Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Kaafiruun (Orang-orang Kafir);
Surat Makkiyyah; Surat ke 109: 6 ayat;
Telah ditegaskan di dalam kitab shahih Muslim, dari Jabir bahwasannya Rasulullah saw. membaca surat ini dan juga surat al-Ikhlash dalam dua rakaan shalat thawaf. Dan di dalam kitab Shahih Muslim juga dari hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw pernah membaca kedua surat tersebut dalam dua rakaat shalat Shubuh (qabliyah).
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah saw. pernah membaca dalam dua rakaat shalat sunnah sebelum shubuh dan dua rakaat shalat setelah magrib sebanyak dua puluh kali lebih atau sepuluh kali lebih dengan surah qul yaa ayyuhal kaafiruun (al-Kaafiruun) dan qul huwal laahu ahad (al-Ikhlash).
Imam Ahmad juga meriwayatkan dari al-Harits bin Jabalah, dia berkata: “Aku berkata: ‘Wahai Rasulallah, ajarkanlah kepadaku suatu surat yang bisa aku baca saat akan tidur.’ Maka beliau bersabda: ‘Jika engkau akan tidur pada malam hari, maka bacalah: qul yaa ayyuhal kaafiruun (al-Kaafiruun), karena sesungguhnya ia akan melepaskan diri dari kesyirikan.” Wallahu a’lam.
“1. Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, 2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.3. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. 4. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, 5. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. 6. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.’”
(al-Kaafiruun: 1-6)
Surat ini merupakan surat yang menyatakan berlepas diri dari perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik, dimana ia memerintahkan untuk ikhlash di dalam mengerjakannya. Dengan demikian, firman Allah Ta’ala: qul yaa ayyuhal kaafiruun (“Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir.”) mencakup setiap orang kafir yang ada di muka bumi ini, tetapi orang-orang yang dituju oleh khithah (pembicaraan) ini adalah orang-orang kafir Quraisy. Ada juga yang mengatakan bahwa karena kebodohan mereka, mereka mengajak Rasulullah saw. untuk menyembah berhala selama satu tahun, dan mereka akan menyembah Rabb beliau selama satu tahun juga. Kemudian Allah Ta’ala menurunkan surat ini dan di dalamnya Dia memerintahkan Rasul-Nya untuk melepaskan diri dari agama mereka secara keseluruhan, dimana Dia berfirman:
“laa a’budu maa ta’buduun” (“Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah.”) yakni patung dan tandingan . walaa antum ‘aabiduuna maa a’bud (“dan kamu juga bukan penyembah Illah yang aku sembah”) yaitu Allah yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dan kata “maa” disini bermakna “man” (siapa).
Selanjutnya Allah Ta’ala berfirman: walaa ana ‘aabiduu maa ‘abattum (“dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.”) maksudnya dan aku tidak akan pernah menyembah sesembahan kalian. Artinya aku tidak akan menempuh jalan kalian dan tidak juga mengikutinya. Tetapi aku akan senantiasa beribadah kepada Allah dengan cara yang Dia sukai dan ridhai. Oleh karena itu, Dia berfirman: walaa angtum ‘aabiduuna maa a’bud (“Dan kamu tidak pernah [pula] menjadi penyembah Ilah yang aku sembah.”) maksudnya kalian tidak akan mengikuti perintah-perintah Allah dan syariat-Nya dalam menyembah-Nya, tetapi kalian telah memilih sesuatu dari diri kalian sendiri. Dengan demikian, Rasulullah saw. terlepas dari mereka dalam segala aktifitas mereka, karena sesungguhnya setiap orang yang beribadah sudah pasti memiliki sembahan dan ibadah yang ditempuhnya. Dan Rasulullah saw. serta para pengikutnya senantiasa beribadah kepada Allah atas apa yang Dia syariatkan. Oleh karena itu kalimat Islam berbunyi: laa ilaaha illallaahu muhammadur rasuulullaah (“tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul Allah”) artinya tidak ada sesembahan kecuali Allah semata, dan tidak ada jalan yang bisa mengantarkan kepada-Nya kecuali apa yang dibawa oleh Rasul-Nya. Sedangkan orang-orang musyrik menyembah selain Allah dengan ibadah yang tidak diizinkan oleh-Nya. Oleh karena itu Rasulullah saw berkata kepada mereka: lakum diinukum waliyadiin (“untukmu agamamu, dan untukku agamaku”) sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Jika mereka mendustakan kamu, Maka Katakanlah: “Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. kamu berlepas diri terhadap apa yang Aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan”. (Yunus: 41)
Al-Bukhari mengatakan: “Dikatakan ‘lakum diinukum’ (bagimu agamamu) yaitu kekufuran, waliyadiin (dan bagiku agamaku) yaitu Islam. Di sini Allah tidak mengatakan: ‘diinii’ (agama-Ku) karena ayat-ayat dengan menggunakan ‘nun’ sehingga huruf ‘ya’ dihilangkan, seperti yang Dia firmankan: fa huwa yahdiin (maka Dia yang memberi petunjuk kepadaku) dan juga ‘wa yasyfiin’ (dan Dia yang menyembuhkanku). Ibnu Jarir menukil dari beberapa orang ahli bahasa Arab bahwa hal itu termasuk dalam bab penekanan. Hal itu seperti firman-Nya: fa-inna ma’al ‘usri yusron inna ma’al ‘usri yusron (karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan) (al-Insyirah: 5-6) dan ada juga ungkapan pendukungnya.
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyyah menyebutkan di dalam beberapa kitabnya, yaitu bahwa yang dimaksud dengan firman-Nya: laa a’budu maa ta’buduun (aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah) fiil / kata kerjanya dinafikank karena ia merupakan kalimat fi’liyah (berawal kata kerja). Walaa ana ‘aabidum maa ‘abattum (dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah). Penerimaan hal tersebut dinafikan secara total, karena penafian dalam bentuk kalimat ismiyah (berawal kata benda) lebih kuat, seakan-akan fiil dinafikan. Dan karena ia bisa menerima hal tersebut. Dan artinya adalah penafian kejadian itu sekaligus penafian kemungkinan menurut syariat. Dan itupun merupakan ungkapan yang baik pula. Wallahu a’lam.
Imam Abu ‘Abdillah asy-Syafi’i dan juga yang lainnya telah menggunakan ayat yang mulia ini: lakum diinukum waliyadiin (bagimulah agamamu dan untukkulah agamaku) sebagai dalil bahwa kekufuran itu secara keseluruhan merupakan satu millah (agama), sehingga ada kemungkinan orang Yahudi menerima warisan dari orang Nasrani, dan demikian juga sebaliknya, jika antara keduanya mempunyai hubungan nasab atau sebab yang bisa menjadikan mereka saling mewarisi, karena semua agama selain Islam adalah satu dalam kebathilan. Imam Ahmad bin Hanbal dan orang-orang yang sejalan dengannya mempunyai pendapat yang menyatakan tidak dibolehkannya penerimaan warisan oleh orang Nasrani dari orang Yahudi, dan demikian juga sebaliknya. Hal tersebut didasarkan pada hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, dia berkata: “Rasulullah bersabda: ‘Tidak ada waris-mewarisi antara dua millah (agama) yang berbeda.”