Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Hadiid (Besi)
Surah Madaniyyah; surah ke 57:29 ayat
“28. Hai orang-orang yang beriman (kepada Para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 29. (kami terangkan yang demikian itu) supaya ahli kitab mengetahui bahwa mereka tiada mendapat sedikitpun akan karunia Allah (jika mereka tidak beriman kepada Muhammad), dan bahwasanya karunia itu adalah di tangan Allah. Dia berikan karunia itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (al-Hadiid: 28-29)
Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits riwayat an-Nasa-i, dari Ibnu ‘Abbas, bahwa ia pernah membawa pengertian ayat ini kepada dua orang yang beriman dari kalangan Ahlul Kitab, dimana dia akan diberi pahala dua kali lipat, sebagaimana dikandung dalam ayat yang terdapat dalam surah al-Qashsash. Juga sebagaimana yang disebutkan dalam hadits asy-Sya’bi, dari Abu Burdah, dari Abu Musa al-Asy’ari, dimana ia bercerita: Rasulullah saw. bersabda: “Ada tiga golongan yang pahala mereka dua kali, yaitu seorang dari kalangan Ahlul Kitab yang berimana kepada Nabinya dan beriman kepadaku, maka ia mendapat dua pahala. Lalu seorang hamba yang menunaikan hak Allah dan hak mawalinya (orang yang memerdekakannya), maka ia mendapatkan dua pahala. Kemudian orang yang membimbing budak wanitanya dengan sebaik-baiknya, lalu dia memerdekakannya dan menikahinya, maka baginya dua pahala.”
Demikian yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab ash-Shahihain. Penafsiran Ibnu ‘Abbas ini disepakati oleh adh-Dhahhak, ‘Utbah bin Abi Hakim dan lain-lain. Dan penafsiran ini pula yang menjadi pilihan Ibnu Jarir. Sedangkan Sa’id bin Jubair mengatakan: “Ketika Ahlul Kitab menyombongkan diri bahwa mereka akan diberi pahala dua kali, Allah Ta’ala menurunkan ayat ini kepada umat manusia:
Yaa ayyuHal ladziina aamanut taqullaaHa wa aaminuu birasuuliHii yu’tikum kiflaini (“Hai orang-orangyang beriman [kepada para Rasul], bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian.”) yakni dua kali lipat. Mir rahmatiHii (“Karena rahmat-Nya”) dan memberikan tambahan lagi kepada mereka, wa yaj’allakum nuuran tamsyuuna biHii (“dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu bisa berjalan.”) maksudnya berupa petunjuk yang dengannya kalian dapat melihat dan melepaskan diri dari kebutaan dan kebodohan, serta memberikan ampunan kepada kalian. Dengan demikian, Allah telah memberikan cahaya dan ampunan kepada umat Muhammad saw., demikianlahyang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Diantara dalil yang memperkuat pendapat tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibnu ‘Umar ra., ia bercerita: Rasulullah saw. telah bersabda: “Perumpamaan kalian dengan umat Yahudi dan Nasrani adalah seperti seseorang yang mempekerjakan beberapa orang pegawai. Lalu orang tersebut mengatakan: ‘Siapakah yang bersedia bekerja untukku dari mulai shalat Shubuh hingga pertengahan siang, maka aku akan memberikan satu qirath?’ ketahuilah, umat Yahudi itulah yang bersedia melakukannya. Lalu berkata lagi: ‘Siapakah yang bersedia bekerja untukku dari shalat Dhuhur sampai shalat ‘Asyar, maka akan aku beri satu qirath?’ ketahuilah, umat Nasrani lah yang bersedia melakukannya. Lalu berkata lagi: ‘Siapakah yang bersedia bekerja untukku dari mulai ‘Asyar hingga terbenam matahari, maka ia akan mendapatkan dua qirath?’ ketahuilah, itulah kalian (umat Muhammad) yang bersedia melakukannya. Umat Yahudi dan Nasrani menjadi marah dan mereka mengatakan: ‘Kami yang lebih banyak bekerja tetapi lebih sedikit upahnya.’ Ia bertanya: ‘Apakah aku telah mendhalimi kalian pada upah-upah kalian itu?’ mereka menjawab: ‘Tidak.’ Katanya lagi: ‘Itu hanyalah karunia dariku yang aku berikan kepada siapa saja yang aku kehendaki.’”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar ra., dan kami juga telah diberitahukan mengenai hal yang sama oleh Mu’mil, dari Sufyan, dari ‘Abdullah bin Dinar, dari Ibnu ‘Umar ra., yaitu hadits yang mirip dengan hadits Nafi’, darinya. Diriwayatkan sendiri oleh al-Bukhari. Ia meriwayatkan dari Sulaiman bin Harb, dari Hammad, dari Nafi’. Dan hadits yang sama juga diriwayatkan dari Qutaibah, dari al-laits, dari Nafi’.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa, dari Rasulullah saw. beliau bersabda: “Perumpamaan kaum Muslimin dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani seperti orang yang mempekerjaan suatu kaum. Kaum itu mengerjakan pekerjaan untuknya dari pagi sampai malam dengan upah tertentu. Lalu mereka bekerja sampai pertengahan siang seraya berkata: ‘Kami tidak butuh upah apa yang kamu persyaratkan kepada kami. Dan apa yang telah kami kerjakan itu kami anggap batal.’ Lalu ia berkata kepada mereka: ‘Jangan lakukan hal itu. Kerjakan sisi pekerjaan kalian dan ambillah upah kalian secara penuh.’ Namun mereka menolak dan pergi meninggalkannya. Kemudian orang itu menyewa orang lain setelah mereka. Lalu ia berkata kepada mereka: ‘Selesaikanlah sisa hari kalian dan kalian akan mendapatkan upah yang telah aku persyaratkan kepada mereka.’ Maka merekapun mau mengerjakannya hingga ketika waktu mengerjakan shalat ‘Asyar tiba. Mereka berkata: ‘Apa yang telah kami kerjakan kami anggap batal dan ambil kembali untukmu upah yang telah kamu janjikan itu.’ Maka orang itu berkata: ‘Selesaikanlah sisa pekerjaan kalian, sesungguhnya hanya tinggal sedikit sekali waktu yang tersisa. Namun mereka menolak. Selanjutnya ia menyewa kaum yang lain lagi untuk mengerjakannya sampai matahari tenggelam, hingga akhirnya merekapun berhasil mendapatkan pahala dua golongan. Begitulah perumpamaan mereka dan cahaya yang mereka peroleh.”
Demikian hadits yang diriwayatkan sendiri oleh Imam al-Bukhari.
Oleh karena itu Allah berfirman: li allaa ya’lama aHlul kitaabi allaa yaqdiruuna ‘alaa syai-im min fadl-lillaaHi (“Supaya Ahli Kitab mengetahui bahwa mereka tidak mendapatkan sedikitpun akan karunia Allah.”) maksudnya supaya benar-benar terbukti bahwa mereka itu sama sekali tidak mampu menolak apa yang diberikan Allah dan tidak juga dapat memberi apa yang ditolak-Nya.
Wa annal fadl-la biyadillaaHi yu’tiiHi may yasyaa-u wallaaHu dzul fadl-lil ‘adhiim (“dan bahwasannya karunia itu adalah di tangan Allah. Dia berikan karunia itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah mempunyai karunia yang besar.”)
Mengenai firman-Nya: li allaa ya’lama aHlul kitaabi (“Supaya ahlul Kitab mengetahui”) Ibnu Jarir mengungkapkan: “Maksudnya supaya mereka menyadari.” Dan hal itu telah diceritakan oleh Ibnu Mas’ud, bahwa ia membacanya dengan “likai ya’lama” demikianlah perkataan ‘Atha’ bin ‘Abdillah dan Sa’id bin Jubair. Ibnu Jarir berkata: “Karena bangsa Arab menjadikan kata “laa” (tidak) sebagai penghubung pada setiap kalimat yang masuk pada awal atau akhir kalimat tersebut, maka ia tidak mempunyai arti. Sebagaimana firman Allah: maa mana’aka allaa tasjuda (“apakah yang menghalangimu untuk bersujud [kepada Adam]?”)(al-A’raaf: 12) kata “laa” tidak diartikan.
Wa maa yusy’irukum annaHaa idzaa jaa-at laa yu’minuun (“Dan apakah yang memberitahukan kepadamu bahwa apabila mukjizat datang, mereka tidak akan beriman?”)(al-An’am: 109)
Wa haraamun ‘alaa qaryati aHlaknaaHaa annaHum laa yarji’uun (“Sungguh tidak mungkin atas [penduduk] suatu negeri yang telah Kami binasakan bahwa mereka tidak akan kembali [kepada Kami].”) (al-Anbiyaa’: 95)
Selesai.