Arsip | 06.56

Tata Cara Mendengar Hadits, Mengembannya, dan Sifat-sifat Pemeliharaannya

5 Sep

‘Ulumul Hadits; Ilmu Hadits; DR.Mahmud Thahan

1. Pendahuluan.
Maksud dari kalimat kafiyatu sima’ al-hadits (tata cara mendengar hadits) adalah, hala-hal yang sudah semestinya dan disyaratkan bagi orang yang ingin mendengarkan hadits dari para gurunya (syekhnya), mendengarkan riwayatnya secara benar dan menerimanya, setelah itu disampaikan kepada orang lain. Contohnya adalah syarat-syarat usia tertentu yanag termasuk wajib atau (usia tertentu) yang tergolong anjuran (istihab).

Maksud dari kata tahammuli (penerimaan) adalah jalur-jalur pengambilan dan penerimaannya dari para guru (syekh). Sedangkan maksud dari kata bayanu dlabthihi adalah, bagaimana sang murid (pencari hadits) memelihara hadits yang telah diterimanya untuk meriwayatkan hadits tersebut kepada orang lain, dalam bentuk yang memuaskan.

Para ulama musthalah hadits memberi perhatian terhadap cabang dari ilmu hadits ini. Mereka telah meletakkan berbagai kaidah, peraturan, syarat-syarat dalam bentuknya yang amat rinci dan mengagumkan, membedakannya dengan jalur-jalur penerimaan hadits, dan membuatnya secara bertingkat-tingkat; sebagian ada yang lebih kuat dibandingkan dengan yang lainnya. Hal itu memperkuat perhatian mereka terhadap hadits-hadits Rasulullah saw. memberi jaminan yang baik dalam hal pemindahan (hadits) dari satu orang kepada orang lain, agar seorang muslim merasa tenang dengan metode yang menghantarkan hadits Rasulullah saw. kepdanya; dan yakin bahwa metode ini merupakan puncak dari keselamatan dan ketelitian.

2. Apakah orang yang menerima hadits disyaratkan muslim dan baligh. Ini merupakan pendapat yang shahih. Akan tetapi untuk menyampaikannya disyaratkan muslim dan baligh –sebagaimana yang pernah kita bahas mengenai syarat-syarat rawi. dengan demikian, riwayat hadits seorang muslim dan baligh yang diperoleh ketika sebelum masuk Islam atau sebelum baligh bisa diterima. Namun demikian, meski belum baligh mau tidak mau sudah harus mumayyiz.

Memang ada yang berpendapat bahwa untuk menerima hadits diisyaratkan sudah baligh, akan tetapi pendapat ini keliru. Alasannya, karena kaum muslimin telah menerima riawayat (hadits) dari para shahabat junior, seperti Hasan, Ibnu Abbas dan yang lainnya. Tanpa membeda-bedakan antara (hadits) yang diterimanya sebelum atau pun setelah mereka baligh.

3. Kapan dianjurkan mulai mendengar hadits?
a. Ada yang berpendapat, sejak usia tiga puluh tahun dianjurkan untuk mendengar hadits. Pendapat ini dianut oleh penduduk Syam.
b. Ada yang berpendapat, sejak usia dua puluh tahun. Ini dianut oleh penduduk Kufah.
c. Ada pula yang berpendapat sejak usia sepuluh tahun. Ini adalah pendapat penduduk Basrah.
d. Pendapat yang benar pada masa terakhir adalah, sejak usia belia tatkala bisa mendengar hadits dengan benar, karena hadits-hadits terdapat di dalam berbagai kitab.

4. Apakah pada ketentuan Umur tertentu pada anak-anak untuk mendengar hadits?
a. Sebagian ulama telah menentukan usia sejak lima tahun. Ini yang banyak diterapkan oleh para ahli hadits
b. Namun sebagian mereka juga berpendapat, yang benar adalah usia mumayyiz. Jika seorang anak mengerti suatu seruan dan bisa menjawabnya, berarti ia sudah mumayyiz dan dibenarkan untuk mendengarkan hadits. Jika hal itu tidak dijumpai pada seorang anak, maka tidak diperkenankan mendengar hadits.

Sekian.

Pemikiran Umum Tentang Buku-Buku Jarh dan Ta’dil

5 Sep

‘Ulumul Hadits; Ilmu Hadits; DR.Mahmud Thahan

Mengingat penetapan shahih dan dla’ifnya hadits didasarkan pada beberapa perkara, antara lain keadilan dan kedlabitan perawi, atau cacatnya keadilan dan kedlabitan mereka, maka para ulama telah menyusun berbagai kitab yang menjelaskna mengenai keadilan dan kedlabitan mereka, maka para ulama telah menyusun berbagai kitab yang menjelaskan mengenai keadilan dan kedlabitan para perawi, yang diambil dari para imam mu’addil (yang ahli dalam menetapkan keadilan atau cacat seseorang) dan terpercaya. Ini dikenal dengan nama at-ta’dil. Selain itu juga disusun berbagai kitab yang menjelaskan cacatnya aspek keadilan sebagian perawi, termasuk kedlabitan dan hafalan mereka, yang diambil dari para imam yang tidak memiliki sikap ta’ashub (fanatik terhadap terhadap golongan). Ini dinamakan dengan jarh. Dari sini pula kitab-kitab tersebut dinamakan dengan kitab-kitab jarh wa ta’dil.

Kitab-kitab semacam ini sangat banyak dan bermacam-macam. Ada yang menjelaskan perawi tsiqah; ada juga yang menjelaskan perawi dlaif yang cacat; dan ada juga yang menjelaskan keduanya, baik perawi yang tsiqah maupun yang dlaif. Dari sisi lain, sebagian kitab-kitab itu ada yang bersifat umum menyebutkan para perawi hadits tanpa memperhatikan lagi rijal kitabnya, atau kitab-kitab tertentu dari kitab-kitab hadits. Tapi ada pula yang khusus memuat biografi para perawi kitab tertentu dari kitab-kitab hadit.

Apa yang dilakukan oleh para ulama jarh dan ta’dil dalam menyusun kitab-kitab tersebut merupakan pekerjaan yang amat bernilai dan amat melelahkan. Mereka melakukan penelusuran yang akurat untuk mengetahui biografi seluruh rawi hadits; dan menjelaskan jarh dan ta’dil terhadap para perawi hadits –sebagai langkah awal-. Setelah itu menjelaskan siapa-siapa saja yang mengambil (hadits) darinya, dan siapa pula yang mengambil dari mereka, kemana saja mereka bepergian, kapan perjumpaan mereka dengan para syekh (guru-guru mereka), dan memastikan masa mereka hidup; semua itu dilakukan para ulama jarh dan ta’dil, dengan upaya perncapaian yang tidak pernah dilakukan dan dicapai umat-umat lain; bahkan umat yang ada pada masa sekarang ini pun tidak sanggup untuk mendekati apa yang telah disusun oleh para ulama hadits, yang telah meletakkan semacam ensiklopedi yang amat besar tentang biografi para rijal dan perawi hadits; mereka menghafalnya sepanjang hari untuk mengetahui secara sempurna para perawi hadits dan penyampaiannya. Semoga Allah swt memberikan kepada mereka pahala dan kebaikan.

Sebagian dari kitab-kitab tersebut adalah:
1. Tarikh al-Kabir, karya Bukhari. Kitab umum yang memuat para perawi tsiqah maupun yang dlaif.
2. Al-Jarhu wa at-Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim. Kitab umum yang memuat para perawi tsiqah maupun yang dlaif, menyerupai kitab sebelumnya.
3. Ats-Tsiqah, karya Ibnu Hibban. Kitab yang khusus memuat perawi tsiqah.
4. Al-Kamil fii adl-Dlu’afa, sebagaimana terpampang pada judul kitab.
5. Al-Kamil fii Asma-i Ar-Rijal, karya Abdul Ghani al-Muqaddisi. Kitab umum, tetapi khusus memuat para perawi hadits yang terdapat dalam kutub as-Sittah.
6. Mizan al-I’tidal, karya adz-Dzahabi. Kitab yang khusus memuat rawi-rawi dlaif dan matruk (yaitu setiap rawi yang dijarh, meski jarhnya tidak bisa diterima).
7. Tahdzib at-Tahdzib, karya Ibnu Hajar. Merupakan ringkasan dari kitab al-Kamil fii Asma-i ar-Rijal.

Sekian.

Tingkatan Jarh dan Ta’dil

5 Sep

‘Ulumul Hadits; Ilmu Hadits; DR.Mahmud Thahan

Ibnu Abi Hatim dalam bagian pendahuluan kitabnya al-Jarh wa at-Ta’dil telah membagi jarh dan ta’dil menjadi empat macam. Masing-masing tingkatan dijelaskan hukumnya. Lalu para ulama telah menambah lagi dengan dua tingkatan jarh dan ta’dil, sehingga menjadi enam tingkatan, yaitu:

1. Tingkatan Ta’dil dan Lafadz-lafadznya
a. Lafadz yang menunjukkan mubalaghah (kelebihan) dalam hal ketsiqahan (keteguhan), atau lafadz yang mengikuti wazan af’ala. Contohnya: fulanun ilaihi al-muntaha fii at-tatsabbut (si fulan itu paling tinggi keteguhannya), atau fulanun atsbata an-naas (si fulan itu termasuk orang yang paling teguh).
b. Lafadz yang memperkuat salah satu sifat atau dua sifat tsiqah. Seperti tsiqatun tsiqah (orang yang sangat-sangat tsiqah), atau tsiqatun tsabitun (orang yang tsiqah dan teguh).
c. Lafadz (ungkapan) yang menunjukkan ketsiqahan tanpa ada penguatan. Seperti, tsiqatun (orangnya tsiqah), atau hujjatun (orangnya argumen)
d. Lafadz yang menunjukkan ta’dil tanpa menampakkan kedlabitan. Seperti shaduqun (orangnya jujur) atau yang sama kedudukannya dengan shaduq, atau la ba’sa bihi (orangnya tidak punya masalah –cacat) yang diungkapkan selain oleh Ibnu Ma’in, karena kata la ba’sa bihi yang ditujukan terhadap rawi dan dikatakan oleh Ibnu Ma’in mempunyai arti tsiqah.
e. Lafadz yang tidak menunjukkan ketsiqahan atau tidak menunjukkan adanya jarh. Contohnya, fulanun syaikhun (si fulan itu seorang syeikh/guru) atau ruwiya ‘anhu an-naas (manusia meriwatkan darinya).

2. Hukum Tingkatan-Tingkatan Tersebut
a. Untuk tiga tingkatan yang pertama, orang-orangnya dapat dijadikan sebagai hujjah, meski sebagian dari mereka kekuatannya berbeda dengan sebagian lainnya.
b. Untuk tingkatan keempat dan kelima, orang-orangnya tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Meski demikian, haditsnya bisa dicatat dan diberitakan, walaupun mereka tergolong tingkatan yang kelima, bukan keempat. Maksudnya adalah diberitahukan kedlabitannya, untuk (riwayat) haditsnya, dibandingkan hadits-hadits yang tsiqah dan dlabith. Jika mereka sesuai haditsnya, maka haditsnya dapat dijadikan sebagai hujjah, jika tidak maka tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Jadi jika dikatakan shaduq terhadap rawinya, maka haditsnya tidak dapat dijadikan sebagai hujjah sebelum adanya penjelasan. Karena itu, adalah keliru orang-orang yang menyangka bahwa seseorang yang dikomentari dengan shaduq berarti haditsnya hasan; karena hadits hasan itu bisa dijadikan sebagai hujjah. Ini menurut pengertian para imam jarh dan ta’dil. Sedangkan al-Hafidz Ibnu Hajar, dalam kitabnya Taqrib al-Tahdzib, mempunyaik pengertian khusus terhadap kata shaduq. wallaaHu a’lam.
c. Untuk tingkatan keenam, orang-orangnya tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Meski demikian hadits-hadits mereka dicatat hanya sebagai pelajaran, bukan sebagai sebuah berita (hadits yang bisa diriwayatkan) ini karena menonjolnya ketidakdlabitan mereka.

3. Tingkatan Jarh dan Lafadz-Lafadznya
a. Lafadz yang menunjukkan lunak (yaitu yang paling ringan jarhnya). Contohnya, fulanun layyinun al-hadits (si fulan hadits-haditsnya lunak), atau fihi maqalun (di dalamnya diperbincangkan).
b. Lafadz yang menunjukkan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, atau yang serupa. Contohnya, fulanun la yuhtajju bihi (si fulan tidak bida dijadikan sebagai hujjah), atau dlaif (lemah), lahu manakir (dia haditsnya munkar)
c. Lafadz yang menunjukkan tidak bisa ditulis haditsnya, atau yang lainnya. Contohnya, fulanun laa yuktabu haditsuHu (tidak boleh meriwayatkan hadits darinya), dlaif jiddan (amat lemah), wahn bin marratin (orang yang sering melakukan persangkaan).
d. Lafadz yang menunjukkan adanya tuduhan berbuat dusta, atau yang sejenisnya. Contohnya, fulanun muhtammun bi al-kadzib (si fulan yang dituduh berbuat dusta), atau muthammun bi al-wadl’i (orang yang dituduh berbuat palsu) atau yasriqu al hadits (yang mencuri hadist), atau saqithun (gugur), atau matruk (ditinggalkan) atau laisa bi tsiqah (tidak tsiqah)
e. Lafadz yang menunjukkan adanya perbuatan dusta, atau yang semacamnya. Contohnya kadzdzab (pendusta) atau dajjal, atau wadla’ (pemalsu), atau yukadzdzibu (didustakan) atau yadl’u (pembuat hadits palsu)
f. Lafadz yang menunjukkan adanya mubalaghah (tingkatan yang amat berat) dalam perbuatan dosa. Dan ini tingkatan yang paling buruk. Contohnya fulanun akdzabu an-naas (si fulan itu orang yang paling pendusta), ilaihi muntaha fi al-kadzabi (dia orang yang menjadi pangkalnya dusta), huwa ruknu al kadzbi (dia orang yang menjadi penopang dusta)

4. Hukum Terhadap Masing-masing Tingkatan
a. Untuk dua tingkatan yang pertama, maka hadits-hadist yang diriwayatkan oleh orang-orang itu tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Akan tetapi hadits-hadits mereka bisa ditulis sebagai pelajaran saja, meski mereka itu termasuk kelompok tingkat yang kedua, bukan tingkat yang pertama.
b. Sedangkan yang termasuk empat tingkatan terakhir, hadits-hadits mereka tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, bahkan tidak boleh ditulis, dan tidak boleh dijadikan sebagai pelajaran.

Sekian.

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Naml (1)

5 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Naml (Semut)
Surah Makkiyyah; surah ke 27: 93 ayat

tulisan arab alquran surat an naml ayat 1-6bismillaHir rahmaanir rahiim
(“Dengan menyebut Nama Allah Yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang”)
“1. Thaa Siin[1090] (Surat) ini adalah ayat-ayat Al Quran, dan (ayat-ayat) kitab yang menjelaskan, 2. untuk menjadi petunjuk dan berita gembira untuk orang-orang yang beriman, 3. (yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat. 4. Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada negeri akhirat, Kami jadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka, Maka mereka bergelimang (dalam kesesatan). 5. mereka Itulah orang-orang yang mendapat (di dunia) azab yang buruk dan mereka di akhirat adalah orang-orang yang paling merugi. 6. dan Sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al qur’an dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui.” (an-Naml: 1-6)

[1090] Ialah huruf-huruf abjad yang terletak pada permulaan sebagian dari surat-surat Al Quran seperti: Alif laam miim, Alif laam raa, Alif laam miim shaad dan sebagainya. diantara Ahli-ahli tafsir ada yang menyerahkan pengertiannya kepada Allah karena dipandang Termasuk ayat-ayat mutasyaabihaat, dan ada pula yang menafsirkannya. golongan yang menafsirkannya ada yang memandangnya sebagai nama surat, dan ada pula yang berpendapat bahwa huruf-huruf abjad itu gunanya untuk menarik perhatian Para Pendengar supaya memperhatikan Al Quran itu, dan untuk mengisyaratkan bahwa Al Quran itu diturunkan dari Allah dalam bahasa Arab yang tersusun dari huruf-huruf abjad. kalau mereka tidak percaya bahwa Al Quran diturunkan dari Allah dan hanya buatan Muhammad s.a.w. semata-mata, Maka cobalah mereka buat semacam Al Quran itu.

Firman Allah: tilka aayaatu; yaitu inilah ayat-ayat: alqur-aani wa kitaabim mubiin (“Al-Qur’an dan Kitab yang menjelaskan.”) yaitu jelas dan tegas. Hudaw wa busyraa lil mu’miniin (“Untuk menjadi petunjuk dan berita gembira untuk orang-orang yang beriman.”) yaitu petunjuk dan berita gembira hanya tercapai dari al-Qur’an, yakni bagi orang yang mengimani, mengikuti dan membenarkannya serta mengamalkan isi kandungannya, mendirikan shalat wajib, membayar zakat yang fardlu dan meyakini hari akhirat, hari kebangkitan setelah kematian, balasan berbagai amal perbuatan yang baik dan yang buruk serta surga dan neraka, sebagaimana firman Allah yang artinya: “Katakanlah: ‘Al-Qur’an itu adalah penyejuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman, pada telinga mereka ada sumbatan.” Dan seterusnya (Fushshilat: 44).

Untuk itu disini Allah berfirman: innalladziina laa yu’minuuna bil aakhirati (“Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman dengan negeri akhirat.”) yakni mereka mendustakannya dan menganggap mustahil terjadinya, zayyannaa laHum a’maalaHum faHum ya’maHuun (“Kami jadikan mereka memandang indah perbuatan mereka, maka mereka bergelimang.”) yakni mereka memandang baik apa yang mereka lakukan serta Kami biarkan mereka berada dalam penyimpangan dan bergelimang dalam kesesatan. Itu semua merupakan balasan atas kedustaan mereka terhadap akhirat, sebagaimana firman Allah yang artinya: “Dan [begitu pula] Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya [al-Qur’an] pada permulaannya.” Dan seterusnya (al-An’am: 110). Ulaa-ikal ladziina laHum suu-ul ‘adzaab (“Mereka itulah orang-orang yang mendapat adzab yang buruk.”) di dunia dan di akhirat.
Wa Hum fil aakhirati Humul akhsaruun (“Dan mereka di akhirat adalah orang-orang yang paling merugi.”) yaitu tidak ada yang lebih rugi dari diri mereka sendiri dan harta-harta mereka di antara manusia yang ada di padang mahsyar kelak.

Firman Allah: wa innaka latulaqqal qur-aana mil ladun hakiimin ‘aliim (“Dan sesungguhnya engkau benar-benar diberi al-Qur’an dari sisi [Allah] Yang Mahabijaksana dan Mahamengetahui.”) yakni, wa innaka (“dan sesungguhnya engkau.”) hai Muhammad, latulaqqa (“benar-benar diberi.”) yaitu mendapat:
Alqur-aana mil ladun hakiimin ‘aliim (“al-Qur’an dari sisi [Allah] Yang Mahabijaksana dan Mahamengetahui.”) yaitu dari sisi Allah Yang Mahabijaksana lagi Mahamengetahui, yakni Mahabijaksana dalam perintah dan larangan-Nya serta Mahamengetahui seluruh perkara, baik yang besar maupun yang kecil. Berita-berita-Nya adalah kejujuran murni dan hukum-Nya adalah keadilan yang sempurna. Sebagaimana Allah berfirman: wa tammat kalimatu rabbika shidqaw wa ‘adlan (“Telah sempurna kalimat Rabbmu [al-Qur’an] sebagai kalimat yang benar dan adil.”)(al-An’am: 115)

Bersambung ke bagian 2

Tafsir Ibnu Katsir Surah Asy-Syu’araa’ (1)

5 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Asy-Syu’araa’ (Para Penya’ir)
Surah Makkiyyah; surah ke 26: 277 ayat

tulisan arab alquran surat asy syu'araa' ayat 1-9bismillaHir rahmaanir rahiim
(“Dengan menyebut Nama Allah Yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang”)
“1. Thaa Siim Miim[1073] 2. Inilah ayat-ayat Al Quran yang menerangkan. 3. boleh Jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, karena mereka tidak beriman. 4. jika Kami kehendaki niscaya Kami menurunkan kepada mereka mukjizat dari langit, Maka Senantiasa kuduk-kuduk mereka tunduk kepadanya. 5. dan sekali-kali tidak datang kepada mereka suatu peringatan baru dari Tuhan yang Maha pemurah, melainkan mereka selalu berpaling daripadanya. 6. sungguh mereka telah mendustakan (Al Quran), Maka kelak akan datang kepada mereka (kenyataan dari) berita-berita yang selalu mereka perolok-olokkan. 7. dan Apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik? 8. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu tanda kekuasaan Allah. dan kebanyakan mereka tidak beriman. 9. dan Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (asy-Syu’araa’: 1-9)

[1073] Ialah huruf-huruf abjad yang terletak pada permulaan sebagian dari surat-surat Al Quran seperti: Alif laam miim, Alif laam raa, Alif laam miim shaad dan sebagainya. diantara Ahli-ahli tafsir ada yang menyerahkan pengertiannya kepada Allah karena dipandang Termasuk ayat-ayat mutasyaabihaat, dan ada pula yang menafsirkannya. golongan yang menafsirkannya ada yang memandangnya sebagai nama surat, dan ada pula yang berpendapat bahwa huruf-huruf abjad itu gunanya untuk menarik perhatian Para Pendengar supaya memperhatikan Al Quran itu, dan untuk mengisyaratkan bahwa Al Quran itu diturunkan dari Allah dalam bahasa Arab yang tersusun dari huruf-huruf abjad. kalau mereka tidak percaya bahwa Al Quran diturunkan dari Allah dan hanya buatan Muhammad s.a.w. semata-mata, Maka cobalah mereka buat semacam Al Quran itu.

Firman Allah: tilka aayaatul kitaabil mubiin (“Inilah ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan.”) yaitu inilah ayat-ayat al-Qur’an al-Mubiin, yakni jelas, tegas dan nyata yang memisahkan antara kebenaran dengan kebathilan serta antara yang penyimpangan dan petunjuk.

Firman Allah: la’allaka baakhi-‘un (“Boleh jadi kamu akan bakhi-un.”) membinasakan; nafsaka (“dirimu sendiri”) dengan sebab antusias dan duka citamu terhadap mereka; allaa yakuunu mu’miniin (“karena mereka tidak beriman”) ini merupakah hiburan dari Allah untuk utusan-Nya Muhammad saw. tentang ketiadaan iman orang kafir yang tidak mengimaninya, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: falaa tudzHib nafsaka ‘alaiHim hasaraat (“Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka.”)(faathir: 8)

In nasya’ nunazzil ‘alaiHim minas samaa-i aayatan fadhallat a’naaquHum laHaa khaadli-‘iin (“Jika Kami kehendaki, niscaya Kami turunkan kepada mereka mukjizat dari langit, maka senantiasa kuduk-kuduk mereka tunduk kepadanya.”) yaitu seandainya Kami menghendaki, niscaya Kami menurunkan suatu tanda yang memaksamu untuk mengimaninya. Akan tetapi Kami tidak melakukannya, karena Kami tidak menghendaki dari seseorang kecuali keimanan ikhtiyari [hasil kemauan sendiri].

Wamaa ya’tiiHim min dzikrim minar rahmaani muhdatsin illaa kaanuu ‘anHu mu’ridliin (“Dan sekali-sekali tidak datang kepada mereka suatu peringatan baru dari Rabb Yang Mahapemurah, melainkan mereka selalu berpaling daripadanya.”) yaitu setiap kali suatu kitab datang dari langit, maka kebanyakan manusia berpaling darinya, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: tsumma arsalnaa rusulanaa tatraa kulla maa jaa-a ummatar rasuuluHaa kadzdzabuuH (“Kemudian Kami utus [kepada umat-umat itu] para Rasul Kami berturut-turut. Tiap-tiap seorang Rasul datang kepada umatnya, umat itu mendustakannya.”) dan seterusnya. (al-Mu’minuun: 44)

Untuk itu di dalam ayat ini Allah berfirman: faqad kadzdzabuu fasaya’tiiHim ambaa-u maa kaanuu biHii yastaHzi-uuna (“Sungguh mereka telah mendustakan [al-Qur’an], maka kelak akan datang kepada mereka [kenyataan dari] berita-berita yang selalu mereka perolok-olokkan.”) yaitu sesungguhnya mereka telah mendustakan kebenaran yang datang kepada mereka, lalu mereka mengetahui berita bohong ini setelah beberapa waktu.

Kemudian Allah mengingatkan kebesaran kekuasaan-Nya dan keagungan kemampuan-Nya serta keadaan para pembangkang yang menyelisihi Rasul-Nya dan mendustakan Kitab-Nya. Dia lah yang Mahaperkasa, Mahaagung lagi Mahakuasa yang telah menciptakan bumi dan menumbuhkan di dalamnya tumbuh-tumbuhan yang baik berupa tanam-tanaman, buah-buahan dan hewan.
Inna fii dzaalika la aayaatan (“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu tanda.”) yaitu suatu tanda atas kekuasaan Mahapencipta segala sesuatu yang telah membentangkan bumi dan meninggikan bangunan langit. Di samping itu, kebanyakan manusia tidak beriman, bahkan mereka mendustakan para Rasul dan Kitab-kitab-Nya srta melanggar perintah-Nya dan bergelimang dalam larangan-Nya.

Firman-Nya: wa inna rabbaka laHuwal ‘aziizur rahiim (“Dan sesungguhnya Rabb-mu benar-benar Dia lah Yang Mahaperkasa.”) yaitu Yang Mahaperkasa terhadap segala sesuatu, yang menundukkan dan mengalahkannya. Arrahiim (“Lagi Mahapenyayang”) kepada makhluk-Nya. Dia tidak tergesa-gesa [mengadzab] terhadap orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya, bahkan ditunda, dilihat-Nya kembali kemudian Dia menghukumnya dengan hukuman Rabb Yang Mahaperkasa lagi Mahakuasa.
Sa’id bin Jubair berkata: “Mahapenyayang terhadap orang yang bertaubat dan kembali kepada-Nya.”

Bersambung ke bagian 2

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Furqaan (1)

5 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Furqaan (Pembeda)
Surah Makkiyyah; surah ke 25:77 ayat

tulisan arab alquran surat al furqaan ayat 1-2bismillaHir rahmaanir rahiim
(“Dengan menyebut Nama Allah Yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang”)
“1. Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam, 2. yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. “ (al-Furqaan: 1-2)

Tabaaraka; adalah bentuk wazan dari “tafaa’ala” yang berasal dari kata “albarakata”, yaitu keberkahan yang tetap dan terus menerus.
Alladzii nazzalal furqaana (“Yang telah menurunkan al-Furqaan.”) nazzala adalah kata Qur’an dinamakan al-Furqaan karena ia merupakan pembeda antara haq dan bathil, antara petunjuk dan kesesatan, antara penyimpangan dan pengarahan serta antara halal dan haram.
‘alaa ‘abdiHii (“Kepada hamba-Nya”) ini merupakan sifat pujian dan sanjungan, karena dikaitkan dengan sifat kehambaannya. Sebagaimana beliau disifatkan dengan sifat tersebut dalam kejadian yang sangat mulia, yaitu pada malam Israa’ dimana Allah swt berfirman: subhaanalladzii asraa ‘abdiHii lailan (“Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam.”) Begitu juga sifat yang diberikan-Nya ketika diturunkan-Nya kitab dan datangnya malaikat kepada beliau, dimana Allah berfirman: tabaarakalladzii nazzalal furqaana ‘alaa ‘abdiHii liyakuuna lil ‘aalamiina nadziiran (“Mahasuci Allah yang telah menurunkan al-Furqaan [yaitu al-Qur’an] kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.”)(al-Furqaan: 1)

Firman-Nya: liyakuuna lil ‘aalamiina nadziiran (“Agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.”) al-Kitab yang terinci, agung, jelas dan bijak ini hanya diberikan khusus kepada beliau, dimana:
Laa ya’tiiHil baathilu mim baini aidiiHi walaa min khalfiHii tanziilum min hakiimin hamiid (“Tidak datang kepadanya kebathilan, baik dari depan maupun dari belakangnya yang diturunkan dari Rabb Yang Mahabijaksana lagi Mahaterpuji.”)(Fushshilat: 42). Dijadikan-Nya ia sebagai pembeda yang agung, dimana risalah itu sangat khusus bagi orang yang bernaung di daerah hijau [subur] dan orang yang terpencil di daerah padang pasir.

Alladzii laHuu mulkus samaawaati wal ardli wa lam yattakhidz waladaw walam yakullaHuu syariikun fil mulki (“Yang kepunyaan-Nya lah segala kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan-Nya.”) Allah sucikan diri-Nya dari memiliki anak dan sekutu. Lalu Dia mangabarkan bahwa Dia, khalaqa kullu syai-in faqaddaraHuu taqdiiran (“Telah menciptakan segala sesuatu dan menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”) artinya, segala sesuatu selain Dia adalah makhluk [yang diciptakan] dan marbub [yang berada di bawah kekuasaan-Nya]. Dia lah pencipta segala sesuatu, Rabb, Raja dan Ilahnya. Sedangkan segala sesuatu berada di bawah kekuasaan aturan, tatanan dan takdir-Nya.

tulisan arab alquran surat al furqaan ayat 3“3. kemudian mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak Kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) suatu kemanfaatanpun dan (juga) tidak Kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.” (al-Furqaan: 3)

Allah Ta’ala mengabarkan tentang kejahilan orang-orang musyrik yang menjadikan ilah-ilah selain Allah, padahal Dia lah pencipta segala sesuatu, Pemilik seluruh perkara serta Rabb, dimana apa yang dikehendaki-Nya pasti ada dan apa yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan ada. Disamping itu mereka pun beribadah kepada-Nya dan juga menyembah berhala-berhala yang tidak mampu menciptakan satu potong sayap nyamuk pun. Bahkan mereka adalah para makhluk yang diciptakan, yang tidak memiliki kekuasaan untuk menolak suatu bahaya dari dirinya serta tidak pula mendatangkan suatu manfaat. Maka bagaimana mungkin mereka dapat menguasai hamba-hamba mereka?

Wa laa yamlikuuna mautaw walaa hayaataw walaa nusyuuran (“Dan mereka tidak kuasa [pula] mematikan, menghidupkan dan tidak [pula] membangkitkan.”) artinya mereka tidak memiliki kekuasaan terhadap semua itu. Bahkan seluruhnya kembali kepada Allah Yang menghidupkan dan mematikan. Dia lah Rabb yang menghidupkan kembali seluruh makhluk, dari manusia yang pertama hingga manusia yang terakhir pada hari kiamat. Seperti firman-Nya:
Wa maa amrunaa illaa waahidatun kalamhim bil bashari (“Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata.”)(al-Qamar: 50). Dia lah Allah Yang tidak ada Ilah [yang berhak diibadahi] selain-Nya, tidak ada Rabb selain Dia dan tidak layak ibadah dipersembahkan kecuali hanya kepada-Nya. karena apa yang dikehendaki-Nya pasti ada dan apa yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak ada. Dia lah Rabb yang tidak memiliki anak, tidak memiliki orang tua, tidak memiliki tandingan, wakil, pembantu atau yang serupa, bahkan Dialah yang Mahaesa, tempat bergantung yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan serta tidak ada yang serupa dengan-Nya.

tulisan arab alquran surat al furqaan ayat 4-6“4. dan orang-orang kafir berkata: “Al Quran ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan Dia dibantu oleh kaum yang lain”; Maka Sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kezaliman dan Dusta yang besar. 5. dan mereka berkata: “Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, Maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya Setiap pagi dan petang.” 6. Katakanlah: “Al Quran itu diturunkan oleh (Allah) yang mengetahui rahasia di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Furqaan: 4-6)

Allah Ta’ala mengabarkan tentang rendahnya akal-akal yang bodoh dari orang-orang kafir yang berkomentar tentang al-Qur’an: in Haadzaa illaa ifkun (“Ini tidak lain hanyalah ifkun”) kebohongan, iftaraaHu (“Yang diada-adakan”) yang mereka maksud adalah oleh Nabi Muhammad saw. Wa a-‘aanaHu ‘alaiHi qaumun aakharuuna (“Dan dibantu oleh kaum yang lain”) artinya dia meminta bantuan kaum yang lain dalam menghimpunnya. Maka Allah berfirman: faqad jaa-uu dhulmaw wazuuran (“Maka sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kedhaliman dan dusta yang besar.”) artinya mereka sungguh telah menciptakan sebuah komentar kebathilan, padahal mereka telah mengetahui bahwa hal itu adalah sebuah kebathilan dan mereka pun mengetahui kedustaan diri-diri mereka terhadap apa yang mereka tuduhkan.

Waqaaluu asaathiirul awwaliinak tatabaHaa (“Dan mereka berkata: ‘Dongengan-dongengan orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan.”) yang mereka maksud adalah kitab-kitab kuno yang diminta untuk dicatatnya. faHiya tutlaa ‘alaiHi (“maka diimlakan kepadanya.”) yaitu dibacakan kepadanya, bukrataw wa ashiilan (“Setiap pagi dan petang.”) yaitu di awal siang [pagi] dan di akhir siang [sore]. Komentar ini karena kedunguan, kedustaan dan kebohongan mereka. Padahal setiap mereka mengetahui kebathilannya, karena secara fakta dan realita dapat diketahui bahwa Muhammad, Rasulullah saw. tidak mengenal dunia tulis menulis sejak awal hingga akhir umurnya. Beliau tumbuh di lingkungan mereka sejak awal kelahirannya hingga beliau diutus oleh Allah saat berumur 40 tahun. Mereka mengetahui tempat masuk dan keluarnya, kejujuran dan kesuciannya, kebaktian dan amanahnya serta jauhnya beliau dari kedustaan, kenistaan dan seluruh akhlak-akhlak rendah lainnya. Hingga mereka pun memberi gelar “al amiin” sejak masa kecilnya hingga diutus-Nya menjadi Rasul.
Ketika Allah telah memuliakannya dengan sesuatu yang mulia yang dari pada-Nya, merekapun tetap mengadakan permusuhan kepadanya dan melontarkan berbagai tuduhan yang sebenarnya setiap orang yang berakal mengetahui ketidak benarannya serta mereka pun memprovokasi tuduhan tersebut dengan perkataan mereka yang terkadang menyebutnya sebagai tukang sihir, terkadang ahli syair, terkadang pula dituduhnya sebagai orang gila serta terkadang dituduh pendusta.

Firman Allah: undhur kaifa dlarabuu lakal amtsaala fadlalluu falaa yastathii-‘uuna sabiilan (“Perhatikanlah bagaimana mereka membuat perbandingan-perbandingan tentangmu. Mereka tidak sanggup [mendapatkan] jalan [untuk menentang kerasulanmu]”)(al-Furqaan: 9)

Allah berfirman menjawab pembangkangan dan tuduhan yang mereka lontarkan: qul anzalaHul ladzii ya’lamus sirra fis samaawaati wal ardli (“Katakanlah: ‘al-Qur’an itu diturunkan oleh Allah yang mengetahui rahasia di langit dan di bumi.”) artinya al-Qur’an yang mencakup berbagai berita orang-orang terdahulu dan orang-orang yang kemudian adalah diturunkan sebagai berita kebenaran dan kejujuran yang sesuai dengan kenyataan, baik di masa lalu maupun di masa yang akan datang.

Alladzii ya’lamus sirra (“Yang Mahamengetahui rahasia”) artinya Allah Yang Mahamengetahui [hal-hal] yang ghaib di langit dan di bumi serta Mahamengetahui rahasia—rahasia, seperti Dia mengetahui yang tampak nyata. Firman Allah: innaHuu kaana ghafuurur rahiiman (“Sesungguhnya Dia adalah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”) adalah seruan bagi mereka untuk bertaubat dan kembali [kepada-Nya] serta kabar bagi mereka bahwa rahmat Allah amat luas dan kesabaran-Nya amat agung di mana saja yang bertaubat kepada-Nya, maka Dia pasti menerima taubatnya.

Bersambung ke bagian 2.