Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan
Kajian ilmiah dan obyektif merupakan asas utama bagi pengetahuan yang valid yang memberikan kemanfaatan bagi para pencarinya, dan buahnya merupakan makanan paling lezat bagi santapan fikiran dan perkembangan akal. Oleh karena itu tersedianya sarana dan prasarana yang memadai bagi seorang pengkaji merupakan hal yang mempunyai nilai tersendiri bagi kematangan buah kajiannya dan kemudahan pemetikannya. Kajian ilmu-ilmu syariat pada umumnya dan ilmu tafsir khususnya merupakan aktifitas yang harus memperhatikan dan mengetahui sejumlah syarat dan adab agar dengan demikian, jernihlah salurannya serta terpeliharalah keindahan wahyu dan keagungannya.
Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat yang harus dimiliki setiap mufasir sebagai berikut:
1. Aqidah yang benar
Sebab aqidah sangat berpengaruh terhadap jiwa pemiliknya dan seringkali mendorongnya untuk mengubah nas-nas dan berkhianat dalam penyampaian berita. Apabila seseorang menyusun sebuah kitab tafsir, maka dita’wilkannya ayat-ayat yang bertentangan dengan aqidahnya dan membawanya kepada madzabnya yang batil guna memalingkan manusia dari mengikuti golongan salaf dan dari jalan petunjuk.
2. Bersih dari hawa nafsu
Hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela madzabnya sehingga ia akan menipu manusia dengan kata-kata halus dan keterangan menarik seperti dilakukan golongan Qodariyah, Syi’ah Rafidhah, Mu’tazilah dan para pendukung fanatik madzab sejenis lainnya.
3. Menafsirkan lebih dulu al-Qur’an dengan al-Qur’an, karena sesuatu yang masih global pada suatu tempat telah diperinci di tempat lain dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas di suatu tempat telah diuraikan di tempat lain.
4. Mencari penafsiran dari sunnah karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah al-Qur’an dan penjelasannya. Al-Qur’an telah menyebutkan bahwa semua hukum [ketetapan] Rasulullah berasal dari Allah.
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu mengadili di antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.” (an-Nisaa’: 105)
Allah menyebutkan bahwa sunnah merupakan penjelas bagi Kitab.
Karena itu Rasulullah mengatakan: “Ketahuilah bahwa telah diberikan kepadaku al-Qur’an dan bersamanya pula sesuatu yang serupa dengannya.” Yakni sunnah.
Berkenaan dengan ini Syafi’i berkata: “Segala sesuatu yang diputuskan Rasulullah adalah hasil pemahamannya terhadap al-Qur’an.”
Contoh-contoh penafsiran al-Qur’an dengan sunnah ini cukup banyak jumlahnya dan telah didokumentasikan secara tertib oleh penulis al-itqaan dalam pasal terakhir kitabnya. Misalnya penafsiran as-sabil dengan az-zaad war raahilah (bekal dan kendaraan), adh-dhulm (kedhaliman) dengan asy-syirk (kemusyrikan) dan al-hisaab al-yasiir (hisab, perhitungan yang ringan) dengan al-ard (penampakan sekilas).
5. Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam sunnah, hendaklah meninjau pendapat para shahabat karena mereka telah mengetahui tentang tafsir al-Qur’an; mengingat merekalah yang menyaksikan qarinah dan kondisi ketika al-Qur’an diturunkan di samping mereka mempunyai pemahaman (penalaran) sempurna, ilmu yang shahih dan amal yang shalih.
6. Apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam al-Qur’an, sunnah maupun dalam pendapat para shahabat maka sebagian besar ulama dalam hal ini memeriksa pendapat tabi’in (generasi setelah shahabat), seperti Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah maula (sahaya yang dibebaskan oleh) Ibn ‘Abbas, ‘Atha’ bin Abi Rabah, Hasan al-Bashri, Masruq bin Ajda’, Sa’id bin Musayyab, ar-Rabi’ bin Anas, Qatadah, Dahhak bin Muzahim dan tabi’in lainnya. Di antara tabi’in ada yang menerima seluruh penafsiran ini dengan istinbat (penyimpulan) dan istidlaal (penalaran dalil) sendir. Tetapi yang (harus) menjadi pegangan dalam hal ini adalah penukilan yang shahih.
Berkenaan dengan hal ini Ahmad berkata: “Tiga kitab tidak mempunyai dasar; maghazi (tempat-tempat terjadinya suatu pertempuran atau sanjungan dan pujian terhadap perbuatan baik seorang tokoh), malaahin (kisah peperangan) dan tafsir (penafsiran).” Maksudnya tafsir yang tidak bersandar pada riwayat-riwayat shahih dalam penukilannya.
7. Pengetahuan bahasa Arab dengan segala cabangnya, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan pemahaman tentangnya amat tergantung pada penguraian mufradaat (kosa kata) lafadz-lafadz dan pengertian-pengertian yang ditunjukkannya menurut letak kata-kata dalam rangkaian kalimat. Tentang syarat ini Mujahid berkata: “Tidak diperkenankan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berbicara tentang Kitabullah apabila ia tidak mengetahui berbagai dialek bahasa Arab.”
Makna (suatu kata dalam bahasa Arab itu) berbeda-beda disebabkan perbedaan i’rab (fungsi kata dalam kalimat). Maka atas dasar ini sangat diperlukan pengetahuan tentang ilmu nahwu (gramatikal) dan ilmu tasrif (konjugasi) yang dengan ilmu ini akan diketahui bentuk-bentuk kata. Sebuah kata yang masih samar-samar maknanya akan segera jelas dengan mengetahui kata dasar (masdar) dan bentuk-bentuk kata turunan (musytaq)nya. demikian juga pengetahuan tentang keistimewaan suatu susunan kalimat dilihat dari segi penunjukkannya kepada makna, dari segi perbedaan maksudnya sesuai dengan kejelasan atau kesamaran penunjukkan makna, kemudian dari segi keindahan susunan kalimat –yakni tiga cabang balaghah (retorika); ma’ani, bayaan dan badi’. Semua itu merupakan syarat sangat penting yang harus dimiliki seorang mufasir mengingat bahwa ia pun harus memperhatikan atau menyelami maksud-maksud kemukjizatan al-Qur’an. Sedang kemukjizatan tersebut hanya dapat diketahui dengan ilmu-ilmu ini.
8. Pengetahuan tentang pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an, seperti ilmu qira’ah karena dengan ilmu ini diketahui bagaimana cara mengucapkan (lafadz-lafadz) al-Qur’an dan dapat memilih mana yang lebih kuat di antara berbagai ragam bacaan yang diperkenalkan, ilmu tauhid –dengan ilmu ini diharapkan mufasir tidak menta’wilkan ayat-ayat berkenaan dengan hak Allah dan sifat-sifat-Nya secara melampaui hak-Nya, dan dengan ilmu ushul terutama usulut tafsir dengan mendalami masalah-masalah (kaidah-kaidah) yang dapat memperjelas suatu makna dan meluruskan maksud-maksud al-Qur’an, seperti pengetahuan tentang asbabun nuzul, nasikh-mansukh dan lain sebagainya.
9. Pemahaman yang cermat sehingga mufasir dapat mengukuhkan sesuatu makna atas yang lain atau menyimpulkan makna yang sejalan dengan nas-nas syariat.
&
Tag:agama, Al-qur'an, ‘Ulumul Qur’an, bahasa indonesia, ilmu, Ilmu Al-Qur’an, info islam, Mannaa’ Kahlil al-Qattaan, mufasir, religion, riwayat, Syarat