Arsip | 13.47

Pemboikotan Ekonomi

18 Feb

DR.Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy; Sirah Nabawiyah; analisis Ilmiah Mahajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah saw.

Disebutkan dalam beberapa sanad dari Musa bin Uqbah dan dari Ibnu Ishaq, juga dari yang lainnya, bahwa orang-orang Quraisy telah sepakat untuk membunuh Rasulullah saw. Kesepakatan dan keputusan ini disampaikan kepada bani Hasyim dan bani Abdul Muthalib. Akan tetapi bani Hasyim dan bani Abdul Muthalib tidak mau menyerahkan Rasulullah saw. kepada mereka.

Setelah kaum Quraisy tidak berhasil membunuh Rasulullah saw., mereka sepakat untuk mengucilkan Rasulullah saw. dan kaum muslimin yang mengikutinya serta bani Hasyim dan bani Muthalib yang melindunginya. Untuk tujuan ini, mereka telah menulis suatu perjanjian bahwa mereka tidak akan mengawini dan berjual beli dengan mereka yang dikucilkan. Mereka tidak akan menerima perdamaian dan berbelas kasihan kepada mereka sampai bani Muthalib menyerahkan Rasulullah saw. kepada mereka untuk dibunuh. Naskah perjanjian itu mereka gantung di dalam Ka’bah.

Kaum kafir Quraisy berpegang teguh dengan perjanjian ini selama tiga tahun, sejak bulan Muharram tahun ketujuh kenabian hingga tahun kesepuluh. Akan tetapi ada pendapat lain yang mengatakan bahwa pemboikotan tersebut berlangsung selama dua tahun saja.

Riwayat Musa bin Uqbah menunjukkan bahwa pemboikotan ini terjadi sebelum Rasulullah saw. memerintahkan para shahabatnya hijrah ke Habasyah. Perintah hijrah itu diinstruksikan Rasulullah pada saat pemboikotan ini. Akan tetapi riwayat Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa penulisan perjanjian permboikotan dilakukan setelah para shahabat Rasulullah saw. berhijrah ke Habasyah dan sesudah Umar masuk Islam.

Bani Hasyim, bani Muthalib, dan kaum Muslimin, termasuk di dalamnya Rasulullah saw. dikepung dan dikucilkan di Syi’ib (pemukiman) bani Muthalib (di Makkah terdapat beberapa Syi’ib).
Di pemukiman inilah kaum mukminin dan kaum kafir dari bani Hasyim dan bani Muthalib berkumpul kecuali Abu Lahab (Abdul Izzi bin Abdul Muththalib) karena dia telah bergabung dengan Quraisy dan menentang Nabi saw. serta para shahabatnya. Kaum Muslimin menghadapi pemboikotan ini dengan dorongan agama (Islam), sedangkan kaum kafir menghadapinya karena dorongan fanatisme kabilah (hamiyyah).

Rasulullah saw. bersama kaum Muslimin berjuang menghadapi pemboikotan yang amat ketat ini selama tiga tahun. Di dalam riwayat yang shahih disebutkan bahwa mereka menderita kekurangan bahan pangan sehingga mereka terpaksa makan daun-daunan.

As-Suhaili menceritakan: Setiap ada kafilah datang ke Makkah dari luar daerah, para shahabat Rasulullah saw. yang berada di luar kepungan datang ke pasar untuk membeli bahan makanan bagi keluarganya. Akan tetapi mereka tidak bisa membeli apapun juga karena dirintangi oleh Abu Lahab yang selalu berteriak menghasut. “Hai para pedagang! Naikkanlah harga setinggi-tingginya agar para pengikut Muhammad tidak mampu membeli apa-apa. Kalian mengetahui betapa banyak harta kekayaanku dan aku sanggup menjamin kalian tidak akan rugi.” Teriakan Abu Lahab itu dipatuhi para pedagang dan mereka menaikkan harga barangnya berlipat ganda sehingga kaum Muslimin terpaksa pulang ke rumah dengan tangan kosong, tidak membawa apa-apa untuk makan anak-anaknya yang kelaparan.

Pada awal tahun ketiga dari pemboikotan dan pengepungan ini, Bani Qushayyi mengecap pemboikotan tersebut. Mereka memutuskan bersama untuk membatalkan perjanjian. Dalam pada itu, Allah mengirimkan anai-anai (rayap) untuk menghancurkan lembaran perjanjian tersebut kecuali berberapa kalimat yang menyebutkan nama Allah.

Kejadian ini oleh Rasulullah saw. diceritakan kepada pamannya, Abu Thalib, sehingga pamannya itu bertanya kepada beliau: “Apakah Tuhanmu yang memberitahukan hal itu kepadamu?” Nabi saw. menjawab: “Ya.” Abu Thalib kemudian bersama sejumlah orang dari kaumnya berangkat mendatangi kaum Quraisy dan meminta kepada mereka seolah-olah ia telah menerima persyaratan yang pernah mereka ajukan. Akhirnya mereka mengambil naskah perjanjian dalam keadaan masih terlihat rapi.

Abu Thalib kemudian berkata, “Sesungguhnya, putra saudaraku ini telah memberitahukan kepadaku dan dia belum pernah berdusta kepadaku sama sekali bahwa Allah telah mengirimkan anai-anai (sejenis rayap) kepada lembaran yang kamu tulis. Anai-anai itu telah memakan setiap teks perjanjian yang aniaya dan yang memutuskan hubungan kerabat. Jika perkataan itu benar, sadarlah kamu dan cabut pemikiranmu yang buruk itu. Demi Allah, kami tidak akan menyerahkan hingga orang terakhir dari kami mati. Jika apa yang dikatakannya itu tidak benar, kami serahkan anak kami kepadamu untuk kamu perlakukan sesuka hatimu.” Mereka berkata, “Kami setuju dengan apa yang kamu katakan.” Mereka kemudian membuka naskah dan didapatinya sebagaimana diberitakan oleh orang jujur lagi terpercaya (Nabi Muhammad saw.) Akan tetapi mereka menjawab, “Ini adalah sihir anak saudaramu!” mereka pun kemudian semakin bertambah sesat dan memusuhi Nabi saw.

Setelah peristiwa ini, lima orang tokoh Quraisy keluar membatalkan perjanjian dan mengakhiri pemboikotan. Mereka adalah Hisyam bin Umar ibnul Harits, Zuhair bin Umayyah, Muth’am bin Adi, Abul Bukhturi bin Hisyam, dan Zama’ah ibnul Aswad.

Orang pertama yang bergerak membatalkan perjanjian itu secara terang terangan adalah Zuhair bin Umayyah. Dia datang kepada orang-orang yang berkerumun di samping Ka’bah dan berkata kepada mereka, “Wahai penduduk Makkah, apakah kita bersenang-senang makan dan minum, sedangkan orang-orang bani Hasyim dan bani Muththalib kita biarkan binasa, tidak bisa menjual dan membeli apa-apa? Demi Allah, aku tidak akan tinggal diam sebelum merobek-robek naskah yang dhalim itu.”

Empat orang lainnya kemudian mengucapkan perkataan yang sama. Muth’am bin Adi lalu bangkit menuju naskah perjanjian dan merobek-robeknya. Setelah itu,kelima orang itu bersama sejumlah orang datang kepada bani Hasyim dan Bani Muththalib serta kaum Muslimin lalu memerintahkan agar mereka agar mereka kembali ke tempat masing-masing sebagaimana biasa.

BEBERAPA IBRAH

Pemboikotan yang dhalim ini menggambarkan puncak penderitaan dan penganiayaan yang dialami oleh Rasulullah saw. dan para shahabatnya selama tiga tahun. Dalam pemboikotan ini anda lihat kaum musyrikin dari bani Hasyim dan bani Muththalib ikut serta mengalaminya dan tidak rela membiarkan Rasulullah saw.

Kita tidak dapat berbicara panjang mengenai kaum musyrik tersebut berikut motivasi sikap dan pendirian mereka. sesuatu yang mendorong mereka untuk mengambil sikap tersebut ialah semangat membela (hamiyyah) keluarga dan kerabat, disamping keengganan mereka menerima dan merasakan kehinaan seandainya mereka membiarkan Muhammad saw. dibunuh dan disiksa oleh kaum musyrik Quraisy dari luar bani Hasyim dan bani Muththalib, tanpa mempertimbangkan lagi masalah aqidah dan agama.

Dengan demikian mereka telah memadukan antara dua keinginan yang tertanam di dalam jiwa mereka:
1. Berpegang teguh kepada kemusyrikan dan menolak kebenaran yang disampaikan oleh Muhammad saw. kepada mereka.
2. Kepatuhan pada fanatisme yang menimbulkan dorongan untuk membela kerabat dari penganiayaan “orang luar” tanpa mempedulikan kebenaran atau kebatilan.

Sebagaimana halnya kaum muslimin, terutama Rasulullah saw. mereka bersabar menghadapi penganiayaan tersebut karena mengikuti perintah Allah, mengutamakan kehidupan akhirat ketimbang kehidupan dunia, dan karena rendahnya nilai dunia dalam pandangan mereka dibandingkan ridla Allah. Inilah yang menarik untuk dibahas.

Mungkin anda akan mendengar tuduhan dari musuh-musuh Islam bahwa ‘ashabiyah (fanatisme kesukuan) bani Hasyim dan bani Muththalib memiliki peranan penting dalam bagi dakwah Muhammad saw. semangat inilah yang mengawal, menjaga, dan melindungi dakwah Muhammad saw.. Bukti yang paling nyata adalah sikap mereka terhadap kaum musyrik Quraisy dalam pemboikotan ini.

Tuduhan seperti ini tidak berasas sama sekali. Sangatlah wajar jika fanatisme jahiliyah bani Hasyim dan bani Muththalib mendorong mereka untuk membela kehidupan anak paman mereka yang sedang menghadapi ancaman dari “orang luar”.

Dalam membangkitkan fanatisme kekeluargaan, fanatisme jahiliyah tidak pernah memandang kepada masalah prinsip dan tidak pernah terpengaruh oleh kebenaran dan kebathilan. Permasalahannya hanyalah menyangkut ‘ashabiyah semata-mata.

Karena itu kedua keinginan yang saling bertentangan itu dapat berhimpun dalam diri keluarga Rasulullah saw. yakni menolak dakwah Nabi saw. dan membela dirinya dari ancaman seluruh kaum musyrikin Quraisy.

Sungguhpun demikian, manfaat apakah yang diperoleh Nabi saw. dari sikap “solidaritas” yang ditunjukkan oleh kerabatnya itu? Mereka telah dianinaya sebagaimana Rasulullah saw. dan para shahabatnya. Terhadap pemboikotan yang kejam dan biadab ini, bani Hasyim dan bani Muththalib tidak bisa berbuat apa pun untuk meringankan penderitaan kaum Muslim.

Sesungguhnya, pembelaan kaum kerabat Rasulullah saw. kepadanya itu bukan pembelaan terhadap risalah dakwah yang dibawanya, melainkan pembelaan terhadap diri Rasulullah saw. dari ancaman “orang asing”. Jika kaum Muslimin dapat memanfaatkan pembelaan ini sebagai salah satu sarana jihad melawan kaum kafir dan menghadapi tipu daya mereka, itu merupakan upaya yang perlu disyukuri dan jalan yang perlu diperhatikan.

Seperti halnya Rasulullah saw. dan para shahabatnya, faktor apakah yang membuat mereka mampu menghadapi kesulitan yang menyesakkan dada ini? Apakah yang mereka harapkan di balik ketegaran terhadap pemboikotan yang aniaya ini?

Dengan apakah pertanyaan ini akan dijawab oleh orang-orang yang menuduh risalah Muhammad dan keimanan para shahabatnya kepadanya sebagai revolusi kiri melawan kanan atau revolusi kaum tertindas melawan kaum borjuis?

Coba anda renungkan kembali mata rantai penyiksaan dan penganiayaan yang pernah dialami Rasulullah saw. dan para shahabatnya, kemudian jawablah pertanyaan berikut: Apakah benar, dakwah Islamiyah itu merupakan suatu pemberontakan ekonomi yang didorong oleh rasa lapar dan kedengkian terhadap kaum pedagang dan pemegang kendali perekonomian Makkah?

Sebelumnya kaum musyrikin telah menawarkan kepada Rasulullah saw. kekuasaan, kekayaan dan kepemimpinan dengan syarat beliau bersedia meninggalkan dakwah Islam. Mengapa Rasulullah tidak mau menerima tawaran itu? Mengapa para shahabatnya tidak memprotes dan menekan Rasulullah saw. –jika memang tujuan perjuangan mereka hanyalah sekadar mengisi perut- agar menerima tawaran Quraisy? Adakah sesuatu yang dicari oleh “orang-orang revolusioner kiri” selain dari kekuasaan dan harta kekayaan?

Rasulullah saw. bersama para shahabatnya telah dikucilkan dalam suatu perkampungan yang terputus sama sekali. Segala bentuk kegiatan ekonomi dan sosial dengan mereka dihentikan sampai mereka harus makan dedaunan, namun mereka tetap bersabar menghadapinya. Mereka tetap setia mendampingi Rasulullah saw. Seperti inikah sikap yang akan ditunjukkan oleh orang-orang yang berjuang hanya demi sesuap nasi?

Ketika berhijrah ke Madinah, Rasulullah saw. dan para shahabatnya telah meninggalkan harta kekayaan, tanah dan segala harta benda menuju Madinah Munawwarah. Mereka telah melepaskan segala harta kekayaan yang menjadi buruan orang-orang tamak dan rakus. Mereka tidak mengharapkan imbalan dari keimanan mereka kepada Allah. Dunia dan kekuasaan telah lenyap sama sekali dari pertimbangan mereka. adakah ini menjadi bukti bahwa dakwah Islam merupakan revolusi kiri yang hanya bertujuan mencari sesuap nasi ?

Untuk memperkuat tuduhan ini mungkin mereka akan mengemukakan dua hal berikut:
1. Pertama, jamaah generasi pertama dari para shahabat Muhammad saw. di Makkah mayoritas terdiri atas kaum kafir, budak, dan orang-orang tertindas. Ini menunjukkan bahwa dengan mengikuti Muhammad saw. mereka akan bisa menyuarakan penindasan yang mereka alami di samping mereka dapat berharap akan terjadinya perbaikan taraf ekonomi di bawah naungan agama baru.
2. Kedua, para shahabat tersebut tidak lama kemudian berhasil menaklukkan dunia dan menikmati kekayaannya. Ini merupakan bukti bahwa perjuangan Rasulullah saw. bertujuan mencapai tujuan tersebut.

Jika anda perhatikan kedua dalil yang mereka kemukakan untuk memperkuat tuduhan tersebut, dapat Anda ketahui betapa akal dan pola berfikir mereka telah sedemikiman rupa dikuasai oleh khayal dan hawa nafsu.

Memang, mayoritas shahabat Rasulullah saw. terdiri atas kaum budak dan fakir. Akan tetapi hal ini tidak memiliki kaitan sama sekali dengan khayalan tersebut. Sesungguhnya syariat yang menegakkan timbangan keadilan di antara manusia dan menghancurkan setiap kedhaliman pasti akan diperangi dan ditentang oleh orang-orang dhalim dan para tiran karena syariat ini, bagi mereka, lebih banyak menimbulkan ancaman ketimbang kemaslahatan. Sebaliknya akan diterima dengan mudah oleh setiap orang yang tidak terlibat dalam praktik kedhaliman dan pemerasan karena syariat ini akan lebih banyak memberikan kemaslahatan kepada mereka ketimbang kerugian. Mungkin juga karena mereka, sekurang-kurangnya, tidak memiliki masalah dengan orang lain yang membuat mereka merasa berat untuk menerimanya.

Semua orang yang berada di sekitar Rasulullah saw. meyakini bahwa beliau berada dalam kebenaran dan bahwa beliau seorang Nabi dan Rasul. Akan tetapi para pemimpin dan orang-orang yang haus kekuasaan tidak mau menerima dan berinteraksi dengan kebenaran karena dihalangi oleh tabiat dan suasana mereka sendiri. Sementara itu, orang-orang selain mereka tidak mempunyai hambatan yang menghalangi mereka untuk menerima sesuatu yang diimani dan diyakininya. Dengan demikian, apakah hubungan antara hakikat yang dapat dipahami oleh setiap pengkaji sirah ini dan apa yang mereka tuduhkan?

Mengenai tuduhan bahwa perjuangan dakwah Islam yang dilakukan oleh Rasulullah saw. bertujuan untuk menguasai sumber-sumber pemerintahan, dengan dalih bahwa kaum Muslimin telah berhasil memperoleh semua itu, ini tidak ubahnya seperti orang yang berusaha mempertemukan antara timur dan barat.

Jika kaum Muslimin dalam waktu singkat telah berhasil menaklukkan negeri-negeri Romawi dan Persia setelah mereka secara baik melaksanakan Islam, apakah ini kemudian dapat dijadikan bukti bahwa mereka masuk Islam karena ambisi ingin merebut takhta Romawi dan Persia?

Seandainya kau Muslimin memeluk dan mengikuti Islam karena ingin memperoleh kenikmatan dunia, niscaya mereka tidak akan pernah berhasil sedikitpun memperoleh mukjizat penaklukan tersebut.

Seandainya Umar ibnul Khaththab , ketika mempersiapkan tentara al-Qadisiyah dan melepas keberangkatan komandan pasukan Sa’ad bin Abi Waqqash, bertujuan merebut harta kekayaan Kisra dan menduduki takhta kerajaannya, niscaya Sa’ad bin Abi Waqqash akan kembali kepada Umar dengan membawa kegagalan dan kekecewaan. Akan tetapi, karena mereka benar-benar berjihad semata-mata ingin membela agama Allah, mereka pun berhasil menaklukkannya.

Seandainya mimpi yang menggoda kaum Muslimin pada peperangan al-Qadisiyah adalah keingingan mendapatkan harta kekayaan dan meregukk kenikmatan hidup dunia, niscaya Rib’i bin Amir tidak akan pernah memasuki istana Rustum yang berhamparkan permadani merah seraya menikamkan tombaknya ke atas permadani dan berkata kepada Rustum, “Jika kamu masuk Islam, kami akan tinggalkan kamu, tanahmu dan harta kekayaaanmu.” Beginikah ucapan orang yang datang untuk merebut kekuasaan, tanah dan harta kekayaan?

Allah mengaruniakan segenap kemudahan dunia kepada mereka karena mereka tidak pernah berfikir tentang kemegahan dunia. Pemikiran mereka sepenuhnya hanya tercurah pada upaya mewujudkan ridla Allah.

Seandainya jihad mereka bertujuan memperoleh kemegahan dunia, niscaya mereka tidak akan pernah mendapatkannya walaupun sedikit. Persoalannya tidak lain adalah terlaksananya ketentuan Ilahi yang mengatakan: “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).” (al-Qashash: 5)

Ketentuan Ilahi ini akan mudah dipahami oleh akal siapa pun selama akal tersebut bebas dari segala bentuk perbudakan kepada tujuan atau ambisi apapun (selain ridla Allah).

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nuur (8)

18 Feb

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nuur (Cahaya)
Surah Madaniyyah; surah ke 24:64 ayat

Beliaupun merasa kesusahan seperti biasanya saat beliau menerima wahyu, bahkan keringat beliau bercucuran laksana mutiara padahal saat itu musim dingin, karena beratnya perkataan yang diturunkan kepada beliau. Lalu hilanglah kesusahan itu dari beliau, lalu beliau tersenyum. Kalimat pertama yang beliau ucapkan adalah: ‘Sambutlah kabar gembira hai ‘Aisyah, Allah telah menurunkan pembebasan dirimu.’

Ibuku berkata: ‘Bangkit dan sambutlah Rasulullah saw.’ Aku berkata: ‘Demi Allah aku tidak akan bangkit menyambutnya dan aku tidak akan memuji kecuali Allah swt. semata. Dia lah yang telah menurunkan wahyu yang membebaskan diriku.’ Lalu Allah menurunkan ayat-Nya: innalladziina jaa-uu bil ifki ‘ushbatum minkum (“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golonganmu juga.”) sebanyak sepuluh ayat.

Setelah Allah menurunkan ayat berisi pembebasan diriku, Abu Bakar, yang dahulu memberi nafkah untuk Mitsthah bin Utsatsah karena masih kerabat dan fakir, berkata: ‘Demi Allah, aku tidak akan memberi nafkah lagi kepadanya selama-lamanya setelah ia menuduh ‘Aisyah.’ Lalu Allah menurunkan ayat-Nya :

tulisan arab alquran surat an nuur ayat 22“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabatnya, orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaknya mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampuni dirimu? Dan Allah adalah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (an-Nuur: 22)

Abu Bakar berkata: ‘Demi Allah, aku ingin Allah mengampuni diriku.’ Beliau kembali memberikan nafkah kepada Mitsthah seperti yang dulu pernah diberikannya. Kemudian Abu Bakar berkata: ‘Demi Allah, aku tidak akan mencabut nafkah tersebut selama-lamanya.’

‘Aisyah berkata: “Rasulullah saw. pernah bertanya kepada Zainab binti Jahsy, salah seorang istri nabi, tentang diriku, Rasul berkata: ‘Hai Zainab, apa yang kau ketahui dan dengar tentangnya?’ ia menjawab: ‘Wahai Rasulallah, aku menjaga pendengaran dan penglihatanku. Demi Allah aku tidak mengetahui tentangnya kecuali kebaikan.’
‘Aisyah berkata: “Hanya dialah satu-satunya dari istri Rasulullah saw. yang membela diriku, lalu Allah memelihara dirinya dengan sifat wara’. Namun saudaranya, yakni Hamnah binti Jahsy terus membantah dirinya hingga ia termasuk dalam golongan orang yang celaka.”

Ibnu Syihab berkata: “Ini akhir kisah tentang peristiwa ahlul ifki.” Kisah ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih mereka, dari hadits az-Zuhri.

Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya, dari ‘Aisyah bahwa ia berkata: “Setelah ayat yang berisi tentang pembebasan diriku turun, Rasulullah saw. bangkit dan menyampaikannya serta membacakannya. Ketika turun perintah pelaksanaan hukuman terhadap dua orang laki-laki dan seorang wanita, mereka pun melaksanakan hukuman tersebut.” Riwayat ini dikeluarkan oleh penulis kitab Sunan yang empat. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan.”

Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan nama-nama mereka yang dihukum, yaitu Hasan bin Tsabit, Misthah bin Utsatsah dan Hamnah binti Jahsy, wallaaHu a’lam.

Firman Allah: innalladziina jaa-uu bil ifki (“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong.”) yaitu berita dusta dan fitnah. Firman Allah: ‘ushbatun (“segolongan dari kamu juga”) yaitu dari jama’ah kaum Muslimin. Firman Allah: laa tahsabuuHu syarral lakum (“janganlah kamu kira berita bohong itu buruk bagimu”) hai keluarga Abu Bakar. Firman Allah: bal Huwa khairul lakum (“Bahkan itu adalah baik bagimu”) yakni di dunia dan di akhirat. Lisan kebenaran di dunia dan derajat tinggi di akhirat serta menampakkan kemuliaan bagi mereka dengan perhatian Allah menurunkan ayat pembebasan dirinya dalam al-Qur’anul ‘Adhiim. Oleh karena itu, ketika Abdullah bin ‘Abbas ra datang menemuinya, saat itu ‘Aisyah tengah menghadapi kematian, Ibnu ‘Abbas berkata kepadanya: “Sambutlah kabar gembira, sesungguhnya engkau adalah istri Rasulullah saw. Beliau sangat mencintaimu, beliau tidak menikahi gadis selain dirimu dan telah turun pembebasan dirimu langsung dari langit.”

Firman Allah: likullim ri-im minHum maktasaba minal itsmi (“Tiap-tiap seorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya”) yakni setiap orang yang berbicara tentang masalah ini dan menuduh Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. dengan tuduhan keji, berhak mendapat balasan yang berupa adzab yang besar.

Firman Allah: walladziina tawallaa kibraHuu minHum (“Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu.”) ada yang mengatakan: “Maksudnya adalah, yang memulainya.” Ada yang mengatakan: “Maksudnya adalah, yang mengumpulkan dan menyebarkannya.”

Firman Allah: laHuu ‘adzaabun ‘adhiim (“Baginya adzab yang besar”) atas perbuatan itu. Menurut pendapat mayoritas ulama bahwa orang yang dimaksud adalah ‘Abdullah bin Ubay bin Salul, semoga Allah memburukkan dirinya dan melaknatnya. Dialah yang memulai tuduhan itu. Demikian dikatakan oleh Mujahid dan ulama lainnya. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Hasan bin Tsabit, namun pendapat ini sangat asing. Kalaulah bukan karena adanya indikasi dalam Shahih al-Bukhari atas perkara yang menunjukkan kepada hal ini, namun yang jelas indikasi tersebut tidak banyak membawa faidah, karena Hasan bin Tsabit adalah seorang shahabat Nabi yang memiliki keutamaan dan fadhilah. Dan sebaik-baik keutamaannya adalah pernah membela Rasulullah saw. melalui syair-syairnya. Dialah yang disebut Rasulullah saw.: “Lawanlah mereka, sesungguhnya Malaikat Jibril bersamamu.” (Muttafaq ‘alaiHi)

Bersambung ke bagian 9