Tafsir Al-Qur’an Surah Fushshilat (Yang Dijelaskan)
Surah Makkiyyah; Surah ke 41: 54 ayat
Wa la-ir ruji’tu ilaa rabbii innalii ‘indaHuu lalhusnaa (“Dan jika aku dikembalikan kepada Rabb-ku, maka sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan pada sisi-Nya.”) yakni jika disana ada tempat kembali, maka Rabb-ku niscaya akan berbuat baik kepadaku sebagaimana Dia berbuat baik kepadaku di dunia. Dia berangan-angan kepada Allah, padahal amalnya buruk, dan berada dalam ketidakyakinan. Allah berfirman: falanunabbi-annalladziina kafaruu bimaa ‘amiluu wa lanudziiqannaHum min ‘adzaabin ghaliidh (“Maka Kami benar-benar akan memberitakan kepada orang-orang kafir apa yang telah mereka kerjakan dan akan Kami rasakan kepada mereka adzab yang keras.”) Allah mengancam orang yang amal dan keyakinannya seperti ini dengan siksaan dan hukuman.
Kemudian Allah berfirman: wa idzaa an’amnaa ‘alal insaani a’ra-dla wana-aa bijaanibiH (“Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri.”) yakni, berpaling dari ketaatan dan sombong dari ketundukan terhadap perintah-perintah Allah, seperti firman-Nya: fatawalla birukniHi (“Maka dia [Fir’aun] berpaling [dari iman] bersama tentaranya.”)(adz-Dzaariyaat: 39)
Wa idzaa massaHusy-syarru (“Tetapi apabila ia ditimpa malapetaka.”) yaitu kesulitan. Fadzuu du’aa-il ‘ariidl (“Maka banyak berdoa.”) maksudnya memanjangkan permintaan tentang satu hal.
Al-kalaam al-‘aaridl artinya kata-kata yang panjang lafadznya dan sedikit maknanya, sedangkan al-wajiiz adalah sebaliknya, yaitu sesuatu yang sedikit lafadznya tetapi amat jelas maknanya.
“Katakanlah: ‘Bagaimana pendapatmu jika (Al Quran) itu datang dari sisi Allah, kemudian kamu mengingkarinya. siapakah yang lebih sesat daripada orang yang selalu berada dalam penyimpangan yang jauh?’ Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? Ingatlah bahwa Sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang Pertemuan dengan Tuhan mereka. ingatlah bahwa Sesungguhnya Dia Maha meliputi segala sesuatu.” (fushshilat: 52-54)
Allah Ta’ala berfirman: Qul (“Katakanlah”) wahai Muhammad, kepada orang-orang musyrik yang mendustakan al-Qur’an ini, ara-aitum ing kaana (“Bagaimana pendapatmu jika.”) al-Qur’an itu; min ‘indillaaHi tsumma kafartum biHii (“datang dari sisi Allah, kemudian kamu mengingkarinya.”) yaitu bagaimana kalian melihat kondisi kalian terhadap Kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya? untuk itu Allah berfirman: man a-dlallu mimman Huwa fii syiqaaqim ba’iid (“Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang selalu berada dalam penyimpangan yang jauh?”) yaitu dalam kekufuran, pembangkangan dan penentangan terhadap kebenaran serta berada pada jalan yang jauh dari hidayah.
Firman Allah: sanuriiHim aayaatinaa fil afaaqi wa fii anfusiHim (“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda [kekuasaan] Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri.”) yakni akan Kami tampakkan kepada mereka tanda-tanda dan bukti-bukti Kami yang menunjukkan bahwa al-Qur’an itu adalah kebenaran yang diturunkan dari sisi Allah kepada Rasulullah dengan tanda-tanda luar. Fil afaaqi (“di segenap ufuk”) berupa penaklukan dan kemenangan Islam atas berbagai negeri dan agama yang lain.
Mujahid, al-Hasan dan as-Suddi berkata: “Bukti-bukti pada diri mereka sendiri adalah perang Badar, pembebasan kota Makkah dan kejadian-kejadian lainnya yang menampakkan pertolongan Allah kepada Muhammad saw. dan para shahabatnya serta menghinakan kebathilan dan golongannya. Boleh jadi yang dimaksud adalah kondisi fisik manusia, struktur dan susunannya berupa bahan-bahan, campuran dan bentuk-bentuk aneh yang terdapat dalam dirinya, sebagaimana yang diuraikan dalam ilmu anatomi yang menunjukkan kebijakan Sang Mahapencipta Tabaaraka wa Ta’ala. Demikian pula akhlak-akhlak yang saling berbeda yang tercipta pada diri mereka, berupa baik, buruk dan lain-lain, serta seluruh aktifitas yang berada di bawah ketentuan takdir yang tidak mampu dilakukan dengan kemampuan, kekuatan dan kehebatannya, serta kekhawatirannya. Sebagaimana yang didendangkan oleh Ibnu Abid Dun-ya dalam kitabnya at-Tafakkur wa al-I’tibaar dari gurunya, Abu Ja’far al-Qurasyi, dia berkata:
“Jika engkau memandang karena ingin mengambil pelajaran,
Pandanglah dirimu.
Karena pada dirimu terdapat pelajaran.
Engkau yang hidup pagi dan petang di dalam dunia, semuanya
Mengandung pelajaran.
Engkau yang dibina di waktu kecil kemudian mandiri di waktu besar.
Engkaulah makhluk yang kematiannya diberitahukan oleh bentuk
Kejadiannya, diberitahukan oleh rambut dan kulit kasar.
Engkau yang diberi dan ditolak, tidak ada yang dapat
Menyelamatkannya walaupun penuh waspada.
Engkau yang tidak berhak memiliki sesuatu sedikitpun dan yang paling dimiliki adalah takdir.”
Firman Allah: hattaa yatabayyana laHum annaHul haqqu awalam yakfi birabbika annaHu ‘alaa kulli syai-ing qadiir (“Sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu benar. Dan apakah Rabb-mu tidak cukup [bagimu], bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.”) yakni cukuplah Allah sebagai saksi atas segala perbuatan dan perkataan hamba-Nya. dan Dia pun menjadi saksi, bahwa Muhammad adalah jujur dalam apa yang diberitahukannya tentang Kitab ini, sebagaimana Dia berfirman: “Tetapi Allah mengakui al-Qur’an yang diturunkan-Nya kepadamu. Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya.” (an-Nisaa’: 166)
Dan firman Allah: alaa innaHum fii miryatim mil liqaa-i rabbiHim (“Ingatlah, bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuan dengan Rabb mereka.”) yaitu dalam keraguan tentang terjadinya kiamat. Karena itu mereka tidak memikirkannya, tidak beramal untuk menghadapinya, padahal hal tersebut merupakan kejadian yang tidak mustahil dan tidak diragukan lagi pasti akan terjadi.
Ibnu Abid Dun-ya meriwayatkan bahwa Muhammad bin Ibrahim berkata dari Khalaf bin Tamim, dari Abdullah bin Muhammad, dari Sa’id al-Anshari, bahwa Umar bin Abdul Aziz menaiki mimbar. Setelah memuji dan mengagungkan Allah, dia berkata: “Adapun setelah itu, wahai manusia! Aku tidak menghimpun kalian untuk suatu hal yang aku akan ceritakan tentang kalian. Akan tetapi aku memikirkan tentang perkara yang akan kalian tuju. Lalu aku tahu bahwa orang yang membenarkannya adalah orang yang bodoh dan orang yang mendustakannya adalah orang yang binasa.” Lalu beliau turun.
Makna perkataan beliau: “Orang yang membenarkannya adalah orang yang bodoh.” Yaitu karena dia tidak mempersiapkan amalannya, tidak mewaspadainya dan tidak takut dengan huru-haranya. Meskipun dia membenarkan dan meyakini akan terjadinya, akan tetapi di samping itu dia tetap terlena dalam permainan, kelalaian, hawa nafsu dan dosa-dosanya. Maka dia itu adalah orang bodoh dengan pengertian ini. Al-ahmaq menurut bahasa adalah lemah akal. Sedangkan perkataannya: “Dan orang yang mendustakannya adalah orang yang binasa.” Adalah cukup jelas. wallaaHu a’lam.
Kemudian Allah Ta’ala menetapkan bahwa Dia Mahakuasa atas segala sesuatu dan sesungguhnya Dia Mahameliputi segala sesuatu. Sedangkan terjadinya hari kiamat, bagi-Nya amat mudah dan ringan. Alaa innaHuu bikulli syai-im muhiith (“Ingatlah bahwa sesungguhnya Dia Mahameliputi segala sesuatu.”) yaitu seluruh makhluk berada di bawah kekuasaan-Nya, di dalam genggaman-Nya dan di atas ilmu-Nya. Dia Mahamengatur seluruhnya dengan hukum-Nya. apasaja yang dikehendaki-Nya, pasti ada dan apa saja yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak terwujud. Tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Dia.
Sekian.