Arsip | 14.11

Hadits Arbain ke 13: Ukhuwah Islamiyah

15 Nov

Al-Wafi; DR.Musthafa Dieb al-Bugha

Hadits Arbain nomor 13 (Ketigabelas)

Abu Hamzah, Anas bin Malik ra. pelayan Rasulullah berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Seorang di antara kalian tidak beriman jika belum bisa mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.” (HR Bukhari dan Muslim)

URGENSI HADITS

Imam Nawawi menyebutkan bahwa Abu Muhammad Abdullah Ibnu Abi Zaid [seorang ulama besar madzab Maliki di Maroko] berkata, “Siklus kebaikan terletak pada empat hadits. Yaitu
1. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka katakanlah kebaikan atau diam.”
2. “Di antara tanda sempurnanya iman seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak mendatangkan manfaat.”
3. “Jangan marah.”
4. “Tidak beriman seorang di antara kalian, hingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.”
Inilah yang barangkali yang mendorong Imam Nawawi memuat keempat hadits tersebut dalam kitab al-Arba’ain “Empat puluh hadits”.
Al-Jurdani, dalam syarahnya terdapat al-Arbain, mengatakan bahwa hadits ini satu dari dasar-dasar Islam.

KANDUNGAN HADITS

1. Persatuan dan kasih sayang.
Islam bertujuan menciptakan masyarakat yang harmonis dan penuh kasih sayang. Setiap individu berusaha mendahulukan maslahat umum dan kedamaian masyarakat, sehingga tercipta keadilan dan kedamaian. Semua itu tidak akan terealisasi kecuali jika setiap individu yang ada dalam masyarakat menghendaki kebaikan dan kebahagiaan bagi orang lain seperti ia menghendakinya untuk dirinya sendiri. Karena itulah, Rasulullah saw. mengkaitkan persatuan dengan iman. Bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan.

2. Iman yang sempurna.
Iman akan terealisasi dengan pembenaran dan pengakuan yang mendalam terhadap rububiyah (bahwa Allah adalah pemelihara, pengatur, penjaga dan sebagainya) dan meyakini rukun iman yang lain, iman kepada para malaikat, kitab-kitab suci, para rasul, hari akhir, qadla dan qadar.
Dalam hadits ini disebutkan bahwa keimanan tidak dianggap kokoh dan mengakar dalam hati seorang muslim, kecuali ia menjadi manusia yang baik. Manusia yang jauh dari egoisme dan rasa dendam, kebencian dan kedengkian. Ia menghendaki kebaikan dan kebaikan terhadap orang lain, sebagaimana ia menginginkan kebaikan dan kebahagiaan itu untuk dirinya sendiri. Lebih rincinya kesempurnaan iman itu akan terealisasi melalui hal-hal berikut:

a. Mencintai kebaikan untuk saudaranya, sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri, dan membenci keburukan untuk saudaranya sebagaimana ia membenci untuk dirinya sendiri. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa ketika Mu’adz bin Jabal bertanya kepada Rasulullah saw. perihal iman yang paling afdhal, Rasulullah saw. bersabda: “Agar seseorang mencintai sesuatu [kebaikan] untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri, dan membenci suatu [keburukan] untuk mereka, sebagaimana ia membenci sesuatu [keburukan] untuk dirinya sendiri.” (HR Ahmad)
b. Bersegera memberikan nasehat manakala saudaranya lalai
c. Segera maafkan dan memenuhi hak saudaranya, sebagaimana ia juga ingin segera dipenuhi haknya.

Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin ‘Ash ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang ingin agar dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga, hendaklah ia mati dalam keadaan iman kepada Allah dan hari akhir, dan mendatangi orang yang suka mendatangi.”

3. Nilai lebih seorang muslim.
Di antara bentuk kesempurnaan iman adalah berharap agar kebaikan juga dimiliki orang lain, yang muslim dan yang non muslim. Artinya berharap dan berusaha agar orang-orang kafir itu dapat merasakan nikmatnya iman.
Rasulullah saw. bersabda: “Cintailah sesuatu [kebaikan] untuk orang lain, sebagaimana kamu mencintainya untuk dirimu, niscaya kamu menjadi muslim [yang baik].” (HR Tirmidzi)

4. Berlomba untuk mendapatkan kebaikan.
Berlomba-lomba untuk mendapatkan kebaikan merupakan kesempurnaan iman. Karenanya, seseorang yang ingin memiliki keimanan dan ketakwaan seperti yang dimiliki orang yang lebih shalih, bukanlah suatu aib atau hasad “iri hati”. Bahkan sikap seperti ini merupakan refleksi kesempurnaan iman perbuatan yang disyariatkan Allah swt. dalam firman-Nya: “Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (al-Muthaffifiin: 26)

5. Keimanan menciptakan masyarakat yang bersih dan berwibawa.
Hadits ini merupakan dorongan bagi setiap muslim agar senantiasa berusaha membantu orang lain untuk melakukan kebaikan. Karena hal ini merupakan bukti dan tanda kebenaran imannya. Dengan demikian akan tercipta masyarakat yang bersih dan berwibawa. Bagaimanapun ketika seseorang menciptakan suatu kebaikan untuk orang lain, tentu ia akan berlaku baik kepadanya. Dengan demikian akan timbul rasa kasih sayang di antara anggota masyarakat, kebaikan akan tersebar luas, kejahatan dan kedhaliman akan tersisih, dan terciptalah keharmonisan dalam setiap lini kehidupan. Mereka seolah satu hati, kebahagiaan saudaranya adalah kebahagiaanya, kesedihan saudaranya adalah kesedihannya.
Masyarakat seperti inilah yang seharusnya terbentuk dalam komunitas muslim, sebagaimana yang diisyaratkan Rasulullah saw. dalam haditsnya: “Orang-orang mukmin, dalam kasih sayangnya, seumpama satu tubuh. Jika satu anggota tubuhnya sakit, maka anggota tubuh yang lain merasakan demam dan kurang tidur.” (HR Bukhari dan Muslim).
Jika ini yang terjadi, maka Allah akan memberikan kepada mereka kewibawaan, kemuliaan, dan kekuasaan di dunia. Sedangkan di akhirat, ia akan mendapatkan pahala.

6. Masyarakat yang jauh dari keimanan, adalah masyarakat yang egois dan penuh kebencian.
Jika keimanan tidak ada, kasih sayang pun hilang. Sebagai gantinya, kedengkian, penipuan, dan egoisme mendominasi dalam masyarakat. Dalam kondisi ini, manusia menjelma menjadi srigala-srigala yang haus darah, kehidupan kacau dan kedhaliman merajalela. Allah swt. memberikan gambaran: “Mereka itu mati dan tidak hidup. Mereka tidak tahu kapan mereka dibangkitkan.”

7. Hadits ini mendorong kita untuk bersatu dan hidup teratur

8. Hendaklah kita menjauhi hasad, karena hasad dapat mengurangi kesempurnaan iman. Orang yang memiliki sifat hasad, tidak akan mau orang lain melebihinya , atau bahkan berangan-angan agar nikmat yang ada pada orang lain itu sirna.

9. Iman senantiasa bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

&

Hadits Arba’in ke 10: Baik dan Halal adalah Syarat Diterimanya Doa

15 Nov

Al-Wafi; DR.Musthafa Dieb al-Bugha

Hadits Arbain nomor 10 (Kesepuluh)

Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah Mahabaik dan tidak menerima kecuali yang baik. Dia memerintahkan orang-orang Mukmin sama seperti yang diperintahkan kepada para Rasul. Dia berfirman: “Hai para Rasul, makanlah makanan yang baik, dan kerjakanlah amal shalih.” (al-Mu’minun: 51) Dia juga befirman: “Hai orang-orang yang beriman makanlah makanan yang baik yang Kami berikan kepada kalian.” (al-Baqarah: 172). Lalu Rasulullah bercerita tentang seorang lelaki yang menempuh perjalanan jauh, hingga rambutnya kusut dan kotor. Ia menengadahkan kedua tangannya ke langit (seraya berdoa), ‘Ya Rabb, ya Rabb.’ Sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan ia kenyang dengan barang yang haram. Bagaimana mungkin doanya dikabulkan?” (HR Muslim)

URGENSI HADITS

Hadits ini merupakan dasar dari berbagai hukum Islam. Juga merupakan inti dalam hal yang berkaitan dengan memakan yang halal dan menjauhi yang haram. Dengan hadits ini akan didapatkan manfaat yang luas dalam masyarakat. Karena jika masyarakat senantiasa membiasakan mengkonsumsi yang halal, maka akan tercipta kasih sayang, tidak ada dendam, iri, saling tipu, atau bahkan mencuri. Sehingga masyarakat hidup dalam situasi yang aman dan sentosa.

KANDUNGAN HADITS

1. Yang baik dan diteriman
Sabda Nabi di atas mencakup perbuatan, harta benda, ucapan, dan keyakinan. Allah swt. tidak akan menerima amalan kecuali amalan tersebut baik, bersih dari segala noda seperti riya’ dan ujub.

Allah tidak akan menerima harta benda yang diinfakkan, dishadaqahkan atau dizakatkan kecuali yang baik dan halal. Karenanya, Rasulullah saw. selalu mendorong agar seorang muslim bershadaqah dengan harta hasil usahanya yang halal dan baik. Demikian juga ucapan, tidak akan diterima Allah swt. kecuali ucapan yang baik. Alalh swt. berfirman, “Kepada-Nyalah naik [diterima] perkataan-perkataan baik, dan amal yang shalih dinaikkan-Nya.” (Fathir: 10). Allah swt juga membagi ucapan ke dalam dua bagian, baik dan buruk. “Allah mencontohkan ucapan yang baik, seperti pohon yang baik.” (Ibrahim: 24) “Dan ucapan yang buruk seperti pohon yang buruk.” (Ibrahim: 26)

Siapapun tidak akan selamat dari sisi Allah, kecuali mereka yang berlaku baik. Allah berfirman: “[yaitu] orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan baik.” (an-Nahl: 32) malaikat mendatangi mereka seraya berkata: “Kesejahteraan bagi kalian. Kalian telah berlaku baik, maka masuklah ke dalam surga untuk selama-lamanya.” (az-Zumar: 73).

Dalam mengomentari kalimat laa yaqbalu illaa thayyiban (“tidak diterima kecuali yang baik.”) ibnu Rajab berkata: “seorang mukmin adalah orang yang baik secara keseluruhan, hati, lisan, dan seluruh anggota tubuhnya. Karena dalam hatinya terdapat keimanan, keimanan tersebut akan terurai melalui bibirnya dengan dzikir, melalui anggota badannya dalam bentuk amal-amal shalih dan inilah buah dari iman.”

2. Bagaimana agar amal menjadi baik dan diterima.
Unsur terpenting yang menjadikan perbuatan seorang muslim baik dan diterima, adalah makan yang baik dan halal. Dalam hadits di atas merupakan isyarat yang jelas bahwa suatu perbuatan tidak akan diterima kecuali dengan mengkonsumsi yang halal. Karena makanan yang haram dapat merusak amalan dan menjadikannya tidak diterima. Ini didasari oleh lanjutan hadits yang menyatakan bahwa perintah tersebut sama, antara orang-orang mukmin dan para rasul. Allah swt. berfirman: “Wahai para Rasul makanlah makanan yang baik dan beramal shalihlah.”

Allah juga berfirman, “Hai orang-orang yang beriman makanlah makan yang baik dan apa yang Kami berikan kepada kalian.” Artinya bahwa para Rasul dan umatnya diperintahkan untuk memakan makanan yang baik [halal] dan beramal shalih. Sedangkan jika yang dimakan adalah makanan yang haram, maka amal perbuatan tidak akan diterima. (jami’ul Ulum wal Hikam hal 86).

Ath-Thabrani meriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas ra. berkata: Saya membaca ayat, ‘Wahai sekalian manusia, makanlah apa-apa yang ada di bumi, yang halal dan dan baik.’ (al-Baqarah: 168) di sisi Rasulullah saw. Lalu Sa’ad bin Abi Waqash berkata: “Wahai Rasulallah, mohonkan kepada Allah agar doaku mustajab [dikabulkan].” Nabi berkata: “Wahai Sa’ad, baikkanlah makananmu [pilihlah yang halal], niscaya doamu mustajab. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya orang yang di rongganya terdapat satu genggam barang haram, tidak akan diterima amalnya selama empat puluh hari. Dan barangsiapa yang daging tubuhnya tumbuh dari barang yang haram, maka nerakalah yang paling layak untuknya.” Riwayat lain menyebutkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Allah tidak akan menerima shalat seorang yang di rongga terdapat barang haram.”

3. Tidak diterimanya sebuah amalan
Maksud dari “tidak diterima” yang terdapat pada sebagian hadits nabi saw. adalah tidak sah. Seperti hadits “Allah tidak menerima shalat seseorang di antara kamu jika berhadats, sehingga ia berwudlu.”
Pada sebagian hadits, berarti tidak sempurna, yakni tidak mendapatkan pahala. Seperti hadits “wanita yang dimarahi suami, orang yang menemui dukun, dan orang yang meminum khamr, tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari.”
“Allah tidak menerima kecuali yang baik.” Orang yang shalat dengan mengenakan baju yang dibeli dengan uang yang tercampur dengan yang haram, niscaya shalatnya tidak diterima.” Maksudnya kewajibannya telah ia lakukan, namun tidak berpahala.
Untuk membedakan antara dua maksud di atas, harus didukung dengan dalil-dalil penunjang.

4. Membersihkan harta dari barang haram.
Jika seseorang memiliki harta yang haram, maka ia wajib membersihkannya. Yaitu dengan cara menshadaqahkannya, dan pahalanya bagi pemilik harta.
‘Atha’ bin Rabah berpendapat, harta tersebut dishadaqahkan dan tidak berpahala. Imam Syafi’i berpendapat, harta tersebut disimpan hingga diketahui pemiliknya. Fudhail bin Iyadh berpendapat, harta tersebut dimusnahkan. Karena tidak diperbolehkan bershadaqah dengan sesuatu yang tidak baik. Ibnu Rajab berkata: “Pendapat yang benar adalah dengan menshadaqahkannya, karena memusnahkan harta adalah tindakan yang dilarang. Menyimpannya hingga diketahui pemiliknya, juga rentan rusak atau dicuri orang. Jadi sebaiknya dishadaqahkan, dan pahalanya untuk pemilik harta tersebut.

5. Sebab dikabulkannya doa.
a. Perjalanan jauh.
Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Ada tiga doa yang pasti dikabulkan: doa orang yang didhalimi, doa musafir dan doa orang tua terhadap anaknya.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)
Perjalanan jauh menjadi sebab dikabulkannya doa karena beban yang dirasakan sangat berat. Semakin lama suatu perjalanan, doa akan semakin dikabulkan.
b. Baju yang kusut dan kondisi tubuh yang sangat lelah.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa orang yang kondisinya seperti ini [karena lelah atau pun kemiskinan] andai dia berdoa tentulah Allah akan mengabulkan.
Diriwayatkan pula bahwa ketika melakukan shalat istisqa’ Rasulullah saw. menggunakan pakaian yang lusuh dan bersikap rendah hati.
c. Menengadahkan kedua tangan.
Di samping penyebab dikabulkannya doa, mengangkat tangan juga merupakan adab dalam bedoa. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah itu Pemalu dan Pemurah. Ia malu untuk tidak mengabulkan permohonan hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya dalam berdoa.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi)
Ketika shalat istisqa’, Rasulullah saw. juga mengangkat kedua tangannya hingga tampak ketiaknya yang putih. Juga ketika beliau berdoa meminta kemenangan atas orang-orang musyrik pada saat perang Badar, hingga sorbannya terjatuh.
d. Betul-betul berharap kepada Allah.
Ini merupakan penyebab terbesar dikabulkannya doa. Pengharapan yang besar tersebut diwujudkan dengan mengulangi penyebutan Rububiyah Allah swt.
Al-Bazzar meriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika seorang hamba berkata, “Ya Rab, empat kali, niscaya Allah berfirman: “Kupenuhi panggilanmu wahai hamba-Ku, mintalah sesuatu niscaya akan Aku beri.”

6. Penghalang doa
Dalam hadits di atas disebutkan bahwa yang menyebabkan doa tidak dikabulkan adalah selalu menggunakan barang haram, baik makanan, minuman maupun pakaiannya.

7. Doa adalah inti dari ibadah, karena seseorang berdoa kepada Allah swt. manakala tidak ada lagi yang bisa diharapkan kecuali Dia. ini adalah esensi tauhid dan inti dari keikhlasan.

8. Hadits ini mendorong kita untuk berinfa dengan harta yang halal, dan melarang untuk berinfaq dengan harta yang tidak halal.

9. Barangsiapa yang menghendaki doanya dikabulkan maka harus senantiasa memperhatikan yang halal, baik makanan maupun pakaiannya.

10. Allah akan menerima dan memberkahi infak dari harta yang baik.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Mujaadilah (9)

15 Nov

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Mujaadilah (Wanita Yang Mengajukan Gugatan)
Surah Madaniyyah; surah ke 58: 22 ayat

tulisan arab alquran surat al mujaadilah ayat 14-19“14. tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui. 15. Allah telah menyediakan bagi mereka azab yang sangat keras, Sesungguhnya Amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan. 16. mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka halangi (manusia) dari jalan Allah; karena itu mereka mendapat azab yang menghinakan. 17. harta benda dan anak-anak mereka tiada berguna sedikitpun (untuk menolong) mereka dari azab Allah. mereka Itulah penghuni neraka, dan mereka kekal di dalamnya. 18. (ingatlah) hari (ketika) mereka semua dibangkitkan Alla) lalu mereka bersumpah kepada-Nya (bahwa mereka bukan musyrikin) sebagaimana mereka bersumpah kepadamu; dan mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh suatu (manfaat). ketahuilah, bahwa Sesungguhnya merekalah orang-orang pendusta. 19. syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka Itulah golongan syaitan. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya golongan syaitan Itulah golongan yang merugi.” (al-Mujaadilah: 14-19)

Allah berfirman seraya mengingkari orang-orang munafik yang dalam bathinnya telah menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin mereka, padahal pada hakekatnya mereka tidak bersama dengan orang-orang kafir itu dan tidak juga bersama orang-orang mukmin. Allah berfirman: alam taraa ilalladziina tawallau qauman ghadliballaaHu ‘alaiHim (“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman?”) yakni orang-orang Yahudi yang secara bathin orang-orang munafik telah menjadikan mereka sebagai pemimpin.

Setelah itu Allah berfirman: maa Hum mingkum walaa minHum (“Orang-orang itu bukanlah dari golonganmu dan bukan [pula] dari golongan mereka.”) maksudnya pada hakekatnya orang-orang munafik itu bukan dari golongan kalian, wahai orang-orang yang beriman, dan bukan juga termasuk golongan orang-orang Yahudi yang mereka jadikan sebagai pemimpin.

Firman-Nya selanjutnya: wa yahlifuuna ‘alal kadzibi waHum ya’lamuun (“Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan sedang mereka mengetahui.”) yakni orang-orang munafik itu bersumpah untuk memperkuat kebohongan mereka, padahal mereka mengetahui bahwa mereka itu berdusta dalam sumpah mereka. Inilah yang dinamakan dengan sumpah palsu, apalagi keluar dari orang-orang munafik yang terlaknat seperti itu. Mudah-mudahan Allah melindungi kita semua dari hal seperti itu. Jika orang-orang munafik itu bertemu dengan orang-orang yang beriman, maka mereka akan mengatakan: “Kami telah beriman.” Dan jika mereka datang kepada Rasulullah saw. maka mereka akan bersumpah atas nama Allah bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman, padahal sebenarnya mereka mengetahui bahwa mereka telah berdusta dalam sumpah tersebut.

Kemudian firman Allah: a-‘addallaaHu lahum ‘adzaaban syadiidan innaHum saa-amaa kaanuu ya’maluun (“Allah telah menyediakan bagi mereka adzab yang sangat keras, sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan.”) maksudnya Allah swt. telah menyediakan bagi mereka adzab yang pedih atas berbagai perbuatan buruk yang telah mereka kerjakan, berupa pengangkatan orang-orang kafir sebagai pemimpin dan penasehat mereka serta manjadikan orang-orang yang beriman sebagai musuh mereka.

Oleh karena itu Allah berfirman: ittakhadzuu aimaanaHum junnatan fa shadduu ‘an sabiilillaaH (“Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai lalu mereka halangi [manusia] dari jalan Allah.”) maksudnya mereka telah memperlihatkan keimanan dan menyembunyikan kekafiran. Mereka berlindung di belakang sumpah-sumpah palsu, sehingga orang-orang yang tidak mengetahui hakekat mereka itu akan tertipu, hingga akhirnya dengan taktik seperti itu tujuan mereka menghalang-halangi manusia dari jalan Allah akan tercapai bagi sebagian orang.
falaHum ‘adzaabum muHiin (“karena itu mereka mendapatkan adzab yang menghinakan.”) sebagai balasan atas sikap mereka yang telah meremehkan sumpah dengan mengatasnamakan Allah Yang mahaagung pada sumpah-sumpah mereka yang penuh dengan kedustaan dan pengkhianatan.

Kemudian firman Allah: lan tughniya ‘anHum amwaaluHum walaa aulaaduHum minallaaHi syai-an (“Harta benda dan anak-anakmereka tidak berguna sedikitpun [untuk menolong] mereka dari adzab Allah.”) maksudnya semua itu sama sekali tidak dapat mencegah siksaan jika sudah mendatangi mereka. Ulaa-ika ash-haabun naari Hum fiiHaa khaaliduun (“Mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”)

Setelah itu, Dia berfirman: yauma yab’atsuHumullaaHu jamii’an (“Pada hari ketika mereka semua dibangkitkan Allah.”) maksudnya, Dia mengumpulkan mereka pada hari kiamat kelak dari manusia sampai manusia terakhir sehingga tidak ada satu pun yang tertinggal.
Fa yahlifuuna laHuu kamaa yahlifuuna lakum wa yahsabuuna annaHum ‘alaa syai-in (“Lalu mereka bersumpah kepada-Nya [bahwa mereka bukan orang musyrik] sebagaimana mereka bersumpah kepadamu, dan mereka menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan memperoleh sesuatu [manfaat].”) maksudnya mereka bersumpah atas nama Allah bahwa mereka berada di atas petunjuk dan istiqamah, sebagaimana mereka dulu pernah bersumpah kepada orang-orang ketika di dunia, karena orang yang hidup di atas satu jalan, maka dia akan mati di jalan yang sama dan akan dibangkitkan di atas jalan yang sama juga. Dan mereka berkeyakinan bahwa sumpah itu akan mendatangkan manfaat bagi mereka di sisi Allah sebagaimana manfaat yang telah mereka peroleh di sisi manusia, sehingga mereka pun diperlakukan sesuai dengan hukum-hukum yang tampak saja.

Oleh karena itu Allah berfirman: wa yahsabuuna annaHum ‘alaa syai-in (“Dan mereka menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan memperoleh sesuatu [manfaat].”) maksudnya mereka ucapkan sumpah mereka itu di hadapan Rabb mereka.

Setelah itu Allah berfirman: alaa innaHum Humul kaadzibuun (“Ketahuilah bahwa sesungguhnya merekalah orang-orang yang pendusta.”) dengan demikian Allah Ta’ala mempertegas berita tentang kedustaan mereka. Kemudian Allah berfirman: istahwadza ‘alaiHimusy syaithaanu fa ansaaHum dzikrallaaHi (“Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah.”) maksudnya syaitan-syaitan itu telah telah memperdayai hati-hati mereka sehingga berhasil menjadikan mereka lupa berdzikir kepada Allah swt. Demikianlah syaitan berbuat terhadap orang yang hatinya telah dikuasainya. Oleh karena itu, Abu Dawud meriwayatkan dari Abud Darda’, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada tiga orang dari suatu perkampungan dan tidak pula pedalaman desa yang tidak mendirikan shalat di dalamnya melainkan mereka semua telah dikuasai syaitan. Oleh karena itu hendaklah kalian mendirikan shalat berjama’ah, karena yang dimakan srigala itu adalah domba yang tinggal sendirian.”
Za-idah berkata: “As-Sa-ib mengatakan: ‘Yakni shalat jama’ah’”

Kemudian Allah berfirman: ulaa-ika hizbusy syaithaan (“Mereka itulah golongan syaitan.”) yakni orang-orang yang telah dikuasai syaitan sehingga mereka lupa berdzikir kepada Allah. Selanjutnya Allah berfirman: alaa inna hizbasy syaithaani Humul khaasiruun (“Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan syaithan itulah golongan yang merugi.”)

Bersambung ke bagian 10