Arsip | 15.50

Bahaya Syirik

26 Sep

Bahaya Syirik
Sarah Rasmul Bayan Tarbiyah; Jasiman Lc.

Seorang muslim bukan hanya tidak boleh menyembah thaghut namun ia juga harus melakukan tindakan preventif-antisipatif dengan cara menghindari sejauh-jauhnya. Dalam kehidupan sehari-hari, hal-hal yang harus dijauhi biasanya adalah hal-hal yang sangat berbahaya. Thaghut harus dijauhi karena selalu mengajak kepada kemusyrikan yang sangat berbahaya. Tingkat bahayanya yang sangat besar itu dapat dipahami dari sabda Nabi yang mengungkapkan bahwa ia adalah hal yang paling beliau khawatirkan akan terjadi pada umat Islam sepeninggalannya.

“Yang paling aku khawatirkan pada kalian adalah syirik kecil.” (HR Ahmad)

Secara umum dapat dikatakan bahwa thaghut adalah segala yang melampaui batas dan segala yang disembah selain Allah (DR. Muhammad Hasan al-Himsi; Qur’anul Karim tafsir wa Bayan). Ash-Shabuni mengatakan bahwa thaghut berasal dari kata tughyan yaitu segala yang menindas manusia atau menyesatkannya dari jalan kebenaran dan petunjuk [Syafwatut Tafasir 1: 162). Thaghut itu sendiri banyak jenisnya. Al-Qur’an menyebut beberapa hal yang secara tekstual maupun kontekstual disebut sebagai thaghut, diantaranya:

1. Syaitan
“Wahai anak-anak Adam, bukankah Aku sudah mengambil sumpah kalian bahwa kalian tidak menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (Yaasin: 60)

2. Penguasa yang dhalim
“Pergilah kamu kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas.” (An-Naazi’aat: 17). Sejarah mencatat bahwa puncak kedhaliman Fir’aun adalah ketika ia mengklaim sebagai tuhan kemudian memperlakukan orang lain dengan semena-mena.

3. Hukum jahiliyyah
“Mereka menginginkan untuk berhakim kepada thaghut, padahal mereka sudah diperintahkan untuk mengingkarinya.” (an-Nisaa’: 60)

4. Perdukunan dan sihir
Ada sebagian manusia yang meminta perlindungan kepada sebagian jin sehingga mereka semakin bertambah dosa dan lalimnya. (al-Jinn: 6)

5. Berhala
“Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala, dan [dengan menyembah berhala itu] mereka tidak lain hanyalah menyembah syaitan yang membangkang.” (an-Nisaa’: 117)

Orang-orang Quraisy berkeyakinan bahwa yang mereka sembah kebanyakan dari jenis perempuan sehingga mereka menyebutnya dengan jenis perempuan, di antaranya: Latta, ‘Uzza, dan Manata.
Kaum musyrikin memperlakukan hal-hal tersebut sebagaimana perlakuan yang diberikannya kepada Allah. Inilah kemusyrikan yang al-Qur’an sebut sebagai:

1. Kedhaliman yang besar
“Janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya memperlakukan Allah adalah benar-benar kedhaliman yang besar.” (Luqman: 13)
Rasulullah saw. bersabda: “Jangan sekali-sekali berbuat dhalim, karena kedhaliman itu akan menyebabkan kegelapan di hari kiamat.”

2. Dosa yang tidak diampuni
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni semua dosa selain syirik itu.” (an-Nisaa’: 48 dan 116)

3. Dosa besar
“Barangsiapa menyekutukan Allah maka sesungguhnya ia telah melakukan dosa besar>” (an-Nisaa’: 48)

4. Kesesatan yang sangat jauh
“Barangsiapa menyekutukan Allah maka sungguh ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (an-Nisaa’: 48)

5. Diharamkan masuk surga
“Barangsiapa menyekutukan Allah maka sungguh Allah mengharamkan surga atasnya dan tempat kembalinya adalah neraka.” (al-Maidah: 72)

6. Masuk neraka
“Dan tempat kembalinya adalah neraka.” (al-Maidah: 72)
Rasulullah saw. bersabda: “Jauhilah tujuh hal yang akan membinasakan [menjerumuskan ke dalam neraka]: 1) menyekutukan Allah……

7. Menghapus Amal
“Sekiranya mereka menyekutukan Allah tentu hapuslah apa yang dahulu mereka kerjakan.” (al-An’am: 88)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Kahfi (1)

26 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Kahfi (Gua)
Surah Makkiyyah; surah ke 18: 110 ayat

Di bawah ini sedikit keterangan tentang keutamaan surah al-Kahfi dan sepuluh ayat pertama dan terakhir, yang juga merupakan pelindung dari fitnah dajjal.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Ishaq, ia menceritakan, aku pernah mendengar al-Barra’ bercerita, ada seseorang yang membaca surah al-Kahfi, sedang di dalam rumah terdapat binatang, tiba-tiba binatang itu pergi melarikan diri, lalu ia melihat dan ternyata awan atau mendung telah meliputi dirinya. Kemudian ia menceritakan hal itu kepada Nabi saw. maka beliau bersabda: “Bacalah surah al-Kahfi, karena sesungguhnya ia merupakan ketenangan yang turun bersama dengan al-Qur’an, atau turun untuk al-Qur’an.”
Demikian hadits yang diriwayatkan oleh al-bukhari dan Muslim dalam ash-Shahihain. Dan orang laki-laki yang membaca ayat tersebut adalah Usaid bin al-hudhair.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abud Darda’, dari Nabi saw. beliau bersabda: “Barangsiapa yang hafal sepuluh ayat pertama surah al-Kahfi, maka ia akan dilindungi dari [fitnah] Danjjal.” Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, an-Nasa-i, dan at-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata: “Hasan shahih.”

Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Abud Darda’, dari Nabi saw. beliau bersabda: “Barangsiapa yang membaca sepuluh ayat terakhir dari surah al-Kahfi, maka ia akan dilindungi dari fitnah Dajjal.” (HR Muslim dan an-Nasa-i)

tulisan arab alquran surat al kahfi ayat 1-5bismillaaHir rahmaanir rahiim
“Dengan menyebut Nama Allah Yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang.”
“1. segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al kitab (Al-Quran) dan Dia tidak Mengadakan kebengkokan di dalamnya; 2. sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik, 3. mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. 4. dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak.” 5. mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (al-Kahfi: 1-5)

Pada awal penafsiran telah disebutkan bahwa Allah swt. memuji diri-Nya sendiri yang suci pada pembukaan dan penutupan berbagai urusan. Sesungguhnya Dia memang Mahaterpuji dalam setiap keadaan. Segala puji hanya bagi-Nya dari awal dan akhir segala sesuatu. Oleh karena itu, Dia memuji diri-Nya sendiri atas diturunkan-Nya kitab-Nya yang mulia kepada Rasul-Nya yang mulia, Muhammad saw. Yang demikian itu merupakan nikmat yang sangat besar yang diturunkan Allah Ta’ala kepada penduduk bumi, karena dengannya mereka dikeluarkan dari kegelapan menuju sinar terang benderang, dimana dia menjadikannya sebagai kitab yang lurus tiada kebengkokan di dalamnya serta tidak terdapat penyimpangan, tetapi justru memberi petunjuk ke jalan yang lurus lagi sangat jelas, terang dan nyata, yang memberikan peringatan kepada orang-orang kafir sekaligus memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang beriman. Oleh karena itu Allah berfirman: wa lam yaj’allaHuu ‘iwajan (“dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.”) maksudnya Allah swt. tidak membuat kebengkokan, penyimpangan, dan kemiringan, tetapi Dia justru membuatnya tegak lurus.

Oleh karena itu Dia berfirman: qayyimal liyundhira ba’san syadiidam mil ladunHu (“Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksa yang sangat pedih dari sisi Allah.”) yakni bagi orang-orang yang menyalahi al-Qur’an, mendustakan serta tidak beriman kepadanya. Dia menjadikannya sebagai pemberi peringatan akan siksa yang pedih, hukuman langsung di dunia dan hukuman di akhirat kelak. Mil ladunHu (“Dari sisi-Nya”) yakni dari sisi Allah yang tidak seorang pun yang dapat memberikan siksaan seperti siksaan-Nya. Dan tidak ada pula seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya.

Firman-Nya: wa yubasy-syiral mu’miniin (“Dan membawa berita gembira kepada orang-orangyang beriman.”) yakni dengan al-Qur’an, yaitu mereka yang benar keimanannya dengan mewujudkan amal shalih. Anna laHum ajran hasanan (“Bahwa mereka akan mendapatkan balasan yang baik.”) maksudnya mereka akan diberikan balasan di sisi Allah dengan pahala yang baik. Maa kitsiina fiiHi (“Mereka kekal di dalamnya.”) bersama pahala mereka di sisi Allah, yaitu surga, yang mereka akan kekal di dalamnya; abadan (“untuk selama-lamanya”) yakni terus menerus, tidak akan lenyap dan tidak pula berakhir.

Firman Allah: wa yundziralladziina qaalut takhadzallaaHu waladan (“Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: ‘Allah mengambil seorang anak.’”) Ibnu Ishaq mengatakan: “Mereka adalah orang-orang musyrik Arab yang mengatakan: ‘Kami menyembah malaikat karena mereka adalah anak perempuan Allah.” Maa laHum biHii min ‘ilmin (“Mereka sekali-sekali tidak mempunyai pengetahuan.”) tentang ucapan itu yang sengaja mereka buat-buat dan ada-adakan. Walaa li aabaa-iHim (“begitu pula nenek moyang mereka.”) yakni, para pendahulu mereka.

Kaburat kalimatan takhruju min afwaaHiHim (“Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka.”) maksudnya mereka tidak mempunyai sandaran, kecuali ucapan mereka dan tidak pula mereka mempunyai dalil yang melandasinya, melainkan hanya kedustaan dan tindakan mereka yang mengada-ada. Oleh karen itu Allah berfirman: iy yaquuluuna illaa kadziban (“Mereka tidak mengatakan [sesuatu] kecuali dusta.”)

Muhammad bin Ishaq menyebutkan sebab turunnya surah mulia ini. Dimana dia mengemukakan dari Ibnu ‘Abbas, ia bercerita: “Kaum Quraisy pernah mengutus an-Nadhar bin al-Harits dan ‘Uqbah bin Abi Mu’ith kepada para pendeta Yahudi di Madinah, maka mereka berkata kepada kedua utusan itu: ‘Tanyakan kepada para pendeta itu tentang diri Muhammad, terangkan kepada mereka sifatnya, dan beritahukan mereka tentang ucapannya, karena sesungguhnya mereka adalah ahlul kitab pertama, mereka mempunyai apa yang tidak kita miliki, yakni ilmu pengetahuan tentang para Nabi.’ Lalu kedua utusan itupun pergi hingga akhirnya sampai di Madinah. Selanjutnya mereka bertanya kepada para pendeta Yahudi tersebut mengenai Rasulullah saw. Lalu keduanya menyampaikan masalahnya kepada mereka dan juga sebagian ucapan beliau itu. Kedua utusan itu berkata: ‘Sesungguhnya kalian adalah ahlut Taurat, kami datang kepada kalian dengan harapan kalian mau memberitahu kami tentang shahabat kami ini.’”

Lebih lanjut, Ibnu ‘Abbas menceritakan: “Maka mereka berkata kepada para utusan itu: ‘Tanyakan kepadanya [Muhammad] tentang tiga perkara yang kami memerintahkan kalian bertanya kepadanya tentang ketiganya. Jika ia memberitahukan ketiganya kepada kalian, maka ia memang seorang Nabi yang diutus. Dan jika tidak dapat menjawab ketiganya, maka ia hanyalah seorang yang banyak bicara, sehingga dengan demikian, kalian dapat melihat pendapat kalian tentang dirinya itu.
Tanyakan kepada dirinya tentang beberapa pemuda yang pergi pada masa-masa pertama, apa yang terjadi pada mereka, sesungguhnya mereka mempunyai peristiwa yang sangat aneh.
Tanyakan kepadanya tentang seorang yang berkeliling hingga sampai di belahan timur dan barat bumi ini, apa beritanya dan jawabannya tentang ruh? Jika ia memberitahukan hal itu kepada kalian, maka ia memang seorang Nabi, dan ikutilah dia. Dan jika dia tidak memberikan jawaban kepada kalian, maka sesungguhnya ia seorang yang banyak bicara. Maka berbuatlah kalian terhadap sesuatu yang tampak baik oleh kalian dari urusannya.’

Maka an-Nadhar dan ‘Uqbah berangkat sehingga menghadap kaum Quraisy seraya berkata: ‘Wahai kaum Quraisy, kami telah mendatangi kalian untu menjelaskan apa yang ada di antara kalian dengan Muhammad. Para pendeta Yahudi itu menyuruh kami menanyakan kepada Muhammad tentang beberapa hal.’

Lalu mereka memberitahukan hal itu, kemudian mereka mendatangi Rasulullah saw. Mereka bertanya: ‘Hai Muhammad, beritahukan kepada kami.’ Mereka menanyakan kepada beliau tentang apa yang diperintahkan oleh para pendeta Yahudi itu, maka Rasulullah saw. berkata kepada mereka: ‘Aku akan beritahukan apa yang kalian tanyakan itu besok hari. Dan beliau tidak mengecualikan untuk hari lainnya.’

Belum lama berselang, mereka pun bertolak meninggalkan beliau. Sedang Rasulullah saw. sendiri selama lima belas hari tinggal diam, tidak diturunkan satupun wahyu oleh Allah mengenai hal tersebut, dan tidak juga Jibril mendatangi beliau sehingga penduduk Makkah menyebarluaskan berita jahat. Mereka mengatakan: “Muhammad telah berjanji kepada kami esok hari, dan sekarang sudah lima belas hari berlalu, tetapi tidak juga memberitahu kami tentang apa yang kami tanyakan kepadanya.’

Rasulullah saw. sendiri merasa sedih karena berhentinya pengiriman wahyu kepada beliau, dan beliau juga sangat terpukul dengan ucapan penduduk Makkah. Kemudian Jibril datang kepada beliau dari Allah swt. dengan membawa surah al-Kahfi yang di dalamnya terdapat celaan kepada beliau atas kesedihannya terhadap mereka, juga memuat jawaban terhadap apa yang mereka pertanyakan mengenai para pemuda dan seorang yang berkeliling, serta firman-Nya: wa yas-aluunaka ‘anir ruuhi qulir ruuhu min amri rabbii wa maa uutiitum minal ‘ilmi illaa qaliilan (“Mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah: ‘Ruh itu termasuk urusan Rabbku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan [tentangnya] melainkan hanya sedikit.’”)(Al-Israa’: 85)

Bersambung ke bagian 2

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Israa’ (1)

26 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Israa’ (Memperjalankan di Malam Hari)
Surah Makkiyyah; surah ke 17: 111 ayat

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Lubabah, aku pernah mendengar ‘Aisyah ra. menceritakan: “Rasulullah saw. membaca surah al-Israa’ dan az-Zumar pada setiap malam.”

tulisan arab alquran surat al israa ayat 1bismillaaHir rahmaanir rahiim
“Dengan menyebut Nama Allah Yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang.”
“1. Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (al-Israa’: 1)

Allah memuji diri-Nya sendiri, mengagungkan kedudukan-Nya, karena kekuasaan-Nya ata apa yang tidak dikuasai oleh siapapun selain Dia. dengan demikian, tidak ada Ilah [yang berhak diibadahi] selain Dia dan tidak pula ada Rabb selain diri-Nya saja. alladzii asraa bi’abdiHii (“Yang telah memperjalankan hamba-Nya.”) yaitu Muhammad. Lailan (“pada suatu malam.”) yakni pada sebagian malam. Minal masjidil haraami (“Dari masjidil Haram”) yaitu masjid di Makkah. Ilal masjidil aqshaa (“Menuju ke Masjidil Aqsha.”) yaitu Baitul Maqdis yang terletak di Iliya yang merupakan pusat para Nabi dari sejak Nabi Ibrahim al-Khalil as. Oleh karena itu, mereka berkumpul di sana untuknya. Beliau [Ibrahim] menjadi imam mereka di tempat dan rumah mereka semua. Dengan demikian menunjukkan, beliau adalah seorang imam yang besar, dan pemimpin terdepan –shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada mereka-.

Dan firman-Nya: alladzii baaraknaa haulaHuu (“Yang telah Kami berkahi sekelilingnya.”) yakni berbagai tanaman dan buah-buahan. linuriyaHuu (“Agar Kami perlihatkan kepadanya.”) yakni Muhammad saw. Min aayaatinaa (“Sebagian dari tanda-tanda Kami.”) yakni kebesaran Kami. Sebagaimana yang Dia firmankan: laqad ra-aa min aayaati rabbiHil kubraa (“Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda kekuasaan Rabb-nya yang paling besar.”)(an-Najm: 18)

Firman Allah: innaHuu Huwas samii’ul bashiir (“Sesungguhnya Dia Mahamendengar lagi Mahamelihat.”) maksudnya, Mahamendengar perkataan hamba-hamba-Nya; baik yang beriman maupun yang kafir, perkataan yang membenarkan maupun yang mendustakan. Dan Mahamelihat, sehingga Dia berikan kepada masing-masing mereka segala yang menjadi haknya di dunia dan di akhirat.

Imam Abu ‘Abdullah al-Bukhari meriwayatkan dari Syuraik bin ‘Abdullah, ia bercerita, aku pernah mendengar Anas bin Malik berkata pada malam Rasulullah saw. diperjalankan dari masjidil Haram, bahwa beliau didatangi oleh tiga orang sebelum beliau diberi wahyu, yang ketika itu beliau tengah tidur di Masjidil Haram. Orang yang pertama bertanya: “Yang manakah ia [Muhammad] di antar mereka itu?” Orang yang kedua menjawab: “Ia adalah orang yang paling baik di antara mereka.” Sedangkan orang yang terakhir berkata: “Ambillah yang paling baik di antara mereka.”

Pada malam itu beliau tidak melihat mereka sehingga mereka mendatangi beliau pada malam yang lain, dimana hatinya melihat padahal matanya tidur sedang hatinya tidak tidur. Demikian halnya para nabi lainnya, mata mereka tidur tetapi hati mereka tidak pernah tidur. Ketiga orang itu tidak mengajak beliau berbicara sehingga mereka membawa beliau dan meletakkannya di dekat sumur zam-zam. Kemudian Jibril mengambil beliau dari mereka, lalu Jibril membelah tenggorokannya sampi ke perutnya. Setelah dada dan perutnya terbelah, Jibril mencucinya dengan air zam-zam dengan tangannya sehingga isi dada dan perutnya benar-benar bersih. Kemudian dibawalah wadah dari emas yang di dalamnya terdapat bejana yang juga terbuat dari emas yang dipenuhi dengan iman dan hikmah. Kemudian Jibril mengisi dadanya dengannya, demikian juga urat-urat lehernya, selanjutnya ditutup kembali. setelah itu Jibril membawanya naik ke langit dunia, lalu ia mengetuk salah satu pintunya, sehingga ia diseru oleh penghuni langit: “Siapa itu.?” “Jibril.” Jawabnya. “Siapakah bersamamu?” tanya mereka. Jibril menjawab: “”Muhammad bersamaku.” “Sudahkah dia diangkat menjadi nabi?” tanya mereka. Jibril menjawab: “Ya benar.” Mereka pun berkata: “Kalau begitu selamat datang kepadanya.”

Para penghuni langit pun merasa gembira dengan kedatangan beliau. Mereka tidak mengetahui apa yang dikehendaki Allah dengannya di bumi sehingga Allah memberitahu mereka. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Adam di langit, maka Jibril pun berkata kepadanya: “Ini adalah bapakmu, Adam. Karenanya ucapkanlah salam kepadanya.” Maka beliau mengucapkan salam kepada Adam. Dan Adam pun menjawab salam beliau. Kemudian Adam berkata kepadanya: “Selamat datang, wahai anakku, sungguh engkau anak yang menyenangkan.”

Ternyata di langit itu beliau menemukan dua sungai, maka beliau bertanya: “Sungai apa keduanya itu wahai Jibril?” Jibril menjawab: “Itu adalah sungai Nil dan sungai Furat.”

Lalu Jibril membawa beliau berjalan di langit, tiba-tiba beliau melihat sungai yang lain lagi yang di atasnya terdapat istana yang terbuat dari mutiara dan batu permata. Kemudian beliau memukulkan tangannya, ternyata [keluar] bersamanya minyak kasturi yang sangat wangi. Kemudian beliau bertanya: “Apa ini, ya Jibril?” Jibril menjawab: “Ini adalah al-Kautsar yang disembunyikan Rabb-mu untuk dirimu.”

Setelah itu Jibril membawa beliau naik ke langit tingkat kedua. Maka para malaikat disana pun berkata seperti yang dikatakan oleh para malaikat di langit tingkat pertama: “Siapa itu?” “Jibril.” Jawabnya. “Lalu siapa bersamamu itu?” tanya mereka. Jibril menjawab: “Muhammad saw.” “Sudahkah dia diangkat sebagai nabi?” sahut mereka. “Ya benar.” Papar Jibril. “Kalau begitu, selamat datang kepadanya.” Ujar mereka.

Lalu Jibril membawa beliau naik ke langit tingkat ketiga. Para malaikat di sana juga berkata seperti apa yang dikatakan oleh para malaikat yang berada di tingkat pertama dan kedua.
Lalu Jibril membawa beliau naik ke langit tingkat keempat, dan para malaikat pun mengatakan hal yang sama seperti sebelumnya.
Lalu Jibril membawa beliau naik ke langit tingkat kelima, dan para malaikat pun mengatakan hal yang sama seperti itu.
Lalu Jibril membawa beliau naik ke langit tingkat keenam, dan para malaikat pun mengatakan hal yang sama.

Kemudian Jibril membawanya ke langit tingkat tujuh, dan merekapun mengatakan hal yang serupa. Di setiap langit terdapat para Nabi yang berliau telah menyebut namanya dan aku mengingatnya, mereka itu adalah Idris berada di tingkat kedua, Harun di tingkat keempat, dan yang lainnya berada di tingkat kelima yang aku tidak hafal namanya. Dan Ibrahim berada di tingkat enam, Musa berada di tingkat ketujuh dengan diberikan keistimewaan yang pernah berbicara langsung dengan Allah. Musa berkata: “Wahai Rabb-ku, aku tidak mengira Engkau akan mengangkat seseorang di atasku.”

Selanjutnya beliau dibawa kepada (tingkat) yang lebih tinggi dari itu yang tidak diketahui kecuali oleh Allah semata, hingga akhirnya beliau sampai di Sidratul Muntaha, lalu mendekati (Allah) yang Mahaperkasa, Rabbul `Izzati, lalu bertambah lebih dekat lagi, sedang jarak beliau dengan-Nya hanya antara setengah tali busur panah dan ujungnya atau bahkan lebih dekat dari itu.

Kemudian Allah Ta’ala mewahyukan kepada beliau, yaitu perintahkan umatmu untuk mengerjakan shalat lima puluh kali dalam satu hari satu malam. Lalu beliau dibawa turun kembali hingga akhirnya sampai kepada Musa lagi, maka Musa pun menahannya seraya bertanya: “Hai Muhammad, apa yang ditetapkan Rabbmu kepadamu?” Beliau menjawab: “Dia menetapkan shalat lima puluh kali dalam satu hari satu malam.” Musa berkata: “Sesungguhnya umatmu tidak akan sanggup melakukannya. Karenanya, kembalilah dan mintalah keringanan kepada Rabbmu untukmu dan untuk umatmu!”

Maka Nabi Muhammad menoleh ke arah Jibril seolah-olah beliau meminta pendapat darinya dalam masalah itu. Kemudian Jibril pun memberikan usulan kepadanya: “Silahkan saja jika engkau menghendaki.” Maka Jibril pun membawa beliau kembali menemui Allah yang Mahaperkasa, Mahatinggi, lagi Mahasuci, lalu beliau berkata dengan tetap di tempatnya, “Wahai Rabbku, berikanlah keringanan kepada kami, karena sesungguhnya umatku tidak (akan) mampu mengerjakan hal itu.”

Kemudian Allah menguranginya sepuluh shalat dalam satu hari satu malam. Lalu beliau kembali lagi kepada Musa, dan Musa pun menahannya dan menyarankan beliau untuk kembali lagi kepada Rabbnya hingga akhirnya menjadi lima kali shalat dalam satu hari satu malam. Kemudian, Musa menahan beliau ketika sampai ketetapan lima kali shalat, dan ia berkata kepadanya: “Hai Muhammad, demi Allah, aku telah menyuruh kaumku Bani Israil untuk melakukan kurang dari jumlah itu, namun mereka lemah untuk melaksanakannya dan akhirnya meninggalkannya. Sedangkan umatmu lebih lemah secara fisik, hati, pandangan dan penglihatan. Karenanya kembalilah kepada Rabbmu sehingga Dia akan meringankannya untukmu.

Setiap saat, Rasulullah saw. menoleh ke arah Jibril untuk meminta pendapatnya, dan Jibril sendiri tidak merasa keberatan untuk itu. Kemudian Jibril mengangkatnya kembali untuk yang kelima kalinya, lalu beliau berkata: “Wahai Rabbku, sesungguhnya umatku ini kaum yang lemah fisik, hati, pendengaran, pandangan dan badan mereka, karenanya, berikanlah keringanan kepada kami.” Maka Allah Tabaaraka wa Ta ala berfirman: “Wahai Muhammad.”
“Aku memenuhi panggilan-Mu,” sahut Rasulullah. Dia berfirman: “Sesungguhnya tidak ada perubahan perkataan bagi-Ku, sebagaimana Aku telah mengharuskan kepadamu di dalam Ummul Kitab, di mana setiap satu kebaikan memperoleh sepuluh kali lipat, di mana ia tertulis lima puluh di dalam Ummul Kitab dan yang menjadi kewajibanmu adalah lima kali saja.”

Kemudian beliau kembali kepada Musa, dan Musa pun bertanya: “Bagaimana usahamu?” Beliau menjawab: “Dia telah memberikan keringanan kepada kami. Dari setiap kebaikan Dia memberi kami sepuluh kali lipat kebaikan yang serupa.” Musa berkata: “Demi Allah, sesungguhnya aku telah membujuk Bani Israil untuk melaksanakan sesuatu yang lebih rendah dari itu, tetapi mereka meninggalkannya. Karenanya, kembalilah kepada Rabbmu dan mintalah agar Dia memberikan lagi keringanan untukmu.”
Maka Rasulullah berkata: “Hai Musa, demi Allah, sesungguhnya aku malu kepada Rabbku yang Mahaperkasa lagi Mahamulia karena sudah berulang kali datang kepada-Nya.” Musa berkata: “Turunlah dengan menyebut nama Allah.”

Lebih lanjut, Anas bin Malik menceritakan: “Kemudian beliau bangun, sedang beliau berada di Masjidil Haram.” Demikianlah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Harun bin Said. Wallahu a’lam.

Mengenai hadits Syuraik, al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi mengatakan bahwa ada tambahan yang dikemukakan sendiri oleh orang yang mengatakan bahwa Rasulullah melihat Allah. Yakni, dalam ucapannya, “Kemudian beliau mendekati (Allah) yang Mahaperkasa, Rabbul `Izzati lalu bertambah lebih dekat lagi, sedang jarak beliau dengan-Nya hanya antara setengah tali busur panah dan ujungnya atau bahkan lebih dekat dari itu.”

Kemudian al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi mengatakan: “Pendapat `Aisyah dan Ibnu Mas’ud serta Abu Hurairah dalam pengertian yang mereka berikan terhadap ayat di atas bahwa beliau melihat Jibril adalah pendapat yang lebih benar.” Itu pula yang menjadi pendapat al-Baihaqi dalam masalah ini, dan itulah yang benar. Sesungguhnya Abu Dzar pernah berkata: “Ya Rasulullah, apakah engkau telah melihat Rabbmu?” Beliau menjawab: “Cahaya yang kulihat.”

Dalam riwayat yang lain disebutkan: “Aku melihat cahaya.” (Demikian yang diriwayatkan Imam Muslim.)

Dan firman Allah Ta’ala dalam surat an-Najm, ayat 8: “Kemudian ia mendekat, lalu bertambah lebih dekat lagi. ” Yakni Jibril as.
Sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab ash-Shahihain, dari `Aisyah, Ummul Mukminin, dan dari Ibnu Mas’ud. Demikian juga yang terdapat dalam kitab Shahih Muslim, dari Abu Hurairah. Tidak diketahui adanya penolakan terhadap mereka dari para sahabat mengenai penafsiran ayat di atas. Hal itu pula yang dikemukakan oleh al-Baihagi.

Dan dalam siyaq (redaksi) tersebut terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Mi’raj itu dilakukan pada malam beliau diperjalankan dari Makkah ke Baitul Maqdis. Yang dikatakan itulah yang benar yang tidak diragukan lagi.

Imam Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan dari Anas bin Malik, ia bercerita, Rasulullah saw. bersabda: “Pada malam diperjalankan, aku melewati Musa as. yang ketika itu ia tengah berdiri mengerjakan shalat di kuburnya.” Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Anas bin Malik.

Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Ibnu Syihab, ia bercerita, Abu Salamah pernah menceritakan, aku pernah mendengar Jabir bin `Abdillah menyampaikan sebuah hadits, di mana ia pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Ketika aku didustakan oleh kaum Quraisy, aku bangun dari tidur di Hijir Isma’il, lalu Allah memperlihatkan Baitul Maqdis kepadaku, maka aku segera memberitahu mereka tentang tanda-tanda Baitul Maqdis, sedang pada saat itu aku melihatnya.”
Hadits terakhir diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab shahih mereka. Wallahu a’lam.

Dan dalam kitab Shahih Muslim disebutkan sebuah hadits dari Muhammad bin Rafi’, dari Abu Hurairah, ia bercerita, Rasulullah saw. telah bersabda: “Sesungguhnya aku telah melihat pada waktu aku bermalam di Hijir Isma’il (dekat Ka’bah) tentang Israa’ ke Baitul Maqdis. Dan ketika kaum Quraisy bertanya kepadaku tentang perjalananku di malam hari itu. Mereka bertanya kepadaku tentang berbagai hal dari Baitul Maqdis yang belum jelas aku melihatnya. Hingga aku benar-benar merasa kesulitan, belum pernah aku mengalami kesulitan sesulit ini sebelumnya. Kemudian Allah membukakanku tabir untuk melihat kepadanya. Mereka tidak bertanya kepadaku tentang sesuatu melainkan aku beritahukan kepada mereka tentang Baitul Maqdis. Dan aku juga melihat diriku berada di sekumpulan para Nabi, dan ternyata Musa tengah berdiri mengerjakan shalat, ternyata ia seorang yang berambut keriting, seakan-akan ia berasal dari kalangan orang Syanu-ah (salah satu tempat di Yaman).
Sedangkan `Isa putera Maryam tengah berdiri mengerjakan shalat, dan orang yang paling mirip dengannya adalah `Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi. Dan Ibrahim tengah berdiri mengerjakan shalat, dan orang yang paling mirip dengannya adalah sahabat kalian ini, yakni Rasulullah sendiri. Kemudian tiba waktu shalat, maka aku menjadi imam mereka. Setelah selesai shalat, ada seseorang yang berkata: “Hai Muhammad, ini adalah Malik (Malaikat) penunggu Jahannam,” maka aku pun menoleh kepada-Nya, lalu Dia yang memulai memberi salam kepadaku.”

Jika diperhatikan secara seksama sekumpulan hadits-hadits, baik yang shahih, yang hasan maupun yang dha’if, maka akan tampak kandungan yang telah disepakati tentang Israa’, yaitu perjalanan Rasulullah dari Makkah ke Baitul Maqdis. Dan itu berlangsung hanya satu kali meskipun terdapat perbedaan ungkapan para perawi hadits tentang pelaksanaannya, atau ada sebagian mereka yang menambahkan atau mengurangi dalam ungkapannya. Kesalahan itu bisa saja terjadi pada siapa pun selain para Nabi.

Barangsiapa yang membuat riwayat yang bertentangan dengan yang lainnya pada batas tertentu, hingga menetapkan berbagai macam versi tentang perjalanan Israa’ Rasulullah ini, berarti ia telah melangkah terlalu jauh, berlaku janggal, serta berjalan tidak pada proporsinya, dan tidak sampai pada tujuan.

Musa bin ‘Aqabah menceritakan dari az-Zuhri: “Israa’ itu terjadi satu tahun sebelum Hijrah.” Hal yang sama juga dikemukakan oleh `Urwah. Sedangkan as-Suddi menyatakan: “Yaitu enam belas bulan sebelum hijrah ke Madinah.”

Yang benar, Rasulullah diperjalankan pada malam itu dalam keadaan terjaga dan tidak tidur, yaitu dari Makkah ke Baitul Maqdis dengan menaiki Buraq. Setelah sampai ke pintu Masjid, beliau mengikat tali binatang tunggangan beliau di pintu. Kemudian beliau masuk dan mengerjakan shalat tahiyyatul masjid dua rakaat. Setelah itu dibawakan kepada beliau Mi’raj, yaitu semacam tangga yang mempunyai anak tangga. Lalu beliau menaiki tangga itu menuju ke langit dunia, kemudian ke langit-langit lainnya yang berjumlah tujuh lapis.

Dan pada setiap langit, ia disambut oleh para penghuni di sana dan beliau mengucapkan salam kepada para Nabi yang ada di langit-langit tersebut sesuai dengan kedudukan dan derajat mereka masing-masing, hingga akhirnya beliau melewati Musa Kalimullah di langit tingkat keenam dan Ibrahim al-Khalil di langit tingkat ketujuh. Hingga akhirnya beliau sampai ke Mustawa di mana beliau mendengar suara goresan pena, yaitu pena yang dibuat mencatat semua ketentuan (takdir) yang berlaku.

Dan juga beliau melihat Sidratul Muntaha dan menutupinya dengan perintah Allah u, oleh keagungan yang sangat agung, ditutupinya dengan tirai dari emas, dan dengan berbagai macam warna, juga menutupinya oleh kepadatan Malaikat; Dan di sana beliau melihat Jibril atas bentuknya yang asli, ia mempunyai 600 sayap: Dan beliau melihat raprap (tirai) hijau yang menutupi ufuk. Beliau juga melihat Baitul Ma’mur dan Nabi Ibrahim al-Khalil yang membangun Ka’bah di bumi, beliau sedang menyandarkan punggungnya ke Baitul Ma’mur, itulah Ka’bah di langit yang setiap harinya dimasuki oleh tujuh puluh ribu Malaikat untuk beribadah di dalamnya, dan setelah itu mereka tidak kembali lagi kepadanya sampai hari Kiamat kelak.

Selain itu, Rasulullah juga melihat surga dan neraka. Dan di sana pula Allah mewajibkan kepada beliau mengerjakan shalat lima puluh kali hingga akhirnya diringankan sampai lima kali saja dalam satu hari satu malam sebagai rahmat dari-Nya sekaligus kelembutan bagi hamba-hamba-Nya. Dan demikian itu menunjukkan adanya perhatian yang besar terhadap kemuliaan dan keagungan shalat.

Setelah itu, Rasulullah turun di Baitul Maqdis dan ikut turun bersamanya para Nabi. Dan ketika masuk waktu shalat, beliau mengerjakan shalat bersama mereka di sana.

Ada kemungkinan bahwa shalat itu adalah shalat shubuh pada hari itu juga. Ada juga sebagian orang yang mengatakan bahwa beliau menjadi imam para Nabi di langit. Dan yang ada pada kejelasan beberapa riwayat menunjukkan bahwa hal itu terjadi di Baitul Magdis, tetapi sebagian riwayat menyebutkan, yaitu pada awal masuknya beliau ke Baitul Maqdis.

Lahiriyah nash menunjukkan bahwa hal itu adalah setelah kembalinya beliau ke Baitul Maqdis, karena ketika beliau berjalan melewati mereka (Para Nabi) di tempat tinggal mereka masing-masing, Jibril bertanya kepada satu per satu dari mereka seraya memperkenalkan mereka kepada beliau. Dan inilah yang lebih tepat karena pertama kali beliau diminta untuk naik ke hadirat yang Mahatinggi untuk diberikan kewajiban kepada beliau dan juga umatnya yang sudah menjadi kehendak-Nya. Dan setelah selesai dari hal itu, beliau berkumpul dengan saudara-saudara beliau dari kalangan para Nabi, lalu tampaklah kemuliaan dan keistimewaan beliau atas mereka semua dengan diajukannya beliau menjadi imam bagi mereka, dan hal itu melalui isyarat dari Jibril as. Kemudian beliau keluar dari Baitul Maqdis, lalu menaiki Buraq dan setelah itu beliau kembali lagi ke Makkah pada akhir malam. Wallahu a’lam.

Sedangkan dihidangkannya kepada beliau bejana berisi susu dan madu, atau susu dan khamr, atau susu dan air, atau kesemuanya, maka telah disebutkan bahwa ketika itu beliau berada di Baitul Maqdis, ada pula yang menyebutkan bahwa beliau berada di langit, tetapi mungkin juga di sini dan di sana, karena itu sebagai sambutan bagi seorang tamu. Wallahu a’lam.

Kemudian orang-orang berbeda pendapat mengenai perjalanan Isra’ itu, Rasulullah langsung melibatkan fisik secara keseluruhan disertai dengan ruhnya ataukah hanya dengan ruhnya saja. Mengenai yang terakhir ini terdapat dua pendapat, tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa beliau diperjalankan dengan seluruh badan dan juga ruhnya dalam keadaan terjaga, bukan tidur. Dan mereka tidak mengingkari bahwa Rasulullah sebelum itu telah melihatnya di dalam tidur, dan kemudian beliau melihatnya secara langsung dan dalam keadaan terjaga, karena beliau tidak bermimpi melainkan dilihatnya seperti remang -shubuh-.

Yang menjadi dalil hal itu adalah firman Allah Ta’ala: subhaanal ladzii asraa bi-‘abdiHii lailam minal masjidil haraami ilal masjidil aqshal ladzii baaraknaa haulaHuu (“Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram menuju keMasjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya.”)

Dengan demikian, pengucapan tasbih tersebut dilakukan saat terjadinya masalah-masalah besar. Jadi, seandainya beliau tidur, berarti hal itu bukan suatu masalah yang besar dan bukan hal yang penting. Ketika orang-orang kafir Quraisy berbodong-bondong mendustakan beliau dan ketika ada sekelompok orang yang murtad setelah keislaman mereka, maka sesungguhnya penggunaan kata “hamba” merupakan ungkapan satu kesatuan yang utuh yang mencakup ruh dan jasad, sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman: asraa bi-‘abdiHii lailan (“Yang telah menjalankan hamba-Nya pada suatu malam.”) Dan bia juga telah berfirman: wa maa ja’alnaa ru’yal latii arainaaka illaa fitnatal lin naas (“Dan Kami tidak menjadikan pandangan mata yang telah Kami perlihatkan kepadamu melainkan sebagai ujian bagi manusia.”) (QS. A1-Israa’: 60)

Ibnu `Abbas mengemukakan: “Kata ar-ru’-ya dalam ayat tersebut berarti pandangan mata, yang diperlihatkan kepada Rasulullah pada malam beliau diperjalankan. Dan pohon yang terkutuk itu adalah pohon Zaqqum.” Demikian yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari.

Allah Ta’ala juga berfirman: maa zaaqhal basharu wa maa thaghaa (“Penglihatannya [Muhammad] tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak pula melampauinya.”) (QS. An-Najm: 17)

Pandangan termasuk alat yang bersifat material, bukan ruh. Selain itu, Rasulullah juga menaiki Buraq, yakni seekor binatang yang berwarna putih yang mempunyai kecepatan sangat tinggi yang bersinar. Dan hal itu menunjukkan untuk tunggangan bagi badan, bukan untuk ruh. Karena ruh itu tidak membutuhkan tunggangan yang dinaikinya untuk bergerak. Wallahu a’lam.

Jadi, hadits yang berkenaan dengan Israa’ telah mendapat kesepakatan dari kaum muslimin, tetapi ditentang oleh kaum zindiq dan atheis. ‘Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka dan Allah telah menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir tidak menyukai.” (QS. Ash-Shaff: 8)

bersambung

Bersambung