Arsip | Oktober, 2013

Prinsip Kesinambungan Tarbiyah

31 Okt

Sarah Rasmul Bayan Tarbiyah; Jasiman Lc.

Tarbiyah Islamiyah mengharuskan prinsip ini untuk menjamin kelangsungan proses Islamisasi kehidupan, yakni: kesinambungan tarbiyah. Penanaman prinsip ini seiring dengan pemahaman bahwa kita berpacu dengan waktu dan beradu dengan belenggu, rintangan serta godaan yang meliputi proses itu. Tarbiyah yang benar dan berkesinambungan akan membentuk 3 hal mendasar berikut:

IMAN YANG SEMPURNA

Tarbiyah yang Rabbani sangat dekat untuk mengantarkan seseorang memiliki keimanan yang sempurna. Keimanan kepada Allah, kepada Rasul, dan kepada Islam yang sesungguhnya tanpa keraguan dan tergoyahkan, sehingga menjadi ikatan [aqidah] yang benar-benar mendalam dana mendarah daging.
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaqhut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat dan tidak akan putus.” (al-Baqarah: 256)

CINTA YANG MENDALAM

Aqidah yang kuat itu mengikat kaum mukminin sedemikian rupa sehingga melahirkan ikatan yang kuat antara mereka untuk bersatu padu membangun dan memelihara keimanan dalam dada mereka. Maka tarbiyah mengakomodasi ikatan itu melalui proses saling mengenal, salinng memahami, dan saling menanggung untuk mewujudkan persaudaraan yang mengikat. Yakni persaudaraan yang diikat oleh ikatan yang amat kuat dan tidak akan putus.

“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali [agama] Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu [masa jahiliyah] bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, dan menjadikan kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”

PENGORBANAN YANG TULUS

Keimanan dan persaudaraan yang kuat menjadi inspirasi kaum Mukminin untuk memberikan yang terbaik untuk Allah, Rasul, Islam dan kaum Muslimin, meskipun harus berkorban harta, fikiran, bahkan jiwa sekalipun. Karena pengorbanan itu dilahirkan dari hati yang tulus ikhlas, maka menjelmalah ia sebagai prajurit Islam yang muthi’ah.
“Berangkatlah kamu dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah . yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (At-Taubah: 41).

Ketiga hal mendasar di atas, yakni iman yang sempurna, cinta yang mendalam dan pengorbanan yang tulus, diproses secara alami: pelan tapi pasti [berkesinambungan], dan bukan proses karbitan yang penuh dengan ketergesaan. Akhirnya pribadi yang berbekal tiga hal tersebut, akan menjadi hamba rabbani yang dekat denangan tuhannya.

“Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut [nya] yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah. Dan tidak lesu dan tidak [pula] menyerah [kepada musuh]. Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Ali ‘Imraan: 146)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Mu’minuun ayat 1-11

31 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Mu’minuun (Orang-orang Yang Beriman)
Surah Makkiyyah; surah ke 23: 118 ayat

tulisan arab alquran surat al mu'minuun ayat 1-11bismillaaHir rahmaanir rahiim
“Dengan menyebut Nama Allah Yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang.”
“1. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, 2. (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya, 3. dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, 4. dan orang-orang yang menunaikan zakat, 5. dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, 6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. 7. Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. 8. dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. 9. dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. 10. mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi, 11. (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya.” (al-Mu’minuun: 1-11)

Firman Allah: qad aflahal mu’minuun (“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”) maksudnya mereka telah mendapatkan kemenangan, kebahagiaan, serta memperoleh keberuntungan. Mereka itulah orang-orang Mukmin yang bersifat dengan sifat-sifat berikut ini, alladziina Hum fii shalaatiHim khaasyi’uuna (“Orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.”)

‘Ali bin Abi Thalhah menceritakan dari Ibnu ‘Abbas: khaasyi’uuna (“Orang-orang yang khusyu’”) yaitu orang-orang yang takut lagi penuh ketenangan.” Dari ‘Ali bin Abi Thalib ra: “Yang dimaksud dengan khusyu’ di sini adalah kekhusyu’an hati.” Sedangkan al-Hasan al-Bashri mengungkapkan: “Kekhusyu’an mereka itu berada di dalam hati mereka, sehingga karenanya mereka menundukkan pandangan serta merendahkan diri mereka.”
Khusyu’ dalam shalat hanya dapat dilakukan oleh orang yang mengkonsentrasikan hati padanya serta melupakan berbagai aktifitas selain shalat, serta mengutamakan shalat atas aktifitas yang lain. Pada saat itulah akan terwujud ketenangan dan kebahagiaan baginya. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw. dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan an-Nasa-i, dari Anas, dari Rasulullah saw., dimana beliau bersabda: “Diberikan kepadaku kecintaan terhadap wanita dan wangi-wangian, dan shalat dijadikan untukku sebagai amalan yang paling menyenangkan.” (HR Ahmad dan an-Nasa-i).

Firman Allah: walladziina Hum ‘anil laghwi mu’ri-dluun (“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari [perbuatan dan perkataan] yang tiada berguna.”) yakni dari kebathilan. Yang mana hal itu mencakup juga kemusyrikan, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian mereka, serta berbagai ucapan dan perbuatan yang tidak membawa faedah dan manfaat, sebagaimana yang difirmankan Allah: wa idzaa marruu bil laghwi marruu kiraaman (“Dan apabila mereka bertemu dengan [orang-orang] yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui [saja] dengan menjaga kehormatan dirinya.”) (al-Furqaan: 72)
Qatadah berkata: “Demi Allah, mereka didatangi perintah Allah yang menghentikan mereka dari hal tersebut [tak berguna].”

Firman-Nya: walladziina Hum lizzakaati faa’iluun (“dan orang-orang yang menunaikan zakat.”) mayoritas berpendapat bahwa yang dimaksud dengan zakat disini adalah zakat maal (harta), padahal ayat ini adalah Makkiyyah. Yang tampak secara lahiriyah, bahwa yang diwajibkan di Madinah adalah nishab dan ukuran yang khusus. Jika tidak demikian, berarti dasar zakat pertama diwajibkan di Makkah. Dan dalam surah al-An’am yang merupakan surah Makkiyyah, Allah Ta’ala berfirman: wa aatuu haqqaHuu yauma hashaadiHi (“Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya.”)(al-An’am: 141), bisa saja yang dimaksud dengan zakat di sini adalah penyucian jiwa dari kemusyrikan dan kotoran. Yang demikian itu sama seperti firman-Nya: qad aflaha man zakkaaHaa wa qad khaaba man dassaaHaa (“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 9-10) wallaaHu a’lam.

Firman Allah: walladziina Hum lifuruujiHim haafidhuun. Illaa ‘alaa azwaajiHim au maa malakat aimaanuHum fa innaHum ghairu maluumiina. Famanibtaghaa waraa-a dzaalika fa-ulaa-ika Humul ‘aaduun (“Dan orang-orang yang menjaga kemaluaannya, kecuali terhadap istri-istri merek atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa yang mencari dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”) yakni orang-orang yang telah memelihara kemaluan mereka dari yang haram, sehingga mereka tidak terjerumus dalam hal-hal yang dilarang oleh Allah swt. Baik itu dalam bentuk perzinaan maupun liwath [homoseksual]. Dan mereka tidak mendekati kecuali istri-istri mereka sendiri yang telah dihalalkan oleh Allah bagi mereka atau budak-budak yang mereka miliki. Barangsiapa yang mengerjakan apa yang dihalalkan oleh Allah, maka tidak ada cela dan dosa baginya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: fa innaHum ghairu maluumiin.famanibtaghaa waraa-a dzaalika (“Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu.”) maksudnya selain istri dan budak. Fa-ulaa-ika Humul ‘aaduun (“Maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”) wallaaHu a’lam.

Imam asy-Syafi’i dan orang-roang yang sejalan dengannya telah menggunakan ayat berikut ini untuk mengharamkan onani: walladziina Hum lifuruujiHim haafidhuun. Illaa ‘alaa azwaajiHim au maa malakat aimaanuHum (“Dan orang-orang yang menjaga kemaluaannya, kecuali terhadap istri-istri merek atau budak yang mereka miliki”) dia mengatakan: “Pelaku perbuatan ini di luar dari kedua bagian tersebut. Dan Allah Ta’ala berfirman: Famanibtaghaa waraa-a dzaalika fa-ulaa-ika Humul ‘aaduun (“Barangsiapa yang mencari dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”) wallaaHu a’lam.

Firman-Nya: walladziina Hum li amaanaatiHim wa ‘aHdiHim raa’uuna (“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat [yang dipikulnya] dan janjinya.”) yakni jika mereka diberi kepercayaan, maka mereka tidak akan mengkhianatinya tetapi mereka menunaikannya kepada yang berhak. Dan jika mereka berjanji atau melakukan akan perjanjian, maka mereka menepatinya, tidak seperti sifat-sifat orang munafik.

Firman Allah: walladziina Hum ‘alaa shalawaatiHim yuhaafidhuuna (“Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.”) maksudnya senantiasa mereka mengerjakannya tepat pada waktunya, sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Mas’ud, aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw., kutanyakan: “Ya Rasulallah, apakah amal perbuatan yang paling disukai Allah?” Beliau menjawab: “Shalat tepat pada waktunya.” “Lalu apa lagi?” tanyaku. Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua.” “Kemudian apa lagi?” tanyaku lebih lanjut. Maka beliau menjawab: “Jihad di jalan Allah.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab ash-Shahihain. Qatadah berkata: “Tepat pada waktunya, ruku’ dan sujudnya.”

Setelah Allah mensifati mereka dengan sifat-sifat terpuji dan berbagai perbuatan mulia, Dia berfirman: ulaa-ika Humul waaritsuuna. Alladziina yaritsuunal firdausaHum fiiHaa khaaliduuna (“Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, [yakni] yang akan mewarisi Surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.”) dalam kitab ash-Shahihain disebutkan, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda: “Jika kalian meminta surga kepada Allah, maka mintalah surga Firdaus kepada-Nya, karena sesungguhnay Firdaus adalah surga yang paling tengah-tengah dan paling tinggi. Diperlihatkan kepadaku di atasnya terdapat ‘Arsy Rabb yang Mahapemurah.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. dia bercerita, Rasulullah saw. bersabda: “Tidak seorang pun dari kalian melainkan mempunyai dua kedudukan. Satu kedudukan di surga dan satu kedudukan di neraka. jika dia mati dan masuk neraka, maka kedudukannya di surga diwarisi oleh penghuni surga. Dan itulah makna firman-Nya: ‘Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi.’” (HR Ibnu Majah)

Dan yang lebih mendalam dari hal itu adalah apa yang ditegaskan dalam shahih Muslim, dari Abu Burdah, dari Abu Musa, dari ayahnya, dari Nabi, beliau bersabda: “Pada hari kiamat kelak, akan datang beberapa orang dari kaum Muslimin dengan membawa dosa sebesar gunung, lalu Allah memberikan ampunan kepada mereka dan meletakkannya kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani.”

Dan dalam lafadz yang juga milik Muslim, Rasulullah saw. bersabda: “Jika hari kiamat tiba, Allah menyodorkan kepada setiap Muslim seorang Yahudi atau Nasrani, lalu dikatakan: ‘Inilah pembebas [tebusan]mu dari Neraka.’” (HR Muslim).

Maka ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pernah meminta kepada Abu Burdah untuk bersumpah dengan menyebut: “Demi Allah yang tiada Ilah (Yang haq) selain Dia,” sebanyak tiga kali, bahwa ayahnya pernah menyampaikan hadits dari Rasulullah saw. tentang hal itu. Maka Abu Burdah pun bersumpah kepadanya.

Perlu saya (Ibnu Katsir) katakan: “Ayat ini senada dengan firman Allah Ta’ala berikut ini, “Itulah surge yang akan Kami wariskan kepada hamba-hamba Kami yang selalu bertakwa.” (QS. Maryam: 63). Wallahu a’lam.

Bersambung ke bagian 2

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Hajj ayat 1-2

31 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Hajj (Haji)
Surah Madaniyyah; surah ke 22: 78 ayat

tulisan arab alquran surat al hajj ayat 1-2bismillaaHir rahmaanir rahiim
“Dengan menyebut Nama Allah Yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang.”
“1. Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; Sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). 2. (ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu Lihat manusia dalam Keadaan mabuk, Padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat kerasnya.” (al-Hajj: 1-2)

Allah Ta’ala berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bertakwa kepada-Nya serta mengabarkan kepada mereka tentang huru-hara, kegoncangan dan peristiwa hari kiamat yang akan mereka hadapi. Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang kegoncangan hari kiamat, apakah terjadi setelah bangkitnya manusia dari kubur mereka di hari penggiringan mereka ke tempat perkumpulan kiamat, atau hal itu hanya ungkapan tentang kegoncangan bumi sebelum bangkitnya manusia dari kubur mereka. Sebagaimana Allah berfirman: idzaa zulzilatil ardlu zilzaalaHaa wa akhrajatil ardlu atsqaalaHaa (“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya yang dahsyat. Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat yang dikandungnya.”)(al-Zalzalah: 1-2)
Allah Ta’ala berfirman: wa humilatil ardlu wal jibaalu fadukkatan dakkataw waahidatan fa yauma-idziw waqa’atil waaqi’atu (“Dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali bentur. Maka pada hari itu terjadilah hari kiamat.”) dan ayat seterusnya (al-Haaqqah: 14-15)
Allah berfirman: idzaa rujjatil ardlu rajjan. Wa bussatil jibaalu bassan (“Apabila bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyatnya. Dan gunung-gunung dihancurluluhkan sehancur-hancurnya.”) dan ayat seterusnya. (al-Waaqi’ah: 4-5). Beberapa orang berpendapat bahwa sesungguhnya keconcangan ini terjadi di akhir umur dunia dan di awal peristiwa kiamat.

Ibnu Jarir berkata dari ‘Alqamah tentang firman-Nya: inna zalzalatas saa’ati syai-un ‘adhiim (“Sesungguhnya kegoncangan hari kiamat hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar.”) yaitu sebelum hari kiamat.

Diriwayatkan pula oleh Abi Hatim dari hadits ats-Tsauri, dari Manshur dan al-A’masy, dari Ibrahim, dari ‘Alqamah dengan menyebutkan hadits tersebut. Diriwayatkan pula pendapat yang serupa dari asy-Sya’bi, Ibrahim dan ‘Abd bin ‘Umair. Abu Kadinah berkata dari ‘Atha’, bahwa ‘Amir bin asy-Sya’bi berkata tentang: yaa ayyuHan naasut taquu rabbakum inna zalzalatas saa’ati syai-un ‘adhiim (“Hai manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu; Sesungguhnya kegoncangan hari kiamat hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar.”) ia berkata: “Ini terjadi di dunia sebelum hari kiamat.” Imam Abu Ja’far bin Jarir memberikan dukungan dalil bagi orang yang berpendapat demikian dengan hadits tiupan terompet, bahwa Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya ketika Allah telah menyelsaikan penciptaan langit dan bumi, Dia menciptakan terompet dan meletakkannya di mulut Israfil dengan menengadahkan matanya ke atas ‘Arsy guna menunggu kapan diperintahkan [peniupannya].”)

Abu Hurairah berkata: “Ya Rasulullah, apakah ash-Shuur itu?” Beliau menjawab: “Sebuah terompet.” Dia bertanya lagi: “Bagaimana hakekatnya?” Beliau menjawab: “Sebuah terompet besar yang ditiup sebanyak tiga kali; pertama, tiupan al-Faza’ [kekagetan]; kedua; tiupan ash-Sha’q [kematian]; dan ketiga, tiupan kebangkitan manusia menujur Rabb seluruh alam. Allah memerintahkan pada Israfil untuk tiupan yang pertama dengan berfirman: “Tiuplah tiupan al-Faza’.” Maka kagetlah seluruh penghuni langit dan bumi kecuali orang-orang yang dikehendaki Allah, dan diperintahkan-Nya untuk melebarkan dan memanjangkannya serta dia pun tidak merasa lelah. Itulah yang difirmankan oleh Allah: wa maa yandhuru Haa-ulaa-i illaa shaihataw waahidatam maa laHaa min fawaaq (“Tidaklah yang mereka tunggu melainkan hanya satu teriakan saja yang tidak ada baginya saat berselang.”)(Shaad: 15). Lalu gunung-gunung hancur bertebaran menjadi debu dan bumi menggoncangkan penghuninya dengan amat dahsyat. Itulah yang difirmankan oleh Allah: yauma rarjufur raajifatu tatba’uHar raadifatu quluubuy yauma-idziw waajifatun (“Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan pada hari ketika tiupan pertama menggoncangkan alam, tiupan pertama itu diiringi oleh tiupan kedua. Hati manusia pada waktu itu sangat takut.”) (an-Naazi’aat: 6-8). Lalu bumi itu menjadi perahu yang hancur di lautan akibat terpaan badai yang melenyapkan para penumpangnya , juga seperti lampu-lampu yang tergantung di ‘Arsy sebagai tempat bergelantungannya ruh-ruh, lalu manusia bergelantungan di permukaannya, maka paniklah wanita-wanita yang menyusui, wanita-wanita yang hamil pun melahirkan, anak-anak kecil menjadi beruban dan syaitan-syaitan melarikan diri ke berbagai pelosok. Lalu para malaikat lari mundur mundur belakang dimana sebagian mereka memanggil sebagian yang lain. Itulah yang difirmankan oleh Allah yang artinya: “Hari panggil memanggil. Yaitu hari ketika kamu lari berpaling ke belakang, tidak ada bagimu seorang penolong pun yang menyelamatkanmu dari adzab Allah, dan siapa yang disesatkan oleh Allah niscaya tidak ada baginya seorang pun yang akan memberi petunjuk.” (al-Mu’min: 32-33)

Di saat mereka dalam keadaan demikian, tiba-tiba bumi pecah dari satu sudut ke sudut lainnya. Mereka melihat suatu peristiwa besar, sehingga kesulitan yang mereka alami saat itupun telah mampu menyiksanya. Kemudian mereka memandang ke langit, dimana bumi seperti besi yang mendidih. Kemudian pudarlah sinar matahari dan bulan serta bertebaranlah binta-bintang. Lalu bumi mencabik-cabik mereka –Rasulullah saw.- mengucapkannya: “Sedangkan orang-orang yang mati tidak mengetahui hal itu sedikitpun.” Abu Hurairah berkata: “Siapakah orang yang dikecualikan Allah dalam firman-Nya [yang artinya]: ‘Maka terkejutlah segala yang di langit dan segala yang dibumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah.’ (an-Naml: 87)?”

Beliau menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang mati syahid. Karena keterkejutan hanya sampai pada orang-orang yang hidup. Mereka adalah orang-orang yang hidup di sisi Rabb mereka dengan mendapatkan rizky dan Allah menjaga mereka dari keburukan hari tersebut serta mengamankan mereka. Itulah adzab Allah yang hanya ditimpakan kepada hamba-hamba-Nya yang jahat. Itulah yang difirmankan oleh Allah [yang artinya]: ‘Hai manusia, bertakwalah kepada Rabbmu; sesungguhnya keguncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar [dahsyat]. [ingatlah] pada hari [ketika] kamu melihat kegoncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah semua kandungan wanita yang hamil, dan kamu melihat semua manusia dalam keadaan mabuk, padahal mereka sebenarnya tidak mabuk, akan tetapi adzab Allah itu sangat keras.’” Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan lain-lain dengan uraian yang panjang sekali. wallaHu a’lam.

Sedangkan ulama lain berkata: “Bahkan itulah sebuah goncangan yang mengagetkan, getaran dan kehancurannya yang terjadi pada hari kiamat di lapangan hisab setelah bangkit dari kubur.” Ibnu Jarir memilih pendapat tersebut dan berdalil dengan beberapa hadits.

Sedangkan ulama yang lain berkata: “Bahkan, itulah sebuah goncangan yang mengagetkan, getaran dan kehancuran yang terjadi pada hari Kiamat dilapangan hisab setelah bangkit dari kubur.” Ibnu Jarir memilih pendapat tersebut dan berdalil dengan beberapa hadits.

Al-Bukhari berkata ketika menafsirkan ayat ini, bahwa Abu Sa’id berkata: Rasulullah bersabda: “Allah Ta’ala berfirman pada hari Kiamat: `Hai Adam.’ Dia menjawab: `Labbaika wa sa’daika.’ Lalu dia diseru dengan suara: `Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk mengeluarkan sekelompok dari keturunanmu ke neraka.’ Dia bertanya: `Wahai Rabbku, apakah kelompok neraka itu?’ Penyeru tadi menjawab: `Dari setiap seribu orang [Ibnu Katsir berpendapat, Penyeru tadi men-jawab]: `Terdapat 999 orang. Di saat itu wanita hamil melahirkan dan anak-anak kecil beruban (dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi adzab Allah itu sangat keras), maka hal tersebut amat memberatkan manusia, hingga wajah-wajah mereka tampak berubah.’”

Diriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda: “Di antara Ya’juj dan Ma’juj terdapat 999, dan di antara kalian terdapat satu orang. Kalian di antara manusia seperti rambut hitam di punggung sapi putih atau seperti rambut putih di punggung sapi hitam. Sesungguhnya aku berharap kalian menjadi seperempat penghuni surga [lalu kami bertakbir kemudian beliau melanjutkan] sepertiga penghuni surga [lalu kami bertakbir kemudian beliau melanjutkan] separuh penghuni surga. Lalu kami bertakbir.” (Al-Bukhari meriwayatkan tidak hanya di satu tempat, serta Muslim dan an-Nasa’i didalam Tafsirnya dari berbagai jalan yang berasal dari al-A’masy.)

Imam Ahmad berkata dari ‘Aisyah, bahwa Nabi saw. bersabda : “Sesungguhnya kalian digiring kepada Allah pada hari Kiamat dalam keadaan tanpa alas kaki, telanjang dan tidak berkhitan.” `Aisyah bertanya: “YaRasulullah, laki-laki dan wanita akan saling memandang satu dengan yang lainnya?” Beliau menjawab: “Hai `Aisyah, urusan di saat itu lebih dahsyat daripada memperhatikan mereka.” (Ditakhrij di dalam ash-Shahihain).

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa ‘Aisyah berkata: “Aku bertanya: `Ya Rasulullah, apakah seorang kekasih akan mengingat kekasihnya pada hari Kiamat?’ Beliau menjawab: ‘Hai ‘Aisyah, adapun ketika dalam tiga situasi, hal itu tidak mungkin. Ketika dalam timbangan, hingga berat atau ringan, juga tidak. Ketika ditebarkannya kitab-kitab catatan, baik diberikan pada tangan kanannya atau pada tangan kirinya, juga tidak. Sedangkan ketika leher keluar dari api neraka, lalu ia gulung dan membantai mereka, lalu leher itu berkata: `Aku diserahkan untuk tiga orang, aku diserahkan untuk tiga orang, aku diserahkan untuk tiga orang. Aku diserahkan kepada orang yang mengaku ilah lain bersama Allah, aku diserahkan kepada orang yang tidak beriman kepada hari perhitungan dan aku diserahkan kepada para raja sombong dan melampaui batas.’ Lalu, tergulunglah mereka dan dilemparkan ke dalam lembah-lembah Jahannam. Sedangkan Jahannam memiliki jembatan yang lebih halus daripada rambut dan lebih tajam daripada pedang serta di atasnya terdapat kalaaliib (pengait-pengait) dan pohon-pohon berduri yang akan mengambil siapa yang dikehendaki oleh Allah. Manusia di atasnya ada yang melewatinya seperti kilat, seperti kejapan mata, seperti angin, seperti larinya kuda pacu dan kuda terbang. Mereka dan para Malaikat berkata: `Ya Rabbi, selamatkanlah, selamatkanlah!’ Maka seorang muslim ada yang selamat, seorang muslim ada yang dicabik-cabik dan terjerembab wajahnya di neraka.’”

Hadits-hadits dan atsat-atsar tentang huru-hara hari Kiamat cukup banyak dan memiliki tempat lain untuk dibahas lebih lanjut. Untuk itu, Allah Ta’ala berfirman: inna zalzalatas saa’ati syai-un ‘adhiim (“Sesungguhnya kegoncangan hari Kiamat itu adalah suatu kejadian yang amat dahsyat,”) yaitu urusan besar, pembicaraan agung, cerita mengerikan, peristiwa dahsyat dan kejadian mengherankan.

Az-zilzal adalah sesuatu yang ketakutan dan kekagetan yang terjadi dalam jiwa. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: Hunaalikab tuliyal mu’minuuna wa zulziluu zilzaalan syadiidan (“Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan hatinya dengan goncangan yang sangat.”) (QS. Al-Ahzab:11).

Kemudian Allah Ta’ala berfirman: yauma taraunaHaa (“Dada hari kamu melihat kegoncangan itu,”) ini termasuk dhamir sya’n (yang menggambarkan keadaan).Untuk itu Dia berfirman menafsirkannya: tadzHalu kullu murdli’atin ‘ammaa ardla’at (“Lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya,”) yaitu kesibukannya terhadap huru-hara tersebut membuatnya tidak melihat lagi manusia yang amat dicintainya. Padahal ia adalah termasuk manusia yang paling lembut dan sangat perhatian terhadap kondisi anak yang disusuinya.

Untuk itu, Dia berfirman: kullum mur-dli’atin (“Semua wanita yang menyusui anaknya,”) dan tidak mengatakan “mur-dli’in” (bentuk mudzakkar). Dia berfirman: ‘ammaa ardla’at (“Dari anak yang disusuinya,”) yaitu dari anak yang disusuinya sebelum disapih.

Firman-Nya: wa tadla’u kullu dzaati hamlin hamlaHaa (“Dan gugurlah kandungan semua wanita yang hamil,”) yaitu sebelum sempurna kehamilannya karena dahsyatnya huru-hara tersebut. Wa taran naasa sukaaraa (“Dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk,”) dibaca “su”aaraa”, yaitu disebabkan kedahsyatan urusan yang menjadikan akal-akal mereka goncang dan rasio-rasio mereka lenyap. Barangsiapa yang melihat mereka, dia pasti mengira bahwa mereka dalam keadaan mabuk;

Wa maa Hum bisukaaraa wa lakinna ‘adzaaballaaHi syadiid (“Padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi adzab Allah itu sangat keras.”)

Bersambung

Sarana-Sarana Tarbiyah

30 Okt

Sarah Rasmul Bayan Tarbiyah; Jasiman Lc.

Proses dakwah Islamiyah ini tidak bisa dan tidak boleh dilakukan dengan sporadis, asal-asalan, dan tanpa alat. Begitupun dalam mentarbiyah para peserta, diperlukan beragam perangkat yang komprehensif untuk mendukung tercapainya tujuan tarbiyah. Perangkat-perangkat itu meliputi:

1. USRAH
a. Definisi usrah: wadah yang menampung kumpulan orang-orang yang terikat oleh kepentingan yang sama, yaitu: bekerja, mentarbiyah, dan mempersiapkan kekuatan untuk Islam.
b. Tujuan: tujuan usrah di antaranya adalah untuk membentuk kepribadian Islami para anggotanya dan untuk mengukuhkan makna ukhuwah yang sesungguhnya dalam diri anggota.
c. Agenda acara atau program dalam usrah antara lain:
– Evaluasi umum kondisi dan aktifitas anggota
– Mengkaji permasalahan dakwah mutakhir
– Membaca risalah dan arahan pemimpin umum usrah
– Berdiskusi dengan semangat saling menasehati dan etika penghormatan yang tinggi. Dilarang berdebat negatif dan provokatif
– Mengkaji buku-buku yang berkualitas
– Merealisasikan makna ukhuwah dalam pergaualan praktis, seperti menjenguk saudara yang sakit, mencari informasi tentang saudara absen, dan memberi perhatian kepada orang yang memutuskan hubungan.

2. KATIBAH
a. Definisi katibah: kegiatan khusus dalam mentarbiyah anggota yang bertumpu pada tarbiyah ruhani, pelembutan hati, penyucian jiwa, dan membiasakan fisik untuk melaksanakan ibadah secara umum, tahajud, dzikir, tadabur dan merenung.
b. Tujuan katibah: untuk menciptakan keharmonisan bangunan kepribadian Islam yang utuh kepada para anggota dengan menanamkan karakter pandai mendekatkan diri kepada Alah
c. Agenda katibah:
– Shalat maghrib berjamaah dilanjutkan dengan berbuka puasa
– Sambutan pembukaan dari pemimpin katibah atau yang ditunjuk oleh pemimpin
– Pembacaan al-Qur’an oleh Qari’ dan disimak oleh seluruh peserta.
– Membaca wirid al-ma’tsurat wazhifah kubra sendiri-sendiri, kecuali diagendakan secara bersama-sama
– Bangun di sebagian malam
– Shala tahajjut beberapa rekaat sebelum fajar secara munfarid dan dengan bacaan pelan yang tidak mengganggu pesertalain.
– Dzikir, istighfar dan berdoa
– Mengkaji tafsir sebagian al-Qur’an, dianjurkan yang tematik
– Pelajaran sirah nabawiyah untuk diambil ibrah dan keteladanannya
– Penjelasan sejarah dakwah sebagai bahan kajian komprehensif dakwah kontemporer
– Penjelasan tentang tarbiyah, pembinaan, dan penyiapan anggota oleh seorang anggota yang berkompeten dalam bidang tersebut.
– Sambutan penutup oleh pemimpin katibah atau yang mewakilinya
– Evaluasi katibah meliputi waktu dan tempat kegiatan, respon anggota, kedisiplinan, semangat, ketaatan, dan komitmen peserta, realisasi tujuan katibah, syarat, rukun dan etika-etikanya.

3. RIHLAH
a. Definisi rihlah: salah satu sarana tarbiyah sebagai pelengkap untuk mentarbiyah anggotanya berupa kegiatan kolektif yang berorientasi fisik dimana peserta diberi kebebasan untuk bergerak, berolahraga, berlatih, bersabar untuk berkerja sungguh-sungguh, serta menahan haus dan lapar dengan kadar yang berbeda dari usrah maupun katibah.
b. Tujuan rihlah: secara khusus adalah untuk membugarkan fisik dan psikis para anggota. Secara umum adalah untuk mempererat hubungan antar anggota, dan bersama-sama melatih pemahaman serta aplikasi hidup berjamaah dan tugas-tugas kepemimpinan.
c. Agenda acara rihlah:
– Sambutan pembuka dari pemimpin atau yang mewakilinya
– Shalat dluha dan pembacaan ayat-ayat al-Qur’an
– Acara inti rihlah yang dipersiapkan
– Forum evaluasi
– Sambutan penutup oleh pemimpin atau yang mewakilinya

4. MUKHAYAM
a. Definisi mukhayam: salah satu sarana tarbiyah berupa kegiatan semacam kepanduan untuk menyiapkan para pemuda agar menjadi team pejuang Islam, yang dari merekalah ide jihad dalam Islam dapat terwujud
b. Tujuan mukhayam lebih luas cakupannya:
– Pengumpulan orang secara umum atau anggota secara khusus dalam satu kebersamaan
– Program tarbiyah yang tidak tercakup dalam sarana-sarana tarbiyah terdahulu.
– Pelatihan yang merupakan tujuan utama mukhayam yakni latihan untuk hidup secara militer dengan segala tugas dan kewajibannya.
c. Agenda acara mukhayam
– Olahraga untuk persiapan fisik agar bugar dan segar
– Latihan kemiliteran untuk menyiapkan tugas-tugas kemiliteran
– Tarbiyah ruhiyah untuk membersihkan hati dan mendekat Allah
– Perenungan tentang jihad dan diikuti latihan kemiliteran.
– Peningkatan tsaqafah dengan diskusi bertema tertentu.
– Ta’aruf untuk memperkokoh ikatan ukhuwah peserta.
– Berlomba di arena mukhayam antar peserta untuk menampilkan kerja yang terbaik masing-masing peserta.

5. Daurah
a. Definisi daurah adalah salah satu sarana tarbiyah berupa kegiatan mengumpulkan sejumlah anggota yang relatif banyak di suatu tempat untuk mendengarkan ceramah, kajian, penelitian, dan pelatihan tentang suatu masalah, dengan mengangkat tema tertentu yang dirasa penting bagi keberlangsungan amal Islamni.
b. Tujuan: untuk mempersiapkan personil atau pemimpin dengan matang untuk menunaikan tugas-tugas aktifitas, studi, dan dialog di satu sisi, serta untuk mampu melihat sampel ideal yang docontohkan oleh para pembicara di forum daurah, di sisi yang lain.
c. Agenda acara daurah minimal harus terealisasi antara lain:
– Ceramah, komentar dan tanya jawab yang dimoderatori pakar
– Forum diskusi yang dipandu ahlinya
– Presentasi hasil kajian lalu mendiskusikannya
– Forum evaluasi oleh pimpinan daurah.
– Pelatihan kegiatan yang harus dilatihkan

6. NADWAH
a. Definisi, nadwah adalah sebuah pertemuan yang menghimpun sejumlah pakar dan para spesialis untuk mengkaji suatu tema ilmiah atau persoalan dimana setiap mereka memberikan pendapatnya dengan argumentasi dan bukti-bukti.
b. Tujuan nadwah adalah untuk membuka pengetahuan dan wawasan pemikiran
c. Agenda nadwah minimal yang harus terealisasi antara lain:
– Kecermatan memilih tema yang meyakinkan dan urgen bagi masyarakat dan perjuangan kaum muslimin.
– Memperdalam kajian terpilih dengan pemaparan yang argumentatif dan terbukti
– Memberi kesempatan dialog kepada para peserta dan hadirin
– Disiplin dalma setiap mata acaranya, dibingkai dengan penuh kesungguhan, ketenangan, dan senyuman.
– Komentar secukupnya dari pimpinan nadwah/moderator atas setiap pembicara.
– Ringkasan semua pendapat yang terlontar (juga segala yang terjadi di nadwah) didokumentasi dengan baik.

7. MUKTAMAR
a. Definisi: Muktamar adalah sebuat forum yang pesertanya bersifat umum baik personal, lembaga, maupun para pakar, untuk bermusyawarah dan mengkaji suatu persoalan serta membuat beberapa keputusan dan rekomendasi yang perlu disebarluaskan.
b. Tujuan muktamar:
– Mengumpulkan para pakar, peneliti, dan ahli ilmu tertentu
– Mengumpulkan peserta yang konsern terhadap suatu tema
– Melatih pengkaji menyiapkan analisanya secara matang.
– Melatih peserta menyiapkan pendapatnay secara matang.
– Cermat dan teliti dalam memilih tema yang urgen dan layak didiskusikan para ahli dan peserta.
– Upaya membangkitkan semangat mengkaji secara ilmiah dan obyektif terhadap suatu persoalan dakwah dan umat.
– Membangun prinsip kebebasan berpendapat dalam kajian ilmiah.
– Melatih amal jama’i.
– Mengakomodasi para ulama dan pakar untuk saling berkenalan.
– Meneguhkan ukhuwah dalam kebesamaan dalam satu tujuan melalui interaksi ilmiah suatu persoalan yang diangkat.
– Meneguhkan prinsip penting: kontinyuitas pengembangan amal Islam menghadapi berbagai perubahan zaman.
c. Agenda/ program muktamar berarti segala muatan acara muktamar secara internal berupa tata aturan, administrasi, pemilihan tema, seleksi para pembicara dan peserta, penentuan waktu dan tempat, serta sistem kepanitiaan dan rekomendasi.

&

Tujuan Tarbiyah

30 Okt

Sarah Rasmul Bayan Tarbiyah; Jasiman Lc.

Tarbiyah mempunyai tujuan agar peserta memiliki konsep keislaman yang jelas, sehingga mereka dapat berinteraksi dan bergerak dengannya agar mendapatkan pengalaman-pengalaman serta memiliki tanggung jawab dan kemampuan yang baik dalam dakwah.

1. Konsepsi Islam yang Jelas
Dengan mengikuti program-program tarbiyah, diharapkan peserta mendapatkan konsepsi keislaman yang utuh menyeluruh, gamblang, dan benar bahwa Islam adalah pedoman hidup yang mencakup dan mengatur seluruh aspek kehidupan.

2. Interaksi
Konsepsi keimanan yang diberikan dalam tarbiyah bukan sesuatu yang mati. Ia akan melahirkan reaksi dan efek positif ke dalam maupun ke luar.
– Efek ke dalam yaitu ketika konsepsi keislamannya membentuk keyakinan yang melandasi amalnya, membentuk pola fikir sehingga mewarnai pemikirannya, dan mempengaruhi perasaan yang menentukan seleranya. Efek internal ini akan melahirkan tekad yang kuat pada dirinya.
– Efek eksternal dapat dilihat dalam bentuk penampilan sehingga mempengaruhi sikap, melahirkan perilaku dan amal perbuatan. Tampilan luar ini menampakkan kepribadian dan identitas keislamannya.

3. Gerakan
Setelah kepribadian Islamnya terbentuk dan kokoh, konsepsi keislaman itu akan mendorongnya untuk melakukan ekspansi. Bentuk ekspansinya adalah peningkatan diri dalam penguasaan teori dan pengendalian mental sehingga terjadi peningkatan kemampuan. Di samping itu, ia juga akan melakukan perluasan dengan manufer, membangun kader, dan merapikan pengorganisasiannya sehingga dicapai penguasaan dakwah. Itulah gerakan yang produktif.

4. Pengalaman
Apa yang dilakukannya dalam gerakan dakwah itu memberi pengalaman operasional, sehingga dapat menyelesaikan problematika operasional yang sangat berharga. Hal ini akan memberikan kepadanya kekuatan pengalaman.

5. Tanggung jawab
Pemahaman yang baik akan menentukan tingkat interaksinya dengan dakwah, meningkatkan kinerja, menambah pengalaman, dan meningkatkan rasa tanggung jawab syar’i maupun struktural. Tanggung jawab syar’i yang lahir dari pemahamannya terhadap kukum-hukum syariat itu diberikan kepada Allah.
Adapun tanggung jawab struktural, diperoleh dari pemahamannya terhadap dakwah dan diberikan kepada jamaah. Semua itu harus selalu ada agar dapat menjawab kebutuhan-kebutuhan yang selalu berambah pada tiap-tiap tahapan dakwah.

6. Kafaah (kemampuan)
Pada akhirnya tarbiyah akan mengantar setiap kadernya untuk menjadi pelopor dalam dakwah dan keilmuan. Disamping kepeloporan di bidangnya masing-masing. Akhirnya setiap kader dakwah akan menjadi referensi bagi masyarakatnya.
Sebagaimana struktur dakwah telah memberikan pelayanan dan tarbiyah kepadanya, setelah matang ia akan melayani dakwah dan menggunakan kemampuan yang telah dicapainya itu untuk kepentingan dakwah dan strukturnya.

&

Urgensi Tarbiyah

30 Okt

Sarah Rasmul Bayan Tarbiyah; Jasiman Lc.

Tarbiyah adalah usaha sadar yang dimaksudkan untuk mengantar peserta didik ke arah kesempurnaannya. Tarbiyah memiliki urgensi yang sangat besar bagi kehidupan seseorang secara pribadi maupun sosial. Al-Qur’an menyebut umat yang tidak tarbiyah sebagai umat jahiliyah yang lekat dengan kebodohan, kehinaan, kelemahan, dan perpecahan.

KEBODOHAN

Islam melihat bahwa bodoh itu bukan hanya tidak tahu atau tidak punya ilmu. Bodoh yang sebenarnya adalah ketika tidak dapat memahami hakekat-hakekat yang ada di luar materi. Orang-orang kafir dan musyrik disebut jahili karena mereka tidak dapat memahami hak-hak Allah atas manusian padahal Allah telah memberikan segala yang ada di bumi ini untuknya. Mereka tidak dapat memahami bahwa ada kematian setelah kehidupan dan ada kehidupan setelah kematian, tatkala manusia akan mendapat balasan atas segala yang ia kerjakan di dunia ini. Bodoh juga terkadang bermakna tidak arif sehingga seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak paa tempatnya pun disebut bodoh. Rasulullah saw. mengatakan bahwa dalam diri Abu Dzar al-Ghifari ra. terdapat sifat jahiliyah. Demikian itu terjadi karena Abu Dzar memanggil Bilal bin Rabah dengan panggilan yang tidak sepantasnya.

KEHINAAN

Karena tidak dapat memahami hakekat-hakekat di luar materi, orang-orang kafir dan musyrikin kemudian mendapat kehinaan yang bertambah-tambah, mereka lebih hina dibanding binatang ternak sekalipun.

KELEMAHAN

Lemah pada kemampuan berfikirnya, lemah mencerna dan mamahami hal-hal ghaib yang ada di luar materi. Kemampuan akal itu sendiri terbatas, apabila manusia memperlakukan akalnya sebagai sesuatu yang memiliki segala kemampuan, itulah sebenarnya kelemahan.

PERPECAHAN

Hal ini disebabkan karena mereka berbeda pedoman, berbeda ideologi, berbeda visi, berbeda orientasi, dan akhirnya berbeda pula amalnya.
Kondisiyang demikian itu oleh Allah disebut sebagai kesesatan yang nyata. Untuk menyelamatkan dan mengentaskan mereka dari kesesatan itulah, Allah mengutus Rasul-Nya yang melakukan perubahan melalui proses tarbiyah secara integral. Hal ini dapat kita pahami dari tugas Rasul sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an yaitu:
– Membaca ayat-ayat-Nya
– Menyucikan jiwa yaitu membersihkannya dari sifat-sifat buruk, lantas menghiasinya dengan sifat-sifat utama.
– Mengajarkan pedoman hidup.

Kehadiran Rasulullah saw. di tengah masyrakat jahiliyah untuk mengentaskan mereka dari jahiliyah kepada Islam termasuk nikmat terbesar yang mereka terima. Demikian itu karena dengan nikmat Islam kemudian mereka mendapatkan ilmu pengetahuan, kemuliaan, kekuatan, dan persatuan. Hal ini disadari sepenuhnya oleh generasi pertama Islam sehingga mereka sangat besar komitmennya kepada agama ini. Mereka benar-benar dapat merasakan dan membedakan antara kehidupan mereka sebelum Islam dan sesudah Islam. Betapa tidak, dengan Islam itu seakan mereka terlahir kembali ke dunia sebagai masyarakat baru dengan karakteristik yang khas. Dengan tarbiyah Islamiyah itu, masyarakat yang sebelumnya disebut sebagai jahiliyah itu kemudian menjadi umat terbaik yang pernah dilahirkan untuk seluruh umat manusia. Umar bin al-Khaththab ra mengatakan: “Kita ini adalah suatu kaum yang dibesarkan oleh Allah dengan Islam. Apabila kita mencari kebesaran itu dengan selainnya, niscaya Allah menghinakan kita.”

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Hasyr (3)

30 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Hasyr (Pengusiran)
Surah Madaniyyah; surah ke 59: 24 ayat

tulisan arab alquran surat al hasyr ayat 6-77. apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.” (al-Hasyr: 7)

Firman Allah ini menjelaskan tentang makna fa’i, sifat dan hikmahnya. Fa’i adalah segala harta benda yang dirampas dari orang-orang kafir tanpa melalui peperangan dan tanpa mengerahkan kuda maupun unta. Seperti harta benda Bani Nadhir ini, dimana kaum Muslimin memperolehnya tanpa menggunakan kuda maupun unta, artinya mereka dalam hal ini tidak berperang terhadap musuh dengan menyerang atau menyerbu mereka, tetapi para musuh itu dihinggapi rasa takut yang telah Allah timpakan ke dalam hati mereka karena wibawa Rasulullah saw. Kemudian Allah memberikan harta benda yang telah mereka tinggalkan untuk Rasul-Nya. oleh karena itu beliau mengatur pembagian harta benda yang diperoleh dari Bani Nadhir sekehendak hati beliau, dengan mengembalikannya kepada kaum Muslimin untuk dibelanjakan dalam sisi kebaikan dan kemaslahatan yang telah disebutkan Allah dalam ayat-ayat ini.

Allah berfirman: wa maa afaa allaaHu ‘alaa rasuuliHii minHum (“Dan apa saja harta rampasan [fa’i] yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya [dari harta benda] mereka.”) yakni bani an-Nadhir: fa maa au jaftum ‘alaiHi min khailiw walaa rikaabiw wa laakinnallaaHa yusallithu rusulaHuu ‘alaa may yasyaa-u wallaaHu ‘alaa kulli syai-ing qadiir (“Maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan [tidak pula] seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”) artinya, Dia Mahakuasa, tidak dapat dikalahkan dan dihalangi oleh siapapun, bahkan Dia-lah Yang Mahamengalahkan segala sesuatu.

Kemudian Allah berfirman: maa afaa allaaHu ‘alaa rasuuliHii min aHlil quraa (“Apa saja harta rampasan [fa’i] yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota.”) yakni semua kota yang telah ditaklukkan secara demikian, maka hukumnya disamakan dengan hukum-hukum harta rampasan perang Bani an-Nadhir. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: falillaaHi wa lir rasuuli wa lidzil qurbaa wal yataamaa wal masaakiini wabnis sabiili (“Adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang [sedang] dalam perjalanan.”) dan seterusnya dan ayat setelahnya. Demikianlah pihak-pihak yang berhak menerima harta fa’i.

Imam Ahmad meriwayatkan, Sufyan bin ‘Amr dan Ma’mar memberitahu kami dari az-Zuhri, dari Malik bin Aus bin al-Hadatsan, dari ‘Umar ra, ia berkata: “Harta bani an-Nadhir termasuk yang telah Allah berikan kepada Rasul-Nya, dengan tidak usah terlebih dahulu dari kaum Muslimin untuk mengerahkan kuda dan untanya. Oleh karena itu, harta rampasan itu hanya khusus untuk Rasulullah, beliau nafkahkan untuk keluarganya sebagai nafkah untuk satu tahun. Dan sisanya beliau manfaatkan untuk kuda-kuda perang dan persenjataan di jalan-Nya.”

Demikian hadits yang diriwayatkan Ahmad di sini secara ringkas. Diriwayatkan juga oleh sekelompok ahli hadits di dalam kitab-kitab mereka kecuali Ibnu Majah dari hadits Sufyan, dari ‘Amr bin Dinar, dari az-Zuhri.

Dan pihak-pihak yang memperoleh bagian harta fa’i seperti yang disebutkan di dalam ayat di atas merupakan pihak-pihak yang disebutkan pada seperlima ghanimah. Dan semua sudah dijelaskan di dalam surah al-Anfaal.

Firman-Nya: kailaa yakuuna duulatam bainal aghniyaa-i mingkum (“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”) yakni Kami jadikan pihak-pihak yang memperoleh bagian harta fa’i ini agar tidak hanya dimonopoli oleh orang-orang kaya saja, lalu mereka pergunakan sesuai kehendak dan hawa nafsu mereka, serta tidak mendermakan harta tersebut kepada fakir miskin sedikitpun.

Dan firman-Nya: wa maa aataakumur rasuulu fakhudzuuHu wa maa naHaakum ‘anHu fantaHuu (“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah ia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”) yakni apapun yang beliau perintahkan kepada kalian maka kerjakanlah, dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah. Karena beliau hanyalah memerintahkan kepada kebaikan dan melarang keburukan.

Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “Allah melaknat kaum wanita yang membuat tato dan minta dibuatkan tato, yang mencabuti rambutnya, dan memperlihatkan kecantikannya, dan mereka yang merubah ciptaan Allah swt.” tatkala ucapan ini sampai kepada seorang wanita dari kalangan Bani Asad yang bernama Ummu Ya’qub, ia pun mendatanginya dan berkata: “Telah sampai kepadaku berita bahwa engkau mengatakan begini dan begitu.” Maka ‘Abdullah berkata: “Bagaimana aku tidak melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah saw. dan diperintahkan di dalam Kitabullah.” Ummu Ya’qub berkata: “Sesungguhnya aku telah membaca isi al-Qur’an, namun aku tidak mendapati apa yang engkau maksudkan.” ‘Abdullah berkata: “Bukankah engkau telah membaca firman Allah: wa maa aataakumur rasuulu fakhudzuuHu wa maa naHaakum ‘anHu fantaHuu (“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah ia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”)?” Jawab Ummu Ya’qub: “Memang.” ‘Abdullah bin Mas’ud berkata: “Rasulullah saw. telah melarang hal itu.” Ummu Ya’qub berkata: “Sesungguhnya aku kira keluargamu pun mengerjakannya.” Lebih lanjut Ibnu Mas’ud berkata: “Pergilah kamu dan lihatlah.” Maka Ummu Ya’qub pun pergi, tetapi ia tidak medapati sesuatu pun dari apa yang diperlukannya. Lalu ia berkata: “Aku sama sekali tidak mendapatkan sesuatu pun.” Ibnu Mas’ud berkata: “Jika demikian, berarti engkau tidak pernah bergaul dengan kami.”
Demikian hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab ash-Shahihain, dari hadits Sufyan ats-Tsauri.

Bersambung ke bagian 4

Ukhuwah Islamiyah

29 Okt

Sarah Rasmul Bayan Tarbiyah; Jasiman Lc.

Nikmat ukhuwah yang Allah berikan karena keimanan tidak sama dengan hubungan persaudaraan yang terjadi karena kepentingan dan hubungan darah. Persaudaraan karena kepentingan akan musnah begitu kepentingan itu tidak tercapai. Hubungan darah dan keturunan pun terbukti tidak menjamin lestarinya persaudaraan ketika hati tidak bertemu. Karena itu Imam Hasan al-Banna mengatakan dalam Risalatut Ta’alim, “Yang dikehendaki dari ukhuwah adalah terjalinnya hati dan ruh dengan jalinan aqidah karena aqidah adalah jalinan yang paling kokoh dan paling mahal.

Ukhuwah merupakan saudara iman, sedang perpecahan adalah saudara kekafiran. Awal dari kekuatan adalah kekuatan persatuan, sementara persatuan itu tidak akan ada tanpa cinta. Serendah-rendahnya cinta adalah lapang dada dan yang tertinggi adalah itsar. Al-Akh yang shalih akan melihat saudaranya lebih utama dibanding dirinya sendiri karena bila tidak bersama mereka, mereka bersama dengan yang lain. Sementara mereka, kalau tidak dengannya maka akan dengan selainnya. Sesungguhnay serigala hanya akan memakan kambing yang menyendiri. Mukmin yang satu bagi mukmin yang lain ibarat bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. Demikian seharusnya yang terjadi.

TANGGA-TANGGA UKHUWAH

Ukhuwah sebagaimana digambarkan Rasulullah saw. dan diuraikan dengan bahasa kontemporer oleh Imam Hasan al-Banna tidak akan tercapai kecuali bila melalui tahapan dan tangga-tangganya, yaitu komunikasi, baik personal maupun kolektif.

Komunikasi dapat dicapai dengan pertemuan langsung melalui silaturahim, maupun tidak langsung dengan menggunakan sarana tradisional maupun modern. Komunikasi di zaman ini memberikan kemudahan lebih besar bi meluasnya jaringan dakwah dan ukhuwah islamiyah.

1. Ta’aruf [saling mengenal]
Bukan hanya mengenalinya secara fisik, namun juga mengenali aspek pemikiran, kejiwaan, latar belakang diri dan keluarganya, kelebihan-kekurangannya, dan lain sebagainya.

2. Tafahum [saling memahami]
Kesepakatan yang harus dibangun dimulai dengan kesepahaman dalam hal-hal prinsip, lantas dilanjutkan untuk saling memahami hal-hal yang sekunder. Bila ini dapat dilakukan, akan dapat dicapai kesatuan hati, satunya pemikiran, bahkan terimplementasikan dalam bentuk kesatuan amal dalam amal jama’i.

3. Ta’aawun [saling membantu]
Mereka suka rela membantu baik dalam hal-hal yang menyangkut urusan hati, pikiran, maupun amaliyah. Ta’awun hati diwujudkan dalam bentuk empati dan kepedulian misalnya; ta’awun fikri diwujudkan dengan memberi saran dan sumbangan pemikiran; ta’awun amali dalam bentuk bantuan dan pertolongan secara materi, dan lain sebagainya.

4. Takaaful [saling sepenanggungan]
Pada tingkat ini seorang mukmin benar-benar merasakan bahwa ia adalah bagian yang tak terpisahkan dari saudaranya. Bagai jasad yang satu, bila ada bagian tubuhnya yang mengaduh seluruh jasad akan tidak dapat tidur dan merasakan demam. Pada tahab ini mereka benar-benar telah menyatu dan saling mencinta. Bila seluruh tahapan ini tercapai, insya Allah akan terwujud kesatuan barisan dan kesatuan umat.

&

Sebab-sebab Perpecahan Umat dan Solusinya

29 Okt

Sarah Rasmul Bayan Tarbiyah; Jasiman Lc.

Keislaman, keimanan, ketakwaan, persaudaraan, solidaritas, persatuan, dan kesatuan dalam jamaah adalah nikmat yang harus disyukuri. Caranya adalah dengan menjaga dan tidak merusaknya. Di antara hal yang merusak nikmat ini adalah perpecahan. Sesungguhnya perpecahan tidak terjadi dengan sendirinya. Ada faktor-faktor yang menyebebabkannya, di antaranya adalah:

1. Melanggar janji. Janji yang dimaksud adalah janji untuk berpegang pada tali Allah berupa keimanan yang diikrarkan, bahkan sejak manusia belum terlahirkan ke muka bumi. Janji untuk beriman; berpegang pada kitab suci-Nya; mengikuti dan mendukung Rasul-Nya; serta memperjuangkan dan menegakkan syariat-Nya di muka bumi. Pelanggaran terhadap janji ini akan mengundang kutukan Allah dan mengerasnya hati.

2. La’natullah (kutukan Allah). Rahmat Allah luas dibanding kemurkaan-Nya. kutukan tidak akan terjadi kecuali karena dosa yang melampaui batas kewajaran.

3. Kekerasan Hati. Pelanggaran janji dan laknat Allah menyebabkan hati mengeras. Bila hati sudah mengeras, ia akan lebih keras dibanding batu yang paling keras sekalipun. Rasulullah saw. mengatakan kekerasan hati merupakan satu hal yang menyebabkan kesengsaraan.

4. Mempermainkan manhaj (Pedoman). Di antara bentuk-bentuk permainan terhadap pedoman yang telah dilakukan oleh Bani Israil adalah mengganti hukum-hukum yang mereka pandang tidak menguntungkan dengan hukum yang selaras dengan nafsu. Di samping itu mereka sangat diskriminatif.

5. Melupakan minhaj. Kebiasaan mempermainkan minhaj menyebabkan mereka tidak sungkan-sungkan untuk melupakannya sama sekali.

6. Pengkhianatan. Akhirnya, mereka terang-terangan dalam menghianati amanah ilahiyah. Pengkhianatan ini menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka. Bila ini terjadi, tidak ada lagi kepercayaan terhadap sesama dan pada saat itulah terjadi perpecahan.

Solusi dari permasalahan ini adalah melakukan usaha prefentif agar sebab-sebab perpecahan itu tidak terjadi. Yaitu dengan melakukan:

a. Menepati janji. Janji kepada Allah maupun kepada sesama manusia wajib hukumnya untuk ditepati. Bila ini dilakukan Allah akan mencurahkan rahmat dan keberkahan kepada mereka hingga hati pun menjadi lembut.
b. Komitmen dengan minhaj
c. Selalu mengingat minhaj dan tidak melupakannya,
d. Amanah terhadap tugas yang dibebankan.

Setiap individu yang hidup dalam masyarakat yang selalu menepati janji, komitmen terhadap minhaj Allah, setiap pada kesepakatan dan amanah, akan merasakan aman dan percaya kepada sesamanya. Suasana itulah yang menyebabkan mereka saling menyayangi. Hubungan terasa tiada beban dan rasa sungkan seakan-akan tiada jarak yang menghalangi. Pada saat itulah terjadi persatuan dan kesatuan.

&

Menyatukan Hati

29 Okt

Sarah Rasmul Bayan Tarbiyah; Jasiman Lc.

doa menyatukan hati - doa rabithah“Hati adalah tentara di antara tentara-tentara Allah lainnya. Ia akan bersatu dan akrab bila saling mengenal, akan berjauhan kalau tidak saling mengenal.” (HR Muslim)

Jalinan hati dapat mempertemukan kaum muslimin secara fisik. Sebaliknya persatuan secara fisik yang tidak disertai dengan jalinan hati akan berakhir dengan perpisahan. Karena itu, disamping mengharap rahmat Allah, harus ada upaya-upaya manusiawi untuk mempertemukannya.

Ta’liif berasal dari kata allafa-yuallifu-ta’liifan yang maknanya menjinakkan. Sesungguhnya hati itu kadang-kadang keras, terutama bila ia masih asing. Agar dapat menyatu dengan yang lain, maka hati itu harus dijinakkan. Hanya Allah yang dapat menjinakkannya. Segala upaya untuk menjinakkannya tidak akan berhasil kalau tidak mengikuti petunjuk dan manhaj Allah swt. hati yang bersatu dalam konteks Islam, dakwah, dan harakah adalah”

a. Hati yang berpadu dalam cinta karena Allah
Orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. Allah mencintai mereka, mereka mencintai Allah, selanjutnya Allah menanamkan cinta itu di hati hamba-hamba-Nya, hingga keberadaan mereka diakui langit dan bumi. Sebagaimana dinyatakan dalam surah al-Baqarah ayat 165.

b. Hati yang bertemu dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya atas kesadaran dan cinta, bukan karena tekanan maupun terpaksa. Sebagaimana dinyatakan dalam surah Ali ‘Imraan ayat 32.

c. Hati yang bersatu dalam dakwah kepada Allah
Mereka adalah orang-orang yang memiliki silidaritas tinggi karena kesamaan tugas dan profesi. Mereka adalah hamba Allah yang melakukan tugas dakwah, menebar rahmat, kebaikan, dan petunjuk bagi umat manusia.

d. Hati yang telah berbaiat untuk jihad di jalan Allah
Hati yang demikian keadaannya adalah hati yang bersatu dalam kebaikan dan keutamaan. Kelestariannya harus dijaga dengan mengikuti manhaj Allah dan berdoa kepada-Nya.

Yang kita mohonkan adalah agar Allah:

1. Mengabadikan cintanya. Hati akan berubah-ubah, bahkan godaan zaman sekarang kadang membuat hati menjadi goyah dan murtad. Semoga Allah menghindarkan kita dari yang demikian.

2. Selalu memberikan petunjuk kepadanya. Petunjuk ini hanya milik Allah. Bahkan Nabi Muhammad saw. tidak mampu memberikan petunjuk kepada orang yang dicintainya. Allah lah yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang Allah kehendaki.

3. Memenuhi dengan cahaya-Nya yang tak pernah redup. Cahaya Allah adalah cahaya di atas cahaya. Hati yang terang akan makin terang, yang gelap akan diterangi oleh nurullah.

4. Melapangkan dada. Seseorang akan lapang dadanya apabila nurullah telah masuk ke dalam hati. Tandanya, sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah saw., “Dekat ke negeri abadi, jauh dari negeri yang fana dan bersiap-siap mati sebelum kematian itu menjemputnya.”

5. Menghidupkan dengan makrifat. Kita selalu memohon makrifat-Nya, sebab hati yang tidak mengenal Allah akan buta dan gelap.

6. Mematikannya sebagai syuhada. Semua yang hidup akan mati, yang membedakan adalah di jalan apa ia mati. Kematian yang paling mulia adalah apabila terjadi di jalan Allah sebagai syuhada.

Harus selalu disadari bahwa semua itu adalah karunia Allah, diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Allah juga akan mencabut karunia-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya.

&