Arsip | 12.03

Pengertian Terjemah Al-Qur’an

20 Jan

Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Kata terjemah dapat dipergunakan pada dua arti:

1. Terjemah harfiyah, yaitu mengalihkan lafadz-lafadz dari satu bahasa ke dalam lafadz-lafadz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.
2. Terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.

Mereka yang mempunyai pengetahuan tentang bahasa-bahasa tentu mengetahui bahwa terjemah harfiyah dengan pengertian sebagaimana di atas tidak mungkin dapat dicapai dengan baik jika konteks bahasa asli dan cakupan semua maknanya tetap dipertahankan. Sebab karakteristik setiap bahasa berbeda satu dengan yang lain dalam hal tertib bagian-bagian kalimatnya. Sebagai contoh, jumlah fi’liyah [kalimat verbal] dalam bahasa Arab dimulai dengan “fi’il” (kata kerja berfungsi sebagai predikat) kemudian fa’il (subyek), baik dalam kalimat tanya (istifHaam) maupun lainnya; mudlaf didahulukan atas mudlaf ilaiHi; dan mausuf atas sifat, kecuali dalam idlafaH tasybiiH (susunan mudlaf dan mudlaf ilaiHi yang mengandung arti menyerupakan), seperti “lujainul maa-u” (perak air, maksudnya air yang bagaikan perak) dan dalam kalimat yang disusun dengan meng-idlaafaH-kan kata sifat kepada ma’mul-nya, seperti ‘adhiimul ‘amala (besar cita-cita). Sedang dalam bahasa lain tidak demikian halnya.

Selain itu, bahasa Arab dicelah-celahnya mengandung rahasia-rahasia bahasa yang tidak mungkin dapat digantikan oleh ungkapan lain dalam bahasa non Arab. Sebab, lafadz-lafadz dalam terjemahan itu tidak akan sama maknanya dalam segala aspeknya, terlebih dalam susunannya.

Dalam pada itu al-Qur’an berada pada puncak fasahaah dan balaaghaH bahasa Arab. Ia mempunyai karakteristik susunan, rahasia uslub, pelik-pelik makna dan ayat-ayat kemukjizatan lainnya yang semua itu tidak dapat diberikan oleh bahasa apa dan mana pun juga.

&

Terjemah Al-Qur’an

20 Jan

Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Keberhasilan dakwah sangat tergantung pada kedekatan juru dakwah dengan umatnya. Juru dakwah yang lahir dari suatu lingkungan tentu akan memahami dengan sempurna lorong-lorong kesesatan dan liku-liku kebodohan yang membungkus kaumnya. Ia mengenali jiwa mereka dan pintu-pintu yang harus dilaluinya. Hal ini dapat membuka jiwa mereka untuk menerima ajaran-ajaran dakwah dan mengambil petunjuknya. Komunikasi di antara kedua belah pihak dengan satu bahas merupakan lambang bagi kesamaan komunitas sosial dalam segala bentuk. Dalam hal ini Allah berfirman yang artinya:

“Kami tidak mengutus seorang Rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberikan penjelasan dengan terang kepada mereka.” (Ibrahim: 4)

Al-Qur’an mulia diturunkan kepada Rasul berbangsa Arab dengan bahasa Arab yang jelas. Fenomena ini merupakan tuntutan sosial bagi keberhasilan risalah Islam. Dan sejak saat itu bahasa Arab menjadi satu bagiandari eksistensi Islam dan asas komunikasi penyampaian dakwahnya. Misi Rasul kita adalah kepada umat manusia seluruhnya. Hal ini telah dinyatakan al-Qur’an tidak hanya pada satu tempat, antara lain yang artinya:

“Katakanlah: ‘Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu sekalian.” (al-A’raaf: 158)

“Dan Kami tidak mengutus kamu melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan.” (Saba’: 28)

Benih-benih negara Islam pun tumbuh di jazirah Arab. Tidak diragukan lagi bahwa sebuah bahasa itu hidup dengan kehidupan umat [pemakainya] dan mati dengan kematian umatnya juga. Dengan demikian maka kelahiran negara Islam seperti ini merupakan kehidupan pula bagi bahasa Arab.

Al-Qur’an adalah wahyu Islam dan Islam adalah agama Allah yang difardlukan. Pengetahuan tentang pokok-pokok dan dasar-dasar Islam tidak akan tercapai kecuali jika al-Qur’an itu dipahami dengan bahasanya. Maka arus penaklukan Islam pun mengembang kepada bahasa-bahasa lain non Arab, sehingga bahasa-bahasa itu diarabkan dengan Islam.

Adalah suatu kewajiban bagi setiap orang yang masuk ke dalam naungan negara baru itu untuk menyambutnya dalam bahasa kitabnya secara lahir dan batin sehingga ia dapat menjalankan kewajiban-kewajibannya, dan terjemahan al-Qur’an tidakk diperlukan lagi baginya selama al-Qur’an itu telah diterjemahkan bahasa dan kearabannya menjadi keimanan dan keislaman.

&

Macam-Macam Perdebatan dalam al-Qur’an

20 Jan

Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

1. Menyebutkan ayat-ayat kauniyah yang disertai perintah melakukan perhatian dan pemikiran untuk dijadikan dalil bagi penetapan dasar-dasar aqidah, seperti ketauhidan Allah dalam uluhiyah-Nya dan keimanan pada malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian. Perdebatan semacam ini banyak diungkap dalam al-Qur’an.

Misalnya firman Allah: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa, Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, Padahal kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 21-22)

“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (al-Baqarah: 163-164)

2. Membantah pendapat para penantang dan lawan, serta mematahkan argumentasi mereka. perdebatan macam ini mempunyai beberapa bentuk:

a. Membungkam lawan bicara dengan mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang sudah diakui dan diterima baik oleh akal, agar ia mengakui apa yang tadinya diingkari, seperti penggunaan dalil dengan makhluk untuk menetapkan adanya Khalik. Misalnya ayat:

“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?; sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu atau merekakah yang berkuasa? Ataukah mereka mempunyai tangga (ke langit) untuk mendengarkan pada tangga itu (hal-hal yang gaib)? Maka hendaklah orang yang mendengarkan di antara mereka mendatangkan suatu keterangan yang nyata. Ataukah untuk Allah anak-anak perempuan dan untuk kamu anak-anak laki-laki? Ataukah kamu meminta upah kepada mereka sehingga mereka dibebani dengan hutang? Apakah ada pada sisi mereka pengetahuan tentang yang gaib lalu mereka menuliskannya? Ataukah mereka hendak melakukan tipu daya? Maka orang-orang yang kafir itu merekalah yang kena tipu daya. Ataukah mereka mempunyai Tuhan selain Allah. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (ath-Thuur: 35-43)

b. Mengambil dalil dengan mabda’ (asal mula kejadiannya) untuk menetapkan ma’ad (hari kebangkitan). Misalnya firman Allah:

“Maka apakah Kami letih dengan penciptaan yang pertama? sebenarnya mereka dalam keadaan ragu-ragu tentang penciptaan yang baru.” (Qaf: 15)

“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)? Bukankah Dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), Kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya, lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan. Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati?” (al-Qiyaamah: 36-40)

“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari Apakah Dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan. Sesungguhnya Allah benar-benar Kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati).” (ath-Thaariq: 5-8)

Termasuk di antaranya beristidlal dengan kehidupan bumi sesudah matinya [keringnya] untuk menetapkan kehidupan sesudah mati untuk dihisab. Misalnya:

“Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau Lihat bumi kering dan gersang, Maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya, pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Fushilat: 39)

c. Membatalkan pendapat lawan dengan membuktikan [kebenaran] kebalikannya seperti:

“Katakanlah: “Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebahagiannya) dan kamu sembunyikan sebahagian besarnya, Padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui(nya) ?” Katakanlah: “Allah-lah (yang menurunkannya)”, kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (al-An’am: 91)

Ayat ini merupakan bantahan terhadap pendirian orang Yahudi, sebagaimana diceritakan Allah dalam firman-Nya:

“Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya, di kala mereka berkata: “Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia”. (al-An’am: 91)

d. Menghimpun dan merinci [as-Sabr wat taqsim], yakni menghimpun beberapa sifat dan menerangkan bahwa sifat-sifat tersebut bukanlah ‘illah, alasan hukum, seperti firman-Nya:

“(yaitu) delapan binatang yang berpasangan, sepasang domba, sepasang dari kambing. Katakanlah: “Apakah dua yang jantan yang diharamkan Allah ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya?” Terangkanlah kepadaku dengan berdasar pengetahuan jika kamu memang orang-orang yang benar, dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu. Katakanlah: “Apakah dua yang jantan yang diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya? Apakah kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan ini bagimu? Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat Dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan ?” Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-An’am: 143-144)

e. Membungkam lawan dan mematahkan hujjahnya dengan menjelaskan bahwa pendapat yang dikemukakannya itu menimbulkan suatu pendapat yang tidak diakui oleh siapapun. Misalnya:

“Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, Padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan): “Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan”, tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan. Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan. Dia Pencipta langit dan bumi. bagaimana Dia mempunyai anak Padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.” (al-An’am: 100-101)

Dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah tidak mempunyai anak, hal ini karena proses kelahiran anak tidak mungkin terjadi dari sesuatu yang satu. Proses tersebut hanya bisa terjadi dari dua pribadi. Padahal Allah tidak mempunyai istri. Di samping itu Dia menciptakan segala sesuatu dan penciptaan-Nya terhadap segala sesuatu ini sungguh kontradiktif bila dinyatakan bahwa Dia melahirkan sesuatu. Dia mengetahui segala sesuatu, dan pengetahuan-Nya ini membawa konklusi bahwa Dia berbuat atas dasar kehendak-Nya sendiri. Perasaan pun dapat membedakan antara yang berbuat menurut kehendak sendiri dengan yang berbuat karena hukum alam. Dengan kemahatahuan-Nya akan segala sesuatu itu, maka mustahil jika Dia sama dengan benda-benda fisik alami yang melahirkan sesuatu tanpa disadari, seperti panas dan dingin. Dengan demikian maka tidak benar menisbahkan anak kepada-Nya. (dikutip dari kitab ar-Raddu ‘alal Matiqiyyin, oleh Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah. Argumentasi ini sangat menarik dan menakjubkan)

Masih banyak lagi macam-macam jadal dalam al-Qur’an misalnya argumentasi para nabi dengan umatnya, argumentasi orang mukmin dengan orang munafik dan lain sebagainya.
&

Kisah-Kisah Al-Qur’an

20 Jan

Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Suatu peristiwa yang berhubungan dengan sebab dan akibat dapat menarik perhatian para pendengar. Apabila peristiwa itu terselip pesan-pesan dan pelajaran mengenai berita-berita bangsa terdahulu, rasa ingin tahu merupakan faktor paling kuat yang dapat menanamkan kesan peristiwa tersebut ke dalam hati. Dan nasehat dengan tutur kata yang disampaikan tanpa variasi tidak mampu menarik perhatian akal, bahkan semua isinya pun tidak akan bisa dipahami.

Akan tetapi bila nasehat itu dituangkan dalam kisah yang menggambarkan peristiwa dalam realita kehidupan maka akan terwujudlah dengan jelas tujuannya. Orang pun akan merasa senang mendengarkannya, memperhatikannya dengan penuh kerinduan dan rasa ingin tahu, dan pada gilirannya ia akan terpengaruh dengan nasehat dan pelajaran yang terkandung di dalamnya. Kesastraan kisah dewasa ini telah menjadi seni yang khas di antara seni-seni bahasa dan kesusastraan. Dan “kisah yang benar” telah membuktikan kondisi ini dalam uslub arabi secara jelas dan menggambarkannya dalam bentuk yang paling tinggi, yaitu kisah-kisah al-Qur’an.

&

Metode Berdebat yang Ditempuh Al-Qur’an

20 Jan

Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Al-Qur’anul Karim dalam berdebat dengan para penentangnya banyak mengemukakan dalil dan bukti kuat serta jelas yang dapat dimengerti kalangan awam dan orang ahli. Ia membatalkan setiap kerancuan dan mematahkan setiap perlawanan dan pertahanan dalam uslub yang konkrit hasilnya, indah susunannya dan tidak memerlukan pemerasan akal atau banyak penelitian.

Al-Qur’an tidak menempuh metode yang dipegang teguh oleh para ahli kalam yang memerlukan adanya mugaddimah (premis) dan natijah (konklusi), seperti dengan cara ber-istidlal (inferensi) dengan sesuatu yang bersifat kulliy (universal) atau yang juz’iy (partial) dalam qiyas syumuul, beristidlal dengan salah satu dua juz’iy atas yang lain dalam qiyas tamsiil, atau ber-istidlal dengan juz’iy atau kulliy dalam qiyas istiqraa’. Hal itu disebabkan:
a. Al-Qur’an datang dalam bahawa Arab dan menyeru mereka dengan bahasa yang mereka ketahui.
b. Berdasarkan pada fitrah jiwa, yang percaya pada apa yang disaksikan dan dirasakan, tanpa perlu penggunaan pemikiran mendalam dalam beristidlal adalah lebih kuat pengaruhnya dan lebih efektif hujjahnya.
c. Meninggalkan pembicaraan yang tidak jelas, yang mempergunakan tutur kata yang rumit dan pelik, merupakan kerancuan teka-teki yang hanya dapat dimengerti kalangan ahli. Cara demikian yang biasa ditempuh oleh para ahli mantiq (logika) ini tidak sepenuhnya benar. Karena itu dalil-dalil tentang tauhid dan hidup kembali di akhirat yang diungkapkan dalam al-Qur’an merupakan hal terntentu yang dapat memberikan makna yang ditunjukkan secara otomatis tanpa harus memasukkannya ke dalam universal proportion.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, ar-Raddu ‘alaa Mantiqiyyin: “Dalil-dalil analogi yang dikemukakan para ahli debat, yang mereka namakan ‘bukti-bukti’ untuk menetapkan adanya Tuhan, Sang Pencipta, Yang Suci dan Mahatinggi itu, sedikitpun tidak dapat menunjukkan esensi Dzat-Nya. Tetapi hanya menunjukkan sesuatu yang mutlak dan universal yang konsepnya itu sendiri tidak bebas dari kemusyrikan. Sebab jika kita mengatakan: ‘Ini adalah baru, dan setiap yang baru mempunyai pencipta’; atau ‘Ini adalah sesuatu yang mungkin dan setiap yang mungkin harus mempunyai yang wajib’. Pernyataan seperti ini hanya menunjukkan baru mutlak atau wajib mutlak… Konsepnya tidak bebas dari kemusryikan.”

Selanjutnya ia mengatakan: “Argumentasi mereka tidak menunjukkan kepada sesuatu tertentu secara pasti dan spesifik, tidak menunjukkan waajibul wujuud atau yang lainnya. Tetapi ia hanya menunjukkan kepada sesuatu yang kulliy, padahal sesuatu yang kully itu konsepnya tidak terlepas dari kemusyrikan. Sedang waajibul wujuud, pengetahuan mengenainya, dapat menghindarkan dari kemusyrikan. Dan barangsiapa yang tidak mempunyai konsep tentang sesuatu yang bebas dari kemusryikan, maka ia belum berarti telah mengenal Allah…” lanjutnya: “Ini berbeda dengan ayat-ayat yang disebutkan Allah dalam Kitab-Nya, seperti firman-Nya yang artinya:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (al-Baqarah: 164)

“Sesungguhnya pada apa yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal, bagi kaum yang berfikir.” Dan lain sebagainya; menunjukkan sesuatu yang tertentu, seperti matahari yang merupakan tanda bagi siang hari… dan firman-Nya:

“Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan.” (al-Israa’: 12)

Ayat-ayat tersebut menunjukkan esensi Pencipta yang Tunggal, Allah swt. tanpa serikat antara Dia dengan yang lain. Segala sesuatu selain Dia selalu membutuhkan Dia, karena itu eksistensi segala sesuatu itu menuntut secara pasti eksistensi Pencipta itu sendiri.”

Dalil-dalil Allah atas ketauhidan-Nya, ma’aad (hidup kembali di akhirat) yang diberitakan-Nya dan bukti-bukti yang ditegakkan-Nya bagi kebenaran Rasul-Rasul-Nya, tidak memerlukan qiyaas syumuul atau qiyaas tamsiil. Akan tetapi dalil-dalil tersebut benar-benar menunjukkan maknanya secara nyata. Pengetahuan tentang itu menuntut pengetahuan tentang makna yang ditunjukkannya; dan perpindahan pikiran dari dalil tersebut kepada madlulnya pun sangat jelas bagai proses perpindahan pikiran dari melihat sinar matahari ke pengetahuan tentang terbitnya matahari itu. Inferensi semacam ini bersifat aksiomatik dan dapat dipahami oleh semua akal.

Berkata az-Zarkasyi (lihat al-Burhaan hal. 24 dan seterusnya. Kutipan ini sudah diedit): “Ketahuilah bahwa al-Qur’an telah mencakup segala macam dalil dan bukti. Tidak ada satu dalil pun, satu bukti atau definisi-definisi mengenai sesuatu, baik berupa persepsi akal maupun dalil naql yang universal, kecuali telah dibicarakan oleh Kitabullah. Tetapi Allah mengemukakannya sejalan dengan kebiasaan-kebiasaan bangsa Arab; tidak menggunakan metode-metode berfikir ilmu kalam yang rumit, karena dua hal:
1. Mengingat firman-Nya: “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul-pun melainkan dengan bahasa kaumnya.” (Ibrahim: 4)
2. Orang yang cenderung menggunakan argumentasi pelik dan rumit itu sebenarnya ia tidak sanggup menegakkan hujjah dengan kalam agung. Sebab orang yang mampu memberikan pengertian (persepsi) tentang sesuatu dengan cara lebih jelas yang bisa dipahami sebagian besar orang, tentu tidak perlu melangkah ke cara yang lebih kabur, rancu dan berupa teka-teki yang hanya dipahami oleh segelintir orang.

Oleh karena itu Allah memaparkan seruan-Nya dalam berargumentasi dengan makhluk-Nya dalam bentuk argumentasi yang paling agung yang meliputi juga bentuk paling pelik, agar orang awam dapat memahami dari yang agung itu apa yang dapat memuaskan dan mengharuskan mereka menerima hujjah, dan dari celah-celah keagungannya kalangan ahli dapat memahami juga apa yang sesuai dengan tingkat pemahaman para sastrawan.

Dengan pengertian itulah hadits: “Sesungguhnya setiap ayat itu mempunyai lahir dan bathin, dan setiap hurufnya mempunyai hadd dan matla, diartikan, tidak dengan pendapat kaum batiniyah. Dari sisi ini maka setiap orang yang mempunyai ilmu pengetahuan lebih banyak, tentu akan lebih banyak pula pengetahuannya tentang ilmu al-Qur’an.

Itulah sebabnya apabila Allah menyebutkan hujjah atas rubbubiyah [ketuhanan] dan wahdaniyah [keesaan-Nya] selalu dihubungkan, kadang-kadang, dengan “mereka yang berakal”, dengan “mereka yang mendengar”, dengan “mereka yang berfikir”, dan terkadang dengan “mereka yang mau menerima pelajaran”. Hal ini untuk mengingatkann, setiap potensi dari potensi-potensi tersebut dapat digunakan untuk memahami hakekat hujjah-Nya itu. Misalnya firman-Nya: “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda [kebesaran Allah] bagi kaum yang berakal.” (ar-Ra’du: 4) dan sebagainya.

Ketahuilah bahwa terkadang nampak dari ayat-ayat al-Qur’an, melalui kelembutan pemikiran, penggalian dan penggunaan bukti-bukti rasional menurut ilmu kalam… di antaranya adalah pembuktian tentang Pencipta alam ini hanya satu, berdasarkan induksi yang diisyaratkan dalam firman-Nya: “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah hancur binasa.” (al-Anbiyaa’: 22)

Sebab seandainya alam ini ada dua pencipta, tentu pengendalian dan pengaturan keduanya tidak akan berjalan secara teratur dan kokoh, dan bahkan sebaliknya. Kelemahan akan menimpa salah seorang dari mereka atau keduanya. itu disebabkan andaikan salah seorang dari keduanya ingin menghidupkan satu makhluk, sedangkan yang lainnya ingin mematikannya maka hal itu tidak terlepas dari tiga kemungkinan: a) keinginan keduanya dilaksanakan maka hal itu akan menimbulkan kontradiksi, karena mustahil terjadi pemilahan kerja andai terjadi kesepakatan antara mereka berdua, dan tidak mungkin dua hal yang bertentangan dapat berkumpul jika tidak terjadi kesepakatan. b) keinginan mereka berdua tidak terlaksana. Maka yang demikian itu menyebabkan kelemahan mereka. c) keinginan salah satunya tidak terlaksana, dan ini menyebabkan kelemahannya, padahal Tuhan tidaklah lemah.

&

Hukum Terjemah Hafiyah Al-Qur’an

20 Jan

Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Setelah kita mengetahui Pengertian Terjemah, maka atas pertimbangan itu maka tidak seorang pun merasa ragu tentang haramnya menerjemahkan al-Qur’an dengan terjemah harfiyah. Sebab al-Qur’an adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, merupakan mukjizat dengan lafadz dan maknanya, serta membacanya dipandang sebagai suatu ibadah.

Di samping itu tidak seorang manusia pun berpendapat, kalimat-kalimat al-Qur’an itu jika diterjemahkan, dinamakan pula Kalamullah. Sebab Allah tidak berfirman kecuali dengan al-Qur’an yang kita baca dalam bahasa Arab, dan kemukjizatan pun tidak akan terjadi dengan terjemahan, karena kemukjizatan hanya khusus bagi al-Qur’an yang diturunkan dalam bahasa Arab. Kemudian yang dipandang sebagai ibadah dengan membacanya ialah al-Qur’an berbahasa Arab yang jelas, berikut lafadz-lafadz, huruf-huruf dan tertib kata-katanya.

Dengan demikian, penerjemahan al-Qur’an dengan terjemah harfiyah, betapapun penerjemahan memahami betul bahasa, uslub-uslub dan susunan kalimatnya, dipandang telah mengeluarkan al-Qur’an dari keadaannya sebagai al-Qur’an.

&

Hukum Terjemah Manawiyah Al-Qur’an

20 Jan

Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Menerjemahkan makna-makna sanawi al-Qur’an bukanlah hal mudah sebab tidak ada satu bahasa pun yang sesuai dengan bahasa Arab dalam dalalah [petunjuk] lafadz-lafadznya terhadap makna-makna yang oleh ahli ilmu bayan dinamakan khawaassut tarkib (karakteristik-karakteristik susunan). Hal demikian tidak mudah didakwakan seseorang. Dan itulah yang dimaksudkan Zamarkasyi dalam pernyataan sebelumnya.

Segi-segi balaghah al-Qur’an dalam lafadz maupun susunan, baik nakirah maupun ma’rifatnya, taqdiim dan ta’khiir-nya, disebutkan dan dihilangkannya maupun hal-hal lainnya adalah yang menjadi keunggulan bahasa al-Qur’an, dan ini mempunyai pengaruh tersendiri terhadap jiwa. Segi-segi kebalaghahan al-Qur’an ini tidak mungkin terpenuhi jika makna-makna tersebut dihiliangkan dalam bahasa lain, karena bahasa mana pun tidak mempunyai khawas tersebut.

Adapun makna-makna asli, dapat dipindahkan ke dalam bahasa lain. Dalam al-Muwaffaqaat, Syatibi menyebutkan makna-makna asli dan makna-makna sanawi, kemudia ia menjelaskan, menerjemahkan al-Qur’an dengan cara pertama, yakni dengan memperhatikan makna asli adalah mungkin. Dari segi inilah dibenarkan menafsirkan al-Qur’an dan menjelaskan makna-maknanya kepada kalangan awam dan mereka tidak mempunyai pemahaman kuat untuk mengetahui maknanya. Cara demikian diperbolehkan berdasarkan konsensus ulama Islam. Dan konsensus ini menjadi hujjah bagi dibenarkannya penerjemahan makna asli al-Qur’an.

Namun demikian, terjemahan makna-makna asli itu tidak terlepas dari kerusakan karena satu buah lafadz di dalam al-Qur’an terkadang mempunyai makna atau lebih yang diberikan oleh ayat. Maka dalam keadaan demikian biasanya penerjemah hanya meletakkan satu lafadz yang hanya menunjukkan satu makna, karena tidak mendapatkan satu lafadz serupa dengan lafadz Arab yang dapat memberikan lebih dari satu makna itu.

Terkadang al-Qur’an menggunakan sebuah lafadz dalam pengertian majaz (kiasan), maka dalam hal demikian penerjemah hanya mendatangkan satu lafadz yang sama dengan lafadz Arab dimaksud dalam pengertian yang hakiki. Karena hal ini dan hal lain maka terjadilah banyak kesalahan dalam penerjemahan makna-makna al-Qur’an.

Pendapat yang dipilih oleh Syatibi sebelumnya yang dianggapnya sebagai hujjah tentang kebolehan menerjemahkan makna asli al-Qur’an tidaklah mutlak. Sebab sebagian ulama membatasi kebolehan penerjemahan seperti itu dengan kadar darurat dalam menyampaikan dakwah. Yaitu yang berkenaan dengan tauhid dan rukun-rukun ibadah, tidak lebih dari itu. Sedang bagi mereka yang ingin menambah pengetahuannya, diperintahkan untuk mempelajari bahasa Arab.

&

Jadal (Debat) dalam Al-Qur’an

20 Jan

Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Hakekat-hakekat yang sudah jelas dan nyata telah dapat disentuh manusia, dibeberkan oleh bukti-bukti alam dan tidak memerlukan lagi argumentasi lain untuk menetapkan dalis atas kebenarannya. Namun demikian, kesombongan sering kali mendorong seseorang untuk membangkitkan keraguan dan mengacaukan hakekat-hakekat tersebut dengan berbagai keraguan yang dibungkus baju kebenaran tersebut serta dihiasinya dalam cermin akal. Usaha demikian itu perlu dihadapi dengan hujjah agar hakekat-hakekat tersebut mendapat pengakuan yang semestinya, dipercaya atau malah diingkari.

Al-Qur’anul Karim, seruan Allah kepada seluruh umat manusia, berdiri tegak di hadapan berbagai macam arus yang mengupayakan kebathilan untuk mengingkari hakekat-hakekatnya dan memperdebatkan pokok-pokoknya. Karenanya ia perlu membungkam intrik-intrik mereka secara kongkrit dan realistis serta menghadapi mereka dengan uslub bahasa yang memuaskan, argumentasi yang pasti dan bantahan yang tegar.

DEFINISI JADAL

Jadal atau jidaal adalah bertukar fikiran dengan cara bersaing dan berlomba untuk mengalahkan lawan. Pengertian ini berasal dari kata “jadaltul habla” yakni “ahkamtu fatlahu” (aku kokohkan jalinan tali itu), mengingat kedua belah pihak yang berdebat itu mengokohkan perdebatannya masing-masing dan berusaha menjatuhkan lawan dari pendirian yang dipegangnya.

Allah Ta’ala dalam al-Qur’an menyatakan bahwa jadal atau berdebat merupakan salah satu tabiat manusia:

“Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak debatnya.” (al-Kahfi: 54) yakni paling banyak bermusuhan dan bersaing.

Rasulullah saw. juga diperintahkan agar berdebat dengan kaum musyrikin dengan cara yang baik yang dapat meredakan keberingasan mereka, firman-Nya:

“Serulah manusia kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik.” (an-Nahl: 125)

Di samping itu, Allah memperkokoh juga berdiskusi dengan Ahli Kitab dengan cara yang baik. Firman-Nya:

“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling baik.” (al-Ankabuut: 46)

Berdiskusi demikian bertujuan untuk menampakkan yang haq (kebenaran sejati) dan menegakkan hujjah atas validitasnya. Itulah esensi metode jadal al-Qur’an dalam memberi petunjuk kepada orang kafir dan mengalahkan para penentang al-Qur’an. Ini berbeda dengan perdebatan orang yang memperturutkan hawa nafsu, dimana perdebatannya hanya merupakan persaingan yang bathil. Allah berfirman:

“…..tetapi orang-orang kafir membantah dengan cara yang bathil….” (al-Kahfi: 56)

&

Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an adalah Kenyataan, Bukan Khayalan

20 Jan

Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Adalah pantas dikemukakan di sini bahwa seorang mahasiswa di Mesir mengajukan disertasi untuk memperoleh gelar Doktor dengan judul “al-Fannul Qashashiy Fil Qur-aan” (yaitu Dr.Muhammad Ahmad Khalafullah). Disertasi tersebut telah menimbulkan perdebatan panjang pada tahun 1367 H. Salah seorang anggota tim penguji disertasi, Prof. Ahmad Amin, menulis nota yang ditujukan kepada Dekan Fakultas adab, yang kemudian dipublikasikan dalam majalah ar-Risaalah. Nota itu berisi kritik pedas terhadap apa yang ditulis mahasiswa tersebut, meskipun profesor promotornya telah membelanya. Ahmad Amin dalam notanya itu mengeluarkan pernyataan sebagai berikut:

“Saya mendapatkan disertasi itu tidak wajar, bahkan sangat berbahaya. Pada prinsipnya disertasi itu menyatakan: kisah-kisah dalam al-Qur’an merupakan karya seni yang tunduk kepada saya cipta dan kreatifitas yang dipatuhi oleh seni, tanpa harus memegangi kebenaran sejarah. Dan kenyataannya Muhammad adalah seorang seniman dalam pengertian ini.”

“Atas dasar persepsi inilah,” jelasnya lebih lanjut, “mahasiswa itu menulis disertasinya, dari awal sampai akhir. Saya perlu mengemukakan sejumlah contoh yang dapat memperjelas tujuan penulis disertasi tersebut dan bagaimana cara menyusunnya.”

Ahmad Amin kemudian mengemukakan sejumlah contoh dari disertasi itu yang membuktikan apa yang dilukiskannya dalam nota singkatnya itu. (lihat: kritik terhadap kitab “al-Fannul Qashasiy fil Qur-aan, oleh ustadz Muhammad al-Khidr Husain, dalam Balaaghatul Qur-aan, hal 94) Misalnya persepsi penulis disertasi bahwa kisah dalam al-Qur’an tidak memegangi kebenaran sejarah, tetapi ia sejalan dengan pemerian seorang sastrawan yang memerikan suatu peristiwa secara artistik. Contoh lainnya adalah pandangannya bahwa al-Qur’an telah menciptakan beberapa kisah, dan bahwa ulama-ulama terdahulu telah berbuat salah dengan menganggap kisah al-Qur’an itu sebagai sejarah yang dapat dipegangi.

Seorang Muslim sejati ialah orang yang beriman bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah dan suci dari pemerian artistik yang tidak memperhatikan realita sejarah. Kisah al-Qur’an ini tidak lain adalah hakekat dan fakta sejarah yang dituangkan dalam untaian kata-kata indah dan pilihan serta dalam uslub yang memesona.

Nampaknya penulis disertasi telah mempelajari seni-seni kisah dalam kesusasteraan dan ia mendapatkan bahwa di antara unsur pokoknya ialah khayalan yang bertumpu pada konsep. Semakin tinggi unsur khayalannya dan jauh dari realita, maka kisah itu semakin digandrungi, memikat jiwa dan nikmat dibaca. Kemudian ia menganalogikan kisah al-Qur’an dengan kisah sastrawi.

Al-Qur’an tidaklah demikian halnya. Ia diturunkan dari sisi Yang Mahapandai, mahabijaksana. Dalam berita-berita-Nya tidak ada kecuali yang yang sesuai dengan kenyataan. Apabila orang-orang terhormat di kalangan masyarakat enggan berkata dusta dan menganggapnya sebagai perbuatan hina paling buruk yang dapat merendahkan martabat kemanusiaan, maka bagaimana seorang yang berakal dapat menghubungkan kedustaan kepada kalam Yang Mahamulia dan Mahaagung? Allah adalah Tuhan yang Haq:

“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Dia, itulah yang bathil.” (al-Hajj: 62)

Dia juga mengutus Rasul-Nya dengan haq pula:
“Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran (haq) sebagai pembawa berita dan sebagai pemberi peringatan.” (Fathir: 24)

“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Kitab [al-Qur’an] itulah yang benar [haq].” (Fathir: 31)

“Wahai manusia, sungguh telah datang Rasul [Muhammad] itu kepadamu dengan [membawa] kebenaran dari Tuhanmu.” (an-Nisaa’: 170)

“Dan Kami telah menurunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran [haq].” (al-Maaidah: 48)

“Dan Kitab yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu adalah benar.” (ar-Ra’du: 1)

Dan semua apa yang dikisahkan dalam al-Qur’an adalah haq pula:
“Kami ceritakan kisah mereka kepadamu [Muhammad] dengan sebenarnya.” (al-Kahfi: 13)

“Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun dengan benar [haq].” (al-Qashash: 3)

&

Faedah Kisah-Kisah al-Qur’an

20 Jan

Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

1. Menjelaskan asas-asas dakwah menuju Allah dan menjelaskan pokok-pokok syariat yang dibawa oleh para Nabi:
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (al-Anbiyaa’: 25)

2. Meneguhkan hati Rasulullah saw. dan hati umat Muhammad saw. atas agama Allah, memperkuat kepercayaan orang mukmin tentang menangnya kebenaran dan para pendukungnya serta hancurnya kebatilan dan para pembelanya.
“Dan semua kisah Rasul-rasul yang Kami ceritakan kepadamu, adalah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surah ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (Huud: 120)

3. Membenarkan para Nabi terdahulu, menghidupkan kenangan terhadap mereka serta mengabadikan jejak dan peninggalannya.

4. Menampakkan kebenaran Muhammad saw. dalam dakwahnya dengan apa yang diberitakannya tentang hal ihwal orang-orang terdahulu di sepanjang kurun dan generasi.

5. Menyibak kebohongan ahli kitab dengan hujjah yang membeberkan keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan, menentang mereka dengan isi kitab mereka sendiri sebelum kitab itu diubah dan diganti. Misalnya firman Allah:
“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katanya: ‘[Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum Taurat] maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah ia jika kamu orang-orang yang benar.’” (Ali ‘Imraan: 93)

6. Kisah termasuk salah satu bentuk sastra yang dapat menarik perhatikan para pendengar dan memantapkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya ke dalam jiwa, firman Allah:
“Sesungguhnya pada kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal.” (Yusuf: 111)

&