Arsip | Desember, 2013

Hadits Arbain ke 26: Mendamaikan Orang yang Bertikai dengan Adil

18 Des

Al-Wafi; Imam Nawawi; DR.Musthafa Dieb al-Bugha

Hadits Arbain nomor 26 (dua puluh enam)Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Setiap ruas tulang tubuh manusia wajib dikeluarkan shadaqahnya setiap hari ketika matahari terbit. Mendamaikan secara adil dua orang yang bertikai adalah shadaqah, membantu orang lain menaiki kendaraan atau mengangkatkan barang ke atas kendaraannya adalah shadaqah, kata-kata yang baik adalah shaqadah, tiap-tiap langkah untuk mengerjakan shalat [di masjid] adalah shadaqah, dan menyingkirkan duri dari jalan adalah shadaqah.” (HR Bukhari dan Muslim)

URGENSI HADITS

Di antara tujuan terpenting yang ingin dicapai oleh Islam adalah menyatukan hati kaum muslimin, tegaknya kebenaran di antara mereka, kokohnya barisan mereka, dan kemenangan terhadap musuh. Tujuan ini tidak akan bisa terealisasi kecuali dengan kerja sama dan tolong menolong.

Hadits di atas berisi dorongan untuk terciptanya kerja sama tersebut, baik melalui ucapan maupun perbuatan. Hal ini senada dengan firman Allah, “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (al-Maidah: 2)

Juga sesuai dengan sabda Nabi saw. lainnya, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih sayang, ibarat satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan demam dan kurang tidur.” (HR Bukhari dan Muslim)

KANDUNGAN HADITS

1. Kekuasaan Allah
Allah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk. Semua anggota badan dan persendiannya diciptakan dengan sangat sempurna dan rapi. Wajar jika Allah menganjurkan kepada manusia untuk memperhatikan dirinya sendiri, merenungi setiap persendian tulangnya, sel-sel daging dan darahnya, agar bisa mengenali tanda-tanda kebesaran Allah swt.

Allah berfirman: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda [kekuasaan] Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu benar.” (Fushilat: 53)
“Dan pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan ?” (adz-Dzaariyaat: 21)

Sedangkan mengenai persendian yang secara khusus disebut Nabi Muhammad saw. dalam hadits di atas, karena keteraturan, keindahan dan elastisitasnya. Oleh karena itu, Allah mengancam setiap orang yang menentang dan kafir, dengan dijauhkan dari nikmat-Nya.

Firman Allah: “Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun [kembali] jari-jemarinya dengan sempurna.” (al-Qiyamah: 4)
Artinya, Allah akan menjadikan jari-jari tanngan dan kakinya sama seperti bentuk yang satu, seperti sepatu unta dan kuku keledai, yang tidak mungkin untuk melakukan sebagaimana yang bisa dilakukan oleh jari-jari yang terpisah yang memiliki persendian dan keindahan serta peran masing-masing.

Seorang insinyur barat, yang bekerja di pabrik pembuatan anggota tubuh tiruan, mengakui adanya Allah lalu memeluk Islam. Pada suatu hari, di duduk memperhatikan telapak tangan anaknya yang masih kecil. Dia membandingkannya dengan telapak tangan buatannya, ternyata ada perbedaan yang sangat besar.

2. Perlunya bersyukur.
Kesempurnaan anggota badan, panca indra, tulang belulang dan persendiann merupakan nikmat yang sangat besar dari Allah swt. yang perlu senantiasa disyukuri.

Firman Allah: “Hai Manusia, apakah yang telah mempedayakanmu [berbuat durhaka] terhadap Rabb-mu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan [susunan tubuh]mu seimbang, dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.” (al-Infithaar: 6-8)

“Kemudian kamu pasti aka ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan [yang kamu megah-megahan di dunia itu].” (at-Takaatsur: 8)

Menurut Ibnu ‘Abbas, kenikmatan tersebut adalah kesempurnaan tubuh, pendengaran, dan penglihatan. Semua itu akan ditanyakan oleh Allah kepada hamba-Nya, untuk apa semua itu digunakan.
Allah berfirman: “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawabannya.” (al-Israa’: 36)
Sedangkan menurut Ibnu Mas’ud, kenikmatan di atas adalah ketenteraman dan kesehatan. Pendapatnya ini didasari oleh hadits Nabi, “Sesungguhnya pertanyaan yang ditanyakan pertama kali kepada seorang hamba pada hari kiamat adalah “Bukankah Aku telah sehatkan badanmu dan memberimu minum air yang segar?” (HR Tirmidzi)

Abu Darda’ ra. berkata: “Kesehatan adalah pertumbuhan badan.”
Wahb bin Munabbih berkata, “Tertulis dalam hikmat keluarga Nabi Dawud, “Kesehatan adalah harta yang tersembunyi.”

Meskipun demikian, tetap saja banyak orang yang lupa akan nikmat Allah yang besar ini. Mereka lupa terhadap kesempurnaan dan kesehatannya. Mereka tidak pernah merenungi apa yang ada pada dirinya sehingga tidak bersyukur kepada Dzat yang telah menciptakannya.

3. Macam-macam Syukur.
Syukur terhadap Allah menjadikan kenikmatan terus bertambah. Allah berfirman: “Dan [ingatlah juga], tatkala Rabbmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah [nikmat] kepadamu.” (Ibrahim: 7)

Ungkapan syukur tidak cukup hanya dengan ucapa, namun harus disertai dengan perbuatan. Dalam pelaksanaannya, syukur terbagi menjadi dua: wajib dan sunah.
a. Syukur wajib.
Adalah degan menjalankan semua kewajiban dan menjauhi semua larangan. Hal ini dilakukan sebagai ungkapa rasa syukur terhadap kesehatan dan kesempurnaan anggota badan, dan berbagai nikmat lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat Abual-Aswad ad-Dualy. Ia pernah berada di tempat Abu Dzar. Saat itu Abu Dzar berkata, “Setiap hari, tiap-tiap persendian harus diberi shadaqah. Setiap shalat merupakan shadaqah baginya, puasa merupakan shadaqah, haji juga shadaqah, demikian juga tasbih dan takbir.” (HR Abu Dawud)
Rasulullah saw. juga bersabda: “Jika kamu tidak melakukannya, maka jangan lakukan kejahatan. Yang demikian itu adalah shadaqah.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari)

Dua hadits ini menunjukkan bahwa seseorang bisa dikatakan bersyukur, jika ia tidak melakukan kejahatan sedikitpun. Ini bisa dilakukan jika seseorang melakukan semua kewajiban dan meninggalkan semua larangan. Karena kejahatan yang paling besar adalah meninggalkan kewajiban. Inilah rahasia di balik perkataan sebagian Salafushshalih, “Syukur adalah meninggalkan maksiat.” Ada juga yang mengatakan, “Syukur adalah tidak menggunakan kenikmatan unttuk kemaksiatan.”

b. Syukur nikmat.
Yaitu dengan melaksanakan berbagai amalan yang sifatnya sunah. Tentunya setelah melakukan berbagai kewajiban dan meninggalkan berbagai larangan. Inilah yang dilakukan oleh orang-orang shalih terdahulu. Hal ini juga banyak dianjurkan dalam hadits yang mendorong untuk melakukan berbagai amalan-amalan sunnah. Juga dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Beliau senantiasa melakukan shalat malam hingga kedua telapak kaki beliau bengkak. Ketika beliau ditanya, padahal Allah telah mengampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang, beliau menjawab: “Tidakkah saya ingin menjadi hamba yang bersyukur.”

4. Macam-macam Shadaqah
Termasuk karunia Allah pada hamba-Nya adalah menjadikan rasa syukur kepada-Nya (yang wajib dan sunah) dari seorang hamba sebagai shadaqah. Terlebih ketika Allah menyuruh kita untuk mensyukuri anggota tubuh yang Allah berikan, dengan membantu orang lain. Tentunya dengan sebuah catatan bahwa shadaqah tidak terbatas pada harta. Bahwasannya shadaqah selain dengan harta, ada kalanya mempunyai manfaat yang luas, seperti melerai dua orang yang bertikai dan membantu meringankan beban orang lain. Kadang-kadang manfaatnya hanya terbatas untuk dirinya sendiri, seperti berjalan ke masjid untuk shalat.

Bentuk-bentuk shadaqah dalam hadits di atas:
a. Bersikap adil terhadap dua orang yang bertikai
Hal ini tentunya dilakukan dengan melerai dua orang yang bertikai secara adil dan tidak melanggar ketentuan syara’. Tindakan ini adalah ibadah yang paling utama.
Firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Karena itu, damaikanlah antara kedua saudaramu.” (al-Hujuraat: 10)

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh [manusia] memberi shadaqah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia.” (an-Nisaa’: 114)

Mendamaikan orang yang bertikai merupakan shadaqah kepada keduanya, mengingat [dengan ishlah tersebut] keduanya terhindar dari dampak yang ditimbulkan oleh pertikaian yang terjadi antara keduanya, dampak tersebut bisa berupa cacian atau bahkan perlakuan kasar. Karena itu pertikaian tersebut harus dihentikan, bahkan dalam meleraikan dibolehkan berbohong.

b. Membantu seseorang berkenaan degan kendaraannya.
Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai macam, bisa dengan cara membantu menaikkan barang bawaannya, atau bisa juga membantu menaiki kendaraannya, jika seseorang memang membutuhkannya. Usaha ini merupakan shadaqah dan ungkapan rasa sukur, karena terdapat unsur saling menolong.
Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang membantu menyiapkan sandal jepit untuk saudaranya sesama muslim, maka seakan-akan ia telah membawa orang tersebut dengan kendaraannya di jalan Allah.”

c. Perkataan yang Baik.
Meliputi mengucapkan yarhamukallah, jika ada orang yang bersin dan mengucapkan alhamdulillah, mengucapkan salam atau menjawabnya, serta berbagai bentuk dzikir.
“Kepada-Nya, naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya.” (Fathir: 10)
Ucapan yang baik kepada orang yang meminta, dan ucapan yang baik ketika bicara. Karena ucapan tersebut akan menjadikan rasa senang di dalam hati seorang muslim.

Firman Allah: “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada shadaqah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan [perasaan si penerima].” (al-Baqarah: 263)

Kalimat tauhid. Firman Allah: “Tidakkah kamu perhatikan, bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya [menjulang] ke langit.” (Ibrahim: 24)

Termasuk juga ucapan yang baik adalah doa, dzikir pujian terhadap seorang muslim, nasehat, munjukkan jalan, dan semua ucapan yang membuat orag yang mendengarnya senang dan tidak membuat hati saling bertautan.

d. Berjalan untuk shalat.
Ini merupakan dorongan untuk melakukan shalat dengan berjamaah. Adapun langkah-langkah yang dikatergorikan ke dalam shadaqah dalam hadits tema di atas adalah semua perjalanan yang dilakukan untuk memakmurkan masjid. Seperti untuk shalat, i’tikaf, menghadiri majelis ilmu atau amalan-amalan yang mempunyai nilai ketaatan kepada Allah.

Abu Hurairah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang pergi ke masjid di waktu pagi dan petang, maka Allah akan menyediakan baginya suatu tempat [di surga] setiap pergi di waktu pagi dan di waktu petang.” (HR Bukhari dan Muslim)

Jabir ra. menceritakan, bahwa ada tempat kosong di sekitar masjid Nabawi. Bani Salamah bertekad untuk pindah ke dekat masjid. Ketika mendengar berita tersebut, Rasulullah saw. berkataa: “Aku mendengar, bahwa kalian ingin pindah ke dekat masjid.” Mereka menjawab: “Betul, ya Rasulallah.” Nabi bersabda: “Wahai Bani Salamah, tetaplah di tempat kalian. Karena jejak langkah kalian dituliskan.” Mereka menjawab: “Untung saja kami belum pindah.”

Dalam riwayat Muslim disebutkan: “Sesungguhnya kalian mendapatkan satu pahala dari setiap langkah yang kalian ayunkan.”
Pahala akan semakin bertambah manakala tingkat kesulitan juga bertambah. Terutama pada waktu shalat Isya’ dan shubuh.

Buraidah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Berilah kabar gembira bagi orang-orang yagn berjalan menuju masjid dalam kegelapan, bahwa mereka akan mendapatkan kesempurnaan cahaya di hari kiamat.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)

e. Menyingkirkan sesuatu yang membahayakan dari jalan.
Hal-hal yang membahayakan di jalan bisa berupa batu, duri, atau kotoran. Menyingkirkan berbagai hal tersebut dari jalan, agar tidak membahayakan orang-orang yang lewat, merupakan shadaqah. Namun demikian, ini merupakan shadaqah yang paling rendah pahalanya dibanding berbagai hal yang telah disebutkan di muka. Sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi, “Iman mempunyai lebih dari tujuh puluh bagian. Yang paling tinggi adalah Syahadat [kesaksian] bahwa tiada Tuhan selain Allah, sedangkan yang paling rendah adalah membuang sesuatu yang membahayakan dari jalan.”

Karena itulah, ada kalangan yang menyarankan agar mengucapkan kalimat tauhid ketika membuang sesuatu yang membahayakan dari jalan, sehingga bagian keimanan yang paling tinggi dan paling rendah pun terhimpun. Jika setiap muslim mau melaksanakan ajaran ini; dimana tidak ada seorang muslim yang membuang sampah di sembarang tempat, dan mau menyingkirkan hal-hal yang dapat membahayakan, niscaya negeri Islam akan menjadi tempat paling bersih dan paling indah.

5. Shalat Dluha sebagai rasa syukur atas kesempurnaan anggota tubuh.
Abu Dzar ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Setiap hari tiap-tiap persendian harus diberi shadaqah. Setiap ucapan subhaanallah adalah shadaqah, setiap ucapan alhamdulillah adalah shadaqah, setiap ucapan laa ilaaHa illallaaH adalah shadaqah, setiap ucapan AllaHu akbar adalah shadaqah, setiap amar ma’ruf nahi munkar adalah shadaqah. Dan semua itu, bisa dipenuhi dengan dua rakaat shalat dluha.” (HR Muslim)

Shalat dluha paling sedikit dilakukan dua rakaat dan yang paling banyak delapan rakaat, dalam setiap dua rakaat disunahkan untuk melakukan salam. Sedangkan waktunya dimulai ketika matahari sudah mulai naik kira-kira satu tombak hingga datang waktu dhuhur. Shalat Dhuha merupakan karunia yang sangat besar. Ia disyariatkan bukan untuk menutupi kekurangan ibadah lainnya sebagaimana shalat-shalat sunah lainnya. Karena jika ungkapan rasa syukur harus dilakukan seorang muslim setiap hari, maka sebaik-baik ibadah bagi muslim yang menjadikannya senantiasa sadar akan kewajiban bersyukur, setiap matahari terbit, adalah shalat dluha.

6. Memuji Allah atas nikmat yang telah diberikan adalah tanda syukur.
Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang pada pagi hari mengucap, ‘Yaa Allah, tidaklah satu nikmatpun yang saya miliki atau dimiliki seseorang dari makhluk-Mu, melainkan hanya dari-Mu, tiada sekutu bagi-Mu. Hanya untuk-Mu lah pujian dan rasa syukur.” Maka ia benar-benar telah melakukann kewajiban bersyukur untuk siang hari. Dan barangsiapa mengucapkannya di kala petang, maka ia benar-benar telah melakukan kewajiban bersyukur untuk malam hari.” (HR Abu Dawud dan Nasa-i)

Dalam hadits lain disebutkan, “Tidaklah Allah memberikan nikmat pada seorang hamba, lalu ia mengucapkan alhamdulillah, kecuali apa yang diberikan lebih baik daripada apa yang diambil.” (HR Ibnu Majah)
Dari hadits ini sebagian ulama mengambil kesimpulan bahwa ucapan alhamdulillah adalah nikmat yang paling utama. Karena yang dimaksud dengan nikmat dalam hadits di atas adalah nikmat duniawi, seperti kesehatan dan rizky. Sedangkan lafadz alhamdulillah termasuk nikmat keimanan. Kedua-duanya adalah nikmat dari Allah. Akan tetapi, nikmat yang berupa bimbingan Allah kepada hamba-Nya untuk bersyukur tentu lebih utama. Karena nikmat duniawi yang tidak disertai raya syukur adalah bencana.

7. Ikhlas.
Ikhlas hanya kepada Allah dalam melakukan amalan-amalan kebaikan yang disebutkan dalam hadits di atas dan berbagai amalan kebaikan yang lain adalah syarat diterimanya sebuah amalan.
Firman Allah: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh [manusia] memberi shadaqah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara sesama manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari ridla Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (an-Nisaa’: 114)

Saat itu Rasulullah menyebutkan beberapa kebaikan, seperti shadaqah, ucapan yang baik, menolong orang yang lemah dan tidak menyakiti orang lain. Setelah itu beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di genggaman-Nya, tidaklah seseorang melakukan salah satu darinya, dengan menginginkan pahala dari sisi Allah, kecuali pada hari kiamat ia dibimbing dan dimasukkan ke dalam surga.” (HR Ibnu Hibban)

Disebutkan bahwa Hasan al-Basri dan Ibnu Sirin mengatakan, “Bahwa perbuatan baik akan mendapatkan pahala, meskipun tidak disertai dengan niat.”
Ketika ditanya tentang orang yang memberi karena rasa malu, apakah ia mendapatkan pahala? Hasan al-Basri menjawab: “Memberi adalah perbuatan baik. Dan perbuatan baik pasti diberi pahala.”
Ketika ditanya tentang orang yang ikut jenazah ke pamakaman, karena rasa malu kepada keluarga orang yang meninggal, apakah ia mendapat pahala? Ibnu Sirin menjawab: “Ia mendapat satu pahala. Bahkan ia mendapatkan dua pahala: pahala mendoakan orang yang meninggal dan pahala menjaga hubungan silaturahim dengan keluarga si mayit.” (Jami’ul Ulum Wal Hikam, hal 217-218)

8. Hadits di atas tidak bermaksud membatasi jenis shadaqah.
Penyebutkan beberapa macam shadaqah dalam hadits di atas bukanlah pembatasan terhadap macam-macam shadaqah. Namun sifatnya hanya penegasan. Dengan demikian masuk dalam kategori shadaqah adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain.

Rasulullah saw. bersabda:
– “Dalam setiap hati yang hidup, terdapat pahala”
– “Sesungguhnya Allah mengharuskan perbuatan ihsan dalam segala hal.”
– “Semua makhluk adalah tanggungan Allah. Sedangkan orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling sayang kepada orang-orang yang berada dalam tanggungannya.”

9. Hadits di atas menjelaskan bahwa Allah telah memberikan nikmat kesehatan dan kesempurnaan anggota badan kepada manusia. Karena itu manusia diharuskan mensyukuri setiap anggota tubuhnya. Bentuk dari rasa syukur tersebut sangat beragam. Namun demikian, bisa dikategorikan ke dalam dua hal:
a. Syukur yang bermanfaat bagi orang lain, misalnya: perbuatan baik, menyebarluaskan kebaikan, membantu orang yang berada dalam bahaya, perlakuan yang baik, dan lain sebagainya.
b. Syukur yang dampaknya hanya terbatas bagi orang yang melaksanakan. Sebagai contoh: ucapan tahmid, tasbih, takbir, tahlil, istighfar, shalawat nabi, membaca al-Qur’an, melangkah menuju masjid, duduk di masjid untuk menanti shalat dan lain sebagainya.

&

Menjual Batang dan Buahnya

13 Des

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Para Imam madzab sepakat bahwa yang termasuk menjual pekarangan adalah tanah dan segala bangunan yang berada di atasnya termasuk kamar mandinya. Namun suatu yang dapat dipindahkan tidak termasuk di dalamnya, seperti timba, kerekan, tempat tidur, pintu, bejana, rak dan paku yang masih bagus. Menurut Hanafi: segala yang dipandang hak rumah tidak termasuk dalam penjualan meskipun bersambung dengan pekarangan. Zufar berpendapat apabila di dalam rumah terdapat perkakas dan kain-kain, barang tersebut masuk penjualan.

Apabila seseorang menjual pohon kurma, sedangkan di atasnya terdapat mayang kurma yang belum dikawinkan, ia ikut dijual. Adapun yang belum dikawinkan tidak termasuk. Demikian menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali. Hanafi berpendapat: mayang yang sedang keluar adalah hak penjual. Ibn Abi Laila berpendapat: buah kurma adalah hak pembeli.

Para imam madzab sepakat bahwa tidak termasuk yang terjual adalah pelana, kekang, dan tali kekang dalam penjualan kuda. Adapun menurut sebagian ulama, semua itu termasuk yang terjual.

Apabila seseorang menjual sebatang pohon yang di atasnya terdapat buah milik penjual maka penjual tidak dibebani keharusan memetik buah tersebut dengan segera, tetapi harus ditunggu masa memetiknya menurut kebiasaan. Demikian menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi berpendapat: harus dipetik segera, tidak boleh dinantikan masa memetiknya.

Tidak dibolehkan menjual buah-buahan dan tanaman sebelum nyata baiknya dengan tidak disyaratkan memetik segera. Demikian menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi berpendapat: menjualnya adalah sah secara mutlak dan hendaknya dipetik segera.

Jika seseorang menjual buah-buahan sesudah nyata baiknya, hukumnya adalah boleh. Demikian menurut Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Sedangkan menurut Hanafi: tidak boleh menjualnya dengan syarat tidak dipetik segera.

Yang termasuk dalam penjualan adalah segala sesuatu yang ada bersamanya di dalam kebun itu. Adapun yang ada pada kebun lain, tidak termasuk di dalamnya. Demikian menurut Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Maliki berpendapat: boleh menjual yang ada di sekitarnya jika telah nyata kebaikan pada sebatang kurma, boleh dijual seluruh buah yang ada pada kebun tersebut. Al-Laits berpendapat: apabila telah nyata baiknya pada satu jenis buah-buahan yang ada dalam kebun, dibolehkan menjual seluruh jenis buah-buahan yang berada dalam kebun tersebut.

Apabila seseorang menjual buah yang telah nyata bainya dan buah yang akan keluar sesudah itu, penjualannya tidak sah. Demikian menurut Hanafi, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan menurut Maliki: sah penjualannya.

Apabila seseorang menjual setumpuk makanan dengan mengecualikan beberapa mud, atau beberapa gantang yang sudah ditentukan, penjualannya tidak sah, sebagaimana tidak boleh mengecualikan suatu cabang tertentu dari sebatang pohon. Demikian menurut Hanafi, Syafi’i dan Hambali. Menurut pendapat Maliki: Hal demikian adalah boleh.

Apabila seseorang mengatakan: “Aku jual kepadamu buah-buahan kebun ini kecuali seperempatnya.” Maka penjualan seperti itu adalah sah. Demikian menurut kesepakatan para imam madzab. Al-Awza’i berpendapat: tidak sah penjualan yang demikian.

Tidak sah menjual kambing dengan mengecualikan sesuatu darinya, seperti kulit ataupun lainnya, baik dalam mukim maupun di dalam safar. Demikian menurut Hanafi dan Syafi’i. Menurut Hambali: hal demikian dibolehkan, jika yang dikecualikan adalah kepala dan telapaknya yang berada di bawah tumit. Maliki: boleh yang demikian dalam safar, tidak jika dalam mukim.

&

Riba

13 Des

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Benda-benda yang telah ditetapkan ijma atas keharamannya karena riba, ada enam macam:
1. Emas
2. Perak
3. Gandum
4. Syair
5. Kurma
6. Garam

Menurut Syafi’i, diharamkan riba pada emas dan perak karena kedua benda itu mempunyai ‘illat [sebab] yang tetap, yaitu termasuk jenis harga. Hanafi: ‘illat diharamkannya emas dan perak karena kedua benda tersebut adalah jenis yang dapat ditimbang. Oleh karena itu, haram menjual atau membeli secara riba segala benda yang bisa ditimbang.

Adapun empat ‘illat yang lain, menurut Syafi’i dalam qaul jadid ialah karena benda-benda itu adalah jenis makanan. Oleh karena itu, haram riba pada minyak makanan dan air, menurut pendapat yang shahih. Adapun menurut pendapat dalam qaul qadim-nya ialah karena benda-benda itu termasuk jenis makanan atau jenis yang dapat disukat atau termasuk jenis yang dapat ditimbang.

Ulama ahlu dhahir berkata: Riba itu tidak di-‘illat-kan. Oleh karena itu, riba hanya terjadi pada enam macam benda itu. Maliki berpendapat: ‘illatnya adalah karena benda tersebut termasuk makanan yang mengenyangkan dan dapat dipergunakan untuk makanan pengenyang di antara jenis-jenis makanan yang dapat disimpan. Dari Hambali diperoleh dua riwayat: pertama seperti pendapat Syafi’i. Kedua seperti pendapat Hanafi.

Rabi’ah berkata: setiap barang yang diwajibkan zakat padanya maka haramlah riba padanya, seperti tidak dibolehkan menjual seekor unta dengan dua ekor unta. Ibn Sirin berkata: yang menjadi ‘illat adalah jenisnya sendiri. Dari semua itu, dinukilkan oleh sebagian para shahabat bahwa riba yang diharamkan dalam jual beli hanyalah riba nasi’ah, bukan riba tafdhil.

Apabila yang demikian telah menjadi ketetapan, seluruh kaum Muslim sepakat tidak dibolehkannya menjual emas dengan emas jika salah satunya tidak sama-sama hadir ketika terjadi jual-beli. Demikian juga, tidak boleh menjual perak dengan perak, baik yang masih terurai maupun yang sudah ditempa, kecuali seimbang, baik dalam timbangannya maupun masa pembayarannya. Oleh karena itu, tidak boleh menjual sesuatu dari yang benda-benda tersebut jika salah satunya tidak disertakan dalam jual beli itu.

Para imam madzab sepakat tentang bolehnya menjual emas dengan perak, perak dengan emas yang tidak sama satu dengan lainnya. Tidak boleh menjual gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam, kecuali jika sama banyaknya dan kontan. Hal itu pula jika dilakukan dengan penakaran atau penimbangan.

Boleh menjual kurma dengan garam, dan sebaliknya, yang berlainan ukurannya asalkan tunai, dan mereka tidak boleh berpisah dari tempat penjualan tersebut sebelum terjadi serah terima, kecuali menurut Hanafi. Tidak boleh menjual emas yang sudah dijadikan pakaian dengan emas yang baru ditempa, dengan berlainan jumlahnya. Demikian menurut Hanafi, Syafi’i dan Hambali.

Maliki berpendapat: boleh menjual dengan harga dari sejenisnya dan tidak boleh berpisah sebelum masing-masing menerima haknya.
Tidak boleh berpisah sebelum mereka melakukan serah terima haknya masing-masing dalam jual-beli makanan dengan makanan. Demikian menurut Syafi’i dan Maliki. Sedangkan Hanafi: boleh, yang diharamkan berpisah sebelum serah terima hanyalah pada jual beli emas dan perak.

Segala sesuatu selain emas dan perak, makanan dan minuman, tidak diharamkan pada ribanya, yakni tidak diharamkan jual-beli tidak kontan, tidak sama jumlah dan timbangannya, dan berpisah sebelum mereka serah terima. Hanafi: hanya masalah jenis yang diharamkan jual beli secara kridit.

Maliki: tidak boleh menjual seekor binatang dengan dua ekor binatang sejenis, yang dipergunakan untuk keperluan yang sama, seperti sama-sama untuk disembelih dan sebagainya.

Apabila penjualan ditentukan dengan dirham dan dinar, haru dibayar dengan ketentuan tersebut. Demikian menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi: tidak ditentukan dengan hal demikian.

Tidak boleh dijual mata uang yang disepuh dengan yang bukan aslinya, seperti mata uang yang disepuh dengan emas, tetapi boleh dibeli dengannya. Hanafi: jika yang disepuh itu lebih banyak, tidak boleh lagi dipakai pembeli.

Dua benda yang sama namanya dengan suatu nama dari satu asal kejadian, hukumnya satu jenis. Tiap-tiap benda yang berlainan jenisnya, hukumnya dua jenis yang berbeda. Maliki: gandum dengan syair dihukumi satu jenis.

Mengenai jenis-jenis daging dan jenis-jenis susu diperoleh dua pendapat dari Syafi’i. Pendapat yang paling shahih: benda-benda demikian memiliki jenis yang berbeda, demikian juga pendapat Hanafi.

Tidak ada riba pada besi, timah dan segala sesuatu yang menyerupainya. Sebab ‘illat emas dan perak adalah karena barang tersebut dapat dijadikan alat pembayaran. Demikian menurut Maliki dan Syafi’i. Adapun menurut Hanafi dan Hambali dalam pendapatnya yang jelas: Riba itu berlaku juga pada timah, tembaga dan sebagainya.

Bersamaan pada barang yang ditukar dan ditimbang dipakai takaran dan timbangan Hijaz, dipergunakan takaran atau timbangan setempat.

Segala yang diharamkan riba padanya tidak boleh dijual sebagian dengan sebagiannya dengan cara taksiran saja, kecuali dalam penjualan araya [pohon kurma yang dipinjamkan kepada orang lain supaya dimakan buahnya atau pohon kurma yang dimakan buahnya di atas pohon]. Maliki berpendapat: boleh menjual barang tersebut dengan cara taksiran mengenai banyaknya jika penjualan itu berlaku di desa-desa. Namun barang yang ditimbang tidak dibolehkan.

Barang yang diharamkan riba padanya tidak boleh dijual sebagian dengan sebagiannya dan beserta salah satu barang yang menjadi pengganti dari jenis lainnya. Lain lagi dalam masalah pembagian. Juga tidak boleh menjual dua macam benda dari jenis sama yang berlainan harganya dengan salah satu di antaranya yang sejenis, seperti menjual satu mud kurma ditambah uang satu dirham dengan dua mud kurma. Atau seperti menjual satu dinar yang baik dengan satu dinar yang sudah buruk dengan dua dinar yang baik: demikian menurut Maliki dan Syafi’i.

Tidak boleh menjual buah yang masih mentah dengan buah yang sudah kering dan sudah dipetik, seperti menjual kurma yang masih basah dengan kurma yang sudah kering. Namun Hanafi membolehkan dengan cara ditakar. Adapun menjual kurma basah yang masih berada di pohon melalui perkiraan dengan kurma yang sudah kering hukumnya boleh asalkan kurang dari lima wasaq. Demikian menurut pendapat Syafi’i. Sedangkan Hanafi berpendapat: tidak boleh bagaimanapun keadaannya.

Tidak sah menjual biji dengan tepung dari benda yang sejenis. Demikian menurut Hanafi, Syafi’i dan salah satu pendapat Hambali. Sedangkan Maliki berpendapat: boleh dijual dengan cara ditakar. Hambali dalam riwayat lain: boleh dijual dengan cara ditimbang. Abu Tsawr: boleh menjual gandum dengan tepung, meskipun tidak sama jumlah timbangan atau takarannya.

Tidak boleh menjual tepung gandum dengan tepungnya. Demikian menurut Syafi’i dan Maliki. Sedangkan Hambali berpedapat: boleh. Hanafi: boleh menjual salah satunya dengan yang lain jika halus dan kasarnya sama.

Tidak boleh menjual tepung dengan rotinya. Namun Hanafi membolehkannya asalkan sama takaran dan timbanganya.
Tidak boleh menjual roti dengan roti, apabila keduanya atau salah satunya basah. Hambali: boleh asalkan sebanding.

Apabila seseorang menjual emas yang tidak ditimbang, sah penjualannya. Hanafi: jika diketahui persamaan keduanya oleh penjual dan pembeli, sebelum mereka berpisah, hukumnya sah. Adapun jika mereka mengetahuinya sesudah berpisah, tidak sah. Zufar berpendapat: sah bagaimanapun keadaannya.

Apabila dua orang sepakat melakukan jual beli, kemudian mereka saling meyerahkan sebagian harta pembelanjaan, dan sudah saling berpisah, seluruh akad yang akan dilakukan dengan orang lain menjadi batal. Sedangkan Hanafi: boleh terhadap barang yang sudah diserahterimakan, tetapi tidak sah untuk barang yang belum diserahterimakan.

Boleh menjual hewan yang boleh dimakan dagingnya dengan daging yang sejenis. Demikian menurut tiga imam madzab. Sedangkan Hanafi membolehkan cara demikian.

&

Laut Dipanaskan (Tafsir At-Takwir ayat 6)

12 Des

At-Tadzkirah Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi; Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Kata Ibnu ‘Abbas ra. tentang firman Allah:
“Wa idzal bihaaru sujjirat (“Dan apabila laut dipanaskan”) (At-Takwir: 6)” dia katakan: “Lautan itu kelak akan dinyalakan, sehingga berubah menjadi api.”
Sedangkan Ibnu Wahab menuturkan dari Atha’ bin Yasar, bahwa dia membaca: “Wa jumi’asy syamsu wal qamara.” Lalu dia katakan bahwa keduanya akan dikumpulkan pada hari kiamat, lalu dilemparkan ke dalam neraka, sehingga terciptalah api Allah yang sangat besar.

Abu Dawud ath-Thayalisi meriwayatkan dalam Musnadnya, dari Yazid ar-Raqasy, dari Anas, yang menyampaikan hadits ini secara marfu’, bersambung kepada Nabi saw., dia berkata: “Bersabda Nabi saw.: ‘Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua ekor sapi yang terluka dalam neraka.” (Shahih: Shahih al-Jami’ [1643] dan ash-Shahihain [124], karya al-Albani, asy-Syaukani menyebutkan hadits ini dalam al-Fawa’id al-Majmu’ah [459], dan dia sebutkan pula untuknya sejumlah mutabi’ dan syahid [hadits lain yang menguatkan hadits tersebut] yang ditanggapi oleh al-Allamah Abdur Rahman bin Yahya al-Mu’allimi al-Yamani –peneliti kitab ini-, dia katakan: “Pada sanad hadits-hadits mutabi’ terdapat tokoh yang tidak saya kenal. Maka ditolaknya berita ini, adalah berpangkal pada Yazid ar-Raqasyi. Dia sangat lemah, bukan apa-apa dalam doal periwayatan.”
Tetapi Syaukani berkata: “Hadits ini terdapat dalam Shahih al-Bukhari denngan lafadz: “Matahari dan bulan digulung pada hari kiamat.”
Dan kata al-Mu’allimi al-Yamani pula: “Yang dianggap munkar adalah kata-kata: Tsaurani ‘aqirani [dua ekor sapi yang terluka].”

Dan diriwayatkan dari Ka’ab al-Ahbar, dia berkata: “Matahari dan bulan akan didatangkan seakan-akan keduanya adalah dua ekor sapi yang terluka, lalu dilemparkan ke dalam neraka.”

KENAPA MATAHARI DAN BULAN MASUK NERAKA?

Al-Qurthubi mengatakan bahwa memang demikianlah diriwayatkan, matahari dan bulan menjadi dua ekor sapi, yakni “Tsauran”. Keduanya dikumpulkan dalam neraka, karena keduanya telah menjadi sesembahan selain Allah, tetapi neraka bukan merupakan tempat adzab bagi mereka berdua, karena keduanya tidak bernyawa. Mereka diperlakukan seperti itu, hanya agar orang-orang kafir semakin bungkam dan menyesal. Demikian kata sebagian ulama.

Ibnu Qissi, penulis Khal’u an-Na’lain berkata, “Ketahuilah, bahwa matahari dan bulan akan menjadi dua ekor sapi yang terpuruk dalam neraka Jahanam, seolah-olah digulung sedemikian rupa. Sehingga terjadilah siang yang sangat panas dan malam yang sangat dingin.

Maksudnya negeri ini tetap menjadi tempat tinggal. Tidak ada perbedaan antara suasana negeri ini dengan ketika dua benda itu masih bergerak, berjalan dan berputar. Orbit siang dan malam masih tetap beredar. Hanya saja di waktu itu sudah kosong dari rahmat Allah, sedang sekarang masih ada satu rahmat dan sekian banyak rahmat Allah. Dan juga, kosong dari matahari dan bulan. Keduanya telah berubah menjadi kehitaman dan nyala api yang memenuhi negeri ini. Dan perubahan itu tak lain adalah wujud dari murka Allah Ta’ala yang maha dahsyat, dikarenakan kemaksiatan orang-orang durhaka dan kefasikan orang-orang celaka, seperti kita saksikan sekarang.

Karena bagaimana pun mereka hampir tidak lepas dari matahari dan bulan, dimanapun mereka berada, bahkan tidak akan samar bagi keduanya mata siapapun yang berkhianat. Karena sesunngguhnya, tidak ada seorang pun yang bisa melihat tanpa cahaya keduanya. kalaupun keduanya ada di balik hijab, yakni terhalang bayang-bayang malam, atau ada di balik mendung di siang hari, namun sisa cahaya yang masih nampak di permukaan bumi, sebenarnya adalah cahaya keduanya juga, dan sinar yang ada pun sinar keduanya juga.

Dan kalaupun dikatakan di waktu itu keduanya mendapat murka Allah, tetapi murka-Nya kepada keduanya tidaklah besar, kecuali bahwa kendali rahmat dicabut dari keduanya, dan dicabut pula cahaya kelembutan dan kasih sayang. Demikian pula halnya sikap Allah kepada setiap fenomena kehidupan dunia ini, bila sudah tiba saatnya rahmat dicabut darinya, yang kemudian rahmat itu dialihkan dari ngeri ini, ke negeri kehidupan yanng sesungguhnya, yaitu ke alam yang penuh cahaya.”

Dalam kaitan ini Rasulullah saw. bersabda:

“Sesungguhnya Allah mempunyai seratus rahmat. Satu rahmat di antaranya Dia turunkan ke bumi. Dan dengan adanya rahmat yang satu itulah, maka binatang-binatang saling mengasihi, dan juga makhluk-makhluk lainnya saling mengasihi dan berhubungan dengan sesama kerabat.

Apabila hari kiamat telah terjadi, maka Allah mencabut rahmat yang satu itu, dan mengembalikannya kepada yang sembilan puluh sembilan, untuk menggenapkannya menjadi seratus seperti sebelumnya. Kemudian seratus rahmat itu Allah berikan semuanya kepada orang-orang mukmin. Dan negeri adzab beserta orang-orang fasik yang tinggal di sana, kosonglah dari rahmat Tuhan sekalian alam.

Dengan hilangnya rahmat yang satu itu, maka hilang pula dari bulan, kesejukan dan cahaya yang ada padanya selama itu. Tidak tersisa lagi padanya kecuali kegelapan dan hawa yang sangat dingin. Dan dengan hilangnya rahmat tersebut maka hilang pula dari matahari, sinar dan kecemerlangan yang ada padanya selama ini, dan tidak tersisa lagi padanya kecuali kehitaman yang amat pekat dan kehangusan. Dan hilang pula sifat kasih sayang yang sebelumnya ada pada kedua benda itu, yaitu sikap menunda [hukuman] terhadap orang-orang durhaka, dan tetap [mengasihi] terhadap orang-orang fasik.

Semua itu berarti [dicabut dari keduanya] kendali penahanan dan kekang pencegahan terhadap kehancuran dan kebinasaan. Dan itulah sunnah Allah Ta’ala dalam membiarkan tetap berlakunya [susuatu] sampai waktu-waktu tertentu, dan sunnah-Nya dalam menangguhkan [mengakhirkan makhluk] sampai batas-batas yang ditetapkan, kecuali Dia menghendaki lain. Dan kalau sudah demikian halnya, maka tidak ada yang bisa menolak perintah-Nya, dan tidak ada yang bisa mencegah ketetapan-Nya. tidak ada Tuhan selain Allah, Mahasucilah Dia.”
(Dalam Mustadrak-nya [4/276], al-Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah separuh dari hadits ini dengan lafadz yang serupa, sampai dengan sabda Rasul: “…semuanya kepada orang-orang mukmin.] lalu dia katakan: “Hadits ini shahih sesuai syarat Syaikhani [Bukhari dan Muslim], tetapi keduanya tidak meriwayatkannya dengan redaksi seperti ini.” Adapun asal hadits ini adalah Shahih al-Bukhari [6000] dan shahih Muslim [2752].)

&

Hadits Arbain ke 25: Karunia dan Luasnya Rahmat Allah

11 Des

Al-Wafi; Imam Nawawi; DR.Musthafa Dieb al-Bugha

Hadits Arbain nomor 25 (dua puluh limaAbu Dzar ra. berkata, beberapa shahabat berkata kepada Rasulullah saw. “Wahai Rasulallah, orang-orang kaya itu mengumpulkan banyak pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka puasa sebagaimana kami puasa, dan mereka bershadaqah dengan kelebihan harta mereka (sementara kami tidak bisa bershadaqah).”
Beliau bersabda: “Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu yang bisa kalian shadaqahkan? Sesungguhnya setiap tasbih (subhanallah) adalah shadaqah, setiap takbir (Allahu Akbar) adalah shadaqah, setiap tahmid (alhamdulillah) adalah shadaqah, setiap tahlil (laa ilaaHa illallaaH) adalah shadaqah, menyeru kepada kebaikan adalah shadaqah, mencegah kemungkaran adalah shadaqah, dan bersetubuh dengan istri juga shadaqah.”
Mereka bertanya, “Wahai Rasulallah, apakah jika di antara kami menyalurkan hasrat biologisnya (kepada istrinya) juga mendapat pahala?” Beliau menjawab: “Bukankah jika disalurkan pada yang haram dia berdosa? Maka demikian pula jika disalurkan pada yang halal, dia mendapatkan pahala.” (HR Muslim)

KANDUNGAN HADITS

1. Berlomba-lomba mendapatkan kebaikan
Berlomba-lomba untuk mendapatkan kebaikan dan melakukan amal shalih adalah diperintahkan. Karena itu setiap muslim hendaknya berlomba-lomba untuk mendapatkan kebaikan dan melakukan amal shalih.

Abu Dzar al-Ghifari ra. yang menceritakan kepada kita fenomena persaingan di kalangan para shahabat ra. untuk mendapatkan kebaikan. Ia menyaksikan bagaimana Rasulullah saw. menyikapinya dengan arif, bagaimana Islam memberikan peluang yang amat luas untuk berbuat baik.

Dikisahkan bahwa orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin (sebagian kecil dari kalangan Anshar) merasa tidak bisa memperbanyak amal kebaikan, karena mereka tidak memiliki harta untuk diinfakkan, sebagai bukti keimanan mereka. padahal mereka selalu mendengar berbagai hadits dan ayat al-Qur’an yang mendorong untuk berinfak, memuji orang-orang yang berinfak dan menjanjikannya surga yang luasnya seluas langit dan bumi.

Mereka juga melihat saudara-saudaranya seiman yang kaya, berlomba-lomba untuk berinfak. Ada yang menginfakkan seluruh hartanya. Ada yang menginfakkan separuh hartanya. Ada yang memberikan beribu-ribu dinar. Ada yang membawa tumpukan hartanya kepada Rasulullah saw. lalu Rasulullah saw. mendoakan mereka dan memohonkan ampunan dan keridlaan dari Allah terhadap mereka.

Fenomena tersebut menggugah jiwa para shahabat yang miskin, untuk bisa memiliki kelebihan dan derajat sebagaimana saudara-saudaranya. Bukan karena dengki dengan harta yang dimiliki saudaranya, dan bukan semata-mata menginginkan kekayaan. Akan tetapi didorong oleh rasa ingin bersaing dalam kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah.

Mereka selalu berkumpul dan datang kepada Rasulullah saw. mendukan kondisi yang dialami, dengan air mata yang berlinang lantaran tidak ada sesuatu yang bisa diinfakkan. Mereka berkata: “Ya Rasulallah, orang-orang kaya telah mendapatkan pahala yang banyak, sedangkan kami tidak, karena mereka juga shalat sebagaimana kami shalat, mereka juga puasa sebagaimana kami puasa. Tidak ada kelebihan sama sekali dalam hal ini. Akan tetapi, mereka lebih dari kami, karena mereka berinfak dengan kelebihan hartanya. Sedangkan kami tidak memiliki apapun yang bisa kami infakkan agar bisa menyusul mereka. padahal kami benar-benar ingin bisa mencapai kedudukan mereka. apa yang perlu kami perbuat?”

2. Sikap Rasulullah saw. yang arif dan bijaksana, serta banyakknya peluang untuk berbuat baik.
Rasulullah benar-benar memahami keinginan mereka yang begitu kuat untuk bisa mencapai derajat yang paling tinggi di sisi Tuhannya. Dengan sikap bijaksana yang dimilikinya, beliau kemudian menenangkan kegelisahan mereka. yaitu dengan memberitahukan, bahwa pintu kebaikan sangat luas. Ada beberapa amalan yang menyamai pahala orang berinfak, bahkan bisa melebihinya. Namun semua itu tentunya sesuai dengan usaha masing-masing. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (al-Baqarah: 286)

“Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melaikan [sekedar] apa yang Allah berikan kepadanya.” (ath-Thalaq: 7)
Bukankah Allah telah menjadikan berbagai hal, yang dapat kalian shadaqahkan?
Macam-macam shadaqah dari kalian itu banyak sekali. Ada yang berbentuk infak untuk keluarga. Ada yang tidak berbentuk infak. Semua pahalanya tidak lebih kecil dari pahala infak di jalan Allah.

3. Dzikir kepada Allah adalah sebaik-baik shadaqah untuk diri sendiri.
Jika kalian tidak mempunyai kelebihan harta, maka ucapkanlah subhaanallah, allaHu akbar, alhamdulillah dan laa ilaaHa illallaaH. Karena setiap lafadz tersebut memiliki pahala seperti pahala shadaqah. Sebagai kita ketahui bahwa kalimat-kalimat tersebut adalah amalan-amalan yang kekal.

Allah berfirman: “Tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shahih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk mejadi harapan.” (al-Kahfi: 46)
“Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar [keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain]. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Ankabut: 45)

Rasulullah saw. bersabda: “Tiada satu hari, satu malam dan satu waktu, kecuali Allah memberikan shadaqah kepada hamba yang Dia kehendaki. Dan tiada pemberian Allah yang lebih berharga dari memberikan kemudahan kepada hamba-Nya untuk berdzikir kepada-Nya.” (HR Ibnu Majah)

Suatu ketika Rasulullah saw. ditanya: “Hamba yang bagaimanakah yang paling baik di sisi Allah pada hari kiamat?” Beliau menjawab: “Orang yang banyak berdzikir.” (HR Ahmad)

4. Dakwah adalah shadaqah kepada masyarakat
Pintu untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar senantiasa terbuka lebar. Orang yang melakukan kewajiban tersebut, akan mendapatkan pahala yang tidak kalah dengan pahala orang yang berinfak. Bahkan bisa jadi lebih banyak. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw.: “Setiap kebaikan adalah shadaqah.”
Lebih-lebih umat yang mau melakukan amar ma’ruf nahi munkar adalah sebaik-baik umat.
Firman Allah: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali ‘Imraan: 110)

5. Luasnya karunia Allah
Allah telah memberikan pahala kepada kita semua, siang dan malam, jika dalam kehidupan ini kita senantiasa ikhlas. Karena kita senantiasa memberi nafkah kepada keluarga kita.
Rasulullah saw. bersabda: “Dan nafkah yang diberikan seseorang kepada keluarganya adalah shadaqah.” (HR Muslim dan lainnya)
“Semua yang kamu infakkan dengan hanya mengharapkan keridlaan Allah, maka kamu akan mendapatkan pahala, termasuk sesuap nasi yang dimakan istrimu.” (Muttafaq alaih)
Bahkan ketika kita berhubungan badan dengan istri, agar terhindar dari perbuatan haram, juga mendapat pahala. Selama semua itu kita lakukan dengan penuh keikhlasan.

6. Semua perbuatan tergantung niatnya.
Termasuk karunia Allah yang diberikan kepada setiap muslim, adalah semua kebiasaan yang dilakukan aakan mempunyai nilai ibadah jika disertai niat yang baik. Bahkan dengan niat yang baik, semua perkara menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.

Jika seorang muslim makan atau minum, dengan makanan dan minuman yang halal, disertai niat untuk menjaga tubuhnya agar mampu melaksanakan perintah Tuhannya, maka makan dan minum tersebut dinilai ibadah dan diberi pahala. Terlebih jika dalam pelaksanaannya dilakukan sambil mengingat Allah, ketika hendak memuali dan ketika mengakhirinya. Memulai dengan membaca basmalah, dan diakhiri dengan membaca alhamdulillah. Sebagaimana dianjurkan dalam hadits.

Jika ia menggauli istrinya, dengan niat agar terhindar dari yang diharamkan, memberikan hak istri, atau memperoleh keturunan yang shalih yang senantiasa menyembah Allah, maka hubungan tersebut dicatat sebagai ibadah dan akan ditulis sebagai amalan kebaikan. Terlebih jika dalam pelaksanaannya mengucapkan doa seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw.

“Jika salah seorang dari kalian akan mendatangi [menggauli] istrinya, dan berdoa: ‘Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah jauhkanlah kami dari setan, dan jauhkanlah setan dari rizky yang Engkau berikan kepada kami.’ Lalu keduanya ditakdirkan mempunyai anak, [dari hubungan tersebut], niscaya setan tidak akan membahayakannya.”

Pahala yang dimiliki oleh seorang Muslim, yang senantiasa menghindari berbagai hal yang diharamkan, akan selalu berkembang dan bertambah di sisi Allah swt. Terlebih jika ia senantiasa memperbarui niat. Selalu merasa bahwa dalam meninggalkan maksiat, tidak lain kecualii untuk merealisasikan segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah swt. juga karena mengharap pahala-Nya dan takut akan siksa-Nya.

Orang-orang seperti ini termasuk golongan Ibadur Rahmaan yang disebut Allah dalam firman-Nya, “Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Rabb mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta.” (al-Furqaan: 73)
Dan termasuk golongan al-Mukminuun ash-Shaadiquun yang disebutkan Allah dalam firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut Nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka [karenanya] dan kepada Rabb lah mereka bertawakkal.” (al-Anfaal: 2)

7. Pintu kebaikan terbuka lebar
Pintu-pintu kebaikan dan shadaqah tidak berbatas apa yan disebutkan dalam hadits di atas. Masih banyak amalan-amalan lain yang bisa dilakukan seorang muslim, yang berpahala seperti pahala shadaqah.

Rasulullah saw. bersabda: “Setiap manusia diwajibkan shadaqah setiap hari, mulai terbitnya matahari hingga tenggelam kembali.” para shahbat bertanya: “Ya Rasulallah, dari mana kami bershadaqah.” Rasulullah saw. menjawab: “Pintu kebaikan sangat banyak: tasbih, tahmid, takbir, tahlil, amar ma’ruf nahi munkar, membuang sesuatu yang membahayakan dari jalan, memahamkakn orang bisu, menuntun orang buta, menunjukkan arah bagi orang yang bertanya, membantu orang yang minta pertolongan dan menolong orang yang lemah, semua itu adalah shadaqah darimu untuk dirimu sendiri.” (HR Ibnu Hibban)

Dalam hadits lain disebutkan, “Dengan tidak melakukan kejahatan kepada orang lain, adalah shadaqah.” (HR Bukhari dan Muslim)
Juga disebutkan: “Senyummu kepada saudaramu [sesama muslim] adalah shadaqah… dan memberikan air yang ada di timbamu untuk saudaramu adalah shadaqah.” (HR Ibnu Majah)

8. Berusaha bijaksana dalam menyelesaikan masalah dan senantiasa memberi harapan.

9. Keutamaan dzikir-dzikir disebutkan dalam hadits di atas, dan bahwa pahalanya menyamai pahala shadaqah, apalagi jika diucapkan setelah shalat wajib.
Rasulullah saw. bersabda: “Maukah kalian aku beritahu satu amal perbuatan. Jika kalian melakukannya, niscaya kalian dapat menyamai keutamaan generasi terdahulu dan tidak tertandingi oleh generasi setelah kalian. Kalian menjadi generasi terbaik kecuali jika dibanding dengan orang yang juga melakukannya? Hendaknya kalian membaca tasbih, tahmid dan takbir masing-masing 33 kali, setiap habis shalat.”

10. Anjuran kepada orang-orang fakir untuk bershadaqah jika tidak menyulitkan diri dan keluarganya. Juga anjuran kepada orang kaya agar senantiasa berdzikir, meskipun ia telah banyak mengeluarkn shadaqah, untuk menambah kebaikan dan pahala.

11. Shadaqah bagi orang yang mampu, tetap lebih mulia daripada dzikir. Karena shadaqah mempunyai manfaat bagi orang lain. Sedangkan dzikir, manfaatnya hanya untuk dirinya sendiri. Namun jika orang kaya, menggabungkan pahala shadaqahnya dengan dzikir, tentulah akan mendapatkan pahala yang sangat besar di sisi Allah swt.

Dalam sebuah hadits disebutkan, bahwa orang-orang fakir (yang tersebut dalam hadits di atas) mendatangi Rasulullah saw. untuk kedua kalinya. Mereka berkata: “Ya Rasulallah, teman-teman kami yang kaya mendengar nasehatmu. Lalu mereka melakukan yang kami lakukan.” Rasulullah saw. menjawab: “Itu adalah karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendakinya.” (HR Muslim)

12. Menyedekahkan sesuatu yang ia sendiri masih memerlukannya, atau diperlukan oleh keluarganya hukumny makruh. Bahkan bisa juga haram, jika kebutuhan tersebut hingga tingkat membahayakan (jika tidak terpenuhi).
Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik shadaqah adalah dari harta yang lebih.” (HR Bukhari)

13. Keutamaan orang kaya yang senantiasa bersyukur dan berinfak, juga orang fakir yang sabar dan senantiasa mengharapkan pahala.

14. Keutamaan amar ma’ruf nahi munkar. Ia merupakan fardlu kifayah. Jika tidak ada satu orangpun yang melaksanakannya, maka semua masyarakat akan turut berdosa.

15. Berlaku baik terhadap istri, memberikan semua haknya dan berusaha untuk membuatnya senang dan bahagia.

16. Dorongan untuk bertanya tentang berbagai hal yang bermanfaat dan bisa meningkatkan keimanan dan keislaman bagi seorang muslim.

17. Orang yang ingin bertanya, diperbolehkan bertanya, jika menurutnya orang yang ditanya akan suka dengan pertanyaannya.

18. Anjuran untuk menjelaskan suatu dalil bagi orang yang belajar, termasuk menjelaskan hal-hal yang samar dalam dalil yang ada, agar mempunyai pengaruh yang mendalam dalam jiwa orang yang belajar, supaya dapat segera mengamalkannya.

19. Disyariatkan qiyas.

&

Usia Para Bidadari adalah Sebaya

11 Des

Surga Kenikmatan Yang Kekal; Berita Akhirat; Mahir Ahmad Ash-Shufiy

Al-Qur’an telah mengisyaratkan bahwa para bidadari berada dalam usia yang sama, yaitu usia muda, perawan, tidak akan pernah tua, tidak keriput, tidak akan lumpuh, dan kemampuannya tidak akan mengurang. Bahkan mereka akan senantiasa menyambut suami-suami mereka dengan sambutan yang hangat, cinta yang penuh, dan kerinduan yang besar. Kemudaan mereka akan kekal. Keharumannya yang semerbak, menyebar di tengah-tengah surga….

Firman Allah: “Dan di samping mereka [ada bidadari-bidadari] yang redup pandangannya dan sebaya umurnya.” (Shaad: 52)

“Kami menciptakan mereka [bidadari-bidadari itu] secara langsung, lalu Kami jadikan mereka perawan-perawan, yang penuh cinta [dan] sebaya umurnya.” (al-Waaqi’ah: 35-37)

Kata “atrab” dalam ayat di atas menunjukkan bahwa mereka dalam satu usia, yaitu senantiasa muda.

&

Seni sebagai Sambutan Para Bidadari

11 Des

Surga Kenikmatan Yang Kekal; Berita Akhirat; Mahir Ahmad Ash-Shufiy

Para bidadari mempunyai kelompok musik, nyanyian, dan puisi yang meggugah jiwa, dengan suara yang indah dan merdu. Mereka bernyanyi dan bermain musik, menjadikan orang-orang mukmin berada di tengah-tengah kesenangan yang indah. Itulah mimpi yang datang kepada orang-orang mukmin dalam kelembutan, kehalusan, dan semua yang sedap dipandang mata. Lalu datang panggilan hingga lembutlah hatinya, sedangkan ia berada di surga, usia yang panjang, masa yang abadi, dan tentu saja penuh dengan kesenangan dan kegembiraan.

Musik dan nyanyian yang indah merupakan bagian dari kenikmatan yang abadi di surga. Itu sebabnya Allah menjadikan bidadari bersenang-senang dengan karakter seperti ini, yaitu pandai menyanyi dengan suara yang indah. Allah memberikan kemampuan pada tenggorokan mereka sehingga mereka melantunkan tembang, burung-burung akan bergerak romantis dan bunga-bunga merekah, menjadikan mukmin dan mukminah hidup bahagia, ridla dan makmur.

Diceritakan dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya istri-istri ahli surga menyanyi untuk suami-suami mereka dengan suara yang sangat merdu, yang sama sekali tidak pernah mereka dengar sebelumnya. Di antara kalimat yang mereka nyanyikan, “Kami adalah bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik. Suami-suami kami kaum yang terhormat.” Mereka melihatnya dengan pandangan yang indah. Di antara kalimat yang mereka nyanyikan juga, “Kami semua hidup kekal sehingga tidak akan mati. Kami semua aman maka tak perlu takut. Kami sudah mukim maka bepergian tidak ada lagi.” Hadits ini diriwayatkan kepada kita dalam Zawa-id az-Zuhd karya Ibnul Mubarak dan al-Kasyif karya Adz-Dzahabi.

Sebagai tambahan dari kenikmatan suara-suara para bidadari itu adalah sebagaimana yang telah disebutkan dalam beberapa hadits Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa orang-orang mukmin dapat menikmati suara-suara yang merdu yang dengan kekuasaan Allah bisa keluar dari setiap tempat.

Diceritakan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya di surga terdapat pohon yang terbuat dari emas, sedangkan cabang dan ranting-rantingnya terbuat dari zabarjad [sejenis batu mulia]. Ketika datang angin bertiup maka orang yang mendengarnya belum pernah mendengar suara semerdu dan sebagus suara pohon [dari emas yang mengeluarkan suara karena angin tersebut].” (HR Baihaqi dalam Ba’ts an-Nusyur)

&

Para Bidadari adalah Suci

11 Des

Surga Kenikmatan Yang Kekal; Berita Akhirat; Mahir Ahmad Ash-Shufiy

Tidak ada hubungannya antara keindahan yang menggoda dan cahaya yang terang, pondasi yang kukuh, serta posisi yang tinggi. Para bidadari itu tidak haid, tidak mempunyai darah, tidak perlu meludah, tidak bersin, tidak menguap dan tidak kotor.

Firman Allah: “.. dan di sana mereka [memperoleh] pasangan-pasangan yang suci…” (al-Baqarah: 25)

Mayoritas para ulama dan ahli fikih dalam menafsirkan firman Allah, “pasangan-pasangan yang suci.” Yang dimaksud adalah suci dari dosa dan kotoran.
Menurut imam Mujahid, maksud dari firman Allah di atas adalah suci dari haid, buang air besar, buang air kecil, dahak atau lendir, ludah sperma dan anak.

&

Nama-Nama Surga dan Jumlahnya

11 Des

Surga Kenikmatan Yang Kekal; Berita Akhirat; Mahir Ahmad Ash-Shufiy

1. Surga Firdaus
Surga Firdaus adalah surga yang paling tinggi di antara surga-surga. Firman Allah:
“Sungguhn orang yang beriman dan beramal shalih, untuk mereka disediakan surga firdaus sebagai tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin pindah dari sana.” (al-Kahfi: 107-108)

“Mereka itulah orang yang mewarisi, [yaitu] yang akan mewarisi [surga] firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (al-Mu’minuun: 10-11)

2. Surga ‘Adn
Firman Allah:
“Ini adalah kehormatan (bagi mereka). dan Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa benar-benar (disediakan) tempat kembali yang baik, (yaitu) syurga ‘Adn yang pintu-pintunya terbuka bagi mereka, di dalamnya mereka bertelekan (diatas dipan-dipan) sambil meminta buah-buahan yang banyak dan minuman di surga itu. dan pada sisi mereka (ada bidadari-bidadari) yang tidak liar pandangannya dan sebaya umurnya. Inilah apa yang dijanjikan kepadamu pada hari berhisab. Sesungguhnya ini adalah benar-benar rezki dari Kami yang tiada habis-habisnya.” (Shaad: 49-54)

“Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, [akan mendapat] surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan [mendapat] tempat yang baik di surga ‘Adn. Dan keridlaan Allah lebih besar. Itulah kemenangan yang agung.” (at-Taubah: 72)
Disebutkan juga bahwa di dalam surga ‘Adn ini terdapat duabelas kemuliaan.

3. Surga Khudl (Abadi)
Firman Allah:
“Katakanlah [Muhammad], ‘Apakah [azab] seperti itu yang baik, atau surga yang kekal yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa sebagai balasan, dan tempat kembali bagi mereka?’ Bagi mereka segala yang mereka kehendaki ada di dalamnya [surga], mereka kekal [di dalamnya]. Itulah janji Tuhanmu yang pantas dimohonkan [kepada-Nya].” (al-Furqaan: 15-16)

4. Surga Ma’wa
“Dan sungguh, dia [Muhammad] telah melihatnya [dalam rupanya yang asli] pada waktu yang lain, [yaitu] di Sidratul Muntaha, di dekatnya ada surga tempat tinggal, [Muhammad melihat Jibril] ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.” (an-Najm: 13-16)

&

Apakah Tenda, Istana dan Kecantikan Bidadari Itu Berbeda-beda?

10 Des

Surga Kenikmatan Yang Kekal; Berita Akhirat; Mahir Ahmad Ash-Shufiy

Di dunia, tempat hidup kita yang sekarang ini adalah tempat ujian dan cobaan, seolah tidak pernah ditemukan suatu rumah atau kedudukan menyerupai rumah atau kedudukan yang lain. Tidak juga satu kebun menyerupai kebun yang lain dan tidak pula satu istana menyerupai istana yang lain, sedangkan yang membangun dan memakmurkan bumi adalah manusia dengan segala kemampuan dan segi-segi kemanusiaannya.

Lalu bagaimana jika yang membangun adalah Allah, pencipta segala yang ada seluruhnya, dengan hanya berfirman, “Kun fayakun (adalah engkau maka iapun ada).” Seperti apa dan bagaimana besarnya?

Di surga tidak akan dijumpai satu tenda yang mirip dengan tenda yang lain, tidak juga istana menyerupai istana yang lain, kamar, kebun, sungai, bahkan kerajaan seorang mukmin tidak menyerupai dengan lainnya. Perbedaan yang benar-benar besar. Pangkat atau derajat yang ada juga banyak sekali, sedangkan perbedaan antara keduanya sangat besar. wallaaHu a’lam.

Diceritakan dari Ubadah bin ash-Shamit bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Surga itu terdapat 100 tingkat atau derajat. Antara satu tingkat dan tingkat yang lain jaraknya seperti jarak antara langit dan bumi.”

Firman Allah dalam hadits qudsi: “Aku siapkan untuk hamba-Ku, sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas di hati manusia.”

Segala sesuatu yang disiapkan Allah tersebut tidak akan ada yang mirip satu sama lain, baik dari segi kecantikan maupun kebaikannya. Allah berbicara tentang penyiapan dan macamnya bahwa hal itu tidak akan mungkin pernah terlintas di dalam hati manusia. Oleh karena itu, pada kenyataannya akan jauh di luar bayangan. Menurut ash-Shufy yang dimaksud tidak ada kemiripan di sini adalah dari segi teknik atau desain. Maksudnya, di antara istana, kebun, bangunan, tidak ada kemiripan. Begitu pula dengan derajatnya, ada yang tinggi, ada pula yang di bawahnya, dan juga tidak mungkin benar-benar sama.

Di surga tidak dijumpai keserupaan secara mutlak, baik bentuk bagian luar bangunan mana saja, teknik pewarnaan bagian dalam, rumah, maupun tempat orang mukmin dalam kerajaannya.

Di setiap tempat terdapat bidadari milik orang-orang mukmin. Setiap bidadari memiliki kecantikan dan kebaikan yang berbeda sama sekali antara satu dengan lainnya. Tidak akan ada bidadari yang mirip. Setiap bidadari memiliki kecantikan yang menggoda dan kebaikan yang cemerlang, dengan aneka kecantikan yang indah dan berbeda dari bidadari yang mana saja. wallaaHu a’lam.

&