Asbabun Nuzul (4)

19 Feb

Sebab Nuzul Ayat Al-Qur’an
Redaksi Sebab Nuzul

Bentuk redaksi yang menerangkan sebab nuzul itu terkadang berupa pernyataan tegas mengenai sebab dan terkadang pula berupa pernyataan yang hanya mengandung kemungkinan mengenainya. Bentuk pertama ialah jika perawi mengatakan: “Sebab nuzul ayat ini adalah begini.” Atau menggunakan “fa ta’qiibiyah” (kira-kira seperti ‘maka’ yang menunjukkan urutan peristiwa) yang dirangkaikan dengan kata “turunlah ayat”, sesudah ia menyebutkan peristiwa atau pertanyaan. Misalnya, ia mengatakan: hadatsa haadzaa (telah terjadi peristiwa begini), atau su-ila rasuulullaahi shallallaahu ‘alaihi wa sallama ‘an kadzaa fanazzalatil aayah (Rasulullah ditanya tentang hal begini, maka turunlah ayat ini). Dengan demikian, kedua bentuk di atas merupakan pernyataan yang jelas tentang sebab.

Bentuk kedua, yaitu redaksi yang bolehjadi menerangkan sebab nuzul atau hanya sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat ialah bila perawi mengatakan: nazzalat haadzihil aayatu fii kadzaa (ayat ini turun mengenai ini). Yang dimaksud dengan ungkapan (redaksi) ini terkadang sebab nuzul ayat dan terkadang pula kandungan hukum ayat tersebut.

Demikian juga bila ia mengatakan: ahsibu haadzihil aayata nazzalat fii kadzaa (aku mengira ayat ini turun mengenai soal begini) atau: maa ahsibu haadzihil aayata nazzalat lillaa fii kadzaa (aku tidak mengira ayat ini turun kecuali mengenai hal yang begini). Dengan bentuk redaksi demikian ini, perawi tidak memastikan sebab nuzul. Kedua bentuk redaksi tersebut mungkin menunjukkan sebab nuzul dan mungkin menunjukkan lain. Contoh pertama ialah apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, yang mengatakan: unzilat [nisaa-ukum hartsul lakum] al-aayatu fii ityaanin nisaa-i fii adbaarihinn ([ayat istri-istri kamu adalah ibarat tanah tempat kamu bercocok tanam] [al-Baqarah: 223] turun berhubungan dengan masalah menggauli istri dari belakang).

Contoh kedua adalah apa yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Zubair, bahwa Zubair mengajukan gugatan kepada seorang laki-laki dari kaum Anshar yang pernah ikut perang Badr bersama Nabi, di hadapan Rasulullah tentang saluran air yang mengalir dari tempat yang tinggi; keduanya mengairi kebun kurma masing-masing dari situ. Orang Anshar berkata: “Biarkan airnya mengalir.” Tetapi Zubair menolak. Maka kata Rasulullah: “Airi kebunmu itu Zubair, kemudian biarkan air itu mengalir ke kebun tetanggamu.” Orang Anshar itu marah, katanya: “Rasulullah, apa sudah waktunya anak bibimu itu berbuat demikian?” Wajah Rasulullah menjadi merah. Kemudian ia berkata: “Airi kebunmu Zubair, kemudian tahanlah air itu hingga memenuhi pematang; lalu biarkan ia mengalir ke kebun tentanggamu.” Rasulullah dengan keputusan itu telah memenuhi hak Zubair, padahal sebelum itu ia mengisyaratkan keputusan yang memberikan kelonggaran kepadanya dan kepada orang Anshar itu. Ketika Rasulullah marah kepada orang Anshar, ia memenuhi hak Zubair secara nyata. Maka kata Zubair: “Aku tidak mengira ayat berikut ini turun kecuali mengenai urusan tersebut: (Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan) (an-Nisaa’: 65) (hadits riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa-i, Ibn Majah dan yang lain).

Ibnu Taimiyah mengatakan: “Ucapan mereka bahwa ‘ayat ini turun mengenai urusan ini’, terkadang dimaksudkan sebagai penjelasan mengenai sebab nuzul, dan terkadang dimaksudkan bahwa urusan itu termasuk ke dalam cakupan ayat walaupun tidak ada sebab nuzulnya. Para ulama berselisih pendapat mengenai ucapan shahabat: ‘Ayat ini turun mengenai urusan ini’; apakah ucapan seperti itu berlaku sebagai hadits musnad seperti kalau dia menyebutkan sesuatu sebab yang karenanya ayat diturunkan ataukah berlaku sebagai tafsir dari shahabat itu sendiri atau musnad? Al-Bukhari memasukkannya ke dalam kategori hadits musnad, sedang yang lain tidak dimasukkannya. Dan sebagian besar hadits musnad itu menurut istilah atau pengertian ini, seperti musnad Ahmad dan lain-lain. Berbeda halnya bila shahabat menyebutkan sesuatu sebab yang sesudahnya diturunkan ayat. Bila demikian, maka mereka semua memasukkan pernyataan seperti ini ke dalam hadits musnad. Zarkasyi dalam al-Burhaan menyebutkan: “Telah diketahui dari kebiasaan para shahabat dan tabi’in bahwa apabila salah seorang dari mereka berkata: ‘Ayat ini turun mengenai urusan ini, maka yang dimaksud ialah bahwa ayat itu mengandung hukum urusan tersebut; bukannya urusan itu sebagai sebab penurunan ayat. Padahal shahabat ini termasuk ke dalam jenis penyimpulan hukum dengan ayat. Bukan jenis pemberitaan mengenai suatu kenyataan yang terjadi.

Yang dimaksud dengan isnad atau hadits musnad di sini ialah bahwa ia disandarkan kepada Rasulullah, yakni statusnya sama dengan hadist marfu’. Sekalipun ia ucapan shahabat; sebab dalam hal seperti ini tidak ada tempat untuk ijtihad.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: