Arsip | 10.32

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Ghaasyiyah (2)

4 Apr

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Ghaasyiyah (Hari Pembalasan)
Surah Makkiyyah; Surah ke 88: 26 ayat

tulisan arab alquran surat al ghaasyiyah ayat 17-26“17. Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan, 18. dan langit, bagaimana ia ditinggikan? 19. dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? 20. dan bumi bagaimana ia dihamparkan? 21. Maka berilah peringatan, karena Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. 22. kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka, 23. tetapi orang yang berpaling dan kafir, 24. Maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar. 25. Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka, 26. kemudian Sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka.” (al-Ghaasyiyah: 17-26)

Allah berfirman seraya memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk melihat kepada makhluk ciptaan-Nya yang menunjukkan kekuasaan dan keagungan-Nya: afalaa yandzuruuna ilal ibili kaifa khuliqat (“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan?”) sesungguhnya ia merupakan ciptaan yang sangat menakjubkan  dan susunan tubuhnya sangat mengherankan, dimana unta itu mempunyai kekuatan yang sangat dasyat. Namun demikian, ia sangat lentur untuk dijadikan sebagai sarana mengangkut beban yang berat dan mengantarkan kusir yang lemah, dagingnya dapat dimakan, dan kulitnya bermanfaat, serta susunya dapat diminum. Mereka diingatkan mengenai hal tersebut, karena mayoritas binatang ternak yang dimiliki masyarakat Arab adalah unta. Syuraih al-Qadhi mengatakan: “Marilah keluar bersama kami sehingga kita dapat melihat unta, bagaimana ia diciptakan, juga melihat langit bagaimana ia ditinggikan.” Maksudnya, Allah meninggikan langit dari bumi. Dan yang demikian itu merupakan pengangkatan yang sangat agung. Sebagaimana difirmankan Allah: afalam yandzuruu ilas samaa-i fauqaHum kaifa banainaaHaa wa zayyannaaHaa wa maa laHaa min furuuj (“Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun.” (Qaaf: 6)

Wa ilal jibaali kaifa nushibat (“Dan gunung-gunung bagaimana ia ditinggikan.”) artinya, menjadikannya tertancap kuat sehingga benar-benar kokoh dan tangguh agar bumi beserta penghuninya tidak menjadi goyang. Dan di dalamnya diberikan berbagai manfaat dan juga barang tambang.

Wa ilal ardli kaifa suthihat (“dan bumi, bagaimana ia dihamparkan.”) maksudnya, bagaimana bumi itu dibentangkan, dihamparkan dan dipanjangkan. Dengan demikian Allah mengingatkan orang Arab Badui untuk menjadikan bukti dari apa yang mereka saksikan, yaitu unta yang ia naiki, langit yang berada di atas kepalanya, gunung-gunung yang berada di hadapan mereka, dan bumi yang berada di bawahnya, yang semuanya menunjukkan kekuasaan Pencipta semua itu, dan bahwasannya Dia adalah Rabb Yang  Mahaagung, Pencipta, Raja, dan Pengendali. Dan Dia adalah Ilah yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali hanya Dia.

Demikianlah Dhimam membagi pertanyaan yang ditujukan kepada Rasulullah saw. sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Anas, dia berkata: “Kami pernah dilarang bertannya kepada Rasulullah saw. mengenai sesuatu. Yang mengherankan kami, ada  seseorang dari penduduk pedalaman yang berakal datang, lalu bertanya kepada beliau sedang kami mendengar. Orang Badui itu datang dan berkata: “Hai Muhammad, sesungguhnya  telah datang utusanmu kepada kami, lalu dia mengaku bahwa engkau menganggap bahwa Allah telah mengutusmu.” “Benar.” Jawab beliau.  “Lalu siapa yang telah menciptakan langit?” tanya  orang itu. Beliau menjawab: “Allah.” “Siapa pula yang menciptakan bumi?” tanyanya  lebih lanjut. Beliaupun menjawab: “Allah.” Selanjutnya orang itu bertanya: “Jadi, Rabb yang telah menciptakan langit dan bumi serta menegakkan gunung-gunung itu, Allah-kah yang telah mengutusmu?” Beliau  pun menjawab: “Benar.”

Orang itu melanjutkan: “Selain itu, utusanmu juga mengaku bahwa kami berkewajiban mengerjakan shalat lima waktu dalam satu hari  satu malam?” maka beliau menjawab: “Benar.” Dia bertanya: “Demi Rabb yang telah mengutusmu, Allah-kah yang telah memerintahkan hal tersebut?” beliau mejawab: “Benar.” Kemudian orang itu berkata: “Utusanmu mengatakan bahwa kami berkewajiban mengeluarkan zakat dari harta-harta kami.” Lalu Rasulullah menjawab: “Benar.” Orang itupun bertanya: “Demi Rabb yang mengutusmu, Allah-kah yang telah memerintahkanmu dengan hal ini?” Nabi menjawab: “Benar.” Orang itu juga berkata: “Utusanmu juga mengaku kepada kami bahwa kami berkewajiban menunaikan ibadah haji ke Baitullah bagi yang mampu melakukan perjalanan kesana.” Beliau menjawab: “Benar.” Kemudian orang itu berpaling seraya berkata: “Demi Rabb yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak melakukan penambahan dan pengurangan terhadapnya sedikitpun.” Maka Nabi saw. bersabda: “Jika benar, dia pasti masuk surga.”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim, dan diriwayatkan oleh al-Bukhari secara mu’allaq. Juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasa-i. Serta diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah dari Anas, dengan seluruh matan hadits yang panjang. Dan pada bagian akhir dia mengatakan: “Dan aku adalah Dhimam bin Tsa’labah, saudara Bani Sa’ad bin Bakr.”

Firman Allah: fadzakkir innamaa anta mudzakkir. Lasta ‘alaiHim bimushaithir (“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.”) maksudnya berikanlah peringatan, hai Muhammad, kepada manusia, mengenai apa yang engkau diutus dengannya kepada mereka. Fa innamaa ‘alaikal balaaghu wa ‘alainal hisaab (“Sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka.”)(ar-Ra’du: 40). Oleh karena itu Dia berfirman: lasta ‘alaiHim bimushaithir (Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.”) Ibnu ‘Abbas, Muhahid, dan lain-lain mengatakan: “(Maknanya) lasta ‘alaiHim bi jabbaar [dan kamu sekali-sekali bukanlah pemaksa  terhadap mereka] yakni kamu tidak bisa menciptakan keimanan di dalam hati mereka.”

Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi umat manusia sehingga mereka mengucapkan ‘laa ilaaHa illallaaH [tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah]. Jika mereka telah mengucapkannya, maka darah dan harta mereka telah terlindungi dariku, kecuali dengan alasan yang dibenarkan. Sedangkan perhitungannya terserah kepada Allah.” Setelah itu Rasulullah saw. membaca ayat: fadzakkir innamaa anta mudzakkir. Lasta ‘alaiHim bimushaithir (“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.”)

Demikian hadits yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab al-iimaan, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i di dalam kitab at-Tafsiir yang terdapat di dalam sunan-nya. Hadits ini juga diriwayatkan di dalam ash-Shahihain dari riwayat Abu Hurairah tanpa menyebutkan ayat di atas.

Firman Allah: illaa man tawallaa wa kafar (“tetapi orang yang berpaling dan kafir.”) maksudnya, berpaling dari amal perbuatan dengan seluruh sendinya dan kufur terhadap kebenaran dengan seluruh perbuatan dan lisannya. Oleh karena itu, Dia berfirman: fayu-‘adzdzibuHullaaHul ‘adzaabal akbar (“Maka Allah akan mengadzabnya dengan adzab yang besar.”)

Firman-Nya: inna ilainaa iyaabaHum (“Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka.”) yakni tempat kembali mereka. Tsumma inna ‘alainaa hisaabaHum (“Kemudian  sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka.”) maksudnya, Kami yang akan menghisab amal perbuatan mereka  dan memberikan balasan atas semuanya itu. Jika baik, maka akan diberi balasan baik, dan jika buruk, maka akan diberi balasan yang buruk pula.

Sekian.

 

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Ghaasyiyah (1)

4 Apr

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Ghaasyiyah (Hari Pembalasan)
Surah Makkiyyah; Surah ke 88: 26 ayat

Malik meriwayatkan dari Dhamrah bin Sa’id, dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bahwa adl-Dlahhak bin Qais pernah bertanya kepada an-Nu’man bin Basyir mengenai surah yang biasa dibaca oleh Rasulullah saw. pada shalat Jum’at bersamaan dengan surah al-Jumu’ah. Dia menjawab: “Hal ataaka hadiitsul ghaasyiyah.” Demikian yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan an-Nasa-i. Juga diriwayatkan oleh Muslim dan Ibnu Majah.

tulisan arab alquran surat al ghaasyiyah ayat 1-7“1. sudah datangkah kepadamu berita (Tentang) hari pembalasan? 2. banyak muka pada hari itu tunduk terhina, 3. bekerja keras lagi kepayahan, 4. memasuki api yang sangat panas (neraka), 5. diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas. 6. mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri, 7. yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.” (al-Ghaasyiyah: 1-7)

Al-Ghasyiyah merupakan salah satu dari nama-nama hari kiamat. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Qatadah, dan Ibnu Zaid, karena hari kiamat itu meliputi dan mengenai seluruh manusia.

 Firman Allah: wujuHuy yauma-idzin khaasyi’aH (“Banyak wajah pada hari itu tunduk terhina.”) Qatadah berkata: “Yakni dalam keadaan hina.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Yang membuat khusyu’ dan mengamalkannya tidak mendatangkan manfaat.” Demikian yang dikemukakan oleh Qatadah dan Ibnu ‘Abbas. Dan firman-Nya: ‘aamilatun naashibaH (“Bekerja keras lagi kepayahan”) yakni telah mengerjakan amal yang sangat banyak sehingga menuai kepayahan, dan pada hari kiamat kelak dia akan dicampakkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.

Imam al-Bukhari meriwayatkan mengenai firman-Nya: ‘aamilatun naashibaH (“Bekerja keras lagi kepayahan”) Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Yaitu orang-orang Nasrani.” Dan dari ‘Ikrimah dan as-Suddi: “Yakni bekerja keras di dunia dengan berbagai macam maksiat sehingga merasakan kepayahan di dalam neraka dengan adzab dan kebinasaan.” Mengenai firman-Nya: tashlaa naaran haamiyaH (“Mereka memasuki api yang sangat panas”) Ibnu ‘Abbas, al-Hasan, dan Qatadah mengatakan: “Yakni, benar-benar sangat panas.” Tusqaa min ‘ainin aaniyaH (“Diberi minum dari sumber yang sangat panas.”) maksudnya, panas dan didihannya telah sampai pada puncaknya. Demikian yang dikemukakan  oleh Ibnu ‘Abbas, Mujahid, al-Hasan dan as-Suddi.

Firman Allah: laisa laHum tha-‘aamun illaa min dlarii’ (“Mereka tidak memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri.”) Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas:
“Yaitu pohon dari neraka.” Sedangkan Sa’id bin Jubair mengemukakan: “Yakni pohon zaqqum.” Mujahid mengatakan: “Adl-Dlarii’” berarti sebuah tumbuhan yang diberi nama “asy-Syibraq”, yang oleh penduduk Hijaz diberi nama adl-Dlarii’ jika sudah mengering. Dan pohon tersebut beracun.”

Dan firman Allah: laa yusminu walaa yughnii min juu’ (“Yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan rasa lapar.”) yakni dengannya tujuan tidak akan dapat tercapai dan tidak juga bahaya dapat dihindari.

tulisan arab alquran surat al ghaasyiyah ayat 8-16“8. banyak muka pada hari itu berseri-seri, 9. merasa senang karena usahanya, 10. dalam syurga yang tinggi, 11. tidak kamu dengar di dalamnya Perkataan yang tidak berguna. 12. di dalamnya ada mata air yang mengalir. 13. di dalamnya ada takhta-takhta yang ditinggikan, 14. dan gelas-gelas yang terletak (di dekatnya), 15. dan bantal-bantal sandaran yang tersusun, 16. dan permadani-permadani yang terhampar.” (al-Ghaasyiyah: 8-16)

Setelah Allah menceritakan keadaan orang-orang yang sengsara, maka Dia selanjutnya menceritakan orang-orang yang bahagia, dimana Dia bercerita: wujuHuy yauma-idzin (“Banyak wajah pada hari itu”) yakni pada hari kiamat, naa-‘imaH (“Berseri-seri”) artinya orang-orang yang menerima kenikmatan itu dapat dikenali. Hal itu diperoleh karena usahanya. Mengenai firman-Nya: lisa’yiHaa  raadliyaH (“merasa senang karena usahanya”) Sufyan mengatakan: “Yakni telah menyukai [meridlai] amal perbuatannya.”

Dan firman-Nya: fii jannatin ‘aaliyaH (“Dalam surga yang tinggi”) yakni yang sangat tinggi, penuh kemegahan, di dalam kamar-kamar mereka merasa aman. Laa tasma’u fiiHaa laaghiyaH (“Tidak kamu dengar di dalamnya  perkataan yang tidak berguna.”) maksudnya di dalam surga menjadi tempat tinggal mereka itu engkau tidak akan mendengarkan ucapan yang tidak membawa manfaat. fiiHaa ‘ainun jaariyaH (“di dalamnya  ada mata air yang mengalir.”), yakni mengalir. Dan kalimat itu nakirah dalam redaksinya. Dan yang dimaksud bukan hanya satu mata air, melainkan hal itu merupakan jinsun [jenis], yaitu bahwa di dalamnya terdapat banyak mata air yang mengalir. fiiHaa sururum marfuu-‘aH (“di dalamnya ada tahta-tahta yang ditinggikan.”) yakni tinggi penuh dengan kenikmatan, banyak permadaninya, dengan tiang-tiang tinggi yang di atasnya terdapat bidadari-bidadari. Mereka berkata: “Jika wali Allah ingin duduk di atas tahta-tahta yang tinggi tersebut, maka tahta-tahta itu akan bergerak merendah untuknya. Wa akwaabum maudluu’aH (“dan gelas-gelas yang terletak [didekatnya]”) yakni berjana-bejana untuk minum selalu tersedia, yang menunggu siapa saja yang hendak meminumnya, dengan dilayani oleh pelayannya.

Wa namaariqu mashfuufaH (“dan bantal-bantal sandaran yang tersusun”) Ibnu ‘Abbas mengatakan: “An-Namaariq berarti bantal-bantal.” Demikian pula yang dikatakan oleh ‘Ikrimah,
Qatadah, adl-Dlahhak, as-Suddi, ats-Tsauri dan lain-lain.

Firman Allah: wa zaraabiyyu mabtsuutsaH (“dan permadani-permadani yang terhampar.”) Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Az-zaraabiyyu berarti hamparan.” Demikian juga dikatakan oleh adl-Dlahhak dan beberapa ulama lainnya. Dan makna mabtsuutsaH berarti disini dan disana bagi orang yang hendak duduk di atasnya.

bersambung ke bagian 2