5. Apabila riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau dikompromikan bila mungkin; hingga dinyatakan bahwa ayat tersebut turun sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu di antara sebab-sebab itu berdekatan. Misalnya, ayat “li’aan” (“dan orang-orang yang menuduh istrinya berbuat zina…[an-Nuur: 6-9]). Bukhari, Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ayat tersebut turun mengenai Hilal bin Umayah yang menuduh istrinya telah berbuat serong dengan Syuraik bin Sahma’, di hadapan Nabi, seperti telah disebutkan di atas.
Diriwayatkan oleh oleh Bukhari, Muslim dan yang lain, dari Sahl bin Sa’d: “’Uwaimir datang kepada ‘Asim bin ‘Adi, lalu berkata: ‘Tanyakan kepada Rasulullah tentang seorang laki-laki yang mendapati istrinya bersama-sama dengan laki-laki lain; apakah ia harus membunuhnya sehingga ia diqishas atau apakah yang harus dilakukannya…?’” Kedua riwayat ini dapat dipadukan, yaitu bahwa peristiwa Hilal terjadi lebih dulu, dan kebetulan pula ‘Uwaimir mengalami kejadian serupa; maka turunlah ayat yang berkenaan dengan urusan kedua orang itu sesudah kedua peristiwa tadi. Ibnu Hajar berkata: “Banyaknya sebab nuzul itu tiak menjadi soal.”
6. Bila riwayat-riwayat itu tidak dapat dikompromikan karena jarak waktu antara sebab-sebab tersebut berjauhan, maka hal yang demikian dibawa kepada atau dipandang sebagai banyak dan berulangnya nuzul. Misalnya, apa yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan al-Musayyab, ia berkata:
“Ketika Abu Thalib dalam keadaan sekarat, Rasulullah menemuinya. Dan di sebelahnya (Abu Thalib) ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah. Maka kata Nabi: ‘Pamanda, ucapkanlah “laa ilaaha illalaah”. Karena dengan kalimat itu kelak aku dapat memintakan keringanan bagi paman di sisi Allah.’ Abu Jahal dan Abdullah berkata: ‘Abu Thalib, apakah engkau sudah tidak menyukai agama ‘Abdul Muththalib?’ Kedua orang itu terus bicara kepada Abu Thalib sehingga masing-masing mengatakan bahwa ia tetap dalam agama Abdul Muththalib. Maka kata Nabi: ‘Aku tetap akan memintakan ampunan bagimu selama aku tidak dilarang untuk berbuat demikian.’ Maka turunlah ayat: “Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang yang beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang musyrik..[at-Taubah: 113].”
At-Tirmidzi meriwayatkan dari ‘Ali yang mengatakan: “Aku mendengar seorang laki-laki meminta ampunan untuk kedua orang tuanya, sedang keduanya itu musyrik. Lalu aku katakan kepadanya: ‘Apakah engkau memintakan ampunan untuk kedua orang tuamu, sedang mereka itu musyrik?’ Ia menjawab, ‘Ibrahim telah memintakan ampunan untuk ayahnya, sedang ayahnya juga musyrik.’ Lalu aku menceritakan hal itu kepada Rasulullah, maka turunlah ayat tadi.
Diriwayatkan oleh Hakim dan yang lain, dari Ibnu Mas’ud, yang mengatakan: “Pada suatu hari Rasulullah pergi ke kuburan, lalu duduk di dekat salah satu makam. Ia bermunajab cukup lama, lalu menangis. Katanya: “Makam di mana aku duduk di sisinya adalah makam ibuku. Aku telah meminta izin kepada Tuhanku untuk mendoakannya, tetapi Dia tidak mengizinkan, lalu diturunkan wahyu kepadaku: (Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang yang beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang musyrik).”
Riwayat-riwayat ini dapat dikompromikan dengan (dinyatakan sebagai) berulang kalinya nuzul (maksudnnya, kita memandang bahwa ayat itu, at-Taubah: 113, diturunkansampai berulang kali, Mannaa’ al-Qattan.
Contoh lain ialah apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi berdiri di sisi jenazah Hamzah yang mati syahid dengan dianiaya, maka kata Nabi: “Akan kuaniaya tujuh puluh orang dari mereka sebagai balasan untukmu.” Maka Jibril turun dengan membawa akhir surah an-Nahl kepada Nabi, sementara ia dalam keadaan berdiri: (Jika kamu mengadakan pembalasan, maka balaslah dengan pembalasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu..) (an-Nahl: 126-128) sampai akhir surah. Riwayat ini menunjukkan bahwa ayat-ayat di atas turun pada waktu perang Uhud. (diriwayatkan oleh Baihaqi dan al-Bazzar dari Abu Hurairah).
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Hakim dari Ubay bin Ka’b disebutkan bahwa ayat-ayat tersebut turun pada waktu penaklukan kota Mekah. Padalah surah tersebut adalah Makki. Maka mengompromikan antara riwayat-riwayat itu ialah dengan menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut turun di Mekah sebelum hijrah, lalu di Uhud dan kemudian turun lagi saat penaklukan Mekah. Tidak ada salahnya bagi hal yang demikian mengingat dalam ayat-ayat tersebut terdapat peringatan akan nikmat Allah kepada hamba-hamba-Nya dengan adanya syariat. Az-Zarkasy dalam “al-Burhan” mengatakan: “Terkadang suatu ayat turun dua kali sebagai penghormatan kepada kebesaran dan peringatan akan peristiwa yang menyebabkannya, khawatir terlupakan. Sebagaimana terjadi pada surah Fatihah yang turun dua kali: sekali di Mekah dan sekali lagi di Madinah.”
Demikian sikap dan pendapat para ulama ahli dalam bidang ini mengenai riwayat-riwayat sebab nuzul suatu ayat, bahwa ayat itu diturunkan beberapa kali. Tetapi menurut Mannaa’ al-Qattan pendapat tersebut tidak atau kurang memiliki nilai positif mengingat hikmah berulangkalinya turun suatu ayat itu tidak begitu nampak dengan jelas. Pendapatnya mengenai permasalahan ini ialah bahwa riwayat yang bermacam-macam mengenai asbabun nuzul dan tidak mungkin dipadukan itu sebenarnya dapat ditarjihkan (dikuatkan) salah satunya. Misalnya, riwayat-riwayat yang berkenaan dengan sebab nuzul firman Allah: “Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang yang beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang musyrik..[at-Taubah: 113].” Riwayat pertama dinilai lebih kuat dari kedua riwayat lainnya; sebab ia terdapat dalam kitab Shahih Bukhari-Muslim, sedang kedua riwayat lainnya tidak. Dan periwayatan kedua tokoh hadits ini lebih kuat untuk dijadikan pegangan. Maka pendapat yang kuat adalah bahwa ayat itu turun berkenaan dengan Abu Thalib. Begitu pula halnya dengan riwayat-riwayat sebab nuzul akhir surah an-Nahl. Riwayat-riwayat itu tidak sama derajatnya. Maka mengambil riwayat paling kuat adalah lebih baik daripada menyatakan, ayat ini diturunkan berulang kali.
Ringkasnya, bila sebab nuzul suatu ayat itu banyak, maka terkadang semuanya tidak tegas, terkadang pula semuanya tegas dan terkadang sebagiannya tidak tegas sedanmg sebagian lainnnya tegas dalam menunjukkan sebab.
a. Apabila semuanya tidak tegaas dalam menunjukkan sebab, maka tidak ada salahnya untuk membawanya kepada atau dipandang sebagai tafsir dan kandungan ayat.
b. Apabila sebagian tidak tegas dan sebagian lain tegas maka yang menjadi pegangan adalah yang tegas.
c. Apabila semuanya tegas, maka tidak terlepas dari kemungkinan bahwa salah satunya shahih atau semuanya shahih. Apabila salah satunya shahih sedang yang lainnya tidak, maka yang shahih itulah yang menjadi pegangan.
d. Apabila semuanya shahih, maka dilakukan pentarjihan bila mungkin.
e. Bila tidak mungkin dengan pilihan demikian, maka dipadukan bila mungkin.
f. Bila tidak mungkin dipadukan, maka dipandanglah ayat itu diturunkan beberapa kali dan berulang. Dalam bagian yang terakhir ini terdapat pembahasan; karena dalam setiap riwayat terdapat keterangan.