Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa’uun (Barang-barang yang Berguna)
Surah Makkiyyah; Surah ke 107: 7 ayat
“1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? 2. Itulah orang yang menghardik anak yatim, 3. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. 4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, 5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, 6. Orang-orang yang berbuat riya, 7. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”(al-Maa’uun: 1-7)
Allah Ta’ala berfirman: “Apkah kamu tahu, hai Muhammad, orang yang mendustakan ad-Diin, yaitu hari kebangkitan serta pemberian balasan dan pahala?” fadzaalikal ladzii yadu’-‘ul yatiim. Yakni, orang yang berbuat sewenang-wenang terhadap anak yatim dan mendzalimi haknya, tidak memberikan makan serta tidak juga berbuat baik kepadanya. Wa laa yahudl-dlu ‘alaa thaa’aamil miskiin (“dan tidak menganjurkan memberi makan kepada orang miskin”). Yang demikian itu sama dengan firman-Nya: Kallaa ballaa tukrimuunal yatiim. Walaa tahaadl-dluuna ‘alaa tha’aamil miskiiin (“Sekali-sekali tidak [demikian], sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak juga saling mengajak memberi makan orang miskin.” (al-Fajr: 17-18). Yakni orang faqir yang tidak memiliki apapun untuk memenuhi dan mencukupi kebutuhannya.
Kemudian Allah Ta’ala berfirman: “fa wailul lil mushalliin. Alladziina hum ‘an shalaatihim saahuun.” (maka celakalah bagi orang-orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya). Ibnu ‘Abbas dan juga lainnya berkata: “Yakni orang-orang munafik yang mengerjakan shalat ketika di hadapan orang banyak dan tidak mengerjakannya ketika dalam kesendirian. Oleh karena itu, Dia berfirman: lil mushalliin (“Bagi orang-orang yang shalat”), yang mereka juga berasal dari orang-orang yang biasa mengerjakan shalat dan mereka juga rajin mengerjakannya, hanya saja di dalam mengerjakannya mereka lalai, baik lalai mengerjakannya secara keseluruhan seperti yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas, maupun lalai mengerjakannya pada waktu yang telah ditentukannya menurut syariat sehingga sudah keluar dari waktunya secara keseluruhan, seperti yang dikemukakan oleh Masruq dan Abudh Dhuha. ‘Atha’ bin Dinar mengatakan: “Segala puji bagi Allah yang telah berfirman: ‘an shalaati him saahuun (“yang lalai dalam shalatnya”). Dalam ayat ini Dia tidak mengatakan: fii shalaatihim (“di dalam shalatnya”). Baik lalai dari permulaan waktunya sehingga mereka mengerjakan di akhir waktu shalat secara terus menerus atau kebanyakan, atau dalam pelaksanaannya dengan rukun dan syarat-syaratnya sesuai dengan yang diperintahkan, maupun dari kekhusyukan di dalam menjalankannya serta mencermati makna-maknanya. Dengan demikian, lafzh tersebut mencakup semua itu. Setiap orang yang mensifati diri dengan sebagian darinya berarti dia sudah termasuk ke dalam apa yang disebutkan di dalam ayat di atas. Dan orang yang mensifati diri dengan keseluruhan hal tersebut berarti telah sempurna bagian untuknya dalam hal itu dan sempurna pula baginya kemunafikan amali, sebagaimana yang ditegaskan di dalam kitab ash-Shahihain bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Itu adalah shalat orang munafik, itu adalah shalat orang munafik, itu adalah shalat orang munafik. Dia duduk menunggu matahari sehingga jika matahari itu sudah berada di antara dua tanduk setan, maka dia berdiri lalu naik turun empat kali tanpa berdzikir kepada Allah di dalamnya kecuali hanya sedikit sekali.”
Dan itulah akhir waktu shalat ‘Ashar yang merupakan shalat wustha, sebagaimana yang ditegaskan oleh nash sampai akhir waktunya, yaitu waktu yang dimakruhkan untuk mengerjakan shalat. Setelah masuk waktu yang dimakruhkan itu, orang munafik baru akan melakukan shalat ‘Ashar, lalu dia shalat dengan mematuk seperti patukan burung gagak, tidak senang dan tidak juga khusuk dalam menjalankannya. Oleh karena itu, beliau mengatakan: “Orang itu tidak berdzikir kepada Allah melainkan hanya sedikit.” Mungkin yang mendorongnya melakukan shalat itu adalah pandangan orang-orang dan bukan karena mencari ridha Allah, sehingga ia sama seperti jika di dia tidak shalat samasekali. Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (an-Nisaa’: 142).
Sedangkan disini Allah Ta’ala berfirman: alladziina hum yuraa-uun (“Orang-orang yang berbuat riya’”). Ath-Thabarani meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi saw, beliau bersabda:
“Sesungguhnya di neraka jahanam terdapat satu lembah, dimana jahanam itu selalu berlindung dari lembah tersebut setiap hari sampai empat ratus kali. Lembah tersebut disediakan untuk orang-orang yang riya’ dari umat Muhammad, bagi orang yang membawa kitabullah dan orang yang bersedekah bukan karena Allah, juga bagi orang yang beribadah haji ke Baitullah, serta bagi orang yang keluar di jalan Allah.”
Tinggalkan Balasan