Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi
Tiga imam madzab, yaitu Maliki, Syafi’i dan Hambali, sepakat atas larangan menggunakan harta bagi orang yang pailit [muflis] ketika diminta oleh orang yang berpiutang dan ketika dililit utang. Hal ini menjadi hak hakim. Hakim berhak mencegah muflis dari menggunakan hartanya agar tidak merugikan pemberi utang kepadanya. Hakim pun boleh menjual harta bendanya jika muflis tersebut menjualnya sendiri atau enggan membaginya di antara para pemberi utang dengan sebanding.
Hanafi berpendapat: orang pailit itu boleh membelanjakan hartanya, tetapi harus dipenjarakan hingga ia membayar utangnya. Jika ia memiliki harta benda, hakim tidak boleh menggunakan hartanya atau menjualnya, kecuali jika harta itu satu dirham, sedangkan jumlah utangnya adalah beberapa dirham. Jika demikian, hakim boleh memegangnya tanpa menunggu perintah dari muflis. Jika utangnya adalah beberapa dirham, sedangkan hartanya adalah beberapa dinar, hakim boleh menjualnya untuk membayarkan utangnya.
Para imam madzab berbeda pendapat dalam masalah penggunaan orang bangkrut terhadap hartanya sesudah adanya larangan hakim untuk menggunakannya.
Hanafi berpendapat: ia tidak dilarang untuk menggunakan hartanya. Oleh karena itu jika hakim memutuskan hajr [larangan menggunakan harta], keputusan tersebut tidak sah sebelum ditetapkan lagi oleh hakim kedua. Kalau pelarangan penggunaan harta tidak dibenarkan, sahlah penggunaan seluruhnya, baik berupa perbuatan yang menerima fasakh, seperti pernikahan, maupun tindakan lain. Meskipun dilarang oleh hakim kedua, semua perbuatan yang tidak menerima fasakh dihukumi sah, seperti pernikahan, talak, dan memerdekakan budak. Namun perbuatan yang menerima fasakh menjadi batal, seperti jual beli, persewaan, hibah, sedekah dan sebagainya. Maliki berpendapat: ia tidak boleh menggunakan hartanya, baik dengan jalan menjual, menghibahkan, maupun memerdekakan.
Dari Syafi’i diperoleh dua riwayat. Salah satunya seperti pendapat Maliki di atas. Adapun menurut pendapat kedua, penggunaannya adalah sah, tetapi ditangguhkan. Jika dapat diselesaikan semua utang tanpa mengganggu penggunaannya, maka penggunaan-penggunaan tersebut dibatalkan, seperti hibah, menjual, dan memerdekakan. Adapun Hambali dalam pendapatnya yang jelas: penggunaannya tidak sah kecuali memerdekakan budak.
Apabila pemilik barang mendapatkan barangnya pada orang yang dihukumi pailit, dan ia belum menerima pembayarannya sama sekali, sedang orang pailit itu masih hidup, maka ia berhak mengambil kembali barangnya. Barang-barang tersebut tidak boleh dimasukkan ke dalam barang-barang yang harus dibagi kepada pemberi utang. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan pendapat Hanafi: Pemilik barang itu sama dengan pemberi utang lainnya. Artinya, pemberi utang berhak membagi barang yang ada pada si muflis tersebut.
Apabila barang tersebut didapatkan oleh pemilik barang sesudah kematian muflis, dan ia belum menerima pembayarannya sama sekali, maka ia tetap berhak mengambilnya sebagaimana ketika muflis masih hidup. Demikian pendapat Syafi’i. Adapun Hanafi, Maliki dan Hambali: ia disamakan kedudukannya dengan para pemberi utang yang lain.
Utang yang ditangguhkan, apakah dapat dibayarkan lebih cepat ataukah tidak? Jika orang yang berutang dinyatakan terkena al-hajr, menurut pendapat Maliki: dapat dipercepat pembayarannya. Hambali berpendapat: tidak.
Dalam hal ini Syafi’i punya dua pendapat seperti kedua imam madzab tadi, Namun pendapat yang lebih shahih menyatakan tidak sah pembayarannya. Sedangkan Hambali: tidak boleh terkena al-hajr secara mutlak.
Adakah masa penagihan tiba jika seseorang yang berutang itu meninggal? Hanafi, Maliki dan Syafi’i berpendapat: ya. Adapun pendapat Hambali yang paling jelas: tidak datang masa menagih jika para ahli waris dapat dipercaya.
Apabila orang yang pailit itu mengakui berutang sesudah terkena al-hajr, utang tersebut menjadi tanggungannya. Orang yang mengaku ada utang padanya mengikuti para pemberi utang yang lain. Demikian menurut Syafi’i. Sedangkan Hanafi, Maliki, Hambali berpendapat: tidak bergabung dengan para pemberi utang, karena mereka telah terkena al-hajr.
Apakah rumah muflis yang tidak didiami dan pelayanannya yang diperlukan boleh dijual? Hanafi dan Hambali berpendapat: hal demikian tidak boleh dijual. Bahkan Hanafi menyatakan: tidak boleh menjual sesuatu dari kebun-kebunnya dan harta bendanya. Menurut Maliki dan Syafi’i: boleh dijual rumah si muflis yang didiaminya.
Apabila kemelaratan orang pailit itu sudah pasti menurut pendapat hakim, apakah hakim menjadi pelindung antara dia dan para pemberi utang? Menurut Hanafi: hakim boleh mengeluarkannya dari penjara, tetapi tidak dapat menghalangi antara para pemberi utang dan orang yang berutang ia sesudah dikeluarkan dari penjara. Namun hakim boleh mengambil keuntungan usaha si muflis menurut persentase haknya.
Maliki, Syafi’i dan Hambali berpendapat: dikeluarkan orang muflis itu dari penjara tanpa memerlukan izin dari para pemberi utang, dan hakim menjadi pelindung antara muflis dan para pemberi utang. Setelah itu, ia tidak boleh dipenjarakan, tidak boleh didesak, tetapi harus ditungguh hingga ia mempunyai kemampuan untuk membayar.
Para imam madzab sepakat bahwa bukti yang diberikan atas pembuktian kemelaratan, sesudah muflis tersebut dipenjarakan, dapat diterima. Namun mereka berbeda pendapat tentang menerima bukti sebelum dipenjarakan. Maliki, Syafi’i dan Hambali berpendapat: dikeluarkan orang muflis itu dari penjara tanpa memerlukan izin dari para pemberi utang, dan hakim menjadi pelindung antara muflis dan para pemberi utang. Setelah itu, ia tidak boleh dipenjarakan, tidak boleh didesak, tetapi harus ditunggu hingg ia mempunyai kemampuan untuk membayar.
Para imam madzab sepakat bahwa bukti yang diberikan atas pemberian kemelaratan, sesudah muflis tersebut dipenjarakan, dapat diterima. Namun mereka berbeda pendapat tentang menerima bukti sebelum ia dipenjarakan. Maliki, Syafi’i dan Hambali berpendapat: Bukti yang diberikan sebelum pemenjaraan dapat diterima, adapun, pendapat yang dhahir dari madzab Hanafi: tidak dapa diterima kecuali sesudah ia dipenjarakan.
Apabila muflis itu mengemukakan bukti-bukti atas kemelaratannya, apakah ia dapat disumpah sesudah itu? Menurut pendapat Hanafi dan Hambali: ia tidak boleh disumpah lagi, tetapi cukup diterima pembuktiannya. Maliki dan Syafi’i berpendapat: ia boleh disumpah jika dituntut oleh para pemberi utang.
Para imam madzab sepakat bahwa yang menyebabkan seseorang menjadi dikenai al-hajr adalah masih kecil, menjadi budak dan gila. Apabila seorang anak sudah sampai umur, tetapi belum mampu mengelola harta, tidak boleh diserahkan hartanya kepadanya.
Para imam madzab berbeda pendapat mengenai batas telah sampai umur. Hanafi: seorang anak dikatakan telah sampai umur apabila telah ihtilam [mimpi], atau keluar air mani apabila bersetubuh. Jika keduanya tidak diperoleh, ditunggu umurnya hingga genap delapan belas tahun. Ada yang mengatakan tujuh belas tahun. Adapun sampai umur untuk anak perempuan adalah dengan datangnya haid, bermimpi atau hamil, atau sesudah berumur tujuh belas tahun.
Maliki tidak memberikan batasan dalam hal ini, tetapi para ulama pengikutnya mengatakan: tujuh belas tahun atau delapan belas tahun untuk anak perempuan. Menurut riwayat Ibn Wahab adalah limabelas tahun. Syafi’i dan Hambali berpendapat: batas sampai umurnya anak perempuan adalah berumur lima belas tahun, keluar air mani, atau datang bulan atau hamil.
Tumbuhnya bulu di atas pusar, apakah dapat menunjukkan balighnya seseorang? Hanafi: tidak. Maliki dan Hambali: dapat. Adapun, pendapat yang paling kuat dalam madzab Syafi’i: hal itu menjadi tanda kebalighan orang kafir, bukan orang Islam.
Apabila sudah diketahui adanya tanda-tanda kecakapan bertindak dari orang yang mempunyai harta dan diletakkan di bawah pengampunan, hartanya harus diserahkan kepadanya. Demikian menurut kesepakatan imam madzab.
Para imam madzab berbeda pendapat tentang tanda-tanda kecakapan bertindak seseorang. Hanafi, Maliki, dan Hambali: tanda-tanda kecakapan bertindak untuk anak laki-laki adalah dapat memelihara hartanya dan pertumbuhannya serta tidak menghambur-hamburkan kekayaannya. Tidak diperhatikan dalam hal ini keadilannya atau kefasikannya. Syafi’i: tanda-tanda kecakapan bertindak ialah dapat memelihara harta dan agamanya. Apakah dalam masalah ini terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan? Hanafi dan Syafi’i: tidak ada perbedaan.
Maliki berpendapat: belum boleh dicabut hukum al-hajr dari anak perempuan, walaupun ia sudah sampai umur dengan kematangan akalnya hingga anak itu bersuami dan telah dicampuri oleh suaminya, dan ia dapat memelihara hartanya seperti sebelum menikah.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat, yang terpilih adalah pendapatnya yang tidak membedakan antara anak laki-laki dan perempuan. Sementara itu, pendapat yang kedua adalah seperti pendapat Maliki. Namun Maliki menambahkan: sampai setahun lamanya ia bersuami atau melahirkan anak.
Jika anak kecil sudah baligh dan sudah didapati tanda-tanda kecakapan dalam berbuat hukum, maka harus diberikan semua hartanya kepadanya. Oleh sebab itu, jika ia sudah sampai umur, tetapi belum tampak kedewasaan, maka tidak boleh hartanya diserahkan kepadanya. Ia tetap dikenai al-hajr. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan menurut Hanafi: apabila ia sudah berumur dua puluh lima tahun, diberikanlah hartanya kepadanya, walaupun belum terlihat kematangan akalnya dalam bertindak.
Apabila seseorang menderita lemah akal, padahal sebelumnya ia dipandang cerdas, yaitu mampu mengelola hartanya, apakah boleh ia dikenai al-hajr lagi? Maliki, Syafi’i dan Hambali: bisa dikenai al-hajr lagi. Hanafi: tidak boleh dikenai al-hajr lagi meskipun ia seorang pemboros.
Tidak boleh ayah dan pengemban wasiat membeli sesuatu untuk kepentingan mereka dari harta anak yatim, dan tidak boleh mereka menjual hartanya dengan harta anak yatim walaupun mereka berlaku jujur. Maliki berpendapat: boleh demikian jika mereka berlaku jujur.
&