Arsip | 13.04

Dakwah Secara Terang-Terangan (Jahriyatud Da’wah)

7 Jan

DR.Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy; Sirah Nabawiyah; analisis Ilmiah Mahajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah saw.

Menurut keterangan Ibnu Hisyam, kemudian secara berturut-turut manusia, wanita, dan lelaki memeluk Islam sehingga berita Islam tersiar di Makkah dan menjadi bahan pembicaraan orang. Allah selalu memerintahkan Rasul-Nya menyampaikan Islam dan mengajak orang kepadanya secara terang-terangan setelah selama tiga tahun Rasulullah saw. melakukan dakwah secara tersembunyi.

Allah kemudian berfirman kepadanya, “Maka siarkanlah apa yang diperintahkan kepadamu dan janganlah kamu pedulikan orang musyrik.” (al-Hijr: 94)

“Dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (asy-Syu’araa’: 214-215)

“Dan katakanlah, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan.” (al-Hijr: 89)

Pada waktu itu pula, Rasulullah saw. segera melaksanakan perintah Allah kemudian menyambut firman Allah, “Maka siarkanlah apa yang diperintahkan kepadamu dan janganlah kamu pedulikan orang musyrik.” Dengan pergi ke atas bukit Shafa lalu memanggil, “Wahai bani Fihr, wahai bani ‘Adi.” Sehingga mereka berkumpul dan orang yang tidak bisa hadir mengirimkan orang untuk melihat apa yang terjadi. Nabi saw. berkata, “Bagaimana pendapatmu apabila aku kabarkan bahwa di belakang gunung ini ada sepasukan berkuda musuh yang datang akan menyerangmu, apakah kamu mempercayaiku?” mereka menjawab: “Ya kami belum pernah melihat engkau berdusta.” Kata Nabi saw: “Ketahuilah, sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kalian dari siksa yang pedih.” Abu Lahab kemudian memprotes, “Sungguh celaka kamu sepanjang hari. Hanya untuk inikah kamu mengumpulkan kami.” Selanjutnya turunlah firman Allah: “Binasalah kedua belah tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya dia akan binasa.” (Muttafaq ‘alaih)

Rasulullah saw. lalu turun dan melaksanakan firman Allah, “Dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat.” Dengan mengumpulkan semua keluarga dan kerabatnya lalu berkata kepada mereka, “Wahai Bani Ka’ab bin Lu’ai, selamatkanlah dirimu dari api neraka! wahai Bani Murrah bin Ka’b, selamatkanlah dirimu dari api neraka. Wahai bani Abdi Syams, selamatkanlah dirimu dari api neraka! wahai bani Abdul Muththalib, selamatkanlah dirimu dari api neraka. wahai Fatimah, selamatkanlah dirimu dari api neraka. sesungguhny aku tidak akan dapat membela kalian di hadapan Allah selain bahwa kalian mempunyai tali kekeluargaan yang aku sambung dengan hubungannya.” (Muttafaq ‘alaihi, lafal ini bagi Muslim)

Dakwah Nabi saw. secara terang-terangan ini ditentang dan ditolak oleh bangsa Quraisy dengan alasan bahwa mereka tidak dapat meninggalkan agama yang telah mereka warisi dari nenek moyang mereka dan sudah menjadi bagian dari tradisi kehidupan mereka. pada saat itulah Rasulullah mengingatkan mereka akan perlunya pembebasan fikiran dan akal mereka dari belenggu taklid. Selanjutnya dijelaskan oleh Nabi saw. bahwa tuhan-tuhan yang mereka sembah itu tidak bisa memberi faedah atau bahaya sama sekali dan bahwa turun-temurunnya nenek moyang mereka dalam menyembah tuhan-tuhan itu tidak dapat dijadikan alasan untuk mengikuti mereka secara taklid buta.

Firman Allah: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (al-Baqarah: 170)

Ketika Nabi saw. mencela tuhan-tuhan mereka, membodohkan mimpi mereka, dan mengecam tindakan taklid buta mereka kepada nenek moyang mereka dalam menyembah berhala, mereka menentang dan sepakat untuk memusuhinya kecuali pamannya, Abu Thalib, yang membelanya.

BEBERAPA IBRAH:

1. Sesungguhnya ketika Rasulullah saw. menyampaikan dakwah Islam secara terang-terangan kepada Quraisy dan bangsa Arab pada umumnya, ini mengejutkan mereka dengan sesuatu yang tidak pernah mereka perkirakan sebelumnya, atau asing sama sekali. Ini tampak jelas dalam reaksi Abu Lahab terhadapnya dan kesepakatan tokoh-tokoh Quraisy untuk memusuhi dan menentangnya.

Hal ini kiranya cukup menjadi jawaban telak bagi orang-orang yang berusaha menggambarkan syariat Islam sebagai salah satu dari buah nasionalisme [Arab] dan menganggap Muhammad saw. dengan dakwah yang dilakukannya sebagai cerminan idealisme dan pemikiran Arab pada masa itu.

Pengkaji Sirah Nabawiyah tidak perlu menyusahkan diri untuk menyanggah atau mendiskusikan tuduhan-tuduhan lucu tersebut. Sebenarnya orang yang melontarkan tuduhan-tuduhan tersebut mengetahui kepalsuan dan kenaifannya. Akan tetapi betapapun tuduhan-tuduhan tersebut, dalam pandangan mereka, harus dilontarkan guna menghancurkan Islam dan pengaruhnya tidaklah penting bahwa tuduhan tersebut harus benar. Yang penting, kepentingan dan tujuan mereka memerlukan pengelabuhan seperti itu.

2. Sebenarnya bisa saja Allah tidak memerintahkan Rasul-Nya untuk memberikan peringatan kepada keluarga dan kerabat dekatnya secara khusus karena sudah cukup dengan keumuman perintah-Nya yang lain, yaitu perintah-Nya: “Maka siarkanlah apa yang diperintahkan kepadamu.” Perintah ini sudah mencakup semua anggota keluarga dan kerabatnya. Lalu apa hikmah dikhususkannya perintah untuk memberi peringatan kepada keluarga ini?
Jawabannya: ini merupakan isyarat kepada beberapa tingkatan tanggung jawab yang berkaitan dengan setiap Muslim pada umumnya dan para da’i pada khususnya.

Tingkat tanggung jawab yang paling rendah ialah tanggung jawab seseorang terhadap dirinya. Karena mempertimbangkan penumbuhan tingkat tanggung jawab ini, rentang waktu permulaan wahyu berlangsung sekian lama yakni sampai Muhammad saw. mantap dan menyadari bahwa ia adalah seorang Nabi dan Rasul, bahwa apa yang diturunkan kepadanya adalah wahyu dari Allah yang harus diyakininya dulu dan mempersiapkan dirinya untuk menerima prinsip, sistem, dan hukum yang akan diwahyukan.

Tingkat berikutnya adalah tanggung jawab seorang muslim terhadap keluarga dan kerabat dekatnya. Sebagai pengarahan kepada pelaksanaan tanggung jawab ini, Allah secara khusus memerintahkan Nabi-Nya agar memberi peringatakan kepada keluarga dan kerabat dekatnya setelah perintah ber-tabligh secara umum. Tingkat tanggung jawab ini merupakan kewajiban bagi setiap Muslimm yang memiliki keluarga atau kerabat. Tidak ada perbedaan antara dakwah Rasul kepada kaumnya dan dakwah seorang muslim kepada keluarganya. Hanya saja yang pertama berdakwah kepada syariat baru yang diturunkan Allah kepadanya, sedangkan yang kedua berdakwah dengan dakwah Rasul, sebagaimana Nabi atau Rasul tidak boleh untuk tidak menyampaikan dakwah kepada keluarga dan kerabat dekatnya. Ia bahkan wajib “memaksa” keluarganya untuk melaksanakannya. Demikian pula halny seorang muslim terhadap keluarga dan kerabat dekatnya.

Tingkat ketiga adalah tanggung jawab seorang ‘alim [berilmu] terhadap kampung atau negerinya dan tanggung jawab seorang penguasa terhadap negeri dan kaumnya. Masing-masing dari keduanya menggantikan tanggung jawab Rasulullah saw. secara syar’i, sebagaimana beliau bersabada: “Ulama adalah perwaris para Nabi.” Selain itu, imam dan penguasa juga disebut khalifah [pengganti], yaitu pengganti Rasulullah.

Akan tetapi, imam dan penguasa, dalam masyarakat Islam, diharuskan memiliki ilmu. Hal ini karena tidak ada perbedaan antara tabiat tanggung jawab yang diemban oleh Rasulullah saw. dan tanggung jawab yang diembankan para ulama dan penguasa. Bedanya, Rasulullah saw. menyampaikan syariat baru yang diwahyukan Allah kepadanya, sedangkan mereka mengikuti jejak Rasulullah saw. dan berpegang teguh pada sunah dan sirahnya dan dalam apa yang mereka lakukan dan sampaikan.

Jadi sebagai seorang mukallaf, Nabi saw. bertanggung jawab terhadap dirinya. Sebagai pemilik keluarga dan kerabat, Nabi saw. bertanggung jawab terhadap keluarga dan kerabatnya. Sebagai seorang Nabi dan Rasul Allah, beliau bertanggung jawab terhadap semua manusia.

3. Rasulullah saw. mencela kaumnya karena mereka menjadi “tawanan” tradisi nenek moyang mereka tanpa berpikir lagi tentang baik buruknya. Rasulullah saw. kemudian mengajak mereka untuk membebaskan akal dari belenggu taklid buta dan fanatisme terhadap tradisi yang tidak bertumpu di atas landasan pemikiran dan logika sehat.

Hal ini menjadi dalil bahwa agama ini –termasuk masalah keyakinan dan hukum- bertumpu di atas akal dan logika. Oleh karena itu, di antara syarat terpenting kebenaran iman kepada Allah dan masalah-masalah keyakinan yang lain ialah bahwa kimanan tersebut harus didasarkan kepada asas keyakinan dan pemikiran yang bebas, tanpa dipengaruhi oleh kebiasaan atau tradisi sama sekali sehingga pengarang kita Jauharatut Tauhid mengatakan: “Seseorang yang bertaklid dalam masalah tauhid, keimanannnya tidak terbebas dari keraguan.”

Dari sini kita dapat ketahui bahwa Islam datang untuk memerangi tradisi dan melarang masuk ke dalam jeratnya. Hal ini karena semua prinsip dan hukum Islam didasarkan pada akal dan logika yang sehat, sedangkan tradisi didasarkan pada dorongan ingin mengikuti semata tanpa ada unsur seleksi dan pemikiran. Kata tradisi dalam bahasa Arab berarti sejumlah kebiasaan yang diwarisi secara turun-temurun atau berlangsung karena faktor pergaulan dalam suatu lingkungan atau negeri, dimana taklid semata merupakan penopang utama bagi kehidupan dan kesinambungan tradisi tersebut.

Semua pola kehidupan yang dibiasakan manusia, seperti beberapa permainan pada saat-saat kegembiraan atau berpakaian hitam pada saat kesusahan dan kematian, yang bertahan secara turun-temurun karena faktor perwarisan atau transformasi melalui pergaulan, dalam istilah bahasa dan ilmu sosial disebut “tadisi”.

Dengan demikian Islam sama sekali tidak mengandung unsur tradisi, baik yang berkaitan dengan aqidah, hukum, maupun sistem, karena aqidah didasarkan pada landasan akal dan logika. Demikian pula hukum, ia didasarkan pada kemaslahatan duniawi dan ukhrawi. Kemaslahatan ini tidak dapat diketahui kecuali melalui pemikiran dan perenungan kendatipun oleh sebagian akal manusia tidak dapat diketahui karena sebab-sebab tertentu.
Dengan demikian, jelaslah kesalahan orang-orang yang mengistilahkan peribadatan, hukum-hukum syariat, dan akhlak Islam dengan tradisi Islam.

Bila demikian halnya, peristilahan yang dhalim itu akan memberikan konotasi bahwa akhlak dan perilaku Islam tersebut bukan karena statusnya sebagai prinsip ilahi yang menjadi faktor kebahagiaan manusia, melainkan sebagai tradisi lama yang diwarisi secara turun-temurun. Tentu saja, istilah ini pada gilirannya akan menimbulkan rasa enggan pada kebanyakan orang untuk menerima warisan lain yang ingin ditetapkan kepada masyarakat yang serba berkembang dan maju ini.

Sesungguhnya, penyebutan hukum-hukum Islam dengan istilah “tradisi Islam” bukan merupakan kesalahan yang tidak disengaja, melainkan merupakan mata rantai penghancuran Islam dengan istilah-istilah yang menyesatkan.

Tujuan utama dari pemasaran istilah “tradisi Islam” ini adalah agar semua sistem dan hukum Islam dipahami sebagai tradisi sehingga makna tradisi ini terkait dengan sistem-sistem dan hukum Islam selama masa sekian lama dalam benak manusia, dan mereka lupa bahwa sistem-sistem tersebut pada akhirnya merupakan prinsip-prinsip dan didasarkan pada tuntutan akal sehat, menjadi gampanglah bagi musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam melalui “pintu” yang telah dipersiapkan tersebut.

Tidak diragukan lagi, jika kaum Muslimin telah menyadari semua prinsip dan hukum Islam, seperti masalah pernikahan dan tlalaq, jilbab wanita, serta semua perilaku dan akhlak Islam sebagai “tradisi”, wajar saja jika kemudian muncul orang yang mengajak pada penghancuran “tradisi” dan pembebasan diri dari ikatanya, terutama pada abad dimana kebebasan berpendapat dan berfikir sangat dominan.

Sesungguhnya tidak ada tradisi dalam Islam. Islam adalah agama yang datang untuk membebaskan akal manusia dari segala ikatan tradisi, sebagaimana kita lihat pada langkah-langkah awal dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah saw.

Sesungguhnya semua sistem dan perundang-undangan yang dibawa oleh Islam merupakan prinsip. Prinsip adalah sesuatu yang tegas di atas landasan pemikiran dan akal, dan bertujuan mencapai tujuan tertentu. Jika prinsip manusia kadang –bahkan relatif sering- menyalahi kebenaran karena kelemahan pemikirannya, prinsip Islam tidak pernah sama sekali menyalahi kebenaran karena yang mensyariatkannya adalah Pencipta akal dan pemikiran [Allah swt]. ini saja sudah cukup menjadi dalil ‘aqli untuk nenerima dan meyakini kebenaran prinsip-prinsip Islam.

Tradisi hanya merupakan arus perilaku yang manusia terbawa olehnya secara sepontan karena semata-mata faktor peniruan dan taklid yang ada padanya.

Prinsip adalah garis yang harus mengatur perkembangan zaman, bukan sebaliknya. Sementara itu, tradisi adalah sejumlah “benalu” yang tumbuh secara spontan di tengah ladang pemikiran yang ada pada masyarakat. Tradisi adalah hasyisy [candu] berbahaya yang harus dipunahkan dan dijauhkan dari pemikiran sehat.

&

Gadai

7 Jan

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Menggadaikan barang hukumnya boleh baik dalam saat mukim maupun saat safar. Demikian menurut semua fuqaha. Dawud berpendapat: gadai hanya dibolehkan khusus ketika bepergian. Akad gadai dianggap sah dengan semata-mata adanya penerimaan [qabul]. Meskipun belum diterima, orang yang menggadai dipaksa untuk menyerahkan barang yang digadaikannya. Demikian pendapat Maliki, Hanafi, dan Syafi’i. Sedangkan Hambali berpendapat: termasuk syarat sahnya gadai adalah penyerahan [ijab]. Oleh karena itu, gadai tidak sah kecuali dengan adanya penyerahan.

Menggadaikan harta milik bersama yang tidak dapat dibagi secara mutlak hukumnya boleh, baik berupa sesuatu yang dapat dibagi, seperti kebun-kebun, maupun sesuatu yang tidak dapat dibagi. Hanafi berpendapat: tidak sah menggadaikan harta bersama yang tidak dapat dibagi.

Tetapnya barang gadai di tangan penerima gadai [murtahin] tidak termasuk syarat. Demikian Syafi’i. Menurut Hanafi dan Maliki: hal demikian merupakan syarat. Oleh karena itu apabila barang gadai keluar dari tangan penerima gadai, batallah gadai itu. Namun Hanafi juga berpendapat: Apabila barang gadaian tersebut kembali dengan jalan pertaruhan atau pinjaman, tidak batal gadaiannya.

Apakah sah hukumnya menggadaikan barang atas hak yang belum diperolehnya? Hanafi: tidak sah. Maliki, Syafi’i dan Hambali: sah.

Apabila penggadai mensyaratkan kepada penerima gadai, bahwa barangnya boleh dijual ketika datang masa penebusan tetapi ia tidak mampu menebusnya, maka penerima gadai boleh langsung menjualnya. Demikian pendapat Hanafi, Maliki dan Hambali. Sedang menurut Syafi’i: tidak boleh penerima gadai menjual barang gadai sendiri, tetapi harus dijual oleh orang yang menggadaikannya atau wakilnya dengan izin penerima gadai.

Apabila penggadai tidak mau menjualnya, hendaklah penerima gadai mengajukan tuntutan kepada hakim. Demikian pendapat Syafi’i. Adapun menurut Maliki: sebaiknya masalah itu diajukan lebih dulu kepada hakim, dan jika barang terus dijual tanpa diajukan terlebih dahulu kepada hakim, penjualannya pun tetap sah.

Apabila penggadai mewakilkan kepada orang yang adil dalam menjual barang gadai, ketika masa penebusan datang, yang menyerahkan barang gadai kepadanya, perwakilan dengan cara itu hukumnya sah. Di samping itu, penggadai boleh membatalkan perwakilannya dalam masalah ini, sebagaimana dalam masalah-masalah lainnya. Demikian pendapat Hambali. Sedangkan pendapat Hanafi dan Maliki: penggadai tidak boleh membatalkan perwakilannya.

Apabila keduanya mau menyerahkan barang gadai kepada seseorang yang adil, dan penggadai mensyaratkan supaya orang yang adil itu menjualnya ketika masa penebusan tiba, lalu saat itu dijualnya, hilanglah harga penjualan tersebut sebelum kepada penerima gadai. Namun, tanggungan berada di tangan penerima gadai, sebagaimana ketika barang gadai itu berada di tangannya. Demikian pendapat Hanafi.

Maliki berpendapat: jika hilangnya di tangan orang yang adil, tanggungan berada di tangan penggadai. Adapun jika hilangnya di tangan penerima gadai, ia sendiri yang menanggungnya. Syafi’i dan Hambali berpendapat: tanggungan berada di tangan penggadai, kecuali penyebab hilangnya berupa gangguan yang dilakukan oleh penerima gadai karena kedudukannya adalah sebagai penerima amanah. Jika terjadi demikian, dialah yang menanggungnya.

Adapun orang yang adil yang menjadi wakilnya menjual barang gadai yang telah diterima uangnya oleh penggadai, kemudian ternyata barang yang dijual itu milik orang lain, orang adil yang menjualnya tidak bertanggung jawab. Pemilik barang boleh mengambil barang tersebut dari tangan pembeli, sedangkan pembeli meminta uangnya kembali kepada orang yang mewakilkannya kepada orang yang adil, yaitu penerima gadai. Demikian pendapat Maliki.

Al-Qadli Abdul Wahab al-Maliki berkata: tanggung jawab ada pada wakil, penerima wasiat, dan ayah dalam menjual harta anaknya. Seperti itu juga pendapat Syafi’i dan Hambali. Artinya wakil yang menjual tersebut tidak harus bertanggung jawab. Hanafi berpendapat: tanggung jawab berada pada orang adil tersebut. Ia harus membayar kepada pembeli, kemudian ia meminta ganti rugi kepada penggadai dan penerima gadai. Demikian juga pendapat Hanafi dalam hal jika penjual itu adalah penerima wasiatnya atau ayahnya.

Apabila seseorang berkata: “Aku gadaikan barangku ini kepadamu dengan syarat engkau memberi pinjaman kepadaku seribu dirham” atau “Engkau jual pakaian ini kepadanya sekarang atau besok.” Maka sah gadai tersebut. Demikian pendapat Hanafi dan Maliki. Penggadai harus menyerahkan barang gadainya kepada penerima gadaian. Syafi’i dan Hambali berpendapat: Qiradh dan penjualannya sah, sedangkan gadainya tidak sah.

Barang yang dirampas ditanggung dengan tanggungan perampasan. Oleh karena itu jika barang tersebut digadaikan oleh pemiliknya kepada perampas tanpa diterima kembali terlebih dahulu, maka tanggungan berpindah dari tanggungan perampasan ke tanggungan gadai. Demikian pendapat Hanafi dan Maliki. Sedangkan pendapat Syafi’i dan Hambali: Barang tersebut tetap dalam tanggungan perampasan, dan gadai tersebut tidak sah selama belum lewat masa kemungkinan diterimanya kembali barang tersebut.

Seseorang membeli barang gadai, dan ternyata barang yang dibelinya itu adalah miliknya sendiri, maka ia menerima kembali uang pembayaran barang tersebut kepada penerima gadai, bukan kepada penggadai. Hal itu merupakan utang penerima gadai dalam menanggung penggadai, sebagaimana jika terjadi kehilangan barang gadai. Demikian pendapat Maliki dan Hanafi. Namun, Hanafi menyatakan: orang yang adillah [penjual] yang menanggungnya dan ia harus meminta ganti kepada penerima gadai. Syafi’i berpendapat: pembeli meminta ganti kepada penggadai, sebab yang bekewajiban menjual barang gadai adalah orang yang menggadaikan, bukan orang yang menerima gadai.

Pendapat Maliki dan Hanafi dalam masalah taflis [orang yang mempunyai utang melebihi jumlah hartanya]: apabila hakim, penerima wasiat, atau penerima amanat menjual sesuatu dari harta peninggalan orang banyak utang dengan permintaan mereka, dan mereka mengambil uang harganya, kemudian ia memonopoli hak barang yang dijual, maka pembeli meminta ganti kepada orang yang berutang dalam menanggung utang mereka seperti sedia kala. Adapun pendapat Syafi’i: ia meminta gantinya kepada penggadai dan kepada orang yang berpiutang, yaitu pemilik barang yang dijual.

&

Pengambilan Laba (Untung)

7 Jan

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Menurut Syafi’i: seseorang yang membeli suatu barang diperbolehkan menjualnya kembali dengan harga pokok [harga pembelian] atau boleh juga menjual lebih murah atau lebih mahal, baik kepada penjualnya sendiri maupun kepada orang lain, baik penjualan itu dilakukan sebelum penyerahan uang maupun sesudahnya. Hanafi dan Maliki berpendapat: tidak dibolehkan menjual kembali kepada penjual sendiri dengan harga lebih murah daripada harga pembelian, serta dilakukan sebelum pembayaran pembelian pertama.

Para imam madzab sepakat bahwa seseorang boleh menjual apa saja yang telah dibelinya dengan mengambil laba, asalkan dengan menjelaskan harga pembelian dan banyaknya laba yang dikehendaki. Misalnya, seseorang mengatakan, “Aku jual barang ini kepadamu dengan harga pokok pembelian sekian dan labanya satu dirham setiap sepuluh buah.” Ibn ‘Abbas ra. dan Ibn ‘Umar ra. tidak menyukai penjualan semacam ini. Ishaq bin Rahawaih pun menolak menjual dengan cara demikian.

Para imam madzab sepakat, apabila seseorang membeli suatu barang dengan harga yang tidak kontan, ia boleh dipaksa dengan harga umum. Pembeli pun berhak memilih jika tidak diketahui pembayaran yang tidak kontan. Apabila seseorang membeli sesuatu dari ayahnya atau anaknya, boleh menjualnya dengan mengambil laba.

Hanafi dan Hambali berpendapat: tidak boleh hingga ia menjelaskan dari siapa ia membelinya.

&

Jual Beli yang Dilarang

7 Jan

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Najsy [menawarkan agar orang lain menawar lebih tinggi] adalah haram. Namun jika orang tersebut membelinya juga, pembeliannya adalah sah. Demikian menurut Hanafi, Syafi’i dan Hambali. Orang yang memahalkan harga itu tetap berdosa. Sedangkan menurut Maliki: Pembelian itu tidak sah.

Diharamkan orang kota [tengkulak] menjual barang orang desa, yaitu orang desa datang ke kota dengan membawa barang yang diperlukan orang banyak untuk dijual dengan harga umum pada hari itu, lalu orang yang menemuinya berkata: “Tinggalkan saja barang itu padaku. Akan aku jualkan sedikit demi sedikit dengan harga yang lebih mahal.” Demikian menurut kesepakatan para imam madzab.

Diharamkan jual beli dengan cara ‘urbun [memberikan panjar atau uang muka sebagai bagian dari harga; jika senang maka ia membelinya, tetapi jika tidak senang maka uang itu menjadi hibah]. Hambali berpendapat: jual beli dengan demikian tidak apa-apa.

Boleh walaupun makruh, jual beli dengan cara ‘inah [menjual suatu barang dengan harga tertentu secara kridit, lalu penjual itu membelinya dari pembeli secara kontan dengan harga yang lebih rendah]. Demikian menurut Syafi’i. Sedangkan menurut Hanafi dan Hambali: penjualan demikian tidak dibolehkan. Berbeda halnya jika pembelinya menjual barang itu kepada orang lain, lalu dibeli oleh pembeli pertama, maka penjualan demikian hukumnya boleh, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini.

Penentuan harga barang oleh pemerintahan [tas’ir] hukumnya haram. Demikian menurut Hanafi dan Syafi’i. Diriwayatkan dari Maliki: apabila salah seorang di antara para pedagang di suatu pasar menyalahi harga yang ditetapkan, dengan menjual dengan harga lebih mahal atau lebih murah, hendaknya dipaksa mengikuti harga pasar atau memisahkan diri dari pasar.

Apabila pemerintah menetapkan harga barang, sedangkan penjual barang tidak senang menjual dengan harga tersebut, maka ia dihukumi sebagai orang yang terpaksa menjual barangnya. Menurut Hanafi: Paksaan pemerintah tersebut menghalangi sahnya penjualan, sedangkan paksaan orang lain tidak menghalangi sahnya penjualan.

Ihtikar [menimbun barang untuk dijual pada masa sulit dengan harga lebih tinggi] hukumnya haram. Demikian menurut kesepakatan para imam madzab.
Para imam madzab juga sepakat tentang tidak bolehnya jual beli utang dengan utang.

Hasil penjualan anjing hukumnya haram. Maliki membolehkan menjualnya, tetapi makruh. Jual beli tidak batal jika anjing itu membawa manfaat. Demikian juga pendapat Hanafi. Sedangkan menurut Syafi’i: tidak boleh sama sekali, dan tidak ada ganti rugi jika binatang tersebut dibunuh. Seperti itu juga pendapat Hanafi.

&

Perselisihan dalam Jual-Beli dan Kerusakan Barang

7 Jan

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Apabila terjadi perselisihan antara penjual dan pembeli dalam masalah harga, dan keduanya mempunyai bukti atas pengakuan masing-masing, hendaklah mereka bersumpah. Demikian menurut pendapat para imam madzab. Orang yang disumpah pertama kali adalah penjual. Demikian pendapat yang paling shahih dalam madzab Syafi’i. Sedangkan menurut Hanafi: hendaknya yang pertama kali disumpah adalah pembeli.

Apabila barang yang dibeli sudah rusak, lalu terjadi perselisihan soal harganya, keduanya disumpah. Demikian menurut Syafi’i. Kemudian jual belinya dibatalkan. Jika barang tersebut bisa dijual, hendaknya dibayar menurut harganya. Adapun jika barang tersebut ada pada penjual, hendaknya diberi bandingannya itu oleh pembeli. Demikian juga menurut salah satu riwayat Hambali dan Maliki. Sedangkan pendapat Hanafi: jika barang sudah rusak, tidak perlu disumpah, dan perkataan atau pengakuan yang dibenarkan adalah pengakuan pembeli. Demikian juga menurut pendapat Maliki dan Hambali dalam riwayat lainnya. Zufar dan Abu Tsawr berpendapat: dalam keadaan demikian, yang dibenarkan adalah pengakuan pembeli.

Syafi’i dan Ibn Suraij berpendapat: yang dibenarkan adalah pengakuan si penjual. Perselisihan yang terjadi antara ahli waris si penjual dan ahli waris si pembeli hukumnya disamakan dengan ini.

Hanafi berpendapat: jika barang yang dijual berada di tangan ahli waris si penjual, keduanya bersumpah. Adapun jika sudah berada di tangan ahli waris si pembeli, diterimalah pengakuanya dengan sumpah.

Jika yang dijadikan perselisihan adalah masalah syarat penangguhan pembayaran atau jangka waktunya, atau masalah syarat khiyar atau jangka waktunya, keduanya disumpah. Demikian menurut Syafi’i dan Maliki. Sedangkan pendapat Hanafi dan Hambali: tidak ada sumpah dalam syarat-syarat ini, dan pengakuan yang diterima adalah pengakuan yang meniadakan.

Apabila seseorang menjual suatu barang dengan harga yang berada dalam tanggung jawab pembeli, lalu mereka berselisih, kemudian penjual berkata: “Aku tidak akan menyerahkan barang ini sebelum aku terima bayarannya.” Pembeli mengatakan: “Aku belum mau membayar harga sebelum menerima barang.” Maka dalam hal ini Syafi’i memiliki beberapa pendapat, dan pendapat yang paling shahih adalah penjual dipaksa untuk menyerahkan barang dan pembeli dipaksa untuk membayar harganya. Pendapat lain, bahwa yang dipaksa adalah si pembeli. Menurut pendapat lain, tidak ada paksaan. Adapun jika salah seorang menyerahkan, yang lain harus dipaksa untuk membayar. Dalam hal ini, menurut pendapat Syafi’i, keduanya harus dipaksa. Sedangkan Hanafi dan maliki berpendapat: pembeli harus dipaksa lebih dahulu untuk membayar harganya.

Apabila barang yang dijual telah rusak sebelum diterima oleh pembeli karena terkena bencana alam, jual beli menjadi batal. Demikian menurut Hanafi dan Syafi’i. Menurut pendapat Maliki dan Hambali: apabila barang yang dijual itu bukan berupa barang yang ditakar atau ditimbang, maka dihitung menjadi tanggung jawab si pembeli.

Apabila barang tersebut dirusak oleh orang lain, dalam hal ini Syafi’i mempunyai beberapa pendapat, dan pendapat yang paling shahih: penjualan tidak batal, tetapi pembeli diberi hak untuk memilih antara memaksa orang yang merusak barang tersebut untuk membayar kepadanya atau membatalkan pembelian, lalu orang yang merusak itu dipaksa untuk membayar harga kepada penjual. Seperti itu juga pendapat Hanafi, Hambali, dan pendapat yang paling kuat dari madzab Maliki.

Apabila barang dirusak oleh penjual sendiri, jual beli menjadi batal, seperti barang yang terkena bencana alam. Demikian menurut Hanafi, Maliki dan Syafi’i. Hambali berpendapat: jual beli tidak batal, tetapi penjual harus mengembalikan harganya, dan jika barang yang dirusak itu ada padanannya, hendaknya diberikan.

Apabila barang yang dijual itu berupa buah-buahan yang masih di pohonnya, lalu rusak setelah takhliyah [mengosongkan tempat yang dijual dari barang-barang si penjual dan menyerahkan hak penguasaan kepada pembeli dengan, misalnya, menyerahkan kunci], barang yang rusak itu menjadi tanggung jawab pembeli. Demikian menurut Hanafi dan Syafi’i yang paling shahih. Menurut Maliki: jika barang yang rusak itu kurang dari sepertiga, yang menanggung kerusakan adalah pembeli sendiri. Dan jika lebih dari itu yang menanggung adalah penjual. Sedangkan pendapat Hambali: jika rusaknya disebabkan oleh bencana alam, hal itu menjadi tanggung jawab penjual. Adapun jika dirampas atau dicuri orang, hal itu menjadi tanggung jawab pembeli.

&

Salam dan Qiradh

7 Jan

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Salam adalah membeli suatu barang dengan harga kontan, tetapi barang yang dibelinya diserahkan pada waktu kemudian yang telah ditentukan. Sedangkan Qiradh adalah mengutangkan barang yang dibayar dengan barang juga.

Para imam madzab sepakat tentang bolehnya jual beli secara salam. Untuk sahnya jual beli dengan cara salam ini harus dipenuhi enam syarat berikut:

1. Jenis barangnya sudah diketahui
2. Mempunyai sifat yang diketahui
3. Kadarnya diketahui
4. Temponya diketahui
5. Harga barang harus diketahui
6. Harus menyerahkan harga barang pada waktu itu juga.

Hanafi menambahkan satu syarat lagi, yaitu harus ditentukan tempat penerimaan barang. Namun menurut ketiga madzab lainnya, bahwa yang diajukan Hanafi sebagai syarat yang ketujuh tidak termasuk syarat, tetapi merupakan suatu keharusan dalam jual beli.

Para imam madzab sepakat atas bolehnya jual beli secara salam terhadap barang-barang yang dapat ditakar, ditimbang, dan diukur yang dapat diterangkan dengan tegas dan jelas sifatnya. Para imam madzab juga sepakat atas bolehnya salam terhadap barang-barang yang dapat dihitung tetapi yang satunya tidak dapat berlebih dan berkurang, seperti telur, kecuai menurut Hanbali.

Para imam madzab berbeda pendapat tentang jual-beli secara salam pada barang-barang yang dapat dihitung, tetapi satuan-satuannya dapat berlebih dan berkurang keadaannya, seperti buah delima dan buah semangka, Hanafi berpendapat: tidak boleh salam padanya, baik secara ditimbang maupun dihitung. Maliki: boleh secara mutlak. Syafi’i: boleh dengan cara ditimbang. Dari Hambali diperoleh dua riwayat, yang lebih masyhur adalah boleh dengan cara dihitung secara mutlak.
Hambali: barang yang asalnya ditakar tidak boleh dijual secara salam dengan cara ditimbang, dan barang yang asalnya ditimbang tidak boleh dijual secara salam dengan cara ditakar.

Dibolehkan barang yang dijual secara salam diberikan segera atau ditangguhkan. Demikian menurut Syafi’i, Hanafi dan Maliki. Sedangkan pendapat Hambali: tidak dibolehkan penyerahan barang dengan segera, dan tentu saja harus ada penangguhan, meskipun beberapa hari.

Boleh dilakukan salam terhadap makhluk hidup, binatang ternak maupun burung. Demikian pula dengan cara qiradh. Menurut Hanafi: tidak sah salam terhadap makhluk hidup dan tidak meminta qiradh.

Dibolehkan menjual daging secara salam terhadap daging. Demikian pendapat Maliki dan Syafi’i. Sedangkan Hambali dan Hanafi melarang pada daging. Tidak dibolehkan melakukan salam terhadap roti, menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i. Sedangkan Maliki membolehkannya. Menurut Hambali: boleh menjual roti secara salam dan terhadap semua yang disentuh api [dimasak, digoreng atau dipanggang].

Boleh menjual barang-barang yang belum ada ketika terjadi akad salam secara salam. Demikian pendapat Maliki dan Syafi’i. Menurut Hambali, apabila menurut dugaan bahwa barang tersebut akan ada jika diperlukan. Hanafi berpendapat: kalau barang yang dipesan itu tidak ada ketika terjadi akan sampai diperlukan, maka tidak boleh.

Tidak boleh menjual permata yang sukar diperoleh secara salam, kecuali pendapat Maliki yang membolehkannya. Maliki membolehkan berserikat dan menguasakan kepada orang lain dalam menjual secara salam, sebagaimana dibolehkan dalam jual beli. Adapun, menurut pendapat Hanafi, Syafi’i dan Hambali: tidak boleh.

Qiradh sangat disukai dalam Islam. Demikian menurut kesepakatan imam madzab. Qiradh dapat dilakukan kapan saja ketika dikehendaki. Apabila tidak ditentukan waktunya, tidak harus ditunda pembayarannya. Adapun menurut pendapat Maliki, harus ditangguhkan pembayarannya. Boleh melakukan qiradh terhadap roti. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Menurut Hanafi: tidak boleh sama sekali.

Apakah dibolehkan oleh hukum melakukan qiradh secara ditimbang atau dihitung? Dalam masalah ini Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan yang paling shahih adalah boleh dengan cara ditimbang. Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Maliki berpendapat: boleh dipilih antara ditimbang atau dihitung.

Seseorang berhutang suatu barang dari orang lain, apakah dibolehkan orang yang memberi utang barang itu mengambil manfaat dari harta yang diutangkan, seperti menerima hadiah dari pinjaman? Hanafi, Maliki dan Hambali: tidak boleh jika tidak disyaratkan dalam akad. Syafi’i: jika hal itu tidak termasuk syarat, dibolehkan.

An-Nawawi dalam kitab ar-Raudhah menyebutkan: apabila orang yang berutang memberi hadiah kepada pemberi utang, boleh diterima tanpa dimakruhkan hukumnya. Sangat disukai bagi orang yang berutang mengembalikan utang dengan yang lebih baik daripada yang diutangkan, karena ada hadits shahih yang menjelaskan demikian. Orang yang memberi utang tidak dimakruhkan menerima pengembalian yang lebih baik tersebut.

Para imam madzab sepakat atas tidak bolehnya orang yang mempunyai utang untuk dibayar pada waktu yang ditentukan. Kemudian orang yang memberi utang menyuruh membayar lebih cepat dari waktu yang telah ditentukan, dengan janji akan dibebaskan setengah dari utangnya.

Para imam madzab juga sepakat atas tidak bolehnya mempercepat pembayaran sebagian utang dan mengakhirkan sebagaiannya. Sebagaimana tidak bolehnya mengambil sebagian berupa benda sebelum datang waktunya, dan mengambil sebagiannya berupa harga. Namun tidak apa-apa jika sudah tiba waktunya, ia mengambil sebagian dan membebaskan sebagian yang lain atau ditunda pembayaran sebagiannya sampai waktu yang lebih lama.

Apabila seseorang memiliki piutang atas orang lain dengan cara qiradh atau jual beli yang ditentukan waktu pembayarannya, menurut pendapat Maliki, ia harus mengakhirkan pembayarannya sampai waktu yang telah ditentukan itu. Demikian pula, kalau ia mempunyai utang yang telah ditentukan waktu pembayarannya, maka diperpanjang waktunya. Begitu pula pendapat Hanafi kecuali dalam masalah jinayah dan qiradh. Syafi’i berpendapat: tidak harus melambat-lambatkan atau menunggu sampai tiba waktu pembayarannya. Pemberi utang boleh meminta sebelum tiba temponya.

&

Tashriyah dan Pengembalian Barang Cacat

7 Jan

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Para imam madzab sepakat atas keharaman tashriyah [mengumpulkan susu dalam tetek hewan dengan cara tidak diperas untuk mengelabuhi pembeli]. Namun mereka berbeda pendapat apakah ada hak khiyar ? Maliki, Syafi’i, dan Hambali: ada hak khiyar. Hanafi: tidak ada.

Apabila pembeli mempunyai hak khiyar, dalam pengembalian itu tidak diperlukan ridla dan hadirnya penjual. Hanafi: jika barang belum diterima, diperlukan kehadiran penjual. Adapun jika barang sudah diterima, diperlukan kerelaan penjual untuk membatalkan penjualan, atau keputusan hakim.

Mengembalikan barang yang cacat, boleh lambat. Demikian menurut Hanafi dan Hambali. Adapun menurut Maliki dan Syafi’i: harus segera.

Kadang-kadang penjual mengatakan kepada pembeli: “Apakah barang ini diterima gantinya?” Pembeli dalam masalah ini tidak boleh dipaksa untuk menerimanya. Adapun jika yang demikian diucapkan oleh pembeli kepada penjual, penjual pun tidak boleh dipaksa untuk menerimanya. Demikian pendapat yang disepakati oleh para imam madzab.

Apabila kedua nya rela berdamai untuk mengambil barang dengan menerima ganti rugi, perdamaian itu dibenarkan. Demikian menurut Hanafi dan Maliki, dan pendapat tersebut dipandang kuat oleh Ibn Suraij, salah seorang madzab Syafi’i. Adapun pendapat yang paling kuat menurut kebanyakan ulama pengikut Syafi’i tidak membenarkan perdamaian tersebut.

Hambali berpendapat: Pembeli boleh menahan barang dan meminta penjual untuk memberi ganti rugi, dan penjual boleh dipaksa untuk membayarnya.
Para imam madzab sepakat apabila pembeli bertemu penjual, lalu ia memberi salam kepadanya sebelum mengembalikan barang, salamnya tidak menggugurkan haknya (yaitu hak mengembalikan barang). Muhammad bin al-Hasan berpendapat: Hak mengembalikan barang menjadi gugur.

Apabila terjadi cacat pada barang yang dijual sesudah dibayar, tidak ada lagi hak khiyar bagi pembeli. Demikian menurut Hanafi dan Syafi’i.

Dua orang membeli suatu benda, lalu tampak cacatnya. Kemudian yang seorang tidak ingin mengembalikan, sedangkan yang lain ingin mengembalikannya. Dalam hal ini bagi yang ingin mengembalikan diperbolehkan mengembalikannya. Demikian menurut Syafi’i, Hambali Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, dan Maliki dalam salah satu riwayatnya.
Hanafi berpendapat: tidak boleh salah seorang di antara mereka mengembalikan barangnya kecuali dengan persetujuan temannya.

Apabila barang yang dibeli itu bertambah, seperti bertambah anak atau bertambah buah, boleh dikembalikan pokoknya, sedangkan tambahannya ditahan. Demikian pendapat Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Maliki: jika tambahan itu berupa anak, harus dikembalikan bersama induknya. Adapun jika berupa buah-buahan, yang harus dikembalikan berupa pokoknya saja. Hanafi berpendapat: tambahan yang berada di tangan pembeli dapat menghalangi pengembalian barang karena ada cacat.

Ditemukan cacat pada suatu barang, sedang barang yang dibeli sudah berkurang karena suatu sebab yang dapat menyebabkan diketahui adanya cacat. Artinya, cacatnya diketahui sesudah ada sebab tersebut, seperti membeli membeli mentimun, telur, atau semangka. Setelah dibelah ternyata ada cacatnya. Jika pembelahan itu sekadar untuk mengetahui kecacatan, pembeli tidak boleh megembalikan. Demikian menurut Hanafi dan Syafi’i. Pendapat yang kuat dalam madzab Syafi’i: ia boleh mengembalikan. Menurut Maliki dan salah satu riwayat Hambali: tidak dapat dikembalikan dan tidak dapat diminta kerugian.

Jika ditemukan cacat pada suatu barang yang telah dibeli, dan terjadi juga cacat baru di tangan pembeli, maka barang itu tidak boleh dikembalikan, kecuali penjualnya rela dan menerima kerugian dari cacat yang baru. Demikian menurut Hanafi dan Syafi’i. Maliki dan Hambali berpendapat: pembeli boleh memilih antara mengembalikan barang dan membayar kerugian dari cacat baru atau tidak mengembalikan serta meminta kerugian dari cacat lama kepada penjual.

Apabila diketahui cacat makanan sesudah dimakan, pembeli dapat meminta kerugian karena cacat barang tersebut. Menurut pendapat Hanafi: tidak ada lagi hak meminta kerugian yang disebabkan cacat tersebut.

Apabila seseorang menjual sesuatu dengan syarat tidak bertanggung jawab atas segala cacat, dalam hal ini Syafi’i mempunyai beberapa pendapat. Pertama, penjual tidak beranggung jawab atas segala cacat, seperti ini juga pendapat Hambali. Kedua, penjual tidak bebas bertanggung jawab atas segala cacat tersebut, kecuali jika memang disebutkan cacatnya. Seperti ini juga pendapat Hambali. Ketiga, inilah pendapat yang dipandang paling kuat oleh para ulama pengikut Syafi’i yaitu penjual tidak bertanggung jawab atas segala cacat kecuali cacat yang tersembunyi dalam hewan yang tidak diketahuinya.

Iqalah [pembatalan akad] adalah jual beli juga. Demikian menurut Maliki. Iqalah dihukumi sebagai fasakh. Itulah pendapat yang paling kuat dalam madzab Syafi’i, seperti ini juga pendapat Hanafi. Abu Yusuf berpendapat: kalau belum diterima barang oleh si pembeli maka jual belinya batal. Jika sudah diterima, maka jual beli sah kecuali untuk benda-benda tak bergerak jual beli sah secara mutlak.

&