Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan
Para ulama berbeda pendapat tentang tertib surah-surah al-Qur’an
a. Dikatakan bahwa tertib surah itu tauqiifi dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana diberitakan Jibril kepadanya atas perintah Allah. Dengan demikian, al-Qur’an pada masa Nabi telah tersusun surah-surahnya secara tertib sebagaimana tertib ayat-ayatnya, seperti yang ada di tangan kita sekarang ini, yaitu tertib mushaf Utsman yang tak ada seorang shahabatpun menentangnya. Ini menunjukkan telah terjadi kesepakatan [ijma’] atas tertib surah, tanpa suatu perselisihan apa pun.
Yang mendukung pendapat ini ialah, bahwa Rasulullah telah membaca beberapa surah secara tertib di dalam shalatnya. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi pernah membaca beberapa surah mufassal [surah-surah pendek] dalam satu rakaat. Bukhari meriwayatkan dair Ibn Mas’ud, bahwa ia mengatakan tentang surah Bani Israil, Kahfi, Maryam, ThaHaa dan al-Anbiyaa’: “Surah-surah itu termasuk yang diturunkan di Makkah dan yang pertama-tama yang aku pelajari.” Kemudian ia menyebutkan surah-surah itu secara berurutan sebagaimana tertib susunan seperti sekarang ini.
Telah diriwayatkan melalui Ibn Wahb, dari Sulaiman bin Bilal, ia berkata: “Aku mendengar Rabi’ah ditanya orang: ‘Mengapa surah al-Baqarah dan Ali ‘Imraan didahulukan, padahal sebelum kedua surah itu telah diturunkan delapan puluh sekian surah Makki, sedang keduanya diturunkan di Madinah?’ ia menjawab: ‘Kedua surah itu memang didahulukan dan al-Qur’an dikumpulkan menurut pengetahuan dari orang yang mengumpulkannya.’ Kemudian katanya: ‘Ini adalah sesuatu yang mesti terjadi dan tidak perlu dipertanyakan.’” (diriwayatkan oleh Ibn Asytah dalam kitab al-Masaahif)
Ibn Hisaar mengatakan: “Tertib surah dan letak ayat-ayat pada tempat-tempatnya itu berdasarkan wahyu. Rasulullah saw. mengatakan: ‘Letakkan ayat ini di tempat ini.’ Hal tersebut telah diperkuat pula oleh nukilan atau riwayat yang mutawatir dengan tertib seperti ini, dari bacaan Rasulullah dan ijma’ para shahabat untuk meletakkan atau menyusunnya seperti ini di dalam mushaf.” (lihat al-itqaan, jilid 1 hal 62)
b. Dikatakan bahwa tertib surah itu berdasarkan ijtihad para shahabat, mengingat adanya perbedaan tertib di dalam mushaf-mushaf mereka. misalnya mushaf Ali disusun menurut tertib nuzul, yakni dimulai dengan Iqra’, kemudian al-Muddatstsir, lalu Nuun, al-Qalam, al-Muzzammil, dan seterusnya hingga akhir surah Makki dan Madani.
Dan dalam mushaf Ibn Mas’ud yang pertama ditulis adalah surah al-Baqarah, kemudian an-Nisaa’ lalu Ali ‘Imraan.
Dalam mushaf Ubai yang pertama ditulis adalah al-Fatihah, al-Baqarah, kemudian an-Nisaa’ dan kemudian Ali ‘Imraan.
Diriwayatkan, Ibn ‘Abbas berkata: “Aku bertanya kepada Utsman: Apa yang mendorongmu mengambil al-Anfaal yang termasuk kategori masaani dan al-Bara’ah yang termasuk mi’in untuk kamu gabungkan keduanya menjadi satu tanpa kamu tuliskan di antara keduanya “BismillaaHir rahmaanir rahiim” dan anda pun meletakkannya pada as-Sab’ut tiwaal [tujuh surah panjang]? Utsman menjawab: Telah turun kepada Rasulullah saw. surah-surah yang mempunyai bilangan ayat. Apabila ada ayat turun kepadanya, ia panggil beberapa orang penulis wahyu dan mengatakan: ‘Letakkanlah ayat ini pada surah yang di dalamnya terdapat ayat anu dan anu.’ Surah al-Anfaal termasuk surah pertama yang turun di Madinah sedang surah al-Bara’ah termasuk yang terakhir diturunkan. Kisah dalam surah al-Anfaal serupa dengan kisah dalam surah al-Bara’ah, sehingga aku mengira bahwa surah al-Bara’ah adalah bagian dari surah al-Anfaal. Dan sampai wafatnya Rasulullah tidak menjelaskan kepada kami bahwa surah al-Bara’ah merupakan bagian dari surah al-Anfaa. Oleh karena itu, kedua surah tersebut aku gabungkan dan di antara keduanya tidak aku tuliskan “bismillaaHir rahmaanir rahiim” serta aku meletakkannya pula pada as-sab’ut tiwaal.” (diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibn Hibban dan Hakim)
c. Dikatakan bahwa sebagian surah itu tertibnya fauqiifi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para shahabat, hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian surah pada masa Nabi. Misalnya keterangan yang menunjukkan tertib sebagian surah pada masa Nabi. Misalnya keterangan yang menunjukkan tertib as-sab’ut tiwaal, al-hawaamiim dan al-mufassal pada masa hidup Rasulullah saw.
Diriwayatkan, bahwa Rasulullah bersabda: “Bacalah olehmu dua surah yang bercahaya, al-Baqarah dan Ali ‘Imraan.” (HR Muslim)
Diriwayatkan pula, “Bahwa jika hendak pergi ke tempat tidur, Rasulullah mengumpulkan kedua telapak tangannya kemudian meniupkannya lalu membaca qul HuwallaaHu ahad dn mu’awwizatain.” (HR Bukhari)
Ibnu Hajar mengatakan: “Tertib sebagian surah-surah atau sebagian besarnya itu tidak dapat ditolak sebagai bersifat tauqiifi.” Untuk mendukung pendapatnya ini ia kemukakan hadits Hudzaifah as-Saqafi yang di dalamnya antara lain termuat: Rasulullah bersabda kepada kami: “Telah datang kepadaku waktu untuk membaca hizb [bagian] dari al-Qur’an, maka aku tidak ingin keluar sebelum selesai.” Lalu kami tanyakan kepada shahabat-shahabat Rasulullah: “Bagaimana kalian membuat pembagian al-Qur’an?” Mereka menjawab: “Kami membaginya menjadi tiga surah, lima surah, tujuh surah, sembilan surah, sebelas surah, tiga belas surah, dan sebagian al-Mufassal dari Qaaf sampai kami khatam.” (HR Ahmad dan Abu Daud. Lihat pula al-itqaan jilid 1 hal 63)
Kata Ibnu Hajar lebih lanjut: “Ini menunjukkan bahwa tertib surah-surah seperti terdapat dalam mushaf sekarang adalah tertib surah pada masa Rasulullah.” Dan katanya: “Namun mungkin juga bahwa yang telah tertib pada waktu itu hanyalah bagian mufassal, bukan yang lain.”
Apabila membicarakan tiga pendapat ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat kedua, yang menyatakan tertib surah-surah itu berdasarkan ijtihad para shahabat, tidak bersandar pada suatu dalil. Sebab, ijtihad sebagian shahabat mengenai tertib mushaf mereka yang khusus, merupakan ikhtiar mereka sebelum al-Qur’an dikumpulkan secara tertib. Ketika pada masa Utsman al-Qur’an dikumpulkan, ditertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya pada satu huruf [logat] dan umat pun menyepakatinya, maka mushaf-mushaf yang ada pada mereka ditinggalkan. Seandainya tertib itu berdasarkan ijtihad, tentu mereka tetap berpegang pada mushafnya masing-masing.
Mengenai hadits tentang surah al-Anfaal dan at-Taubah yang diriwayatkan dari Ibn Abbas di atas, isnadnya dalam setiap riwayat berkisar pada Yazid al-Farisi yang oleh Bukhari dikategorikan dalam kelompok du’afaa’. Di samping itu dalam hadits ini pun terdapat kerancuan mengenai penempatan basmalah pada permulaan surah, yang mengesankan seakan-akan Utsman menetapkannya menurut pendapatnya sendiri dan meniadakannya juga menurut pendapatnya sendiri. Oleh karena itu, dalam komentarnya terdapat hadits tersebut pada Musnad Imam Ahmad, Syaikh Ahmad Syakir menyebutkan: “Hadits itu tak ada asal mulanya.” Paling jauh itu hanya menunjukkan ketidaktertiban kedua surah tersebut. (Diriwayatkan bahwa basmalah tetap ada pada surah al-Bara’ah dalam mushaf Ibn Mas’ud. Dalam al-Mustadrak oleh Hakim dinyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib ditanya: “Mengapa BismillaaHir rahmaanir rahiim tidak dituliskan dalam al-Bara’ah?” ia menjawab: “Sebab basmalah itu keamanan, sedang al-Bara’ah turun dengan membawa pedang.”)
Sementara itu pendapat ketiga, yang menyatakan sebagian surah itu tertibnya tauqiifi dan sebagian lainnya bersifat ijtihadi, dalil-dalilnya hanya berpusat pada nas-nas yang menunjukkan tertib tauqiifi. Adapun bagian yang ijtihadi tidak bersandar pada dalil yang menunjukkan tertib ijtihadi. Sebab, ketetapan yang tauqiifi dengan dalil-dalilnya tidak berarti bahwa yang selain itu adalah hasil ijtihadi. Di samping itu, yang bersifat demikian pun hanya sedikit sekali.
Dengan demikian, tetaplah bahwa tertib surah-surah itu bersifat tauqiifi, seperti halnya tertib ayat-ayat. Abu Bakar Ibnul Anbari menyebutkan: “Allah telah menurunkan al-Qur’an seluruhnya ke langit dunia. Kemudian Dia menurunkannya secara berangsur-angsur selama duapuluh sekian tahun. Sebuah surah turun karena suatu urusan yang terjadi dan ayat pun turun sebagai jawaban bagi orang yang bertanya, sedangkan Jibril senantiasa memberitahukan kepada Nabi dimana surah dan ayat tersebut harus ditempatkan. Dengan demikian susunan surah-surah, seperti halnya susunan ayat-ayat dan logat-logat al-Qur’an, seluruhnya berasal dari Nabi. Oleh karena itu, barangsiapa mendahulukan suatu surah atau mengakhirkannya, ia telah merusak tatanan al-Qur’an.”
Al-Kirmani dalam al-Burhaan mengatakan: “Tertib surah seperti kita kenal sekarang ini adalah menurut Allah pada Lauh Mahfudh, al-Qur’an sudah menurut tertib ini. Dan menurut tertib ini pula Nabi membacakan di hadapan Jibril setiap tahun apa yang dikumpulkannya dari Jibril itu. Nabi membacakannya di hadapan Jibril menurut tertib ini pada tahun kewafatannya sebanyak dua kali. Dan ayat yang terakhir kali turun adalah: ‘Dan peliharalah dirimu dari [adzab yang terjadi pada] hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah.’ (al-Baqarah: 281). Lalu Jibril memerintahkan kepada beliau untuk meletakkan ayat ini di antara surah riba dan ayat tentang utang-piutang.’”
As-Suyuti cenderung pada pendapat Baihaqi yang mengatakan: “Al-Qur’an pada masa Nabi surah-surah dan ayat-ayatnya telah tersusun menurut tertib ini kecuali al-Anfaal dan al-Bara’ah, karena hadits Utsman.”
&