Arsip | 11.37

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Ikhlash (1)

14 Feb

Tafsir Ibnu Katsir; Surah Al-Ikhlash (Memurnikan Keesaan Allah);
Makkiyyah; Surah ke 112: 4 ayat

tulisan arab alquran surat al ikhlas ayat 1-4

 

Sebab turun surat ini dan keutamaannya

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab bahwa orang-orang musyrik pernah berkata kepada Nabi saw.: “Hai Muhammad, terangkanlah kepada kami nasab Rabb-mu.” Maka Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya: qul huwal laahu ahad, allaahush shamad, lam yalid walam yuulad, walam kakul lahuu kufuwan ahad (katakanlah: ‘Dialah Allah Yang Mahaesa, Allah adalah Rabb yang bergantung kepada-Nya segala urusan. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.) Demikianlah yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Jarir dari Ahmad bin Mani’. Ibnu Jarir dan at-Tirmidzi menambahkan, dia mengatakan: “Ash-shamad, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, karena tidak ada sesuatupun yang dilahirkan dan tidak ada pula sesuatu yang mati melainkan akan meninggalkan warisan. Sedangkan Allah tidak pernah akan mati dan tidak juga meninggalkan warisan.”
Walam yakul lahuu kufuwan ahad (dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya). Tidak ada yang serupa dan tidak ada pula yang sebanding dengan-Nya. Dan tidak ada sesuatu yang sama dengan-Nya. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Hatim dari hadits Abu Sa’id Muhammad bin Muyassar. Kemudian diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi dari Abul ‘Aliyah. Lalu dia menyebutkannya secara mursal. Dan dia tidak menyebutkan: “Haddatsanaa.” Lebih lanjut, at-Tirmidzi mengatakan: “Dan ini lebih shahih daripada hadits Abu Sa’id.”

Keutamaan Surah Al-Ikhlash

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah, bahwa Nabi saw. pernah mengutus seseorang dalam suatu peperangan dan dia membacakan al-Qur’an untuk para Shahabatnya dalam shalat mereka, lalu dia menutupnya dengan surah qul huwal laahu ahad. Ketika mereka kembali, mereka menceritakan hal itu kepada itu kepada Nabi saw, maka beliau berkata: “Tanyakan kepadanya, untuk apa dia melakukan hal tersebut.” Kemudian merekapun bertanya kepadanya, lalu dia menjawab: “Karena ia merupakan sifat ar-Rahman, sedang aku lebih suka membacanya.” Maka Nabi saw. bersabda: “Beritahukan kepadanya bahwa Allah menyukainya.” Diriwayatkan oleh Muslim dan an-Nasa-i.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Sa’id bahwasannya ada seorang mendengar orang lain membaca: qul huwal laahu ahad yang dia ulang berkali-kali. Setelah pagi hari tiba, dia mendatangi Nabi saw. dan menceritakan peristiwa itu kepada Nabi saw.. Dan orang itu merasa masih terlalu sedikit membacanya, maka Nabi saw. bersabda: “Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya surah itu menyamai sepertiga al-Qur’an.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan an-Nasa-i.

Imam Malik bin Anas meriwayatkan dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdirrahman, dari ‘Ubaid bin Hanin, dia berkata: “Aku pernah mendengar Abu Hurairah berkata: “Aku pernah pergi bersama Nabi saw. lalu beliau mendengar seseorang membaca: qul huwal laahu ahad, maka Rasulullah saw. bersabda: ‘Wajib baginya,’ –kutanyakan, ‘Apa yang wajib?’ Beliau menjawab: ‘Surga.’” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasa-i dari hadits Malik, at-Tirmidzi mengatakan: “Hadits hasan gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Malik.” Dan telah disebutkan sebelumnya: “Kecintaanmu padanya (surat al-Ikhlash) akan memasukkanmu ke surga.’”

Abdullah bin Imam Ahmad meriwayatkan dari Usaid bin Abi Usaid, dari Mu’adz bin ‘Abdillah bin Habib, dari ayahnya, dia berkata: “Kami merasa haus dan berada dalam gelap gulita, sedang kami tengah menunggu Rasulullah saw. shalat bersama kami, lalu beliau keluar dan memegang tanganku seraya berkata: ‘Katakanlah.’ Maka akupun terdiam. Beliau berkata lagi: ‘Katakanlah.’ Kutanyakan lagi: ‘Apa yang harus aku katakan?’ Beliau menjawab: ‘Qul huwal laahu ahad dan al-mu’awwidzatain (al-Falaq dan an-Naas) saat memasuki sore dan saat memasuki waktu pagi hari sebanyak tiga kali, niscaya akan diberikan kecukupan kepadamu setiap hari dua kali.’” Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa-i, dari hadits Ibnu Abi adz-Dzi-b. At-Tirmidzi mengatakan: “Hasan shahih gharib dari sisi ini.” Dan juga diriwayatkan oleh an-Nasa-i melalui jalan lain dari Mu’adz bin ‘Abdillah bin Habib, dari ayahnya dari ‘Uqbah bin ‘Amir, lalu dia menyebutkan hadits tersebut. Dan lafalnya: “Maka ia akan mencukupi segala sesuatu.”

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Falaq

14 Feb

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Falaq (Waktu Shubuh)
Surah Makkiyyah; Surah ke 113: 5 ayat

tulisan arab alquran surat al falaq ayat 1-51. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh,
2. Dari kejahatan makhluk-Nya,
3. Dan dari kejahatan malam apabila Telah gelap gulita,
4. Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul
5. Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.”
(al-Falaq: 1-5)

Ibnu Hatim meriwayatkan dari Jabir, dia mengatakan: “Al-Falaq berarti waktu Shubuh. Yaitu demikian itu seperti firman-Nya yang lain: faaliqul ashbaah (Dia menyingsingkan pagi).

Firman Allah Ta’ala: ming syarri maa kholaq (dari kejahatan makhluk-Nya). Yakni dari kejahatan semua makhluk. Wa ming syarri ghoosiqin idzaa waqab (dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita). Mujahid mengatakan: “Kejahatan malam jika telah gelap gulita, yaitu saat matahari telah terbenam.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari darinya. Demikian pula yang diriwayatkan Ibnu Abi Najih darinya. Dan seperti itu juga Ibnu ‘Abbas, Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi, adl-Dlahhak, Khashif, al-Hasan, dan Qatadah mengatakan: “Sesungguhnya ia adalah waktu malam jika telah datang gelapnya.” Ibnu Jarir dan juga yang lainnya mengatakan: “Yaitu bulan”

Dapat saya katakan, dan pijakan orang-orang yang berpegang pada pendapat tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad; Abu Dawud al-Hafri memberi tahu kami, dari Ibnu Dzi’b, dari al-Harits bin Abi Salamah, dia berkata: “’Aisyah berkata: ‘Rasulullah saw. pernah memegang tanganku dan memperlihatkan bulan kepadaku pada saat terbit dan beliau bersabda: ta’awwadzii billaahi ming syarri haadzal ghaasiqi idzaa waqab (berlindunglah kepada Allah dari kejahatan bulan ini jika terbenam).

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasa-i di dalam kedua kitab tafsir dan Sunan keduanya. At-Tirmidzi mengatakan: “Hadits hasan shahih.” Dan lafazhnya sebagai berikut: ta’awwadzii billaahi ming syarri haadzaa, fa-inna haadzal ghaasiqa idzaa waqaba (berlindunglah kepada Allah dari kejahatan ini, karena sesungguhnya ini adalah bulan jika terbenam).

Sedangkan lafazh an-Nasa-i berbunyi:
ta’awwadzii billaahi ming syarri haadzaa, fa-inna haadzal ghaasiqa idzaa waqaba (berlindunglah kepada Allah dari kejahatan ini, karena sesungguhnya ini adalah bulan jika terbenam).

Pemegang pendapat pertama menyatakan bahwa bulan merupakan satu tanda malam jika telah masuk. Dan itu tidak bertentangan dengan pendapat kami, karena bulan merupakan tanda malam dan tidak memiliki kekuasaan kecuali pada malam hari. Demikian juga bintang-bintang yang tidak akan bersinar kecuali pada malam hari, dan ia kembali kepada apa yang telah kami kemukakan. Wallaahu a’lam.

Dan firman Allah Ta’ala: waming syarrin naf-faa-tsaati fil’uqad (dan dari kejahatan wanita tukang sihir yang menghembuskan pada buhul-buhul). Muhahid, ‘Ikrimah, al-Hasan, Qatadah, dan adl-Dlahhak mengatakan: “Yakni tukang sihir.” Mujahid mengatakan: “Yaitu ketika wanita-wanita itu membaca mantra dan menghembuskan pada buhul.” Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, dia berkata: “Tidak ada sesuatu yang lebih dekat dengan kemusyrikan melebihi jampi ular dan orang gila.”

Di dalam hadits lain disebutkan bahwa Jibril pernah datang kepada Nabi saw., lalu bertanya: “Apakah engkau merasa sakit hai Muhammad?” Beliau menjawab: “Ya.” Lalu Jibril mengucapkan: bismillaahi arqiika ming kulli daa-in yu’dziika wa ming syarri haasidin wa ‘ainin, allaahu yasyfiik (dengan nama Allah, aku meruqyahmu dari setiap penyakit yang mengganggumu dan dari kejahatan setiap orang yang dengki dan mata yang hasad. Dan Allah akan menyembuhkanmu).

Mungkin yang demikian itu akibat keluhan yang dirasakan oleh Rasulullah saw.. Ketika beliau terkena sihir, Allah Ta’ala dengan segera menyehatkan dan menyembuhkan beliau serta menyerang balik tipu muslihat para penyihir yang dengki dari kalangan orang-orang Yahudi kepada tokoh-tokoh mereka semua. Dan Dia jadikan kehancuran mereka melalui perbuatan mereka itu sekaligus mempermalukan mereka. Tetapi dengan demikian, Rasulullah saw. tidak bersikap buruk terhadap orang tersebut suatu waktu, tetapi cukuplah Allah yang menjadi pelindung, menyembuhkan sekaligus menyehatkan.

Imam al-Bukhari meriwayatkan di dalam kitab ath-Thibb dalam Shahih-nya, dari ‘Aisyah, dia berkata: “Rasulullah saw. pernah kena disihir, dimana beliau melihat seakan-akan mendatangi beberapa orang istri padahal beliau tidak mendatangi mereka. Sufyan mengatakan: ‘Ini merupakan sihir yang paling parah, jika keadaannya seperti itu.’ Kemudian Beliau bersabda: ‘Wahai ‘Aisyah, tahukah engkau bahwa Allah telah memfatwakan kepadaku mengenai sesuatu yang dulu engkau pernah meminta fatwa tentangnya? Aku telah didatangi oleh dua orang [malaikat], lalu salah seorang di antaranya duduk di dekat kepalaku dan yang lainnya dekat kakiku. Kemudian yang duduk dekat kepalaku berkata: ‘Apa yang dialami oleh orang ini?’ Yang lainnya menjawab: ‘Dia terkena sihir.’ ‘Lalu siapa yang menyihirnya?’ tanyanya lebih lenjut. Dia menjawab: ‘Labid bin A’sham, seorang dari Bani Zuraiq, sekutu Yahudi, yang dia seorang munafik.’ Dia bertanya: ‘Dalam wujud apa sihir itu?’ Dia menjawab: ‘Pada sisir dan bekas rontokan rambut.’ ‘Lalu dimana semuanya itu berada?’ tanya temannya. Dia menjawab: ‘Di kulit mayang kurma jantan di bawah dasar sumur Dzarwan.’” ‘Aisyah berkata melanjutkan perkataannya: “Kemudian Rasulullah saw. mendatangi sumur itu dan mengeluarkan sihir tersebut. Selanjutnya beliau bersabda: ‘Wahai ‘Aisyah, inilah sumur yang pernah diperlihatkan kepadaku, seakan-akan airnya adalah celupan pacar, dan pohon kurmanya seperti kepala syaitan.’” Dan perawi hadits ini berkata: “Kemudian beliau mengeluarkannya.” Dan diriwayatkan pula oleh Muslim.

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Naas

14 Feb

Tafsir Ibnu Katsir; Surah An-Naas (Manusia)
Surat Makkiyyah; surat ke 114: 6 ayat

tulisan arab alquran surat an naas ayat 1-6

Katakanlah: “Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia. Dari (golongan) jin dan manusia.
(An-Naas: 1-6)

Inilah tiga dari sifat-sifat Rabb, yaitu Rububiyyah, Raja, dan Ilahiyyah. Dimana Dia adalah pemelihara segala sesuatu sekaligus sebagai Raja dan Rabb-nya. Dengan demikian, segala sesuatu yang ada ini adalah makhluk ciptaan-Nya, hamba sekaligus abdi-Nya. Oleh karena itu Dia memerintahkan kepada semua yang hendak memohon perlindungan agar berlindung kepada Dzat yang memiliki ketiga sifat di atas, dari kejahatan bisikan syaitan khannas, yaitu syaitan yang ditugaskan untuk menggoda manusia, karena tidak ada seorangpun keturunan Adam melainkan dia memiliki satu teman yang akan senantiasa menjadikan segala perbuatan keji itu indah dipandang dan dia tidak akan mengenal kata lelah dalam menjalankannya. Dan orang yang terlindungi adalah orang yang mendapat perlindungan Allah.

Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shifatul Qiyaamah, dan Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidak seorangpun di antara kalian melainkan telah diutus kepadanya pendampingnya.” Para Shahabat bertanya: “Termasuk juga engkau, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Ya, hanya saja Allah membantuku dalam menyikapinya sehingga ia masuk Islam, karenanya ia tidak menyuruhku kecuali hal yang baik-baik.”

Dan ditegaskan pula dalam kitab ash-Shahihain, dari Anas tentang kisah kunjungan yang dilakukan oleh Shafiyyah kepada Nabi saw. yang ketika itu beliau tengah beri’tikaf. Juga kepergian beliau bersamanya pada malam hari untuk mengantarnya pulang. Kemudian beliau berpapasan dengan dua orang laki-laki dari kaum Anshar. Ketika melihat Nabi saw. keduanya mempercepat jalannya, maka Rasulullah bersabda: “Berjalanlah seperti biasa, karena sesungguhnya dia adalah Shafiyyah binti Huyay.” Kemudian keduanya berkata: “Maha Suci Allah, wahai Rasulallah.” Beliaupun bersabda: “Sesungguhnya syaitan itu mengalir dalam tubuh anak Adam seperti aliran darah. Dan sesungguhnya aku khawatir dia akan memasukkan sesuatu ke dalam hati kalian berdua -atau beliau mengatakan: ‘Kejahatan.’”

Imam Ahmad meriwayatkan, Muhammad bin Ja’far memberitahu kami, dari orang yang pernah membonceng Rasulullah saw. dia berkata: “Keledai Nabi pernah terpeleset, lalu kukatakan: ‘Celaka Syaitan’. Maka Nabi saw bersabda: ‘Janganlah engkau mengatakan: ‘Celakalah syaitan’, karena sesungguhnya jika engkau mengucapkannhya, niscaya dia akan bertambah besar dan mengatakan: ‘Dengan kekuatanku aku akan menjatuhkannya.’ Dan jika engkau mengucapkan ‘bismillaah (dengan menyebut nama Allah)’, niscaya dia akan merasa bertambah kecil sehingga ia menjadi seperti lalat.’” Diriwayatkan oleh Imam Ahmad seorang diri, dengan sanad yang jayyid dan kuat. Dan di dalamnya terkandung dalil yang menunjukkan bahwa hati jika berdzikir kepada Allah, niscaya syaitan akan merasa bertambah kecil dan kalah. Dan jika ia tidak berdzikir kepada Allah, niscaya syaitan akan merasa bertambah besar dan menang.

Mengenai firman Allah Ta’ala..alwaswaasil khonnaas..”syaitan yang biasa bersembunyi,” Sa’id bin Jubair mengatakan dari Ibnu ‘Abbas: “Yaitu syaitan yang selalu bercokol di dalam hati manusia, dimana jika manusia lengah dan lalai, maka ia akan memberikan bisikan, dan jika manusia berdzikir kepada Allah maka syaitan itu akan bersembunyi.”

Firman Allah Ta’ala… alladzii yuwaswisu fii shuduurin naas (..yang membisikkan [kejahatan] ke dalam dada manusia). Apakah yang demikian itu khusus pada anak Adam saja sebagaimana yang tampak pada lahiriyahnya, ataukah mencakup anak Adam dan juga Jin? Mengenai hal ini ada dua pendapat. Di mana mereka semua telah masuk ke dalam lafazh an-naas. Ibnu Jarir mengatakan: “Dan tidak jarang jin laki-laki dipekerjakan oleh manusia. Oleh karena itu, bukan suatu hal yang aneh jika jin-jin itu disebut dengan sebutan an-naas (manusia)”.

Firman Allah Ta’ala…minal jinnati wan naas…(dari jin dan manusia..). Apakah yang demikian itu sebagai penjelasan bagi firman Allah Ta’ala:…alladzii yuwaswisu fii shuduurin naas (yang membisikkan [kejahatan] ke dalam dada manusia). Kemudian Dia memperjelas mereka, di mana Dia berfirman: “Dari jin dan manusia”. Yang demikian itu memperkuat pendapat kedua.

Ada juga yang berpendapat bahwa firman-Nya: …minal jin nati wan naas..(dari jin dan manusia). Sebagai tafsiran bagi pihak yang selalu memberi bisikan ke dalam dada manusia yang terdiri dari syaitan, manusia dan jin. Sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala:
“Dan Demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)” (al-An’am: 112).

Imam Ahmad meriwayatkan, Waki’ memberitahukan kami dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata: “Ada seseorang datang kepada Nabi saw. seraya berkata: ‘Wahai Rasulallah, sesungguhnya telah terbersit di dalam diriku sesuatu, dimana jatuh dari langit lebih aku sukai daripada harus membicarakannya.’” Lebih lanjut ia menceritakan: “Lalu Nabi saw. bersabda: ‘Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, segala puji hanya bagi Allah yang telah mengembalikan tipu dayanya kepada godaan.’” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan an-Nasa-i.

Sumber: Al-Qur’anul Kariim;
Tafsir Ibnu Katsir, Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh;

Tafsir Surah Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas)

14 Feb

Tafsir Ibnu Katsir

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Zurr, dia berkata: “Aku pernah bertanya kepada Ubay bin Ka’ab, kukatakan: ‘Wahai Abul Mundzir, sesungguhnya saudaramu, Ibnu Mas’ud pernah berkata begini dan begitu (yakni mengatakan bahwa al-Mu’awidzatain [surah al-Falaq dan an-Naas] bukan bagian dari al-Qur’anul Kariim. Dan hal itu ditentang oleh ijma’ para Shahabat). Lalu dia menjawab: “Sesungguhnya aku pernah bertanya kepada Nabi saw., maka beliau menjawab: ‘Dikatakan kepadaku sehingga aku mengucapkannya.’ Sehingga kamipun mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw.’” diriwayatkan oleh an-Nasa-i. Dan itulah yang populer di kalangan banyak ahli qira-at dan ahli fiqih, yaitu bahwa Ibnu Mas’ud tidak menulis al-Mu’awwidzatain di dalam mush-hafnya, barangkali dia tidak mendengar keduanya dari Nabi saw. dan tidak mutawatir pula padanya. Kemudian barangkali dia beralih dari pendapatnya itu kepada pendapat jama’ah. Sebab, para shahabat telah menegaskan kedua surat tersebut dalam mush-haf-mush-haf para imam dan menyebarluaskannya ke seluruh belahan bumi. Segala puji dan sanjungan hanya milik Allah.

Telah diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shahih-nya dari ‘Uqbah bin ‘Amir, dia berkata: “Rasulullah saw. bersabda: a lam tara aayaatin unzilat haadzihil lailata lam yura mitsluhunna qaththu [qul a’uudzu birabbil falaq] wa [qul a’uudzu birabbin naas] (tidakkah engkau melihat beberapa ayat yang telah diturunkan malam ini yang belum pernah ada sama sekali sebelumnya dan serupa dengannya: [qul a’uudzu birabbil falaq] dan [qul a’uudzu birabbin naas]).

Diriwayatkan oleh Ahmad, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i. At-Tirmidzi mengatakan: “Hasan shahih.”

Imam Malik meriwayatkan dari ‘Aisyah bahwasannya jika Rasulullah saw. merasa sakit, maka beliau membacakan untuk dirinya al-Mu’awwidzatain dan meniupkan. Dan ketika rasa sakitnya semakin parah, maka aku membacakan kepada beliau al-Mu’awwidzaat, lalu aku mengusapkan tangan beliau padanya dengan mengharapkan berkahnya. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Abdullah bin Yusuf, dan Muslim dari Yahya bin Yahya serta Abu Dawud dari al-Qa’nabi dan an-Nasa-i.