‘Ulumul Qur’an; Riwayat Hidup Mufasir; Mannaa’ Khalil al-Qattaan
Ia adalah Abdullah bin ‘Abbas bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdi Manaf al-Quraisy al-Hasyimi, putra paman Rasulullah saw. Ibunya bernama Ummul Fadl Lubanah al-Haris al-Hilaliyah. Ia dilahirkan ketika bani Hasyim berada di Syi’b, tiga atau lima tahun sebelum hijrah; namun pendapat pertama lebih kuat.
Abdullah bin ‘Abbas menunaikan ibadah haji pada tahun ‘Utsman terbunuh, atas perintah ‘Utsman. Ketika terjadi perang Siffin ia berada di al-Maisarah, kemudian diangkat menjadi gubernur Basrah dan kemudian menetap disana sampi Ali terbunuh. Kemudian ia mengangkat Abdullah bin al-Haris, sebagai penggantinya, menjadi gubernur Basrah sedang ia sendiri pulang ke Hijaz. Ia wafat di Taif pada 65 H. Pendapat lain mengatakan pada 67 atau 68 H. Namun pendapat yang terakhir inilah yang dipandang shahih oleh jumhur ulama. Al-Waqidi menerangkan, tidak ada selisih pendapat di antara para imam bahwa Ibnu Abbas dilahirkan di Syi’b ketika kaum Quraisy diboikot Bani Hasyim, dan ketika Nabi wafat ia baru berusia tiga belas tahun.
Kedudukan dan Keilmuannya;
Ibnu Abbas dikenal dengan julukan Turjumaanul Qur’an (juru tafsir al-Qur’an), Habrul Ummah (tokoh ulama umat) dan Ra’isul Mufassirin (pemimpin para mufasir). Baihaqi dalam ad-Dalaa’il meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud yang mengatakan: “Juru tafsir al-Qur’an paling baik adalah Ibnu ‘Abbas.” Abu Nu’aim meriwayatkan keterangan dari Mujahid, “Adalah Ibnu ‘Abbas dijuluki orang dengan al-Bahr (lautan) karena banyak dan luas ilmunya.” Ibnu Sa’d meriwayatkan pula dengan sanad shahih dari Yahya bin Sa’id al-Anshari: Ketika Zaid bin Tsabit wafat, Abu Hurairah berkata: “Orang paling pandai umat ini telah wafat, dan semoga Allah menjadika Ibnu Abbas sebagai penggantinya.”
Dalam usia muda, Ibnu Abbas telah memperoleh kedudukan istimewa di kalangan para pembesar shahabat mengingat ilmu dan ketajaman pemahamannya, sebagai realisasi doa Rasulullah saw. kepadanya. Dalam sebuah hadits berasal dari Ibnu Abbas dijelaskan: “Nabi pernah merangkul dan mendoakannya: “Ya Allah, ajarkanlah kepadanya hikmah.”
Dalam Mu’jam al-Baghawi dan lainnya, dari Umar, Bahwa Umar mendekati Ibnu Abbas dan berkata: “Sungguh saya pernah melihat Rasulullah mendoakanmu, lalu membelai kepalamu, meludahi mulutmu dan berdoa: ‘Ya Allah, berilah ia pemahaman dalam urusan agama dan ajarkanlah kepadanya ta’wil.’”
Bukhari, melalui sanad Sa’id bin Jubair, meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia menceritakan: “Umar mengikutsertakan saya ke dalam kelompok tokoh-tokoh tua perang Badar. Nampaknya sebagian mereka merasa tidak senang lalu berkata: “Kenapa anak ini diikutsertakan ke dalam kelompok kami padahal kamipun mempunyai anak-anak yang sepadan dengannya?” Umar menjawab: “Ia memang seperti yang kamu ketahui.”
Pada suatu hari Umar memanggil mereka dan memasukkan saya bergabung dengan mereka. Saya yakin, Umar memanggilku agar bergabung itu semata-mata hanya untuk “memperlihatkan” saya kepada mereka. Ia berkata: “Bagaimana pendapat tuan-tuan mengenai firman Allah: Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan (an-Nashr: 1)?” Sebagian mereka menjawab: “Kita diperintahkan untuk memuji Allah dan memohon ampunan kepada-Nya ketika Ia memberikan pertolongan dan kemenangan kepada kita.” Sedangkan yang lain bungkam, tidak berkata apa-apa. Lalu ia bertanya kepadaku: “Begitukah pendapatmu hai Ibnu Abbas?” “Tidak,” jawabku. “Lalu bagaimana menurutmu?” tanyanya lebih lanjut. “Ayat itu,” jawabku, “adalah pertanda ajal Rasulullah saw. yang diberitahukan Allah kepadanya. Ia berfirman, apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan itu adalah pertanda ajalmu (Muhammad), maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohon ampunlah kepada-Nya. Sesungguhnya Ia Maha Penerima taubat.” Umar berkata: “Aku tidak mengetahui maksud ayat itu kecuali apa yang kamu katakan.”
Tafsirnya;
Riwayat dari Ibnu Abbas mengenai tafsir tidak terhitung banyaknya, dan apa yang dinukil darinya itu telah terhimpun dalam sebuah kitab ringkas yang campur aduk yang diberi nama “Tafsir Ibnu Abbas”. Di dalamnya terdapat bermacam-macam riwayat dan sanad yang berbeda-beda, tetapi sanad paling baik adalah yang melalui Ali bin Abi Thalhah al-Hasyimi, dari Ibnu Abbas; sanad ini dipedomani oleh Bukhari dalam kitab shahihnya. Sedangkan sanad yang cukup baik, jayyid, ialah yang melalui Qais bin Muslim al-Kufi, dari ‘Atha’ bin as-Sa’ib.
Di dalam kitab-kitab tafsir besar yang mereka sandarkan kepada Ibnu Abbas terdapat kerancuan sanad. Sanad paling rancu dan lemah adalah sanad melalui al-Kalbi dari Abu Salih. Al-Kalbi adalah Abun Nasr Muhammad bin as-Sa’ib (w.146 H). Dan jika dengan sanad ini digabungkan riwayat Muhammad bin Marwan as-Sadi as-Saghir, maka hal ini akan merupakan silsilah kadzib, mata rantai kedustaan. Demikian juga sanad Muqatil bin Sulaiman bin Bisyr al-Azdi. Hanya saja al-Kalbi lebih baik daripadanya karena pada diri Muqatil terdapat berbagai madzab atau paham yang rendah.
Sementara itu sanad adl-Dlahhak bin Muzahim al-Kufi, dari Ibnu Abbas adalah Munqati’, terputus, karena adl-Dlahhak tidak bertemu langsung dengan Ibnu Abbas. Apabila digabungkan kepadanya riwayat Bisyr bin ‘Imarah maka riwayat ini tetap lemah karena Bisyr adalah lemah. Dan jika sanad itu melalui riwayat Juwaibir, dari adl-Dlahhak, maka riwayat tersebut sangat lemah karena Juwaibir sangat lemah dan ditinggalkan riwayatnya.
Sanad melalui al-‘Aufi, dan seterusnya dari Ibnu Abbas, banyak dipergunakan oleh Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim, padahal al-‘Aufi itu seorang yang lemah meskipun lemahnya tidak keterlaluan dan bahkan terkadang dinilai hasan oleh Tirmidzi.
Dengan penjelasan tersebut dapatlah kiranya pembaca menyelidiki jalan periwayatan tafsir Ibn Abbas dan mengetahui mana jalan yang cukup baik dan diterima, serta mana pula jalan yang lemah atau ditinggalkan, sebab tidak setiap yang diriwayatkan dari Ibn Abbas itu shahih dan pasti.
Sekian.
Tinggalkan Balasan