Arsip | 12.38

Tertib Ayat Al-Qur’an

6 Jan

Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Al-Qur’an terdiri atas surah-surah dan ayat-ayat, baik yang pendek maupun yang panjang. Ayat adalah sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam sebuah surah dari al-Qur’an. Surah adalah sejumlah ayat al-Qur’an yang mempunyai permulaan dan kesudahan. Tertib atau urutan ayat-ayat al-Qur’an ini adalah tauqiifi, ketentuan dari Rasulullah. Sebagian ulama meriwayatkan bahwa pendapat ini adalah ijma’, di antaranya az-Zarkasyi dalam al-Burhaan dan Abu Ja’far Ibnuz Zubair dalam munaasabah-nya, dimana ia mengatakan: “Tertib ayat-ayat di dalam surah-surah itu berdasarkan tauqiifi dari Rasulullah dan atas perintahnya, tanpa perselisihan kaum Muslimin.”

As-Suyuti telah memastikan hal itu dan bekata: “Ijma’ dan nas-nas yang serupa menegaskan, tertib ayat-ayat itu adalah tauqiifi, tanpa diragukan lagi.” Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya tempat dimana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surah atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut. Beliau mengatakan kepada mereka: ‘Letakkanlah ayat-ayat ini pada surah yang di dalamnya disebutkan begini dan begini.’ Atau: ‘Letakkanlah ayat ini di tempat anu.’ Susunan dan penempatan ayat tersebut sebagaimana yang disampaikan para shahabat kepada kita.

Utsman bin Abil ‘As berkata: Aku tengah duduk di samping Rasulullah, tiba-tiba pandangannya menjadi tajam lalu kembali seperti semula. Kemudian kata beliau: “Jibril telah datang kepadaku dan memerintahkan agar agu meletakkan ayat ini di tempat anu dari surah ini: ‘Sesungguhnya Allah menyuruh [kamu] berlaku adil dan berbuat kebajikan serta memberi kepada kaum kerabat…’” (an-Nahl: 90) (HR Ahmad dengan isnad hasan)

Utsman berhenti ketika mengumpulkan al-Qur’an pada tempat setiap ayat dari sebuah surah dalam al-Qur’an dan, sekalipun ayat itu telah dimansukh hukumnya, tanpa mengubahnya. Ini menunjukkan bahwa penulisan ayat dengan tertib seperti itu adalah tauqiifi.

Ibnu Zubair berkata: “Aku mengatakan kepada Utsman bahwa ayat: ‘Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri-istri…(al-Baqarah: 234) telah dimansukh oleh ayat lain. Tetapi mengapa anda menuliskannya atau membiarkannya dituliskan? Ia menjawab: ‘Kemenakanku, aku tidak mengubah sesuatupun dari tempatnya.’” (HR Bukhari)

Terdapat sejumlah hadits yang menunjukkan keutamaan beberapa ayat dari surah-surah tertentu. Ini menunjukkan bahwa tertib ayat-ayat bersifat tauqiifi. Sebab jika tertibnya dapat diubah, tentulah ayat-ayat itu tidak akan didukung oleh hadits-hadits tersebut.

Diriwayatkan dari Abu Darda’ dalam hadits marfu’: “Barangsiapa hafal sepuluh ayat dari surah al-Kahfi, Allah akan melindunginya dari Dajjal.” Dan dalam redaksi lain dikatakan: “Barangsiapa membaca sepuluh ayat terakhir dari surah al-Kahfi..” (HR Muslim) juga terdapat hadits-hadits lain yang menunjukkan letak ayat tertentu pada tempatnya. Umar berkata: “Aku tidak menanyakan kepada Nabi saw. tentang sesuatu lebih banyak dari yang aku tanyakan kepadanya tentang kalaalah, sampai-sampai Nabi menekankan jarinya ke dadaku dan mengatakan: ‘Tidak cukupkah bagimu ayat yang diturunkan pada musim panas, yang terdapat di akhir surah an-Nisaa’?’” (HR Muslim)

Di samping itu diterima pula bahwa Rasulullah saw. telah membaca sejumlah surah dengan tertib ayat-ayatnya dalam shalat atau dalam khutbah Jum’at, seperti surah al-Baqarah, Ali ‘Imraan dan an-Nisaa’. Juga hadits shahih menyatakan bahwa Rasulullah membaca surah al-A’raaf dalam shalat maghrib dan dalam shalat shubuh hari Jum’at membaca surah Alif laam miim. Tanziilul kitaabi laa raiba fiiHi.” (as-Sajdah), dan Hal ataa ‘alal insaani (ad-DaHr); juga membaca surah Qaaf pada waktu khutbah; surah Jumuah dan surah Munaafiquun dalam shalat Jum’at.

Jibril senantiasa mengulangi dan memeriksa al-Qur’an yang telah disampaikannya kepada Rasulullah sekali setiap tahun, pada bulan Ramadlan dan pada tahun terakhir kehidupannya sebanyak dua kali. Dan pengulangan Jibril terakhir ini seperti tertib yang dikenal sekarang ini.

Dengan demikian, tertib ayat-ayat al-Qur’an seperti yang ada dalam mushaf yang beredar di antara kita adalah tauqiifi, tanpa diragukan lagi. As-Suyuti, setelah menyebutkan hadits-hadits berkenaan dengan surah-surah tertentu mengemukakan: “Pembacaan surah-surah yang dilakukan Nabi di hadapan para shahabat itu menunjukkan bahwa tertib atau susunan ayat-ayatnya adalah tauqiifi. Sebab, para shahabat tidak akan menyusunnya dengan tertib yang berbeda dengan yang mereka dengar dari bacaan Nabi. Maka sampailah tertib ayat seperti demikian kepada tingkat mutawatir.” (lihat al-Itqaan, jilid 1 hal 61)

&

Keraguan yang Harus Ditolak dalam Hal Pengumpulan Al-Qur’an

6 Jan


Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Ada beberapa keraguan yang ditiupkan oleh para pengumbar hawa nafsu untuk melemahkan kepercayaan terhadap al-Qur’an dan kecermatan pengumpulannya. Di sini dikemukakan beberapa hal yang penting di antaranya dan kemudian jawabannya:

1. Mereka berkata bahwa sumber-sumber lama [atsar] menunjukkan bahwa ada beberapa bagian al-Qur’an yang tidak dituliskan dalam mushaf-mushaf yang ada di tangan kita ini. Sebagai bukti [dalil] dikemukakannya:

Aisyah berkata: Rasulullah pernah mendengar seseorang membaca al-Qur’an di Masjid, lalu katanya: “Semoga Allah mengasihinya. Ia telah mengingatkan aku akan ayat anu dan ayat anu dari surah anu.” Dalam riwayat lain dikatakan: “Aku telah menggugurkannya dari ayat ini dan ini.” Dan ada lagi riwayat yang mengatakan: “Aku telah dibuat lupa terhadapnya.” (Hadits ini terdapat dalam dua kitab Shahih Bukhari-Muslim dengan redaksi yang hampir sama)

Argumen ini dapat dijawab bahwa teringatnya Rasulullah saw. akan satu atau beberapa ayat yang ia lupa atau ia gugurkan karena lupa itu hendaknya tidak menimbulkan keraguan dalam hal pengumpulan al-Qur’an karena riwayat yang mengandung “menggugurkan” itu telah ditafsirkan oleh riwayat lain: “Aku telah dibuat lupa terhadapnya” [kuntu unsiituHaa]. Ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan “menggugurkannya” adalah “lupa” sebagaimana ditunjukkan pula oleh kata-kata “telah mengingatkan aku”. Kelupaan atau lupa bisa saja terjadi pada Rasulullah dalam hal yang tidak merusak “tabligh”.

Di samping itu ayat-ayat tersebut telah dihafal oleh Rasulullah, dicatat oleh para penulis wahyu serta dihafal oleh para shahabat. hafalan dan pencatatannya pun telah mencapai tingkat mutawatir. Dengan demikian lupa yang dialami oleh Rasulullah sesudah itu tidak mempengaruhi kecermatan [ketelitian] dalam pengumpulan al-Qur’an. Inilah maksud hadits di atas. Oleh karena itu bacaan orang ini – yang hanya merupakan salah seorang di antara para penghafal yang jumlahnya mencapai tingkat mutawatir- mengingatkan Rasulullah saw, “Ia telah mengingatkan aku akan ayat anu dan ayat anu.”

Lalu mereka menukil firman Allah dalam surah al-A’laa: sanuq-ri-uka falaa tansaa, illaa maa syaa-alaaHu (“Kami akan membacakan [al-Qur’an] kepadamu [Muhammad] maka kamu tidak akan lupa, kecuali kalau Allah menghendaki.”) Mereka katakan bahwa pengecualian dalam ayat ini menunjukkan bahwa ada beberapa ayat yang terlupakan oleh Rasulullah saw.

Mengenai hal ini dapat dijawab: bahwa Allah telah berjanji kepada Rasul-Nya untuk membacakan al-Qur’an dan memeliharanya serta mengamankannya dari kelupaan, sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya: “Kami akan membacakan [al-Qur’an] kepadamu [Muhammad] maka kamu tidak akan lupa” namun karena ayat ini mengesankan bahwa seakan-akan hal itu merupakan keharusan, padahal Allah berbuat menurut kehendak-Nya secara bebas, “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (al-Anbiyaa’: 23), maka ayat tersebut segera disusul dengan pengecualian, “kecuali kalau Allah menghendaki”, untuk menunjukkan bahwa pemberitahuan mengenai pembacaan al-Qu’an kepada Rasul dan pengamanannya dari keluapaan itu tidak keluar dari kehendak-Nya pula. Sebab bagi Allah tidak ada yang tidak dapat dilakukan. Syaikh Muhammad Abduh mengemukakan dalam menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut: “Oleh karena itu janji tersebut dituangkan dalam ungkapan yang menunjukkan keharusan dan kekal, sehingga terkadang memberi kesan bahwa kekuasaan Allah tidak meliputi yang selain itu, dan bahwa didatangkanlah pengecualian dengan firman-Nya “Kecuali kalau Allah menghendaki.” Sebab, jika Dia berkehendak membuatmu [Muhammad] lupa terhadap sesuatu, tak ada sesuatu pun yang dapat mengalahkan kehendak-Nya.

Dengan demikian, maka yang dimaksudkan di sini adalah ‘peniadaan kelupaan secara total’. Mereka mengatakan: “Pengertian demikian seperti halnya perkataan seseorang kepada shahabatnya: ‘Engkau berbagi denganku dalam apa yang aku miliki, kecuali kalau Allah menghendaki.’ Dengan perkataan ini dia tidak bermaksud untuk mengecualikan sesuatu, karena ungkapan demikian sedikit sekali atau jarang dipergunakan untuk menunjukkan arti nafi [negatif]. Dan demikian pulalah maksud pengecualian dalam firman-Nya pada surah Hudd: “Adapun orang-orang yang berbahagia, tempat mereka di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki [yang lain]; sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.” (Huud: 108). Pengecualian seperti ini untuk menunjukkan bahwa pengabadian dan pengekalan itu semata-mata karena kemurahan dan keluasan karunia Allah, bukan keharusan dan kewajiban bagi-Nya. Dan jika Dia berkehendak untuk mencabutnya, maka tidak ada seorang pun dapat merintanginya.

Mengenai riwayat, bahwa Nabi telah melupakan sesuatu sehingga perlu diingatkan, maka seandainya hal itu benar, tetapi ini tidaklah menyangkut kitab dan hukum-hukum Allah yang diturunkan kepada Nabi agar disampaikan kepada umat. Dengan demikian segala pendapat yang dilontarkan orang lain dari yang telah dikemukakan ini merupakan penyusupan dari orang-orang atheis yang merasuki fikiran orang-orang yang lalai, untuk menodai apa yang sudah disucikan oleh Allah. Karena tidak pantas bagi orang yang mengenal kedudukan Rasulullah saw. dan beriman kepada Kitabullah berpegang kepada pendapat semacam itu sedikitpun juga.”

2. Mereka mengatakan, dalam al-Qur’an terdapat sesuatu yang bukan al-Qur’an. Untuk pendapatnya ini mereka berdalil dengan riwayat yang mengatakan bahwa Ibn Mas’ud mengingkari surah an-Naas dan al-Falaq termasuk bagian dari al-Qur’an. Terhadap pendapat ini dapat dijawab: bahwa riwayat yang diterima Ibnu Mas’ud itu tidak benar, karena bertentangan dengan kesepakatan umat. An-Nawawi mengatakan dalam Syarh al-Muhazzab: “Kaum Muslimin sepakat bahwa kedua surah (an-Naas dan al-Falaq) itu dan surah al-Faatihah termasuk al-Qur’an. Dan siapa saja yang mengingkarinya, sedikitpun, ia adalah kafir. Sedangkan riwayat yang diterima dari Ibn Mas’ud adalah batil, tidak shahih.” Ibn Hazm berpendapat, riwayat tersebut merupakan pendustaan dan pemalsuan atas nama [terhadap] Ibn Mas’ud.

Seandainya riwayat itu benar, maka yang dapat dipahami ialah bahwa Ibn Mas’ud tidak pernah mendengar kedua surah mu’awwizatain, yakni surah an-Naas dan surah al-Falaq itu secara langsung dari Nabi, sehingga ia berhenti, tidak memberikan komentar mengenainya. Selain itu pengingkaran Ibn Mas’ud tersebut tidak dapat membatalkan konsensus [ijma’] kaum Muslimin bahwa kedua surah itu merupakan bagian al-Qur’an yang mutawatir. Argumentasi ini dapat pula dipergunakan untuk menjawab isyu yang menyatakan bahwa mushaf Ibn Mas’ud tidak memuat surah al-Fatihah sebab al-Fatihah adalah Ummul Qur’an, induk al-Qur’an, yang status qur’aniyah-nya tidak seorangpun meragukannya.

3. Segolongan syi’ah ekstrim menuduh bahwa Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mengubah al-Qur’an serta menggugurkan beberapa ayat dan surahnya. Mereka (Ketiga shahabat itu) telah mengganti dengan lafal Ummatun hiya arbaa min ummatin- “Satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain” (an-Nahl: 92), yang asalnya adalah: a’immatun hiya azkaa min a’immatikum- “Imam-imam yang lebih suci daripada imam-imam kamu.” Mereka juga menggugurkan dari surah al-Ahzab ayat-ayat mengenai keutamaan “Ahlul bait” yang panjangnya sama dengan surah al-An’am, dan menggugurkan pula surah mengenai kekuasaan [al-wilayah] secara total dari al-Qur’an.

Terhadap golongan ini dapat dikemukakan bahwa tuduhan tersebut adalah batil, omong kosong yang tanpa dasar dan tuduhan yang tanpa bukti. Bahkan membicarakannya merupakan suatu kebodohan. Selain itu, sebagian ulama syi’ah sendiri cuci tangan dari anggapan bodoh semacam ini. Dan apa yang diterima dari Ali, orang yang mereka jadikan tumpuan [tasyayyu’] bertentangan dengan hal itu dan bahkan menunjukkan terjadinya kesepakatan [ijma’] mengenai kemutawatiran al-Qur’an yang tertulis dalam mushaf.

Diriwayatkan bahwa Ali mengatakan mengenai pengumpulan al-Qur’an oleh Abu Bakar: “Manusia yang paling berjasa bagi mushaf-mushaf al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya, karena dialah orang pertama yang mengumpulkan Kitabullah.”

Ali juga mengatakan berkenaan dengan pengumpulan al-Qur’an oleh Utsman: “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah. Jauhilah sikap berlebihan [bermusuhan] terhadap Utsman dan perkataanmu bahwa dialah yang membakar mushaf. Demi Allah, ia membakarnya berdasarkan pesetujuan kami, shahabat-shahabat Rasulullah saw.” lebih lanjut ia mengatakan: “Seandainya yang menjadi penguasa pada masa Utsman adalah aku, tentu aku pun akan berbuat terhadap mushaf-mushaf itu seperti yang dilakukan Utsman.”

Apa yang diriwayatkan dari Ali sendiri ini telah membungkam para pendusta yang mengira bahwa mereka adalah pembela Ali, sehingga mereka berani berperang untuk sesuatu yang tidak mereka ketahui karena kefanatikannya yang membuta kepada Ali, sedang Ali sendiri berlepas tangan dari mereka. (lihat Manaahilul Irfaan, jilid 1 hal 464)

&

Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar

6 Jan

Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Abu Bakar menjalankan urusan Islam sesudah Rasulullah saw. ia dihadapkan pada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu.

Peperangan Yamamah yang terjadi pada tahun 12 H melibatkan sejumlah besar shahabat yang hafal al-Qur’an. Dan dalam peperangan ini gugur 70 qari dari shahabat. Umar bin Kaththab merasa sangat khawatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar ia mengumpulkan dan membukukan al-Qur’an karena dikhawatirkan akan musnah, sebab peperangan Yamamah telah banyak membunuh para qari.

Dari segi lain Umar merasa khawatir juga kalau-kalau peperangan di tempat lain akan membunuh banyak qari pula sehingga al-Qur’an akan hilang dan musnah. Abu Bakar menolak usulan ini dan keberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. tetapi Umar tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan pintu hati Abu Bakar untuk menerima usulan tersebut.

Kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit, mengingat kedudukannya dalam qira’at, penulisan, pemahaman dan kecerdasannya serta kehadirannya pada pembacaan terakhir kali. Abu Bakar menceritakan kepadanya kekhawatiran dan usulan Umar. Pada mulanya Zaid menolak seperti halnya Abu Bakar sebelum itu. Keduanya lalu berdiskusi, sampai akhirnya Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan al-Qur’an tersebut.

Zaid bin Tsabit memulai tugasnya yang berat ini dengan bersandar pada hafalan yang ada dalam hati para qurra dan catatan yang ada pada para penulis. Kemudian lembaran-lembaran [kumpulan] itu disimpan di tangan Abu Bakar. Setelah ia wafat mushaf itu berpindah ke tangan Hafshah, putri Umar. Pada permulaan kekhalifahan Utsman, Utsman memintanya dari tangan Hafshah.

Zaid bin Tsabit berkata: “Abu Bakar memanggilku untuk menyampaikan berita mengenai korban perang Yamamah. Ternyata Umar sudah ada di sana. Abu Bakar berkata: ‘Umar telah datang kepadaku dan mengatakan, bahwa perang di Yamamah telah menelan banyak korban dari kalangan qurra; dan ia khawatir kalau-kalau terbunuhnya para qurra itu juga akan terjadi di tempat-tempat lain, sehingga sebagian al-Qur’an akan musnah. Ia menganjurkan agar aku memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan al-Qur’an. Maka aku katakan kepadanya, bagaimana mungkin kita akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah? Tetapi Umar menjawab dan bersumpah, Demi Allah perbuatan tersebut baik. Ia terus menerus membujukku sehingga Allah membukakan pintu hatiku untuk menerima usulnya, dan akhirnya aku sependapat dengan Umar.’”

Zaid berkata lagi: “Abu Bakar berkata kepadaku: ‘Engkau seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukan kemampuanmu. Engkau telah menuliskan wahyu untuk Rasulullah. Oleh karena itu carilah al-Qur’an dan kumpulkanlah.’”
“’Demi Allah.’” Kata Zaid lebih lanjut. “Sekiranya mereka memintaku untuk memindahkan gunung, rasanya tidak lebih berat bagiku daripada perintah mengumpulkan al-Qur’an. Karena itu aku menjawab: ‘Mengapa anda berdua ingin melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah?’ Abu Bakar menjawab: ‘Demi Allah, itu baik.’ Abu Bakar tetap membujukku sehingga Allah membukakan pintu hatiku sebagaimana Dia telah membukakan pintu hati Abu Bakar dan Umar. Maka aku pun mulai mencari al-Qur’an. Kukumpulkan ia dari pelepah kurma, kepingan-kepingan batu dan dari hafalan para penghafal, sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surah at-Taubah berada pada Abu Khuzaimah al-Anshari, yang tidak kudapatkan pada orang lain, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri….” hingga akhir surah. Lembaran-lembaran [hasil kerjaku] tersebut kemudian disimpan di tangan Abu Bakar hingga wafatnya. Sesudah itu berpindah ke tangan Umar sewaktu masih hidup, dan selanjutnya berada di tangan Hafshah binti Umar.”

Zaid bin Tsabit bertindak sangat teliti, hati-hati. Ia tidak mencukupkan pada hafalan semata tanpa disertai dengan tulisan. Kata-kata Zaid dalam keterangan di atas: “Dan aku dapatkan surah at-Taubah pada Abu Khuzaimah al-Anshari, yang tidak aku dapatkan pada orang lain” tidak menghilangkan arti kehati-hatian tersebut dan tidak pula berarti bahwa akhir surah at-Taubah itu tidak mutawatir. Tetapi yang dimaksud adalah bahwa ia tidak mendapatkan akhir surah at-Taubah tersebut dalam keadaan tertulis selain pada Abu Khuzaimah. Zaid sendiri hafal dan demikian pula banyak para shahabat yang menghafalnya. Perkaaan itu lahir karena Zaid berpegang pada hafalan dan tulisan. Jadi ayat akhir surah at-Taubah itu telah dihafal oleh banyak shahabat; dan mereka menyaksikan ayat tersebut dicatat. Tetapi catatannya hanya terdapat pada Abu Khuzaimah al-Anshari.

Ibn Abu Daud (yaitu Abdullah bin Sulaiman bin Asy’as al-Azadi as-Sijistani salah seorang tokoh penghafal hadits. Ia mempunyai banyak kitab, antara lain: al-Musaahif, al-Musnad, at-Tafsiir, as-Sunan, al-Qiraa’aat dan an-Naasikh wal Mansuukh, lihat al-A’laam,oleh Zarkali, jilid 4 hal. 224) ia meriwayatkan melalui Yahya bin Abdurrahman bin Hatib, yang mengatakan: “Umar datang lalu berkata: ‘Barangsiapa menerima dari Rasulullah sesuatu dari al-Qur’an, hendaklah ia menyampaikannya.’ Mereka menuliskan al-Qur’an dari lembaran kertas, papan kayu dan pelepah kurma, dan Zaid tidak mau menerima dari seseorang mengenai al-Qur’an sebelum disaksikan oleh dua orang saksi.” Ini menunjukkan bahwa Zaid tidak merasa puas hanya dengan adanya tulisan semata sebelum tulisan itu disaksikan oleh orang yang menerimanya secara pendengaran [langsung dari Rasulullah], sekalipun Zaid sendiri hafal. Ia bersikap demikian itu karena berhati-hati.

Dan diriwayatkan pula oleh Ibn Abu Daud melalui Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, bahwa Abu Bakar berkata kepada Umar dan Zaid: “Duduklah kamu berdua di pintu masjid. Bila ada yang datang kepadamu membawa dua orang saksi atas sesuatu dari kitab Allah, maka tulislah.” Para perawi hadits ini orang-orang terpercaya, sekalipun hadits tersebut munqathi’ [terputus]. Ibn Hajar mengatakan: “Yang dimaksud dengan dua orang saksi adalah hafalan dan catatan.”

As-Sakhawi [lengkapnya Ali bin Muhammad bin ‘Abdus Samad, terkenal dengan nama as-Sakhasi. Ia menyusun sekumpulan syair tentang qira’at yang dikenal dengan nama as-Sakhawiyyah. Wafat 643 H) ia menyebutkan dalam Jamalul Qurra’, yang dimaksudkan ialah kedua saksi itu menyaksikan bahwa catatan itu tertulis di hadapan Rasulullah saw; atau dua saksi itu menyaksikan bahwa catatan tadi sesuai dengna salah satu cara yang dengan itu al-Qur’an diturunkan. Abu Syamah berkata: “Maksud mereka adalah agar Zaid tidak menuliskan al-Qur’an kecuali diambil dari sumber asli yang dicatat di hadapat Nabi saw., bukan semata-mata dari hafalan. Oleh sebab itu Zaid berkata tentang akhir surah at-Taubah, ‘Aku tidak mendapatkannya pada orang lain’ maksudnya ‘Aku tidak mendapatkannya dalam keadaan tertulis pada orang lain.’ Sebab ia tidak menganggap cukup hanya didasarkan pada hafalan tanpa adanya catatan.” (lihat al-Itqaan jilin 1 hal 58)

Kita sudah mengetahui bahwa al-Qur’an sudah dicatat sebelum masa itu, yaitu pada masa Nabi; tetapi masih berserakan pada kulit-kulit, tulang dan pelepah kurma. Kemudian Abu Bakar memerintahkan agar catatan-catatan tersebut dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surah yang tersusun serta dituliskan dengan sangat berhati-hati dan mencakup tujuh huruf yang dengan itu al-Qur’an diturunkan. Dengan demikian, Abu Bakar adalah orang pertama yang mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf dengan cara seperti ini, di samping terdapat juga mushaf-mushaf pribadi pada sebagian shahabat, seperti mushaf Ali, mushaf Ubai dan mushaf Ibn Mas’ud. Tetapi mushaf-mushaf itu tidak ditulis dengan cara seperti di atas dan tidak pula dikerjakan dengan penuh ketelitian dan kecermatan, juga tidak dihimpun secara tertib yang hanya memuat ayat-ayat yang bacaannya tidak dimansukh dan secara ijma’ sebagaimana mushaf Abu Bakar. Keistimewaan-keistimewaan seperti itu hanya ada pada himpunan al-Qur’an yang dikerjakan oleh Abu Bakar.

Para ulama berpendapat bahwa penamaan al-Qur’an dengan “mushaf” itu baru muncul sejak saat itu, di saat Abu Bakar mengumpulkan al-Qur’an. Ali berkata: “Orang yang paling besar pahalanya dalam hal mushaf ialah Abu Bakar. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Bakar. Dialah orang pertama yang mengumpulkan Kitab Allah.”
Pengumpulan ini dinamakan pengumpulan kedua.

&

Pengumpulan al-Qur’an dalam Arti Penulisannya Pada Masa Nabi saw.

6 Jan

Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Rasulullah saw. telah mengangkat para penulis wahyu al-Qur’an dari shahabat-shahabat terkemuka, seperti Ali, Mu’awiyah, ‘Ubai bin Ka’b dan Zaid bin Tsabit. Bila ayat turun, beliau memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan di dalam hati. Di samping itu sebagian shahabat pun menuliskan al-Qur’an yang turun itu atas kemauan sendiri, tanpa diperintah oleh Nabi saw; mereka menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau batang kayu, pelana, potongan tulang-belulang binatang. Zaid binn Tsabit berkata: “Kami menyusun al-Qur’an di hadapan Rasulullah pada kulit binatang.” (HR al-Hakim dalam al-Mustadrak dengan sanad yang memenuhi persyaratan Bukhari dan Muslim)

Ini menunjukkan betapa besar kesulitan yang dipikul para shahabat dalam menuliskan al-Qur’an. Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka, selain sarana-sarana tersebut. Dan dengan demikian, penulisan al-Qur’an ini semakin menambah hafalan mereka.

Jibril membacakan al-Qur’an kepada Rasulullah pada malam-malam bulan Ramadlan setiap tahunnya. Abdullah bin Abbas berkata: “Rasulullah saw. adalah orang yang paling pemurah, dan puncak kemurahannya pada bulan Ramadlan ketika ia ditemui oleh Jibril. Beliau ditemui Jibril pada tiap malam bulan Ramadlan; Jibril membacakan al-Qur’an kepadanya, dan ketika Rasulullah ditemui oleh Jibril itu beliau sangat pemurah sekali.” (Muttafaq ‘alaih)

Para shahabat senantiasa menyodorkan al-Qur’an kepada Rasulullah baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan.

Tulisan-tulisan al-Qur’an pada masa Nabi saw. tidak terkumpul dalam satu mushaf; yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki oleh yang lain. Para ulama telah menyampaikan bahwa segolongan dari mereka, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Mu’adz bin Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Mas’ud telah menghafal seluruh isi al-Qur’an di masa Rasulullah. Dan mereka menyebutkan pula bahwa Zaid bin Tsabit adalah orang yang terakhir kali membacakan al-Qur’an di hadapan Nabi di antara mereka yang disebutkan di atas.

Rasulullah wafat di saat al-Qur’an telah dihafal dan tertuliskan dalam mushaf dengan susunan seperti disebutkan di atas; ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan, atau ditertibkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu lembaran secara terpisah dan dalam bentuk tujuh huruf, tetapi al-Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyeluruh [lengkap].

Bila wahyu turun segeralah dihafal oleh para qurra dan ditulis oleh para penulis; tetapi pada saat itu belum diperlukan pembukuannya dalam satu mushaf, sebab Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Di samping itu terkadang pula terdapat ayat yang me-nasikh [menghapuskan] ayat yang turun sebelumnya.

Susunan atau tertib penulisan al-Qur’an tidak tertib menurut nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan di tempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi saw. –beliau menjelaskan bahwa ayat anu harus diletakkan di surah anu. Andaikan pada masa Nabi al-Qur’an itu seluruhnya dikumpulkan di antara dua sampul dalam satu mushaf, hal yang demikian tentu akan membawa perubahan bila wahyu turun lagi. Az-Zarkasy berkata: “Al-Qur’an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah al-Qur’an selesai turun semua, yaitu dengna wafatnya Rasulullah saw.”

Dengan pengertian inilah ditafsirkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit yang mengatakan: “Rasulullah telah wafat, sedangkan al-Qur’an belum dikumpulkan sama sekali.” Maksudnya ayat-ayat dan surah-surahnya belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf. Al-Khattaabi berkata: “Rasulullah tidak mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf itu karena senantiasa beliau menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasulullah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafa’ur Rasyidin sesuai dengan janji-Nya yang benar kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaan-Nya. dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar.” (al-Itqaan, jilid1 hal 57)

Pengumpulan al-Qur’an di masa Nabi ini dinamakan:
a. Penghafalan; dan
b. Pembukuan yang pertama

&

Pengumpulan Al-Qur’an dalam Arti Menghafalnya Pada Masa Rasulullah saw.

6 Jan

Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Rasulullah saw. sangat menyukai wahyu, beliau senantiasa menunggu turunnya wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya, persis seperti yang dijanjika Allah: “Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya [di dadamu] dan [membuatmu pandai] membacanya.” (al-Qiyaamah: 17)
Oleh sebab itu beliau hafidh [penghafal] al-Qur’an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para shahabat dalam menghafalnya, sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber risalah. Al-Qur’an diturunkan selama dua puluh tahun lebih. Proses penurunannya terkadang hanya turun satu ayat dan terkadang turun sampai sepuluh ayat. Setiap kali sebuah ayat turun, dihafal dalam dada dan ditempatkan dalam hati, sebab bangsa Arab secara kodrati memang mempunyai daya hafal yang kuat. Hal itu karena umumnya mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan berita-berita, syair-syair dan silsilah mereka lakukan dengan catatan di hati mereka.

Dalam kitab shahih-nya Bukhari telah mengemukakan tentang adanya tujuh hafidh dalam tiga riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal bekas budak Abu Hudzaifah, Mu’ad bin Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda’:

1. Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘As, katanya: aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Ambillah al-Qur’an dari empat orang: Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’adz dan Ubai bin Ka’ab.” (HR Bukhari)
Keempat orang tersebut dua orang dari Muhajirin (Abdullah bin Mas’ud dan Salim); dan dua orang dari Anshar (Mu’adz dan Ubai)

2. Dari Qatadah katanya: aku telah bertanya kepada Anas bin Malik: “Siapakah orang yang hafal al-Qur’an pada masa Rasulullah ?” Dia menjawab: “Empat orang. Semuanya dari kaum Anshar: Ubai bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid.” Aku bertanya: “Siapakah Abu Zaid itu ?” ia menjawab: “Salah seorang pamanku.”

3. Dan diriwayatkan pula melalui Tsabit, dari Anas yang mengatakan: “Rasulullah wafat sedang al-Qur’an belum dihafal kecuali oleh empat orang: Abu Darda’, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid.” (HR Bukhari)

Abu zaid yang disebutkan dalam hadits-hadits di atas penjelasannya terdapat dalam riwayat yang dinukil oleh Ibn Hajar dengan isnad yang memenuhi persyaratan Bukhari. Menurut Anas, Abu Zaid yang hafal al-Qur’an itu namanya Qais bin Sakan. Kata Anas: “Ia adalah seorang laki-laki dari sukku Bani ‘Adi Ibnun Najjar dan termasuk salah seorang paman kami. Ia meninggal dunia tanpa meninggalkan anak, dan kamilah yang mewarisinya.”

Ibn Hajar ketika menuliskan biografi Sa’id bin ‘Ubaid menjelaskan bahwa ia termasuk seorang hafiz dan dijuluki pula dengan al-Qaari’ [pembaca al-Qur’an]. (al-Isaabah, jilid 2 hal.28)

Penyebutan para hafidh yang tujuh atau delapan ini tidak berarti pembatasan, karena beberapa keterangan dalam kitab-kitab sejarah dan Sunan menunjukkan bahwa para shahabat berlomba menghafal al-Qur’an dan mereka memerintahkan anak-anak dan istri-istri mereka untuk menghafalkannya. Mereka membacanya dalam shalat tengah malam, sehingga alunan suara mereka terdengar bagai lebah. Rasulullah pun sering melewati rumah-rumah orang Anshar dan berhenti untuk mendengarkan alunan suara mereka yang membaca al-Qur’an di rumah-rumah.

Dari Abu Musa al-Asy’ari, bahwa Rasulullah saw. berkata kepadanya: “Tidakkah engkau melihat aku tadi malam, di waktu aku mendengarkan engkau membaca al-Qur’an? Sungguh engkau telah diberi satu seruling dari seruling Nabi Daud.” (Riwayat Bukhari, dan dalam riwayat Muslim terdapat tambahan: “Aku menjawab: ‘Demi Allah wahai Rasulallah, seandainya aku tahu engkau mendengarkan bacaanku, tentu kuperindah bacaan itu untukmu.’”)

Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr, katanya: “Aku menghafal al-Qur’an dan aku menamatkan pada setiap malam. Hal ini sampai kepada Nabi, maka sabdanya: ‘Tamatkanlah dalam waktu satu bulan.’” (HR Nasa-i, dengan isnad yang shahih)

Abu Musa al-Asy’ari berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya aku mengenal kelembutan alunan suara keturunan Asy’ari di waktu malam ketika mereka berada dalam rumah. Aku mengenal rumah-rumah mereka dari suara bacaan al-Qur’an mereka di waktu malam, sekalipun aku belum pernah melihat rumah mereka di waktu siang.” (HR Bukhari)

Di samping antusiasme para shahabat untuk mempelajari dan menghafal al-Qur’an, Rasulullah pun mendorong mereka ke arah itu dan memilih orang tertentu yang akan mengajarkan al-Qur’an kepada mereka. ‘Ubadah bin Samit berkata: “Apabila ada seseorang yang hijrah [masuk Islam] Nabi menyerahkannya pada salah seorang di antara kami untuk mengajarinya al-Qur’an. Dan di masjid Rasulullah sering terdengar gemuruh suara orang membaca al-Qur’an, sehingga Rasulullah memerintahkan mereka agar merendahkan suara sehingga tidak saling mengganggu.” (Manaahilul ‘Irfaan, oleh az-Zarqani, jilid 1 hal 234)

Pembatasan tujuh orang sebagaimana disebutkan Bukhari dengan tiga riwayat di atas, diartikan bahwa mereka itulah yang hafal seluruh isi al-Qur’an di luar kepala dan mereka telah menunjukkan hafalannya di hadapan Nabi, serta isnad-isnadnya sampai ke kita. Sedang para hafidh yang lainnya –yang berjumlah banyak- tidak memenuhi hal-hal tersebut; terutama karena para shahabat telah tersebar ke pelbagai wilayah dan sebagian mereka menghafal dari yang lain. Cukuplah sebagai bukti tentang hal ini bahwa para shahabat yang terbunuh dalam pertempuran di sumur “ma’uunah” semuanya disebut Qurraa’, sebanyak tujuh puluh orang sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih. Al-Qurtubi mengatakan: “Telah terbunuh tujuh puluh orang qari’ pada perang Yamamah; dan terbunuh pula pada masa Nabi sejumlah itu dalam pertempuran di sumur Ma’uunah.”

Inilah pemahaman para ulama dan pentakwilan mereka terhadap hadits-hadits shahih yang menunjukkan terbatasnya jumlah para hafidh al-Qur’an yaitu hanya tujuh orang seperti telah dikemukakan. Dama mengomentari riwayat Anas yang menyatakan “Tidak ada yang hafal al-Qur’an kecuali empat orang”, al-Mawardi berkata: “Ucapan Anas yang menyatakan bahwa tidak ada yang hafal al-Qur’an kecuali empat orang itu tidak dapat diartikan bahwa kenyataannya memang demikian. Sebab mungkin saja Anas tidak mengetahui ada orang lain yang menghafalnya. Bila tidak, maka bagaimana ia mengetahui secara persis orang-orang yang hafal al-Qur’an sedang para shahabat amat banyak jumlahnya dan tersebar ke pelbagai wilayah? Pengetahuan Anas tentang orang-orang yang hafal al-Qur’an itu tidak dapat diterima kecuali kalau ia bertemu dengan setiap orang yang menghafalnya dan orang itu menyatakan kepadanya bahwa ia belum sempurna hafalannya di masa Nabi. Yang demikian itu amat tidak mungkin terjadi menurut kebiasaan. Karena itu bila yang dijadikan rujukan oleh Anas hanya pengetahuannya sendiri maka hal itu tidak berarti bahwa kenyataannya memang demikian. Di samping itu syarat kemutawatiran juga tidak menghendaki agar semua pribadi hafal, bahkan bila kolektifitas shahabat telah hafal –sekalipun secara distributif- maka hal itu sudah cukup.”

(al-Mawardi ialah Abul Hasan Ali bin Habib asy-Syafi’i, pengarang kitab al-Ahkaamus-Sultaaniyyah dan Adaabud dunya wad-Diin; wafat 450 H.)

Dengan jawaban ini al-Mawardi telah menghilangkan keraguan yang mengesankan sedikitnya jumlah huffadh [para penghafal al-Qur’an] dengan cara meyakinkan dan menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang kuat mengenai pembatasan jumlah hafidh dalam hadits Anas dengan penjelasan memuaskan.

Abu ‘Ubaid (yaitu al-Qasim bin Salam al-Harawi al-Azdi al-Khuza’i; seorang ahli hadits dan bahasa terkemuka serta pengarang kitab al-Amwaal yang terkenal itu. Wafat 224 H) telah menyebutkan dalam kitab al-Qiraa’aat sejumlah Qari dari kalangan shahabat. dari kaum Muhajirin, ia menyebutkan empat orang khalifah, Thalhah, Sa’d, Ibn Mas’ud, Hudzaifah, Salim, Abu Hurairah, Abdullah as-Sa’ib, empat orang bernama Abdullah (Abdullah bin ‘Abbas, Abdullah bin ‘Amr bin ‘As, Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Zubair), Aisyah, Hafsah dan Ummu Salamah; dan dari kaum Anshar: ‘Ubadah bin Samit, Mu’adz yang dijuluki Abu Halimah, Majma’ bin Jariyah, Fudalah bin ‘Ubaid dan Maslamah bin Mukhallad. Ditegaskannya bahwa sebagian mereka itu menyempurnakan hafalannya sepeninggal Nabi. (al-Itqaan, jilid 1 hal.72)

Al-Hafidh adz-Dzahabi (namanya: Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman; salah seorang tokoh ahli hadits pada abad kedelapan, wafat 748 H) menyebutkan dalam Tabaqaatul Qurraa’ bahwa jumlah qari tersebut adalah jumlah jumlah mereka yang menunjukkan hafalannya di hadapan Nabi dan sanad-sanadnya sampai kepada kita secara bersambung. Sedangkan shahabat yang hafal al-Qur’an namun sanadnya tidak sampai ke kita, jumlah mereka itu banyak.

Dari keterangan-keterangan ini jelaslah bagi kita bahwa para hafidh al-Qur’an di masa Rasulullah amat banyak jumlahnya, dan bahwa berpegang pada hafalan dalam penukilan di masa itu termasuk ciri khas umat ini. Ibn Jazari (:Muhammad bin Muhammad, terkenal dengan nama Ibnul Jazari, pengarang kitab an-Nasyr fil Qiraa’aatil ‘Asyr, wafat 833 H), para guru qari pada masanya menyebutkan: “Penukilan al-Qur’an dengan berpegang pada hafalan- bukannya pada mushaf-mushaf dan kitab-kitab- merupakan salah saatu keistimewaan yang diberikan Allah kepada umat ini.”

&

Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Utsman

6 Jan

Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Penyebaran Islam bertambah luas dan para qurra pun tersebar di pelbagai wilayah, dan penduduk di setiap wilayah itu mempelajari qira’at [bacaan] dari qari yang dikirim kepada mereka. cara-cara pembacaan [qira’at] al-Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan “huruf” yang dengannya al-Qur’an diturunkan. Apabila mereka berkumpul di suatu pertemuan atau di suatu medan peperangan, sebagian mereka merasa heran akan adanya perbedaan qira’at ini. Tetapi keadaan demikian bukan berarti tidak akan menyusupkan keraguan kepada generasi baru yang tidak melihat Rasulullah saw., sehingga terjadi pembicaraan tentang bacaan mana yang baku dan mana yang lebih baku. dan pada gilirannya akan menimbulkan permusuhan dan perbuatan dosa. Fitnah yang demikian itu harus segera diselesaikan.

Ketika terjadi perang Armenia dan Azerbaizan dengan penduduk Irak, di antara orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu adalah Hudzaifah bin al-Yama. Ia melihat banyak perbedaan dengan cara-cara membaca al-Qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan; tetapi masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan demikian Hudzaifah segera menghadap Utsman dan melaporkan kepadanya apa yang telah dilihatnya.

Utsman juga memberitahukan kepada Hudzaifah bahwa sebagian perbedaan itupun akan terjadi pada orang-orang yang mengajarkan qira’at kepada anak-anak. Anak-anak akan tumbuh sedang di antara mereka terdapat perbedaan dalam qira’at. Para shahabat amat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan. Mereka sepakat untuk menyalin lembaran-lembaran pertama yang pada Abu Bakar dan menyatukan umat Islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan yang tetap pada satu huruf.

Utsman kemudian mengirimkan utusan kepada Hafshah [untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya] dan Hafshah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit al-Anshari, Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin ‘As, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam, ketiga orang terakhir ini adalah suku Quraisy; dan memerintahkan mereka untuk menyalin dan memperbanyak mushaf, serta memerintahkan pula apa yang diperselisihkan Zaid dengan ketika orang Quraisy itu ditulis dalam bahasa Quraisy, karena al-Qur’an turun dalam logat mereka.

Dari Anas: Bahwa Hudzaifah bin al-Yaman datang kepada Utsman. Ia pernah ikut berperang melawan penduduk Syam sebagian Armenia dan Azarbaijan bersama penduduk Irak. Hudzaifah sangat terkejut dengan perbedaan mereka dalam bacaan. Lalu ia berkata kepada Utsman: “Selamatkanlah umat ini sebelum mereka terlibat dalam perselisihan [dalam masalah Kitab] sebagaimana perselisihan orang-orang Yahudi dan Nasrani.” Utsman kemudian mengirim surat kepada Hafshah yang isinya: ‘Sudilah kiranya anda kirimkan kepada kami lembaran-lembaran yang bertuliskan al-Qur’an itu, kami akan menyalinnya menjadi beberapa mushaf, setelah itu kami akan mengembalikannya.’ Hafshah mengirimkan kepada Utsman, dan Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalinnya. Mereka pun menyalinnya menjadi beberapa mushaf. Utsman berkata kepada ketiga orang Quraisy itu: “Bila kamu berselisih pendapat dengan Zaid bin Tsabit dengan sesuatu dari al-Qur’an, maka tulislah dengan logat Quraisy, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy.”

Mereka melaksanakan perintah itu. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Utsman mengembalikan lembaran-lembaran asli itu kepada Hafshah. Selanjutnya Utsman mengirimkan ke setiap wilayah mushaf baru tersebut dan memerintahkan agar semua al-Qur’an atau mushaf lain dibakar. Zaid berkata: “Ketika kami menyalin mushaf, saya teringat akan satu ayat dari surah al-Ahzab yang pernah aku dengar dibacakan oleh Rasulullah; maka kami mencarinya, dan kami dapatkan pada Khuzaimah bin Tsabit al-Anshari. Ayat itu ialah: …. minal mu’miniina rijaalun shadaquu maa ‘aaHadullaaHa ‘alaiHi…. (“…Di antara orang-orang Mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah [al-Ahzab: 23]”) lalu kami tempatkan ayat ini pada surah tersebut dalam mushaf. (HR Bukhari)

Berbagai Atsar atau keterangan para shahabat menunjukkan bahwa perbedaan cara membaca itu tidak saja mengejutkan Hudzaifah bin al-Yaman, tetapi juga mengejutkan para shahabat lainnya. Dikatakan oleh Ibnu Jarir: Ya’qub bin Ibrahim bercerita kepadaku, bahwa Abu Qalabah berkata: “Pada masa kekhalifahan Utsman telah terjadi seorang guru qira’at mengajarkan qiraat seseorang, dan guru lain juga mengajarkan qiraat orang lain. Dua kelompok anak-anak yang belajar qiraat itu pada suatu ketika bertemu dan mereka berselisih, dan hal yang demikian itu juga menjalar kepada guru-guru tersebut.” Kata Ayyub: “Aku tidak mengetahui kecuali ia berkata: ‘Sehingga mereka saling mengkafirkan satu sama lain karena perbedaan qiraat tersebut.’ Dan hal ini akhirnya sampai juga kepada khalifah Utsman, maka ia berpidato: “Kalian yang ada di hadapanku telah berselisih paham dan salah dalam membaca al-Qur’an. Penduduk daerah yang jauh dari kami tentu lebih besar lagi perselisihan dan kesalahannya. Bersatulah wahai shahabat-shahabat Muhammad, tulislah untuk semua orang satu imam [mushaf al-Qur’an pedoman] saja.”

Abu Qalabah berkata: Anas bin Malik bercerita kepadaku, katanya: “Aku adalah salah seorang di antara mereka yang disuruh menuliskan.” Kata Abu Qalabah: “Terkadang mereka berselisih tentang satu ayat, maka mereka menanyakan kepada seseorang yang telah menerimanya dari Rasulullah, akan tetapi orang tadi mungkin tengah berada di luar kota, sehingga mereka hanya menuliskan apa yang sebelum dan sesudah serta membiarkan tempat letaknya, sampai orang itu datang atau dipanggil. Ketika penulisan mushaf telah selesai, Khalifah Utsman menuliskan surat kepada semua penduduk daerah yang isinya: “Aku telah melakukan yang demikian dan demikian. Aku telah menghapus apa yang ada padaku, maka hapuskanlah apa yang ada padamu.” (lihat jilid pertama Tafsir at-Tabari, yang disunting dan dikeluarkan oleh dua orang bersaudara Muhammad Muhammad Syakir dan Ahmad Muhammad Syakir, cetakan Darul Ma’arif hal 61 dan 62)

Ibn Asytah (yakni Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Asytah; seorang penulis terpercaya yang mengkhususkan diri dengan ilmu-ilmu al-Qur’an; wafat 360 H) dia meriwayatkan melalui Ayyub dari Abu Qalabah, keterangan yang sama. Dan Ibn Hajar menyebutkan dalam al-Fath bahwa Ibn Abu Daud telah meriwayatkan pula melalui Abu Qalabah dalam Masaahif.

Suwaid bin Gaflah berkata: Ali mengatakan: “Katakanlah segala yang baik tentang Utsman, demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf al-Qur’an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata: ‘Bagaimana pendapatmu tentang qiraat ini? Saya mendengar bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qiraatnya lebih baik dari qiraat orang lain. Ini telah mendekati kekafiran.’ Kami berkata: ‘Bagaimana pendapatmu?’ ia menjawab: ‘Aku berpendapat agar manusia bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.’ Kami berkata: ‘Baik selaki pendapatmu itu.’ (HR Ibn Abu Daud dengan sanad yang shahih)

Keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman itu telah disepakati oleh para shahabat. mushaf-mushaf itu ditulis dengan satu huruf [dialek] dari tujuh huruf al-Qur’an seperti yang diturunkan agar orang bersatu dalam satu qiraat. Dan Utsman telah mengembalikan lembaran-lembaran yang asli kepada Hafshah. Lalu dikirimkan pula ke setiap wilayah masing-masing satu mushaf, dan ditahannya satu mushaf untuk Madinah, yaitu mushafnya sendiri yang kemudian dikenal dengan nama “Mushaf Imam”. Penamaan ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat terdahulu dimana ia mengatakan: “Bersatulah wahai shahabat-shahabat Muhammad, dan tulislah untuk semua orang satu imam [mushaf al-Qur’an pedoman].”

Kemudian ia memerintahkan membakar semua bentuk lembaran atau mushaf yang selain itu. Umat pun menerima perintah itu dengan patuh, sedang qiraat dengan enam huruf lainnya ditinggalkan. Keputusan itu tidak salah, sebab qiraat dengan tujuh huruf itu tidak wajib. Seandainya Rasulullah mewajibkan qiraat dengan tujuh huruf itu semua, tentu setiap huruf harus disampaikan secara mutawatir sehingga menjadi hujjah. Tetapi mereka tidak melakukannya. Ini menunjukkan bahwa qiraat dengan tujuh huruf itu termasuk dalam kategori keringangan. Dan bahwa yang wajib ialah menyampaikan sebagian dari ketujuh huruf tersebut secara mutawatir. Dan inilah yang terjadi.

Ibnu Jarir mengatakan berkenaan dengan apa yang telah dilakukan oleh Utsman: “Ia menyatukan umat Islam dalam satu mushaf dan satu huruf, sedang mushaf yang lain disobek. Ia memerintahkan dengan tegas agar setiap orang yang mempunyai mushaf yang ‘berlainan’ dengan mushaf yang disepakati itu membakar mushaf tersebut (lihat teks ini dalam Tafsir Ibn Jarir at-Tabari, jilin 1 hal 64 dan 65. Dalam anotasi Ibn Hajar berkata dalam al-Fath jilid 9, hal 18 ketika ia memberi syarah terhadap hadits Bukhari: “Di dalam riwayat sebagian besar dari mereka disebutkan an yukhriqa dengan menggunakan “kha”. Dalam riwayat al-Marwazi dengan “ha” lebih kuat karena kharaqal kitaab au saub berarti merobek-robeknya.)
Umat pun mendukungnya dengan taat, dan mereka melihat bahwa dengan begitu Utsman telah bertindak sesuai dengan petunjuk dan sangat bijaksana. Maka umat meninggalkan qiraat dengan enam huruf lainnya, sesuai dengan permintaan pemimpinnya yang adil itu; sebagai bukti ketaatan umat kepadanya dan karena pertimbangan demi kebaikan mereka dan generasi sesudahnya. Dengan demikian segala qiraat yang lainnya sudah dimusnahkan dan bekas-bekasnya juga sudah tidak ada. Sekarang sudah tidak ada jalan bagi orang yang ingin membaca dengan ketujuh huruf itu dan kaum Muslimin juga telah menolak qiraat dengan huruf-huruf yang lain tanpa mengingkari kebenarannya atau sebagian daripadanya. Tetapi hal yang demikian itu demi kebaikan kaum Muslimin sendiri. Dan sekarang ini tidak ada lagi qiraat bagi kaum Muslimin selain qiraat dengan satu huruf yang telah dipilih oleh imam mereka yang bijaksana dan tulus hati ini. Tidak ada lagi qiraat dengan enam huruf lainnya.

Apabila sebagian orang yang lemah pengetahuannya berkata: “Bagaimana mereka boleh meninggalkan qiraat yang telah dibacakan oleh Rasulullah dan diperintahkan pula membaca dengan cara itu?” Maka jawabnya ialah: “Sesungguhnya perintah Rasulullah kepada mereka untuk membacanya itu bukanlah perintah yang menunjukkan wajib dan fardlu, tetapi menunjukkan kebolehan dan keringanan [ruskhshah]. Sebab andaikata qiraat dengan tujuh huruf itu diwajibkan kepada mereka, tentulah pengetahuan dengan tujuh huruf itu wajib pula bagi orang yang mempunyai hujjah untuk menyampaikannya, beritanya harus pasti dan keraguan harus dihilangkan dari para qari. Dan karena mereka tidak menyampaikan hal tersebut, maka ini merupakan bukti bahwa dalam masalah qiraat mereka boleh memilih, sesudah adanya orang yang menyampaikan al-Qur’an di kalangan umat yang penyampaiannya menjadi hujjah bagi sebagian ketujuh huruf itu.

Jika memang demikian halnya, maka mereka tidak dipandang telah meninggalkan tugas menyampaikan semua qiraat yang tujuh tersebut, yang menjadi kewajiban mereka untuk menyampaikannya. Kewajiban mereka ialah apa yang telah mereka kerjakan itu. Karena apa yang telah mereka lakukan itu sangat berguna bagi Islam dan kaum Muslimin. Oleh karena itu menjalankan apa yang menjadi kewajiban mereka sendiri lebih utama daripada melakukan sesuatu yang malah lebih merupakan bencana terhadap Islam dan pemeluknya daripada menyelamatkannya.”

&

Pengumpulan dan Penertiban Al-Qur’an

6 Jan

Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Yang dimaksud dengan pengumpulan al-Qur’an [jam’ul Qur’an] oleh para ulama adalah salah satu dari dua pengertian berikut:
1. Pertama: pengumpulan dalam arti hifdhuHu (menghafalnya dalam hati). Jummaa’ul qur-aan artinya huffaadhuHu (penghafal-penghafalnya, maksudnya orang yang menghafal dalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi. Nabi senantiasa menggerakkan bibir dan lidah untuk membaca al-Qur’an ketika al-Qur’an itu turun kepada beliau sebelum Jibril selesai membacakannya, karena ingin menghafalnya:

“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca al-Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya [di dadamu] dan [membuatmu pandai] membacanya. Apabila Kami selesai membacanya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (al-Qiyaamah: 16-19)

Ibn ‘Abbas mengatakan: “Rasulullah sangat ingin segera menguasai al-Qur’an yang diturunkan. Ia menggerakkan lidan dan kedua bibirnya karena takut apa yang turun itu terlewatkan. Beliau ingin segera menghafalnya. Maka Allah menurunkan: (“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca al-Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan membacanya.”) Maksudnya: “Kami yang mengumpulkannya di dalam dadamu, kemudian Kami membacakannya.” (“Apabila Kami selesai membacanya maka ikutilah bacaannya itu.”) maksudnya “Apabila Kami telah menurunkannya kepadamu, maka ikutilah bacaan itu; maksudnya “dengarkanlah dan perhatikanlah ia”. (“Kemudian atas tanggungan Kamilah penjelasannya.”) yakni “menjelaskan dengan lidahmu.”

Dalam lafal yang lain dikatakan: “Atas tanggungan Kamilah membacanya.” Maka setelah ayat ini turun bila Jibril datang, Rasulullah diam. Dalam lafal yang lain: “Ia mendengarkan.” Dan bila Jibril telah pergi, barulah beliau membacanya sebagaimana perintah Allah.”

2. Kedua: pengumpulan dalam arti “KitaabatuHu kulliHi” (Penulisan al-Qur’an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis dalam satu lembar secara terpisah, ataupun penertiban ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surah, sebagaimana ditulis sesudah bagian yang lain.

&

Perbedaan antara Pengumpulan al-Qur’an pada Masa Abu Bakar dengan Utsman

6 Jan

Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Dari teks-teks sebelumnya jelaslah bahwa pengumpulan mushaf oleh Abu Bakar berbeda dengan pengumpulan yang dilakukan oleh Utsman dalam motif dan caranya. Motif Abu Bakar adalah kekhawatiran beliau akan hilangnya al-Qur’an karena banyaknya para hufadh yang gugur dalam peperangan yang banyak menelan korban dari para qari. Sedangkan motif Utsman untuk mengumpulkan al-Qur’an adalah karena banyaknya perbedaan dalam cara-cara membaca al-Qur’an yang disaksikannya sendiri di daerah-daerah dan mereka saling menyalahkan satu terhadap lainnya.

Pengumpulan al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar adalah memindahkan semua tulisan atau catatan al-Qur’an yang semula bertebaran di kulit-kulit binatang, tulang-belulang dan pelepah kurma, kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surahnya yang tersusun serta terbatas pada bacaan yang tidak dimansukh dan mencakup ketujuh huruf sebagaimana ketika al-Qur’an itu diturunkan.

Sedangkan pengumpulan yang dilakukan oleh Utsman adalah menyalinnya dalam satu huruf di antara ketujuh huruf itu untuk mempersatukan kaum Muslimin dalam satu mushaf dan satu huruf yang mereka baca tanpa keenam huruf lainnya. Ibn Tin dan yang lainnya berkata: “Perbedaan pengumpulan Abu Bakar dengan pengumpulan Utsman ialah bahwa pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar disebabkan oleh kekhawatiran akan hilangnya sebagian al-Qur’an karena kematian para penghafalnya, sebab ketika itu al-Qur’an belum terkumpul dalam satu tempat. Lalu Abu Bakar mengumpulkannya dalam lembaran-lembaran dengan menertibkan ayat-ayat dan surahnya, sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw. kepada mereka.

Sedang pengumpulan yang dilakukan oleh Utsman disebabkan banyaknya perbedaan dalam hal qiraat, sehingga mereka membacanya menurut logat mereka masing-masing dengan bebas dan ini menyebabkan timbulnya sikap saling menyalahkan. Karena khawatir akan timbul “bencana”, Utsman segera memerintahkan menyalin lembaran-lembaran itu ke dalam satu mushaf dengan menertibkan/menyusun surah-surahnya dan membatasinya hanya pada bahasa Quraisy saja dengan alasan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka [Quraisy], sekalipun pada mulanya memang diizinkan membaca dengan bahasa selain Quraisy guna menghindari kesulitan. Dan menurutnya keperluan demikian ini sudah berakhir. Karena itulah ia membatasinya hanya satu logat saja.”

al Haris al-Muhasibi mengatakan: “Yang masyhur di kalangan orang banyak ialah bahwa pengumpulan al-Qur’an itu Utsman. Padahal sebenarnya tidak demikian. Utsman hanyalah berusaha menyatukan umat pada satu macam bacaan [wajah] qiraat. Itu pun atas dasar kesepakatan antara dia dengan kaum Muhajirin dan Anshar yang hadir di hadapannya, serta setelah ada kekhawatiran timbulnya kemelut karena perbedaan yang terjadi antara penduduk Irak dengan Syam dalam cara qiraat. Sebelum itu mushaf-mushaf tersebut dibaca dengan berbagai macam qiraat yang didasarkan pada tujuh huruf dengan mana al-Qur’an diturunkan. Sedang yang lebih dahulu mengumpulkan al-Qur’an secara keseluruhan [lengkap] adalah Abu Bakar ash-Shiddiq.” (Lihat al Itqaan, jilid 1 hal 60 dan 61)

dengan usahanya itu Utsman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan mengikis sumber perselisihan serta menjaga al-Qur’an dari penambahan dan penyimpangan sepanjang zaman.

Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah mushaf yang dikirimkan Utsman ke berbagai daerah:

a. Ada yang mengatakan bahwa jumlahnya tujuh buah mushaf yang dikirim ke Makkah, Syam, Bashrah, Kufah, Yaman, Bahrain dan Madinah. Ibn Abu Daud mengatakan: Aku mendengar Abu Hatim as-Sijistani berkata: “Telah ditulis tujuh buah mushaf, lalu dikirim ke Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah dan sebuah ditahan di Madinah.”

b. Dikatakan pula bahwa jumlahnya ada empat buah, masing-masing dikirim ke Irak, Syam, Mesir dan Mushaf Imam; atau dikirim ke Kufah, Bashrah, Syam dan mushaf Imam. Berkata Abu ‘Amr ad-Dani dalam al-Muqni’: “Sebagian besar ulama berpendapat bahwa ketika Utsman menulis mushaf, ia membuatnya sebanyak empat buah salinan dan ia kirimkan ke setiap daerah masing-masing satu buah: ke Kufah, Bashrah, Syam dan ditinggalkan satu buah untuk dirinya sendiri.”

c. Ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya ada lima. As-Suyuti berkata bahwa pendapat inilah yang masyhur.

Adapun lembaran-lembaran yang dikembalikan kepada Hafsah, tetap berada di tangannya hingga ia wafat. Setelah itu lembaran-lembaran tersebut dimusnahkan (Tafsir Tabari, jilid 1 hal 61) dan dikatakan pula bahwa lembaran-lembaran tersebut diambil oleh Marwan bin Hakam lalu dibakar.

Mushaf-mushaf yang ditulis oleh Utsman itu sekarang hampir tidak ditemukan sebuah pun juga. Keterangan yang diriwayatkan oleh Ibn Katsir dalam kitabnya “Fadaa’ilul Qur’an” menyatakan bahwa ia menemukan satu buah di antaranya di masjid Damsyik di Syam. Mushaf itu ditulis dalam lembaran –menurutnya- terbuat dari kulit unta. Dan diriwayatkan pula mushaf Syam ini dibawa ke Inggris setelah beberapa lama berada di tangan kaisar Rusia di perpustakaan Leningrad. Juga dikatakan bahwa mushaf itu terbakar dalam masjid Damsyik pada tahun 1310 H.
Pengumpulan al-Qur’an oleh Utsman ini disebut dengan “Pengumpulan Ketiga” yang dilaksanakan pada 25 H.

&

Turunnya Al-Qur’an secara Bertahab

6 Jan

Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Firman Allah:
“Dan al-Qur’an itu benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam; ia dibawa turun oleh ar-Ruhul Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan; dengan bahasa Arab yang jelas.” (asy-Syu’ara: 192-195)

“Katakanlah: Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan al-Qur’an itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan hati orang-orang yang telah beriman dan menjadi petunjuk serta khabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri kepada Allah.” (an-Nahl: 102)

“Kitab ini diturunkan dari Allah yang Mahaperkasa dan Mahabijaksana.” (al-Jaatsiyah: 2)

“Dan jika kamu tetap dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah saja yang semisal dengan al-Qur’an itu.” (al-Baqarah: 23)

“Katakanlah: ‘Barangsiapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (al-Qur’an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (al-Baqarah: 97)

Ayat-ayat di atas menyatakan bahwa al-Qur’anul Karim adalah kalam Allah dengan lafalnya yang berbahasa Arab; dan bahwa Jibril telah menurunkannya ke dalam hati Rasulullah saw. dan bahwa turunnya itu bukan lah turunnya yang pertama kali ke langit dunia. Tetapi yang dimaksud adalah turunnya al-Qur’an secara bertahab. Ungkapan untuk arti menurunkan dalam ayat-ayat di atas menggunakan kata tanzil bukannya inzal. Ini menunjukkan bahwa turunnya itu secara bertahab dan berangsur-angsur. Ulama bahasa membedakan antara inzal dan tanzil. Tanzil berarti turun secara berangsur-angsur sedang inzal hanya menunjukkan turun atau menurunkan dalam arti umum.

Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun: tiga belas tahun di Makkah menurut pendapat yang kuat, dan sepuluh tahun di Madinah. Penjelasan tentang turunnya secara berangsur itu terdapat dalam firman Allah: “Dan al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (al-Israa’: 106).

Maksudnya: Kami telah menjadikan turunnya al-Qur’an itu secara berangsur agar kamu membacakannya kepada manusia secara perlahan dan teliti dan Kami menurunkannya bagian-demi bagian sesuai dengan peristiwa dan kejadian-kejadian.

Adapun kitab-kitab samawi yang lain, seperti Taurat, Injil dan Zabur, turunnya sekaligus, tidak turun secara berangsur-angsur. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh firman-Nya: “Dan berkatalah orang-orang kafir: ‘Mengapa al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?’ demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya kelompok demi kelompok.” (al-Furqaan: 32)

Ayat ini menunjukkan bahwa kitab-kitab samawi terdahulu itu turun sekaligus. Dan inilah yang dijadikan pegangan oleh jumhur ulama. Seandainya kitab-kitab terdahulu itu turun secara berangsur-angsur, tentulah orang-orang kafir tidak akan merasa heran terhadap al-Qur’an yang turun secara berangsur-angsur. Makna kata-kata mereka, ‘Mengapa al-Qur’an tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja’ ; seperti halnya kitab-kitab yang lain. Mengapa ia diturunkan secara bertahab? Mengapa ia diturunkan secara berangsur-angsur? Allah tidak menjawab mereka bahwa ini adalah sunnah-Nya di dalam menurunkan semua kitab samawi sebagaimana Dia menjawab kata-kata mereka:

“Dan mereka berkata: ‘Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar?’” (al-Furqaan: 7) dengan jawaban:

“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.” (al-Furqaan: 20) dan seperti Dia menjawab ucapan mereka:

“Adakah Allah mengutus seorang manusia menjadi Rasul?” (al-Israa’: 94) dengan jawaban:

“Katakanlah: ‘Kalau seandainya ada malaikat-malaikat yang berjalan-jalan sebagai penghuni di bumi, niscaya Kami turunkan dari langit kepada mereka seorang malaikat menjadi rasul.” (al-Israa’: 95) dan dengan firman-Nya:

“Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad) melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka.” (al-Anbiyaa’: 7)

Tetapi Allah menjawab mereka dengan menjelaskan hikmah mengapa al-Qur’an diturunkan secara bertahab dengan firman-Nya: “Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu.” Maksudnya Kami menurunkan al-Qur’an secara bertahab dan terpisah-pisah karena suatu hikmah, yaitu untuk memperkuat hati Rasulullah saw.

“Dan Kami membacakannya kelompok demi kelompok,” maksudnya: Kami menentukan seayat demi seayat atau bagian demi bagian, atau Kami menjelaskannya dengan sejelas-jelasnya, karena turunnya yang bertahab sesuai dengan peristiwa-peristiwa itu lebih dapat memudahkan hafalan dan pemahaman yang merupakan salah satu penyebab kemantapan (di dalam hati).

Penelitian terhadap hadits-hadits shahih menyatakan bahwa al-Qur’an turun menurut keperluan, terkadang turun lima ayat, terkadang sepuluh ayat, terkadang lebih dari itu atau lebih sedikit. Terdapat hadits shahih yang menjelaskan sepuluh ayat telah turun sekaligus berkenaan dengan berita bohong tentang Aisyah. Dan telah turun pula sepuluh ayat dalam permulaan surah Mukminun secara sekaligus. Dan telah turun pula, ….. yang tidak mempunyai alasan (ghaira ulid darari) saja yang merupakan bagian dari suatu ayat. (Hal yang demikian itu dinukil oleh as-Suyuti dari Makki bin Abi Talib yang wafat tahun 1367 H. Dalam kitabnya an-Nasikh wal Mansuukh, Lihat al-itqaan jilid 1 hal 42).

&

Turunnya Al-Qur’an Sekaligus

6 Jan

Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Allah menurunkan al-Qur’an kepada Rasul kita Muhammad saw., untuk memberi petunjuk kepada manusia. Turunnya al-Qur’an merupakan peristiwa besar yang sekaligus menyatakan kedudukannya bagi penghuni langit dan penghuni bumi. Turunnya al-Qur’an pertama kali pada malam Lailatul Qadar merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat akan kemuliaan umat Muhammad saw.

Umat ini telah dimuliakan oleh Allah dengan risalah baru agar menjadi umat paling baik yang dikeluarkan bagi manusia. Turunnya al-Qur’an yang kedua secara bertahab, berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya sangat mengagetkan orang dan menimbulkan keraguan terhadapnya sebelum jelas bagi mereka rahasia hikmah ilahi yang ada di balik itu.

Rasulullah tidak menerima risalah agung ini sekaligus, dan kaumnya pun tidak pula puas dengan risalah-risalah tersebut karena kesombongan dan permusuhan mereka. oleh karena itu wahyu pun turun berangsur-angsur untuk menguatkan hati Rasul dan menghiburnya serta mengikuti peristiwa dan kejadian-kejadian sampai Allah menyempurnakan agama ini dan mencukupkan nikmat-Nya.

AL-QUR’AN TURUN SEKALIGUS

Firman Allah:

“Bulan Ramadlan, bulan yang di dalamnya diturunkan Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang hak dengan yang batil.” (al-Baqarah: 185)

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya [al-Qur’an] pada malam Lailatul Qadar.” (al-Qadar: 1)

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya [al-Qur’an] pada suatu malam yang diberkahi.” (ad-Dukhan: 3)

Ketiga ayat di atas tidak bertentangan, karena malam yang diberkahi adalah malam lailatul Qadar dalam bulan Ramadlan. Tetapi lahir [dhahir] ayat-ayat itu bertentangan dengan kejadian nyata dalam kehidupan Rasulullah saw. dimana al-Qur’an turun kepadanya selam dua puluh tiga tahun. Dalam hal ini para ulama mempunyai du madzab pokok:

1. Madzab pertama
Yaitu pendapat Ibnu ‘Abbas dan sejumlah ulama serta yang dijadikan pegangan oleh umumnya ulama. Yang dimaksud dengan turunnya al-Qur’an dalam ketiga ayat di atas adalah turunnya al-Qur’an sekaligus ke Baitul ‘Izzah di langit dunia agar para malaikat menghormati kebesarannya. Kemudian sesudah itu al-Qur’an diturunkan kepada Rasul kita Muhammad saw. secara bertahab selama dua puluh tiga tahun sesuai dengan peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian sejak beliau diutus sampai wafatnya. Beliau tinggal di Makkah sesudah diutus selama tiga belas tahun dan sesudah hijrah tinggal di Madinah salama sepuluh tahun. Ibnu ‘Abbas berkata: “Rasulullah saw. diutus pada usia empat puluh tahun. Beliau tinggal di Makkah selama tiga belas tahun dan selama itu wahyu turun kepada beliau. Kemudian beliau diperintahkan hijrah selama sepuluh tahun. Beliau wafat dalam usia enam puluh tiga tahun.” (Hadits al-Bukhari)
Pendapat ini didasarkan pada berita-berita yang shahih dari Ibnu ‘Abbas dalam beberapa peristiwa, antara lain:

a. Ibnu ‘Abbas berkata: “al-Qur’an diturunkan sekaligus ke langit dunia pada malam lailatul Qadar. Kemudian setelah itu ia diturunkan selama dua puluh tahun.” Lalu ia membaca: “Dan tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa suatu yang ganjil, melainkan Kami mendatangkan kepadamu sesuatu yang benar dan paling baik penjelasannya.” (al-Furqaan: 33)
“Dan al-Qur’an telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya sebagian demi sebagian.” (al-Israa’: 106)

b. Ibnu ‘Abbas berkata: “Al-Qur’an itu dipisahkan dari adz-Dzikr, lalu diletakkan di Baitul ‘Izzah di langit dunia. Maka Jibril mulai menurunkannya kepada Nabi saw.

c. Ibnu ‘Abbas ra. berkata: “Allah menurunkan al-Qur’an sekaligus ke langit dunia, tempat turunnya secara berangsur-angsur. Lalu Dia menurunkannya kepada Rasul-Nya saw. sebagian demi sebagian.”

d. Ibnu ‘Abbas berkata: “Al-Qur’an diturunkan pada malam Lailatul Qadar pada bulan Ramadlan ke langit dunia sekaligus, lalu ia diturunkan secara berangsur-angsur.”

2. Madzab kedua,
Yaitu yang diriwayatkan oleh asy-Sya’bi (asy-Sya’bi adalah ‘Amir bin Syahril, termasuk tabi’in besar dan salah satu guru Abu Hanifah yang terkemuka. Dia juga adalah ahli hadits dan ahli fiqih, wafat: 109 H) bahwa yang dimaksud dengan turunnya al-Qur’an dalam ketiga ayat di atas ialah permulaan turunnya al-Qur’an kepada Rasulullah saw. Permulaan turunnya al-Qur’an itu dimulai pada malam Lailatul Qadar di bulan Ramadlan, yang merupakan malam yang diberkahi. Kemudian turunnya itu berlanjut sesudah itu secara bertahab sesuai dengan kejadian dan peristiwa-peristiwa selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Dengan demikian al-Qur’an hanya satu macam cara turun, yaitu turun secara bertahab kepada Rasulullah saw.

Sebab yang demikian inilah yang dinyatakan al-Qur’an: “Dan al-Qur’an telah kami turunkan secara berangsur-angsur agar kamu membacanya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (al-Israa’: 106)

Orang-orang musyrik yang diberitahu bahwa kitab-kitab samawi terdahulu turun sekaligus, menginginkan agar al-Qur’an juga diturunkan sekaligus:

“Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (al-Furqaan: 32-33)

Dan keistimewaan bulan Ramadlan dan lailatul Qadar yang merupakan malam yang diberkahi itu tidak akan kelihatan oleh manusia kecuali apabila dimaksudkan dari ketiga ayat di atas adalah turunnya al-Qur’an kepada Rasulullah saw. Yang demikian itu sesuai dengan apa yang terdapat dalam firman Allah mengenai perang Badar: “….dan (beriman kepada) apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami [Muhammad] di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (al-Anfaal: 41)

Perang Badar terjadi dalam bulan Ramadlan. Dan yang demikian itu diperkuat pula oleh hadits yang dijadikan pegangan para penyelidik hadits permulaan wahyu. Imam Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah ra. menceritakan cara permulaan wahyu, ia berkata: Wahyu yang diterima Rasulullah saw. dimulai dengan suatu mimpii yang benar. Dalam mimpi itu beliau melihat cahaya terang laksana fajar menyingsing di pagi hari. Setelah itu beliau digemarkan [oleh Allah] untuk melakukan khalwat [‘uzlah]. Beliau melakukan khalwat di gua Hira’ –melakukan ibadah- selama beberapa malam kemudian pulang kepada keluarganya [Khadijah] untuk mengambil bekal. Demikian berulang-ulang hingga suatu saat beliau dikejutkan dengan datangnya kebenaran di dalam gua Hira.
Pada suatu hari datanglah malaikat lalu berkata: “Bacalah.” Beliau menjawab: “Aku tak bisa membaca.” Rasulullah saw. menceritakan lebih lanjut: Malaikat itu lalu mendekatiku dan memelukku sehingga aku merasa lema sekali, kemudian aku dilepaskan. Ia berkata lagi: “Bacalah.” Aku menjawab: “Aku tidak dapat membaca.” Untuk kali yang ketiga ia mendekati dan memelukku hingga aku merasa lemas, kemudian aku dilepaskan. Selanjutnya ia berkata lagi: “Bacalah dengan nama Rabb-mu yang telah menciptakan…Menciptakan manusia dari segumpal darah.. “ dan seterusnya.

Para penyelidik menjelaskan bahwa Rasulullah saw. pada mulanya diberitahu tentang mimpi pada bulan kelahirannya, yaitu bulan Rabi’ul Awwal. Pemberitahuan dengan mimpi ini lamanya enam bulan. Kemudian beliau diberi wahyu dalam keadaan sadar (tidak dalam keadaan tidur) pada bulan Ramadlan dengan iqra’. Dengan demikian, nas-nas yang terdahulu itu menunjukkan kepada satu pengertian.

3. Madzab ketiga,
Berpendapat bahwa al-Qur’an diturunkan ke langit dunia selama 23 malam lailatul Qadar (atau 25 malam lailatul qadar sesuai dengan perbedaan pendapat yang terdahulu tentang lamanya Rasul tinggal di Makkah). Yang pada tiap malamnya selama malam-malam lailatul qadar itu ada yang ditentukan Allah untuk diturunkan pada setiap tahunnya. Dan jumlah wahyu yang diturunkan ke langit dunia di malam lailatul qadar, untuk masa satu tahun penuh itu kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah sepanjang tahun. Madzab ini adalah hasil ijtihad sebagian mufasir. Pendapat ini tidak mempunyai dalil.

Adapun pendapat kedua yang diriwayatkan oleh asy-Sya’bi, dengan dalil-dalil yang shahih dapat diterima, tidaklah bertentangan dengan madzab yang pertama yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas.

Dengan demikian maka pendapat yang kuat ialah bahwa al-Qur’anul Karim itu dua kali turun:
a. Diturunkan secara sekaligus pada malam Lailatul Qadar di Baitul ‘Izzah di langit dunia.
b. Diturunkan dari langit dunia ke bumi secara berangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun.

Al-Qurtubi telah menukil dari Muqatil bin Hayyan riwayat tentang kesepakatan (ijma’) bahwa turunnya al-Qur’an sekaligus dari Lahulu Mahfuz ke Baitul ‘Izzah di langit dunia. Ibnu ‘Abbas memandang tidak ada pertentangan antara ketiga ayat di atas yang berkenaan dengan turunnya al-Qur’an dengan kejadian nyata kehidupan Rasulullah saw. bahwa al-Qur’an itu turun selama dua puluh tiga tahun yang bukan bulan Ramadlan.

Dari Ibnu ‘Abbas disebutkan bahwa dia ditanya oleh ‘Atiyah bin al-Aswad, katanya: “Dalam hatiku terjadi keraguan tentang firman Allah: Bulan Ramadlan itulah bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an; dan firman Allah: Sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam Lailatul Qadar; padahal al-Qur’an itu ada yang diturunkan pada bulan Syawal, Dzul Qaidah, Dzul Hijjah, Muharram, Safar dan Rabi’ul Awwal.” Ibnu ‘Abbas menjawab: “Al-Qur’an diturunkan pada malam Lailatul Qadar sekaligus. Kemudian diturunkan secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit dan terpisah-pisah serta perlahan-lahan di sepanjang bulan dan hari.” (Hadits riwayat Ibnu Mardawaih dan Baihaqi dalam kitab al-Asma’ was Sifaat.)

Para ulama mengisyaratkan bahwa hikmah dari hal itu ialah menyatakan kebesaran al-Qur’an dan kemuliaan orang yang kepadanya al-Qur’an diturunkan. As-Suyuti mengatakan: “Dikatakan bahwa rahasia diturunkannya al-Qur’an sekaligus ke langit dunia adalah untuk memuliakannya dan memuliakan orang yang kepadanya al-Qur’an diturunkan; yaitu dengan memberitahukan kepada penghuni tujuh langit bahwa al-Qur’an adalah kitab terakhir yang diturunkan kepada Rasul terakhir dan umat yang paling mulia. Kitab itu kini telah di ambang pintu dan akan segera diturunkan kepada manusia. Seandainya tidak ada hikmah Ilahi yang menghendaki disampaikannya al-Qur’an kepada mereka secara bertahab dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi, tentulah ia diturunkan ke bumi sekaligus seperti halnya kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Maka dijadikan-Nyalah dua ciri tersendiri: diturunkan secara sekaligus, kemudian diturunkan secara bertahab, untuk menghormati orang yang menerimanya.”

As-Sakhawi mengatakan dalam Jamalul Qurraa’: “Turunnya al-Qur’an ke langit dunia sekaligus itu menunjukkan suatu penghormatan kepada keturunan Adam di hadapan para malaikat, serta pemberitahuan kepada para malaikat akan perhatian Allah dan rahmat-Nya kepada mereka. dan dalam pengertian inilah Allah memerintahkan tujuh puluh ribu malaikat untuk mengawal surah al-An’am (al-Qur’an yang dikawal oleh para malaikat ialah yang turunnya diiringi dan dikelilingi oleh para malaikat. Diriwayatkan oleh Thabarani dan Abu ‘Ubaid di dalam Fadaailul qur’an: Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Surah al-An’am itu turun di Makkah sekaligus di waktu malam. Ia diiringi oleh tujuh puluh ribu malaikat yang menyerukan tasbih.”), dan dalam pengertian ini pula Allah memerintahkan Jibril agar mengimlakannya kepada para malaikat pencatat yang mulia, menuliskan dan membacakannya kepadanya.”

&