Tafsir Al-Qur’an Surah At-Thalaaq (Talak)
Surah Madaniyyah; surah ke 65: 12 ayat
“4. dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. 5. Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu, dan Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya.” (ath-Thalaq: 4-5)
Allah berfirman seraya menjelaskan ‘iddah wanita yang sudah tidak menjalani haidh [menopouse]. Yakni wanita yang sudah berhenti haidhnya karena usianya sudah tua. ‘Iddahnya adalah tiga bulan sebagai ganti dari tiga kali quru’ [suci] bagi wanita yang masih menjalani haidh. Sebagaimana hal itu sudah dijelaskan oleh ayat al-Qur’an dalam surah al-Baqarah. Demikian juga anak wanita yang masih kecil, yang belum menjalani haidh, bahwa ‘iddahnya sama seperti ‘iddah wanita yang sudah tidak menjalani haidh, yaitu tiga bulan. Oleh karena itu Allah berfirman: wal laa-ii lam yahidln (“dan begitu [pula] perempuan-perempuan yang belum haidh.”)
Dan firman Allah: inirtabtum (“Jika kamu ragu-ragu.”) mengenai hal ini terdapa dua pendapat:
1. Pendapat pertama, merupakan pendapat sekelompok ulama salaf, seperti Mujahid, az-Zuhri dan Ibnu Zaid, yakni jika wanita-wanita itu melihat adanya darah sedangkan kalian ragu apakah itu darah haidl atau darah istihadhah.
2. Pendapat kedua, jika kalian ragu mengenai hukum ‘iddah mereka sedang kalian sendiri tidak mengetahuinya, maka ‘iddahnya adalah tiga bulan.
Demikianlah yang diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, dan itu pula yang menjadi pilihan Ibnu Jarir. Itulah yang lebih jelas pengertiannya. Hal itu didasarkan pada apa yang diriwayatkan dari Abu Kuraib dan Abu as-Sa-ib, keduanya berkata: Ibnu Idris memberitahu kami, Mutharrif memberitahu kami, dari ‘Amir bin Salim, dia berkata, Ubay bin Ka’ab berkata: “Ya Rasulallah, sesungguhnya ada beberapa kelompok wanita yang tidak disebut dalam al-Qur’an, yaitu wanita yang masih kecil, wanita tua, dan wanita yang sedang hamil.” Maka selanjutnya Allah berfirman: wal laa-ii ya-isna minal mahii-dli min nisaa-ikum inirtabtum fa’iddatuHunna tsalaatsatu asyHuriw wal laa-ii lam yahidlna wa ulaatul ahmaali ajaluHunna ay yadla’na hamlaHunna (“Dan perempuan-perempuan yang sudah tidak haidh lagi [menopouse] di antara perempuan-perempuan jika kamu ragu-ragu [tentang masa ‘iddahnya], maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan. Dan begitu [pula] perempuan-perempuan yang belum haidh. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”) demikian yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang lebih sederhana dari siyaq ini.
Firman Allah: wa ulaatul ahmaali ajaluHunna ay yadla’na hamlaHunna (“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”) Allah Ta’ala berfirman: “Dan wanita yang masih dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya adalah dengan melahirkan, meskipun jarak waktu antara perceraian atau ditinggal mati suaminya itu dengan masa melahirkan sangatlah dekat.” Demikian menurut pendapat jumhur ulama dari kalangan salaf dan Khalaf. Sebagaimana yang ditetapkan dalam nash ayat Al-Qur’an di atas dan juga sunnah Nabi saw.
Telah diriwayatkan dari ‘Ali dan Ibnu ‘Abbas, keduanya berpendapat mengenai wanita yang ditinggal wafat suaminya bahwa ‘iddahnya adalah dengan waktu yang paling lama di antara dua waktu kelahiran dan yang paling populer sebagai bentuk pengamalan ayat di atas dan yang terdapat dalam surah al-Baqarah.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan, Sa’id bin Hafsh memberitahu kami, Syaiban memberitahu kami, dari Yahya, dia bercerita, Abu Salamah memberitahuku, dia bercerita: Ada seseorang yang datang kepada Ibnu ‘Abbas dan Abu Hurairah, dia bertanya: “Berikanlah fatwa kepadaku tentang seorang wanita yang melahirkan setelah empat puluh hari suaminya meninggal.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Akhir dari dua waktu.” Aku bacakan: wa ulaatul ahmaali ajaluHunna ay yadla’na hamlaHunna (“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”)
Sedangkan Abu Hurairah berkata: “Aku bersama keponakanku [Abu Sulamah].” Kemudian Ibnu ‘Abbas mengirimkan budaknya yang bernama Kuraib kepada Ummu Salamah untuk bertanya kepadanya. Lalu Ummu salamah Salamah berkata: “Suami Subai’ah al-Aslamiyyah dibunuh sedang dia [Subai’ah] dalam keadaan hamil, lalu dia melahirkan setelah empat puluh hari setelah kematiannya. Lalu ia dilamar dan dinikahkan oleh Rasulullah saw. Dan Abu Sanabil termasuk salah seorang yang melamarnya.”
Demikianlah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari. Riwayat di atas disampaikan secara ringkas di sini. Al-Bukhari dan Muslim serta para perawi lainnya juga meriwayatkan hadits tersebut secara panjang pada pembahasan lain.
Imam Ahmad meriwayatkan dari al-Miswar bin Makhramah, bahwa Subai’ah al-Aslamiyyah ditinggal wafat oleh suaminya sedang dia dalam keadaan hamil. Lalu beberapa malam kemudian, dia melahirkan. Setelah selesai menjalani masa nifasnya, diapun dilamar. Kemudian dia minta izin kepada Rasulullah saw. untuk menikah. Maka beliaupun memberi izin kepadanya untuk menikah. Akhirnya diapun menikah.
Demikian hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam shahihnya, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa-i, Ibnu Majah melalui beberapa jalan. Sebagaimana Muslim bin al-Hajjaj meriwayatkan dari Ibnu Syihab. ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Atabah memberitahuku, ayahnya pernah menulis surat kepada ‘Umar bin ‘Abdillah bin al-Arqam az-Zuhri. Ia menyuruhnya mendatangi Subai’ah binti al-Harits al-Aslamiyyah untuk menanyakan peristiwa yang dialaminya dan apa yang dikatakan Rasulullah saw. kepadanya ketika dia minta fatwa dari beliau. Kemudian ‘Umar bin ‘Abdillah memberitahukan, Subai’ah telah memberitahunya bahwa dia berada di bawah pemeliharaan Sa’ad bin Khaulah, dia [Sa’ad] termasuk salah seorang yang ikut dalam perang Badar. Kemudian dia wafat, meninggalkan istrinya ketika sedang menunaikan haji Wada’, padahal istrinya sedang hamil. Tidak lama setelah kematian suaminya itu, istrinya melahirkan. Setelah selesai menjalani masa nifasnya, dia pun berdandan untuk menyambut lamaran. Kemudian Abu Sanabil bin Ba’kak datang menemuinya dan berkata kepadanya: “Aku tidak mengerti mengapa engkau berdandan? Apakah engkau berharap akan menikah lagi? Demi Allah, sesungguhnya engkau tidak dapat menikah lagi sehingga engkau melewati masa empat bulan sepuluh hari.” Kemudian Subai’ah berkata: “Setelah dia mengatakan hal tersebut, aku langsung menyiapkan baju pada sore hari, kemudian aku datang kepada Rasulullah saw. Lalu kutanyakan hal tersebut kepada beliau, maka beliau pun memberikan fatwa kepadaku bahwa aku boleh menikah lagi setelah aku melahirkan, dan beliau menyuruhku menikah jika sudah menemukan laki-laki yang melamar.”
Lafadz ini diriwayatkan oleh Muslim. Dan diriwayatkan oleh al-Bukhari secara ringkas.
Bersambung ke bagian 5
Tag:agama, Al-qur'an, at-talak, at-talaq, ath-thalaaq, ath-thalaq, hadits, islam, religion, riwayat, surah, tafsir, tafsir al-Qur'an, tafsir alquran, tafsir ibnu katsir