Arsip | 16.04

Shalat bagi Orang yang Tidak Beroleh Kedua Alat Bersuci

2 Jan

Fiqih Sunnah; Sayyid Sabiq

Orang yang tidak beroleh (menemukan) air dan tanah dalam keadaan manapun, hendaklah iai shalat menurut keadaannya itu dan tidak wajib mengulanginya.
Hal itu adalah berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Aisyah ra:

“Bahwa ia meminjam kalung kepada Asma dan kebetulan hilang. Maka Rasulullah saw. mengirim beberapa orang shahabat untuk mencarinya. Akhirnya waktu shalat pun datang hingga mereka melakukan shalat tanpa berwudlu. Dan tatkala kembali kepada Nabi saw., mereka adukan hal itu kepada beliau kemudian turunlah ayat bertayamum.
Berkata Useid bin Hudheir, yakni pada ‘Aisyah: ‘Semoga Allah membalas kebaikan anda, hanya pastilah Allah memberikan untuk anda jalan keluar, dan di samping itu memberikan pula berkahnya untuk kaum Muslimin.’”

Kita lihat para shahabat melakukan shalat sewaktu mereka tidak menemukan apa yang dapat dijadikan alat bersuci. Dan sewaktu mereka laporkan hal itu kepada Nabi saw. beliau tidak menyalahkan mereka dan tidak pula menyurung mengulang. Berkata Nawawi: “Ucapan itu merupakan alasan yang terkuat.”

&

Shalat Sunah Sewaktu Qamat

2 Jan

Fiqih Sunnah; Sayyid Sabiq

Bila qamat telah dimulai, maka dimakruhkan mengerjakan shalat Tathawwu’ atau sunah. Diterima dari Abu Hurairah ra: Bahwa Nabi saw. bersabda: “Bila qamat sudah dimulai, maka tak ada lagi shalat kecuali yang wajib.” –pada suatu riwayata: Kecuali shalat yang dibacakan qamat itu-.” (HR Ahmad dan Muslim serta ash-habus Sunan)

Dan dari Abdullah bin Sarjis, katanya: Seorang laki-laki masuk ke dalam masjid, sedang ketika itu Rasulullah saw. tengah mengerjakan shalat shubuh. Orang itupun shalat dua rakaat di pinggir masjid, lalu masuk dan shalat bersama Rasulullah saw. Maka ketika Rasulullah saw. selesai memberi salam, sabdanya: “Hai fulan, shalat mana yang sebenarnya kamu utamakan, apakah shalat yang kaukerjakan sendirian atau shalat yang bersama kami?” (HR Muslim, Abu Daud dan Nasa’i)

Dan dengan sangkalan Rasulullah saw. tanpa menyuruh orang itu mengulang shalatnya kembali, menjadi bukti bahwa shalatnya tetap sah walaupun dimakruhkan.

Dan dari Ibnu ‘Abbas ra, katanya: Suatu ketika saya shalat, kebetulan muadzdzin mulai qamat. Maka saya ditarik oleh Nabi Allah saw. seraya sabdanya: “Apakah kau hendak shalat shubuh empat rakaat?” (HR Baihaqi, Thabrani, Abu Daud Thayalisi, Abu Ya’la, dan Hakim yang mengatakan: “Hadits ini adalah atas syarat Bukhari dan Muslim)

Dan dari Abu Musa al-Asy’ari ra: Bahwa Rasulullah saw. melihat seorang laki-laki yang shalat sunah shubuh ketia muadzin telah mulai adzan. Maka Nabi pun memegang pundaknya serta sabdanya: “Kenapa tidak dilakukan sebelum ini?” (HR Thabrani dan menurut ‘Iraqi isnadnya cukup baik.)

&

Shalat

2 Jan

Fiqih Sunnah; Sayyid Sabiq

Shalat ialah ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir bagi Allah Ta’ala dan disudahi dengan memberi salam.

KEDUDUKAN SHALAT DALAM ISLAM

Shalat dalam agama Islam menempati kedudukan yang tak dapat ditandingi oleh ibadah manapun. Ia merupakan tiang agama dimana ia tak dapat tegak kecuali dengan itu. Bersabda Rasulullah saw.:
“Pokok urusan ialah Islam, sedang tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah berjuang di jalan Allah.”

Shalat adalah ibadah yang mula pertama diwajibkan oleh Allah Ta’ala, dimana perintah itu disampaikan langsung oleh-Nya tanpa perantara, dengan berdialog dengan Rasul-Nya pada malam Mi’raj. Dari Anas ra:

“Shalat itu difardlukan atas Nabi saw. pada malam ia diisra’kan, sebanyak lima puluh kali, kemudian dikurangi hingga lima, lalu beliau dipanggil: ‘Hai Muhammad. Putusan-Ku tak dapat diubah lagi, dan dengan shalat lima waktu itu, kau tetap mendapat ganjaran lima puluh kali.” (HR Ahmad, Nasa’i dan Turmudzi yang menyatakan sahnya)

Ia juga merupakan amalan hamba yang mula-mula dihisab. Disampaikan oleh Abdullah bin Qurth ra:
“Amalan yang mula-mula dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat ialah shalat. Jika ia baik, baiklah seluruh amalnya, sebaliknya jika buruk, buruklah semua amalannya.” (HR Thabrani)

Shalat adalah wasiat terakhir yang diamanatkan oleh Rasulullah saw. kepada umatnya sewaktu hendak berpisah meninggalkan dunia. Demikian beliau bersabda –dalam saat-saat beliau hendak menghembuskan nafasnya yang terakhir- : “Jagalah shalat… shalat, begitu pun hamba sahayamu.”

Shalat adalah barang terakhir yang lenyap dari agama, dengan arti bila ia hilang, maka hilanglah pula agama secara keseluruhannya sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw.:
“Sungguh, buhul atau ikatakan agama Islam itu akan terurai satu demi satu. Maka setiap terurai satu buhul, orang-orang pun bergantung pada buhul berikutnya. Maka buhul yang pertama ialah menegakkan hukum, sedang yang terakhir ialah shalat.” (Ibnu Hibban dan Abu Umamah)

Orang-orang menyelidiki ayat-ayat al-Qur’anul Karim tentulah akan menjumpai bahwa Allah swt. menyebut soal shalat itu sewaktu-waktu bersama-sama dengan dzikir atau mengingat Allah, seperti:
“Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar, dan sunggguh mengingat Allah itu adalah lebih utama.” (al-Ankabut: 45)

“Sungguh, telah berbahagialah orang yang berusaha menyucikan diri dan mengingat nama Tuhannya, lalu ia shalat.” (al-A’laa: 14-15)

“Dan dirikanlah shalat itu untuk mengingat-Ku.” (Thaahaa: 14)

Dan sewaktu-waktu dengan zakat: “Dirikanlah shalat dan bayarlah zakat.” (al-Baqarah: 110)

Kali yang lain disebutkan bersama-sama dengan sabar: “Dan mohonlah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (al-Baqarah: 45)

Dan kali yang lain lagi disebutkan dengan kurban dan ibadah-ibadah lainnya, misalnya: “Shalatlah kepada Tuhanmu dan sembelihlah kurban.” (al-Kautsar: 2)

“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku dan ibadahku, hidup serta matiku, adalah bagi Allah, pengatur seluruh alam. Tak satupun serikat bagi-Nya, dan demikianlah aku dan adalah aku orang yang mula-mula menyerahkan diri.” (al-An’am: 162-163)

Kadang-kadang ia dipakai sebagai pembukaan perbuatan-perbuatan baik dan untuk menguncinya, sebagaimana halnya dalam surah al-Ma’arij dan permulaan surah al-Makminin:

“Sungguh, telah berbahagialah orang-orang Mukmin, yaitu orang-orang yang khusuk di dalam shalatnya.” Sampai pada firman-Nya: “Dan orang-orang yang menjaga shalat mereka. merekalah yang layak untuk menjadi pewaris, yakni yang akan mewarisi surga Firdaus, kekal mereka di sana buat selama-lamanya.” (al-Mukminun: 1,2, 9-11)

Dan disebabkan pentingnya shalat dalam agama Islam, maka penganut-penganutnya disuruh mengerjakannya, baik di waktu mukim maupun di dalam perjalanan, di waktu damai maupun perang. Firman Allah:
“Jagalah shalat-shalat itu, tiada terkecuali shalat Ashar”
“Berdirilah kamu untuk beribadah kepada Allah didorong oleh rasa patuh akan perintah-Nya. dan jika kamu dalam keadaan rasa cemas, maka lakukanlah shalat itu sambil berjalan kaki atau berkendaraan. Dan jika telah aman, ingatlah kepada Allah yang telah mengajarkan kepadamu segala apa yang tidak kamu ketahui.” (al-Baqarah: 238-239)

Dinyatakannya pula kaifiat atau tata cara melakukannya dalam perjalanan di waktu perang maupun damai.

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), Maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu. Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (an-Nisaa’: 101-103)

Islam amat menentang orang-orang yang menyia-nyiakan shalat dan mengancam orang yang lalai dari melakukannya. Firman Allah:

“Maka di belakang muncullah satu golongan yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti syahwat, hingga merekapun terjerumus dalam kesesatan.” (Maryam: 59)

“Maka neraka Wail lah bagi orang-orang yang shalat, yakni orang-orang yang lalai dari melakukan shalatnya.” (al-Maa’uun: 4-5)

Dan oleh karena shalat itu merupakan salah satu urusan penting yang membutuhkan petunjuk khusus, maka Nabi Ibrahim as. pun memohon kepada Allah agar ia bersama anak cucunya dijadikan penegaknya, katanya:

“Tuhanku. Jadikanlah aku bersama anak cucuku pendiri-pendiri shalat. Ya Tuhan kami, kabulkanlah doaku ini.” (Ibrahim: 40)

&

Sunnah-sunnah Mandi

2 Jan

Fiqih Sunnah; Sayyid Sabiq

Disunahkan bagi yang mandi memperhatikan perbuatan Rasulullah saw. ketika mandi itu, hingga ia mengerjakan sebagai berikut:

1. Memulai dengan mencuci kedua tangan tiga kali

2. Kemudian membasuh kemaluan

3. Lalu berwudlu secara sempurna seperti halnya wudlu buat shalat. Dan ia boleh menangguhkan membasuh kedua kaki sampai selesai mandi, bila ia mandi itu dari pasu tembaga dan lain-lain.

4. Kemudian menuangkan air ke atas kepala sebanyak tiga kali sambil menyelang-nyelangi rambut agar air sampai membasahi urat-uratnya.

5. Lalu mengalirkan air ke seluruh badan dengan memulai sebelah kanan lalu sebelah kiri tanpa mengabaikan dua ketiak, bagian dalam telinga, pusar, dan jari-jari kaki serta menggosok anggota tubuh yang dapat digosok.

Sebagai dasar dari semua itu adalah apa yang diberitakan oleh ‘Aisyah ra:
“Bahwa Nabi saw. bila mandi disebabkan janabat, mulai dengan mencuci kedua tangan, lalu menuangkan air dengan tangan kanan ke tangan kirinya dan mencuci kemaluannya, kemudian berwudlu seperti halnya ketika hendak shalat, lalu diambilnya air lalu dimasukkannya jari-jarinya ke dalam urat rambut hingga bila dirasakannya air telah membasahi kulit, disauknya kedua tangan lagi dan disapukannya ke kepalanya sebanyak tiga kali, kemudian dituangkannya ke seluruh tubuh.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dan menurut suatu riwayat mereka lagi: “Kemudian diselang-selingnya rambutnya dengan kedua tangannya, hingga bila dirasakannya kulitnya telah basah, dilimpahkannya air ke atasnya taiga kali.”

Juga menurut riwayat keduanya pula yang diterima dari ‘Aisyah ra:
“Bila Rasulullah mandi disebabkan janabat, dimintanyalah air secukupnya, kemudian diambilnya dengan telapak tangannya dan dimulainya dengan kepala sebelah kanan kemudian baru yang kiri. Setelah itu disauknya dengan kedua telapak tangannya dan ditimpakannya ke atas kepalanya.”

Dan dari Maimunah ra. katanya:
“Saya sediakan bagi Nabi saw. air untuk bersuci, maka dituangkannya air itu ke kedua tangan dan dibasuhnya dua atau tiga kali. Setelah itu dituangkannya air dengan tangan kanan kepada tangan kirinnya lalu membasuh bagian kemaluannya dan menggosokkan tangan ke tanah, lalu berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung kemudian membasuh muka dan kedua tangannya.
Setelah itu barulah dibasuhnya kepalanya tiga kali, kemudian ditimpakannya ke sekujur tubuhnya. Lalu ia mengundurkan diri dari tempat berdirinya dan membasuh kedua telapak kakinya. Ulasnya: Maka kubawakan untuk beliau guntingan kain, tetapi rupanya tidak diperlukannya, dan ditimpakannya air dengan tangannya.” (HR Jama’ah)

“Lam yurid-Haa” asal katanya ialah dari iradah artinya tidak menginginkannya jadi bukan berasal dari “Rad” atau menolak sebagaimana terdapat pada riwayat Bukhari: “Maka kubawakan untuknya handuk, tetapi ditolaknya.”

&

Tertidur atau Lupa Melakukan Shalat

2 Jan

Fiqih Sunnah; Sayyid Sabiq

Barangsiapa yang tertidur atau lupa melakukan shalat, maka waktunya ialah ketika ia sadar dan ingat padanya, berdasarkan hadits Abu Qatadah: Mereka menceritakan kepada Nabi saw. perihal mereka sewaktu tertidur hingga luput dari waktu shalat. Maka sabdanya: “Tidaklah tertidur itu dianggap lalai. Yang dikatakan lalai ialah di saat bangun; maka bila salah seorang di antaramu lupa mengerjakan suatu shalat atau tertidur, maka ia melakukan di saat ia ingat, dan tak ada kafarat atau denda atasnya selain demikian.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dan diterima dari ‘Imran bin Hushein, katanya: kami bepergian bersama Rasulullah saw. Dan tatkala hari telah jauh malam, kami berhenti buat beristirahat, dan tidak terbangun sampai akhirnya dibangunkan oleh panas matahari. Maka kami masing-masing buru-buru bangkit untuk bersuci. Tetapi Nabi saw. menyuruh kami untuk tenang, kemudian kami berangkat dan melanjutkan perjalanan, hingga ketika matahari telah tinggi, maka Nabi pun berwudlu, lalu menyuruh Bilal dan Bilalpun adzan. Kemudian Nabi shalat sunah fajar dua rakaat, lalu qamat dan kamipun shalatlah. Tanya mereka: “Ya Rasulallah, apakah shalat ini akan diulang besok pada waktunya?” Jawab Nabi saw: “Kiramu, jika Tuhanmu Allah Ta’ala melarangmu menerima riba, apakah Ia berkenan menerimanya darimu?” (HR Ahmad dan lain-lain)

&

Tayamum

2 Jan

Fiqih Sunnah; Sayyid Sabiq

1. Definisi Tayamum.
Menurut logat, tayamum itu artinya ialah menyengaja. Sedangkan menurut syara’ ialah menyengaja tanah untuk menghapus muka dan kedua tangan dengan maksud dapat melakukan shalat dan lain-lain.

2. Dalil Disyariatkannya Tayamum
Tayamum tegas disyariatkan berdasarkan kitab, sunnah dan ijma’. Mengenai kitab adalah firman Allah:
“Jika kamu sakit atau dalam perjalanan, atau salah seorang di antaramu buang air besar dan campur dengan perempuan dan tiada beroleh air, maka hendaklah bertayamum dengan tanah yang baik, yakni sapulah muka dan kedua tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (an-Nisaa’: 43)

Mengenai sunnah ialah berdasarkan hadits Abu Umamah ra: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Seluruh bumi dijadikan bagiku dan bagi umatku sebagai masjid dan alat bersuci. Maka dimana juga shalat itu menemui salah seorang di antara umatku, di sisinya terdapat alat untuk bersuci itu.” (HR Ahmad)

Adapun ijma’ ialah karena kaum Muslimin telah mencapai kesepakatan bahwa tayamum itu disyariatkan sebagai ganti wudlu dan mandi, pada hal-hal tertentu.

3. Khususnya tayamum bagi umat ini
Tayamum merupakan keistimewaan yang khusus diberikan Allah kepada umat Muhammad saw. Dari Jabir ra: Bahwa Rasulullah saw. telah bersabda: “Saya diberi Allah lima perkara yang tidak diberikan kepada seorang pun sebelumku: saya dijauhkan dari ketakutan sepanjang satu bulan perjalanan, dijadikan bumi bagiku sebagai masjid dan alat bersuci, maka siapa saja di antara umatku yang ditemui waktu shalat, hendaklah ia melakukannya; dihalalkan bagiku binatang ternak sedang bagi orang-orang sebelumku tidak dihalalkan; saya diberi hak untuk memberi syafaat; dan yang kelima jika Nabi-nabi lain dikirim untuk kaumnya semata, maka aku dikirim kepada segenap umat manusia.” (HR Bukhari dan Muslim)

4. Sebab-sebab disyariatkannya tayamum
‘Aisyah ra. meriwayatkannnya sebagai berikut: Kami pergi bersama Rasulullah saw. dalam suatu perjalanan hingga sewaktu sampai di Baida’ rantaiku telah terputus. Nabi pun berhenti untuk mencarinya begitu pun orang-orang sama berhenti pula. Kebetulan tempat itu tidak berair, begitupun mereka tidak membawanya. Orang-orang pun datang menemui Abu Bakar, kata mereka: “Tidakkah anda mengetahui apa yang telah diperbuat oleh ‘Aisyah?” maka datanglah Abu Bakar, sedang Nabi saw. sedang berada di atas pahaku dan telah tertidur. Maka iapun mencelaku dan mengeluarkan kata-kata sesuka hatinya, bahkan menusuk pinggangku dengan tangannya. Aku menahan diri tiada sampai bergerak hanyalah karena mengingat bahwa Nabi saw. sedang berada di atas pahaku. Demikianlah beliau tidur sampai pagi tanpa air. Maka Allah Ta’ala pun menurunkan ayat tayamum, yakni ‘Maka bertayamumlah kamu.’
Berkatalah Useid bin Hudeir: “Mana keluarga Abu Bakar. Ini bukanlah berkah yang pertama kali buat tuan-tuan!” (maksudnya berkah yang dilimpahkan kepada tuan-tuan sangat banyak). Kata ‘Aisyah selanjutnya: “Kemudian orang-orang pun menghalau unta yang kukendarai, kiranya kami temukan rantaiku di bawahnya.” (HR Jama’ah kecuali Turmudzi)

5. Sebab-sebab yang membolehkan tayamum

a. Jika seseorang tiada beroleh air, atau ada tetapi tidak cukup untuk bersuci, berdasarkan hadits ‘Imran bin Husain ra, katanya: ketika itu kami sedang berada dalam perjalanan bersama Rasulullah saw. Beliau pun shalat bersama orang-orang. Kiranya ada seorang laki-laki memencilkan diri, maka tanya Nabi: “Kenapa anda tidak shalat?” Ujarnya: “Saya dalam keadaan janabat, sedang air tidak ada.” Maka sabda Nabi pula: “Pergunakanlah tanah, demikian itu cukup bagi anda.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dan dari Abu Dzar ra. dari Nabi saw. katanya: “Sesungguhnya tanah itu dapat menyucikan bagi orang-orang yang tidak beroleh air selama waktu sepuluh tahun.” (HR Ash-habus Sunan, dan menurut Turmudzi hadits ini hasan lagi shahih)

Tetapi sebelum bertayamum itu, hendaklah ia mencari air dari bekal perjalanan atau dari teman-temannya, atau dari tempat yang menurut adat tidak jauh. Dan jika ia yakin bahwa air itu tidak ada, atau bila tempatnya jauh, maka tidaklah wajib ia mencari.

b. Jika seseorang mempunyai luka atau ditimpa sakit, dan ia khawatir jika memakai air itu penyakitnya akan bertambah parah atau lama sembuhnya, baik hal itu diketahuinya dari hasil pengalaman atau atas nasehat dokter yang dapat dipercaya berdasarkan hadits Jabir ra. katanya:

“Suatu ketika kami pergi untuk suatu perjalanan. Kebetulan salah seorang di antara kami ditimpa sebuah batu besar yang melukai kepalanya. Kemudian orang itu bermimpi, lalu menanyakan kepada teman-temannya: ‘Menurut kalian, apakah saya mendapat keringanan untuk tayamum?’
Ujar mereka: ‘Tidak ada keringanan bagi anda, karena anda bisa mendapatkan air.’ Maka orang itupun mandilah dan kebetulan meninggal dunia. Kemudian setelah kami berada di hadapan Rasulullah saw. kami sampaikan peristiwa itu kepada beliau. Maka ujarnya: ‘Mereka telah membunuh orang itu. Tentu mereka dibunuh pula oleh Allah! Kenapa mereka tidak bertanya jika tidak tahu? Obat jahil –yakni kebodohan- tidak lain hanyalah dengan bertanya. Cukuplah bila orang itu bertayamum dan mengeringkan lukanya, atau membalut lukanya dengan kain lalu menyapu bagian atasnya, kemudian membasuh seluruh tubuhnya.’” (HR Abu Daud, Ibnu Majah dan Daruquthni serta disahkan oleh Ibnu Sikkin)

c. Jika air amat dingin dan besar dugaannya akan timbul bahaya disebabkan menggunakannya, dengan syarat ia tak sanggup memanaskan air tersebut, walaupun hanya dengan jalan diupahkan. Atau jika seseorang tidak mudah masuk kamar mandi, berdasarkan hadits ‘Amar bin ‘Ash ra. bahwa tatkala ia dikirim dalam pertempuran “Berantai”, maka katanya: “Pada waktu malam yang amat dingin saya bermimpi. Saya khawatir saya akan tewas jika saya mandi juga, maka saya pun bertayamumlah lalu shalat shubuh bersama para teman sejawat.” Kemudian tatkala kami telah pulang kepada Rasulullah saw. hal itu pun mereka sampaikan kepadanya. Maka tanya beliau: “Hai Amar. Betulkah anda melakukan shalat bersama kawan-kawan padahal ketika itu anda dalam keadaan janabat?” jawabku: “Aku teringat akan firman Allah ‘Azza wa Jalla: ‘Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sungguh Allah Mahapenyayang terhadap kamu sekalian.” (an-Nisaa’: 29) maka akupun bertayamum lalu shalat.” Rasulullah saw. hanya tertawa dan tidak mengatakan apa-apa

Dalam hadits ada taqrir atau persetujuan dari Nabi saw. sedangkan taqrir itu menjadi alasan, karena Nabi saw. tidak menyetujui barang yang salah.

d. Jika air berada dekat seseorang tetapi ia khawatir terhadap keselamatan diri, kehormatan dan hartanya, atau ia khawatir akan kehilangan teman, atau diantaranya dengan air terhalang oleh musuh yang ditakutinya, baik musuh itu berupa manusia atau lainnya. Atau bila ia terpenjara, atau tidak mampu mengeluarkan air disebabkan tidak punya alat seperti tali dan timba karena adanya air di dalam keadaan seperti itu sama juga dengan tiada.

Begitu juga boleh bertayamum bagi orang yang khawatir akan dituduh melakukan hal yang bukan-bukan dan beroleh bencana karenanya bila ia mandi. Misalnya seorang teman yang bermalam di rumah temannya yang mempunyai istri dan pagi-pagi ia dalam keadaan junub.

e. Jika seseorang membutuhkan air, baik di waktu sekarang maupun yang akan datang, untuk keperluan minumnya atau minum lainnya walaupun seekor yang tidak galak sekalipun, atau bila ia membutuhkannya untuk mengaduk tepung, memasak, atau menghilangkan najis yang tak dapat dimaafkan, maka hendaklah ia bertayamum dan menyimpan air yang ada itu. Berkata Imam Ahmad ra: “Sejumlah shahabat bertayamum dan menyimpan air untuk minuman mereka.”

Berkata Ibnu Taimiyah: “Siapa yang menahan kencingnya dan tidak punya air, maka lebih utama bila ia shalat dengan tayamum serta melepas kencingnya, daripada ia memelihara wudlu dan shalat dengan menahan kencing.”

f. Jika seseorang sanggup menggunakan air, tetapi ia khawatir habis waktu jika memakainya untuk berwudlu atau mandi, maka hendaklah ia bertayamum dan melakukan shalat, serta tak wajib mengulanginya lagi.

6. Tanah yang digunakan untuk tayamum
Boleh tayamum dengan tanah yang suci, begitupun dengan segala yang sejenis tanah seperti pasir, batu dan bata, berdasarkan firman Allah: “Hendaklah kamu bertayamum dengan sha’id yang baik.”
Sedang para ahli bahasa telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan sha’id itu ialah permukaan bumi, baik ia berupa tanah maupun lainnya.

7. Kaifiat atau Tatacara Bertayamum
Hendaklah orang yang bertayamum itu berniat lebih dahulu (ia termasuk pula dalam rukun atau fardlunya). Mengenai masalah ini telah dibicarakan dalam bab wudlu. Kemudian membaca basmalah dan memukulkan kedua telapak tangan ke tanah yang suci, lalu menyapukannya ke muka, begitupun kedua belah tangan sampai ke pergelangan tangan. Mengenai hal ini tidak ada keterangan yang lebih sah dan lebih tegas dari hadits ‘Imar ra. katanya:
“Aku junub dan tidak mendapatkan air, maka aku bergelimang dengan tanah lalu shalat, kemudian aku ceritakan hal itu kepada Nabi saw. maka sabdanya: ‘Cukup bila anda lakukan seperti ini: dipukulkannya kedua telapak tangannya ke tanah, lalu dihembuskannya kemudian disapukannya ke muka dan kedua telapak tangannya.’” (HR Bukhari dan Muslim)
Menurut susunan kalimat yang lain hadits itu berbunyi sebagai berikut: “Cukup bila kau pukulkan kedua telapak tanganmu ke tanah, lalu hembuskan kemudian sapukan ke muka dan kedua tanganmu sampai ke pergelangan.” (HR Daruquthni)

Maka dalam hadits ini diterangkan bahwa mengambil tanah itu cukup dengan satu kali tepukan saja, dan menyapu tangan sampai ke pergelangan, serta menurut sunnah, bagi orang yang tayamum dengan memakai tanah hendaklah ia menyapukan serta menghembuskan kedua belah tangan, agar ia tidak menggelimangkan tanah di mukanya.

8. Hal-hal yang dibolehkan dengan tayamum
Tayamum itu adalah pengganti wudlu dan mandi ketika tak ada air, maka dibolehkan dengan tayamum itu apa yang dibolehkan dengan wudlu dan mandi seperti shalat, menyentu al-Qur’an dan lain-lain.

Dan untuk sah tidaknya disyaratkan masuknya waktu, serta bagi orang yang telah bertayamum dibolehkan dengan satu kali tayamum itu melakukan shalat, baik yang fardlu maupun yang sunnah sebanyak yang dikehendakinya. Pendeknya hukum tayamum itu sama dengan wudlu, tak ada bedanya sama sekali.

Dari Abu Dzar ra: bahwa Nabi saw. telah bersabda: “Tanah itu menyucikan orang Islam, walaupun ia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Maka seandainya ia telah mendapatkan air, hendaknya dibasuhkannya ke kulitnya, karena demikian lebih baik.” (HR Ahmad dan Turmudzi yang menyatakan sahnya)

9. Yang membatalkan tayamum
Tayamum itu menjadi batal oleh segala yang membatalkan wudlu, karena ia merupakan ganti daripadanya. Begitupun ia batal disebabkan adanya air bagi orang yang tidak mendapatkannya, atau bila telah dapat memakainya bagi orang yang tidak sanggup pada mulanya.

Tetapi bila seseorang melakukan shalat dengan tayamum kemudian ia menemukan air, atau bila ia menggunakannya setelah shalat selesai, tidaklah wajib ia mengulang walaupun waktu shalat masih ada. Diterima dari Abu Sa’id al-Khudri ra. katanya:

“Dua orang laki-laki pergi melakukan suatu perjalanan. Maka datanglah waktu shalat sedang mereka tidak membawa air, maka bertayamumlah mereka dengan tanah yang baik dan mengerjakan shalat. Kemudian tiada lama di antaranya mereka menemukan air. Maka yang seorang mengulangi wudlu dan shalat, sedang yang lain lagi tidak mengulanginya. Lalu mereka mendapatkan Nabi saw. dan menceritakan peristiwa itu. Bersabdalah Nabi saw dan menceritakan peristiwa itu. Bersabdalah Nabi kepada orang yang tidak mengulang: ‘Anda telah berbuat sesuai dengan sunnah, dan shalat anda terpenuhi.’ Dan kepada orang yang mengulang wudlu dan shalatnya: ‘Anda mendapat ganjaran dua kali lipat.’” (HR Abu Daud dan Nasa’i)

Tetapi bila menemukan air itu, atau dapat menggunakannya setelah mulai shalat tapi belum selesai, maka tayamum jadi batal dan ia harus mengulangi bersuci dengan memakai air, berdasarkan hadits Abu Dzar yang lalu.

Dan seandainya orang junub atau perempuan haid bertayamum dikarenakan salah satu sebab yang membolehkan tayamum dan ia shalat, tidaklah wajib ia mengulanginya. Hanya ia wajib mandi bila telah dapat menggunakan air. Alasannya adalah hadits ‘Imraan ra:

“Rasulullah saw. melakukan shalat bersama orang-orang. Dan tatkala ia berpaling dari shalat, kiranya ada seseorang lelaki yang memisahkan diri dan tak ikut shalat. Maka bertanyalah Nabi saw.: ‘Kenapa anda tidak ikut shalat bersama orang-orang itu?’ Ujarnya: ‘Saya ditimpa janabat dan tidak mendapatkan air.’ Sabda Nabi: ‘Pakailah tanah, ia memadai bagi anda.’” Selanjutnya diceritakan oleh ‘Imraan: “Setelah mereka beroleh air, maka Rasulullah sawa. Memberikan setimba air keapada orang yang junub tadi, seraya sabdanya: ‘Pergilah dan kucurkanlah ke tubuhmu.’” (HR Bukhari)

&

Syarat-Syarat Shalat

2 Jan

Fiqih Sunnah; Sayyid Sabiq

Syarat-syarat yang mendahului shalat dan wajib dipenuhi oleh orang yang hendak mengerjakannya, dengan ketentuan bila ketinggalan salah satu di antaranya, maka shalatnya batal ialah:

1. Mengetahui tentang masuknya waktu
Dan ini cukup dengan kuat sangka. Maka barangsiapa yang yakin atau berat sangka, bahwa ia telah masuk shalat, dibolehkannya baginya shalat, baik hal itu diperolehnya dari pemberitahuan orang-orang yang dipercaya, atau seruan adzan dari muadzdzin yang jujur atau ijtihad yakni usaha pribadi, atau salah satu dari sebab ada juga yang bisa menghasilkan ilmu dan keyakinan.

2. Suci dari hadats kecil dan hadats besar
Berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman. Jika kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu lalu basuh kakimu sampai kedua mata kaki. Dan jika kamu dalam keadaan junub, maka hendaklah kamu bersuci.” (al-Maidah: 6)

Juga karena hadits Ibnu Umar ra: bahwa Nabi saw. bersabda:”Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci, dan tak hendak menerima sedekah dari harta rampasan yang belum dibagi.” (HR Jamaah kecuali Bukhari)

3. Suci badan, pakaian dan tempat shalat dari najis yang kelihatan, bila itu mungkin
Jika tidak dapat dihilangkan, boleh shalat dengannya, dan tidak wajib mengulang.
Mengenai suci badan, ialah karena hadits Anas, bahwa Nabi saw. bersabda: “Bersucilah kamu dari kencing, karena pada umumnya adzab kubur disebabkan oleh karena itu.” (HR Daruquthni yang menyatakan hasan)

Dan dari ‘Ali ra. katanya:
4. Menutup aurat
5. Menghadap kiblat

Waktu Shalat Dhuhur

2 Jan

Fiqih Sunnah; Sayyid Sabiq

Berdasarkan hadits yang telah disebutkan, ternyatalah bahwa waktu shalat Dhuhur itu bermula dari tergelincirnya matahari dari tengah-tengah langit dan berlangsung sampai bayangan sesuatu itu sama panjang dengan benda tersebut.

Hanya disunnahkan ta’khir atau mengundurkan shalat dhuhur itu dari awal waktu hari panas hingga tiada mengganggu kekhusyukan, sebaliknya disunnahkan ta’jil atau menyegerakan pada saat-saat lain dari demikian. Alasannya adalah:

1. Apa yang diriwayatkan oleh Anas:
“Adalah Nabi saw. bila hari amat dingin menyegerakan dilakukannya shalat, dan bila hari panas melambatkan memulainya.” (HR Bukhari)

2. Dari Abu Dzar, katanya:
“Suatu ketika kami berada bersama Nabi saw. dalam suatu perjalanan. Maka muadzdzin pun bermaksud hendak adzan buat shalat dhuhur, lalu ujar Nabi: ‘Tunggu dulu. Kemudian ketika adzan kembali, Nabi mengatakan lagi: ‘Tunggu dulu.’
Demikianlah sampai dua atau tiga kali, hingga tampaklah oleh kami bayang-bayang guguk setelah matahari tergelincir. Kemudian sabda Nabi: ‘Sesungguhnya panas yang amat sangat itu adalah lambaian neraka jahanam. Maka bila hari terlalu panas, undurkanlah melakukan shalat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Batas pengunduran: Berkata Hafidh dalam “al-Fat-h”:
“Para ulama berbeda pendapat tentang batas pengunduran. Ada yang mengatakan sampai bayang-bayang itu sehasta panjangnya setelah tergelincir. Ada pula yang mengatkan seperempat dari tinggi benda. Kata yang lain sepertiga, dan ada pula yang mengatakan seperdua, serta masih ada pendapat lain. Dan yang lazim menurut undang-undang ialah bahwa hal itu berbeda-beda melihat suasana, hanya syaratnya tidak sampai kepada akhir waktu.”

&

Waktu Shalat ‘Ashar

2 Jan

Fiqih Sunnah; Sayyid Sabiq

Waktu shalat ‘ashar bermula bila bayang-bayang suatu benda itu sama panjang dengan benda itu sendiri, yakni setelah bayangan waktu tergelincir, dan berlangsung sampai terbenamnya matahari.

Dari Abu Hurairah ra.: “Bahwa Nabi saw. telah bersabda: ‘Siapa yang masih mendapatkan satu rakaat ‘Ashar sebelum matahari terbenam, berarti ia telah mendapatkan shalat ‘Ashar.” (HR Jamaah serta Baihaqi dengan susunan perkataan sebagai berikut: “barangsiapa telah melakukan satu rakaat shalat ‘ashar sebelum matahari terbenam, kemudian melanjutkan shalatnya setelah matahari terbenam, maka berarti waktu ‘asharnya belum lagi luput.”)

Waktu fadhilah dan ikhtiar [utama dan biasa] berakhir dengan menguningnya cahaya matahari. Atas pengertian inilah ditafsirkan hadits-hadits Jabir dan Abdullah yang lalu.

Adapun yang menangguhkan shalat setelah saat menguning tersebut maka walaupun diperbolehkan tapi hukumnya makruh jika tak ada udzur.

Dari Anas ra: Saya dengar Rasulullah saw. bersabda: “Itu adalah shalat orang munafik. Ia duduk menunggu-nunggu matahari, hingga bila telah berada di antara dua tanduk setan, maka dipatuknya empat kali. Hanya sedikit ia mengingat Allah.” (HR Jama’ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah)

Berkata Nawawi dalam “Syarah Muslim”: “Menurut shahabat kita, waktu ‘ashar itu ada lima macam:
1. Waktu fadhilah atau utama,
2. Waktu ikhtiar atau biasa,
3. Waktu jawaz yakni diperbolehkan tanpa makruh.
4. Waktu diperbolehkan tapi makruh, dan
5. Waktu uzur.”

Adapun waktu fadhilah ialah awal waktunya. Dan waktu ikhtiar berlangsung sampai bayang-bayang suatu benda itu dua kali panjangnya. Waktu jawaz dari saat itu sampai kuningnya matahari dan waktu makruh dari saat kuning hingga terbenamnya, sedang waktu uzur ialah waktu dhuhur bagi orang yang diberi kesempatan untuk menjama’ shalat ‘ashar dengan dhuhur, disebabkan dalam perjalanan atau karena hujan.

Melakukan shalat ‘ashar pada waktu yang kelima ini disebut ada’i yakni mengerjakan pada waktunya, dan jika telah luput kesemuanya disebabkan oleh terbenamnya matahari, maka disebut qadla’.

Pentingnya menyegerakan shalat ‘ashar pada hari mendung, diterima dari Buraida al aslami, katanya: pada suatu waktu kami berada di sebuah peperangan, bersama Rasulullah saw., sabdanya: “Segeralah melakukan shalat pada hari mendung! Karena siapa-siapa yang luput shalat ‘asharnya maka gugurlah amalan-amalannya.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah)

Berkata Ibnu Qaiyim: “Meninggalkan itu ada dua rupa: meninggalkan secara keseluruhan tanpa melakukannya sama sekali, maka ini menggugurkan semua amalan. Kedua meninggalkan secara sebagian-sebagian pada hari tertentu. Maka ini menggugurkan amalan pada hari itu.”

Shalat ‘ashar merupakan shalat wustha, artinya pertengahan. Firman Allah: “Peliharalah shalat-shalat itu, begitupun shalat wustha dan beribadahlah kepada Allah dengan menaati perintah-perintah-Nya.”

Dan telah diterima beberapa hadits shahih yang menegaskan bahwa shalat ‘asharlah yang dimaksud dengan shalat wustha.

1. Dari Ali ra: bahwa Rasulullah saw. bersabda pada waktu perang Ahzab: “Allah akan memenuhi kubur dan rumah-rumah mereka dengan api neraka, sebagaimana mereka menghalang-halangi kita dari shalat wustha sampai matahari terbenam.” (HR Bukhari dan Muslim. Sedang pada riwayat Muslim, Ahmad dan Abu Daud berbunyi berikut: “Mereka menghalangi kita shalat wustha, yakni shalat ‘ashar.”)

2. Dari Ibnu Mas’ud, katanya: orang-orang musyrik telah menahan Rasulullah saw. dari melakukan shalat ‘ashar sampai matahari menjadi merah dan kuning. Maka bersabdalah Rasulullah saw.: ‘Mereka halangi kita dari shalat wustha yakni shalat ‘ashar. Semoga Allah akan memenuhi rongga perut dan kuburan mereka dengan api neraka!’ – atau ‘mengisi rongga perut dan kuburan mereka dengan api neraka.’-“ (HR Ahmad, Muslim dan Ibnu Majah)

&

Waktu Shalat ‘Isya

2 Jan

Fiqih Sunnah; Sayyid Sabiq

Waktu shalat ‘isya bermula di waktu lenyapnya syafak merah dan berlangsung hingga seperdua malam. Dari ‘Aisyah ra. katanya: para shahabat melakukan shalat ‘Isya di antara terbenamnya mega merah sampai sepertiga malam yang pertama. telah bersabda Rasulullah saw.: “Kalau tidaklah akan memberatkan umatku, tentu kusuruh mereka mengundurkan ‘isya sampai sepertiga atau seperdua malam.” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Turmudzi yang menyatakan sahnya)

Dan dari Abu Sa’id, katanya: Kami tunggu Rasulullah saw. pada suatu malam untuk melakukan shalat ‘Isya, hingga berlalu kira-kira sebagian malam.”
Ulasnya pula: “Maka Nabi pun datanglah dan shalat bersama kami, sabdanya: “Ambillah tempat dudukmu masing-masing walau orang-orang telah menempati tempat tidur mereka. dan kamu berarti dalam shalat semenjak saat menunggunya. Kalau bukanlah karena kedlaifan orang lemah, halangan dari orang yang sakit, serta keperluan dari orang yang berkepentingan, tentulah akan aku undurkan shalat ini hingga sebagian dari waktu malam.” (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan an-Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah, sedang isnadnya sah)

Demikian adalah waktu ikhtiar. Mengenai waktu jawaz dan darurat maka berlangsung hingga waktu fajar berdasarkan hadits Abu Qatadah: telah bersabda Rasulullah saw.: “Ketahuilah bahwa tidur itu tidaklah berarti lalai. Yang dikatakan lalai ialah orang yang masih belum shalat hingga datang waktu shalat lain.” (HR Muslim)

Dan hadits yang lain mengenai waktu-waktu shalat menunjukkan bahwa waktu masing-masing shalat itu berlangsung sampai masuknya waktu shalat lain kecuali shalat fajar karena ia tidak berlangsung hingga waktu Dhuhur. Para ulama telah ijma’ bahwa waktunya berakhir dengan terbitnya matahari.

Disunnahkan menta’khirkan shalat ‘isya dari awal waktunya. Yang lebih utama adalah mengundurkan shalat ‘isya sampai waktu ikhtiar, yaitu separuh malam berdasarkan hadits ‘Aisyah ra: Bahwa pada suatu malam Nabi saw. mengundurkan shalat ‘Isya hingga berlalu umumnya waktu malam, dan penghuni masjid pun telah pada tidur, kemudian keluar lalu melakukan shalat, dan sabdanya: “Sekarang waktu yang sesungguhnya, kalau tidaklah akan memberatkan umatku.” (HR Muslim dan Nasa’i)

Dan sebelumnya telah disebutkan hadits Abu Hurairah dalam hadits Abu Sa’id yang keduanya semakna dengan hadits Aisyah ini. Semua mengatakan disunnahkan dan lebih utama ta’khir shalat ‘isya, dan Nabi saw. pun menghentikan mengerjakannya terus menerus ialah karena memberatkan bagi umat.

Dan dalam hal ini Nabi saw. selalu memperhatikan keadaan makmum-makmum, maka kadang-kadang disegerakan, dan kadang-kadang dita’khirkannya.

Dari Jabir, katanya: Nabi saw. melakukan shalat Dhuhur itu ketika hari amat panas setelah tergelincir matahari, shalat ‘Ashar ketika matahari sedang bersih, shalat maghrib ketika matahari terbenam, shalat ‘Isya kadang-kadang diundurkan dan kadang-kadang dimajukannya. Bila telah dilihatnya orang-orang berkumpul maka disegerakannya, dan kalau dilihatnya mereka terlambat maka diundurkannya. Sedang shalat shubuh, mereka –atau Nabi saw.- melakukannya pada saat gelap akhir malam. (HR Bukhari dan Muslim)

Dimakruhkan tidur sebelum shalat ‘Isya dan bercakap-cakap sesudahnya, karena hadits Abu Barzah al-Aslami: Bahwa Nabi saw. menyatakan sunah menta’khirkan ‘Isya yang biasa mereka sebut ‘Atmah, dan menyatakan makruh tidur sebelumnya dan bercakap-cakap sesudahnya.” (HR Jama’ah)

Dan diterima dari Ibnu Mas’ud: Rasulullah saw. menjawab kami bercakap-cakap setelah shalat ‘Isya.” (HR Ibnu Majah, katanya: “Menjawab maksudnya ialah mencela dan melarang.”)

Alasan dimakruhkannya tidur sebelumnya dan bercakap-cakap sesudahnya, ialah karena orang yang tidur bisa luput shalat sunahnya atau shalat berjamaah sebagaimana mengobrol setelahnya menyebabkan menghabiskan waktu dan menyia-nyiakan kesempatan.

Tetapi jika tidur itu ada yang membangunkan, atau bercakap-cakap guna memperbincangkan suatu hal yang bermanfaat, maka tidaklah dimakruhkan.

Dari Ibnu ‘Umar ra, katanya: “Adalah Rasulullah saw. juga bercakap-cakap pada malam itu di rumah Abu Bakar membicarakan salah satu urusan kaum muslimin, dan ketika itu saya ikut bersamanya.” (HR Ahmad dan Turmudzi yang menyatakannya sebagai hadits hasan)

Dan dari Ibnu ‘Abbas, katanya: “Saya bermalam di rumah Maimunah pada malam Rasulullah saw. bergilir di sana, untuk mempelajari tata cara shalatnya di waktu malam. Maka saya lihat Nabi saw. bercakap-cakap dengan keluarganya sebentar, kemudian baru pergi tidur.” (HR Muslim)

&