], dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya)[3]. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.”
(al-Maa’idah: 4)

[1] Maksudnya: binatang buas itu dilatih menurut kepandaian yang diperolehnya dari pengalaman; pikiran manusia dan ilham dari Allah tentang melatih binatang buas dan cara berburu.
[2] yaitu: buruan yang ditangkap binatang buas semata-mata untukmu dan tidak dimakan sedikitpun oleh binatang itu.
[3] Maksudnya: di waktu melepaskan binatang buas itu disebut nama Allah sebagai ganti binatang buruan itu sendiri menyebutkan waktu menerkam buruan.

Diriwayatkan oleh ath-Thabarani, al-Hakim, al-Baihaqi, dan lain-lain, yang bersumber dari Abu Rafi’ bahwa Jibril datang kepada Nabi saw. dan meminta izin untuk masuk. Nabi saw. mempersilakannya. Namun Jibril tidak segera masuk, sehingga beliau pergi keluar menyambutnya. Ternyata Jibril sedang berdiri di pintu. Jibril berkata: “Saya telah meminta izin kepada tuan.” Rasulullah membenarkannya. Lalu Jibril berkata: “Akan tetapi kami tidak mau masuk rumah yang ada gambar dan anjing.” Berkenaan dengan peristiwa itu, Rasulullah saw. mendapat laporan bahwa di sebagian rumah para shahabat terdapat anjing. Setelah itu Rasulullah memerintahkan Abu Rafi’ untuk tidak membiarkan seekor anjing pun hidup di Madinah. Para shahabat datang kepada Rasulullah saw. dan bertanya: “Apa yang halal bagi kami dari hewan-hewan yang engkau perintahkan membunuhnya.” Maka turunlah ayat ini (an-Maa-idah: 4) yang menerangkan bahwa yang halal itu adalah yang baik.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari ‘Ikrimah bahwa Rasulullah saw. mengutus Abu Rafi’ untuk membunuh semua anjing, sampai ke kampung-kampung. Maka datanglah ‘Ashim bin ‘Adi, Sa’d bin Hatsamah, dan ‘Uwaimir bin Sa’idah menghadap Rasulullah saw. dan bertanya: “Apa yang dihalalkan bagi kami?” Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 4) sebagai jawabannya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Muhammad bin Ka’b al-Qurazhi bahwa Rasulullah memerintahkan membunuh anjing-anjing. Para shahabat bertanya: “Yaa Rasulallah, apa yang halal bagi kami dari hewan ini?” Maka turunlah ayat ini (al-Maa-dah: 4) sebagai jawabannya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari asy-Syu’bi yang bersumber dari ‘Adi bin Hatim ath-Tha-iy bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw. tentang hukum berburu dengan anjing. Rasulullah tidak mengetahui bagaimana harus menjawabnya. Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 4) yang menetapkan hukum berburu dengan hewan yang telah diajari berburu.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa’id bin Jubair bahwa ‘Adi bin Hatim ath-Tha-iy dan Zaid bin al-Muhalhal ath-Tha-iy bertanya kepada Rasulullah saw.: “Kami tukang berburu dengan anjing, dan anjing suku Dzarih pandai berburu sapi, keledai, dan kijang. Sedang Allah telah mengharamkan bangkai. Apa yang halal bagi kami dari hasil buruan itu?” Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 4) yang menegaskan hukum hasil buruan.

6. “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[1] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[2] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
(al-Maa’idah: 6)

[1] Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air.
[2] artinya: menyentuh. menurut Jumhur ialah: menyentuh sedang sebagian Mufassirin ialah: menyetubuhi.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Amr bin al-Harits, dari ‘Abdurrahman bin al-Qasim, dari bapaknya, yang bersumber dari ‘Aisyah bahwa kalung Siti ‘Aisyah jatuh dan hilang di suatu lapangan dekat kota Madinah. Rasulullah saw. memberhentikan untanya, lalu turun untuk mencarinya. Kemudian beliau beristirahat hingga tertidur di pangkuan Siti ‘Aisyah. Tiada lama kemudian datanglah Abu Bakr menampar Siti ‘Aisyah sekerasnya seraya berkata: “Kamulah yang menahan orang-orang karena sebuah kalung!” Nabi saw. terbangun dan tibalah waktu shubuh. Beliau mencari air tapi tidak mendapatkannya. Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 6). Berkatalah Usaid bin Mudlair: “Allah telah memberikan berkah kepada manusia dengan sebab keluarga Abu Bakr.” Ayat tersebut mewajibkan berwudlu atau bertayamum sebelum shalat.

Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dari ‘Abbad bin ‘Abdillah bin Zubair yang bersumber dari ‘Aisyah bahwa setelah terjadi peristiwa hilangnya kalung ‘Aisyah yang menimbulkan fitnah besar, pada suatu ketika, dalam suatu peperangan bersama Rasulullah saw., kalung ‘Aisyah jatuh lagi. Orang-orangpun terhalang pulang karena perlu mencari kalung yang hilang itu. Berkatalah Abu Bakr kepada ‘Aisyah: “Wahai anakku, tiap-tiap perjalanan engkau selalu menjadi bala dan menjengkelkan orang lain.” Maka Allah menurunkan ayat ini (al-Maa-idah: 6) yang membolehkan bertayamum. Abu Bakr berkata: “Sesungguhnya engkau membawa berkah.”

Keterangan: a) hadits al-Bukhari dari riwayat ‘Amr bin al-Harits dengan jelas menyatakan bahwa ayat tayamum yang diriwayatkan dalam berbagai hadits ialah ayat al-Maa-idah (al-Maa-idah: 6). Banyak riwayat lagi yang mengemukakan ayat tayamum tanpa menyebutkan sumber surahnya. Menurut Ibnu ‘Abdilbarr, riwayat seperti itu mu’dlilah (membingungkan) karena tidak jelas ayat mana dari kedua ayat tersebut. (an-Nisaa’: 43 atau al-Maa-idah: 6) yang dimaksud oleh ‘Aisyah. Ibnu ‘Abdilbarr tidak mendapatkan dalil yang memperkuat hadits di atas.
Menurut Ibnu Baththal, riwayat tersebut berkenaan dengan ayat dalam surah an-Nisaa’. Dengan alasan bahwa ayat al-Maa-idah (al-Maa-idah: 6) diberi nama ayat wudlu, sedangkan ayat an-Nisaa’ (an-Nisaa’: 43) tidak disebut ayat wudlu, jadi ayat ini bisa ditujukan khusus untuk tayamum.
Menurut al-Wahidi, Hadits al-Bukhari tersebut juga merupakan dalil asbabun nuzul ayat an-Nisaa’ (an-Nisaa’: 43), dan tiada syak lagi dianggap lebih berat benarnya oleh al-Bukhari sebagai asbabun nuzul ayat al-Maa-idah (al-Maa-idah: 6). Inilah jalan keluar yang dikemukakan oleh al-Wahidi dalam menetapkan asbabun nuzul ayat tersebut.
b) Hadits al-Bukhari ini menunjukkan bahwa wudlu telah diwajibkan kepada umat Islam sebelum turun ayat ini (al-Maa-idah: 6). Oleh karena itu mereka merasa keberatan untuk berhenti di tempat yang tidak ada airnya, sehingga Abu Bakr mengatakan kepada ‘Aisyah bahwa dia membawa berkah (tegasnya jadi sebab dibolehkannya tayamum).
Menurut Ibnu ‘Adilbarr, ahli sejarah peperangan telah maklum bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. selalu berwudlu untuk shalat (sejak mulai shalat difardlukan), dan tidak ada yang membantahnya kecuali orang bodoh atau pembangkang. Adapun hikmah turun perintah ayat wudlu yang didahului dengan amalnya, ialah supaya fardlu wudlu diperkuat dengan turunnya ayat.
Menurut pendapat lain, boleh jadi awal ayat itu (al-Maa-idah: 6) diturunkan lebih dulu berkenaan dengan fardlu wudlu, dan sisanya diturunkan kemudian berkenaan dengan tayamum di dalam riwayat tersebut di atas.
Menurut as-Suyuthi, yang pertama itu benar, karena fardlu wudlu itu ditetapkan di Mekah bersamaan dengan fardlu shalat, padahal ayat ini (al-Maa-idah: 6) adalah Madaniyyah.

Sumber: asbabun nuzul, KHQ Shaleh