Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan
1. Menyebutkan ayat-ayat kauniyah yang disertai perintah melakukan perhatian dan pemikiran untuk dijadikan dalil bagi penetapan dasar-dasar aqidah, seperti ketauhidan Allah dalam uluhiyah-Nya dan keimanan pada malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian. Perdebatan semacam ini banyak diungkap dalam al-Qur’an.
Misalnya firman Allah: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa, Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, Padahal kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 21-22)
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (al-Baqarah: 163-164)
2. Membantah pendapat para penantang dan lawan, serta mematahkan argumentasi mereka. perdebatan macam ini mempunyai beberapa bentuk:
a. Membungkam lawan bicara dengan mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang sudah diakui dan diterima baik oleh akal, agar ia mengakui apa yang tadinya diingkari, seperti penggunaan dalil dengan makhluk untuk menetapkan adanya Khalik. Misalnya ayat:
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?; sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu atau merekakah yang berkuasa? Ataukah mereka mempunyai tangga (ke langit) untuk mendengarkan pada tangga itu (hal-hal yang gaib)? Maka hendaklah orang yang mendengarkan di antara mereka mendatangkan suatu keterangan yang nyata. Ataukah untuk Allah anak-anak perempuan dan untuk kamu anak-anak laki-laki? Ataukah kamu meminta upah kepada mereka sehingga mereka dibebani dengan hutang? Apakah ada pada sisi mereka pengetahuan tentang yang gaib lalu mereka menuliskannya? Ataukah mereka hendak melakukan tipu daya? Maka orang-orang yang kafir itu merekalah yang kena tipu daya. Ataukah mereka mempunyai Tuhan selain Allah. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (ath-Thuur: 35-43)
b. Mengambil dalil dengan mabda’ (asal mula kejadiannya) untuk menetapkan ma’ad (hari kebangkitan). Misalnya firman Allah:
“Maka apakah Kami letih dengan penciptaan yang pertama? sebenarnya mereka dalam keadaan ragu-ragu tentang penciptaan yang baru.” (Qaf: 15)
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)? Bukankah Dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), Kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya, lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan. Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati?” (al-Qiyaamah: 36-40)
“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari Apakah Dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan. Sesungguhnya Allah benar-benar Kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati).” (ath-Thaariq: 5-8)
Termasuk di antaranya beristidlal dengan kehidupan bumi sesudah matinya [keringnya] untuk menetapkan kehidupan sesudah mati untuk dihisab. Misalnya:
“Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau Lihat bumi kering dan gersang, Maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya, pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Fushilat: 39)
c. Membatalkan pendapat lawan dengan membuktikan [kebenaran] kebalikannya seperti:
“Katakanlah: “Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebahagiannya) dan kamu sembunyikan sebahagian besarnya, Padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui(nya) ?” Katakanlah: “Allah-lah (yang menurunkannya)”, kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (al-An’am: 91)
Ayat ini merupakan bantahan terhadap pendirian orang Yahudi, sebagaimana diceritakan Allah dalam firman-Nya:
“Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya, di kala mereka berkata: “Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia”. (al-An’am: 91)
d. Menghimpun dan merinci [as-Sabr wat taqsim], yakni menghimpun beberapa sifat dan menerangkan bahwa sifat-sifat tersebut bukanlah ‘illah, alasan hukum, seperti firman-Nya:
“(yaitu) delapan binatang yang berpasangan, sepasang domba, sepasang dari kambing. Katakanlah: “Apakah dua yang jantan yang diharamkan Allah ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya?” Terangkanlah kepadaku dengan berdasar pengetahuan jika kamu memang orang-orang yang benar, dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu. Katakanlah: “Apakah dua yang jantan yang diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya? Apakah kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan ini bagimu? Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat Dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan ?” Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-An’am: 143-144)
e. Membungkam lawan dan mematahkan hujjahnya dengan menjelaskan bahwa pendapat yang dikemukakannya itu menimbulkan suatu pendapat yang tidak diakui oleh siapapun. Misalnya:
“Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, Padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan): “Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan”, tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan. Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan. Dia Pencipta langit dan bumi. bagaimana Dia mempunyai anak Padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.” (al-An’am: 100-101)
Dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah tidak mempunyai anak, hal ini karena proses kelahiran anak tidak mungkin terjadi dari sesuatu yang satu. Proses tersebut hanya bisa terjadi dari dua pribadi. Padahal Allah tidak mempunyai istri. Di samping itu Dia menciptakan segala sesuatu dan penciptaan-Nya terhadap segala sesuatu ini sungguh kontradiktif bila dinyatakan bahwa Dia melahirkan sesuatu. Dia mengetahui segala sesuatu, dan pengetahuan-Nya ini membawa konklusi bahwa Dia berbuat atas dasar kehendak-Nya sendiri. Perasaan pun dapat membedakan antara yang berbuat menurut kehendak sendiri dengan yang berbuat karena hukum alam. Dengan kemahatahuan-Nya akan segala sesuatu itu, maka mustahil jika Dia sama dengan benda-benda fisik alami yang melahirkan sesuatu tanpa disadari, seperti panas dan dingin. Dengan demikian maka tidak benar menisbahkan anak kepada-Nya. (dikutip dari kitab ar-Raddu ‘alal Matiqiyyin, oleh Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah. Argumentasi ini sangat menarik dan menakjubkan)
Masih banyak lagi macam-macam jadal dalam al-Qur’an misalnya argumentasi para nabi dengan umatnya, argumentasi orang mukmin dengan orang munafik dan lain sebagainya.
&
Tag:agama, Al-qur'an, ‘Ulumul Qur’an, bahasa indonesia, ilmu, Ilmu Al-Qur’an, info islam, Mannaa’ Kahlil al-Qattaan, perdebatan, religion, riwayat