Arsip | 11.16

Hadits Arba’in ke 41: Mengikuti Syari’at Allah

21 Feb

Al-Wafi; Imam Nawawi; DR.Musthafa Dieb al-Bugha

Hadits Arbain nomor 41 (Keempat puluh satu)Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak beriman seseorang dari kalian sebelum hawa nafsunya mengikuti ajaran yang kubawa.” (Hadits ini shahih, tertera dalam al-Hujjah)

KANDUNGAN HADITS

1. Seorang Muslim adalah manusia yang sempurna
Karena dalam diri seorang muslim terdapat sisi-sisi yang mitsaly (ideal). Antara ucapan dan perbuatannya tidak bertentangan. Demikian juga antara pemikiran dan perilakunya. Bahkan ia adalah manusia yang serasi, selaras, dan seimbang antara hati, ucapan dan semua anggota tubuhnya. Antara akal, perasaan, dan pikiran. Antara ruhani dan jasmani

Lidah seorang muslim, hanya akan mengucapkan apa yang sesuai dengan keyakinan. Aqidahnya akan terefleksi melalui anggota badannya. Sehingga segala tingkah lakunya berada pada jalur yang benar. Ia tidak dikuasai oleh hawa nafsunya, tidak disesatkan oleh bid’ah, tidak terbuai oleh segala kesenangan semu. Semua sikap dan gerakannya mengacu pada hukum-hukum Allah, yang tidak terdapat kesalahan sedikitpun. Inilah yang ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw. dalam sabdanya, “Tidak sempurna iman seorang di antara kamu, hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.”

2. Hakekat dan macam-macam hawa nafsu
Kadang-kadang, penggunaan kata “al-Hawa” berarti kecenderungan, cinta dan taat pada kebenaran. Seperti yang diucapkan ‘Aisyah ra, “Aku tidak melihat Tuhanmu kecuali segera menuruti (Hawa)mu.” Ini diucapkan setelah turun firman Allah, “Kamu boleh menangguhkan [menggauli] siapa yang kamu kehendaki di antara mereka [istri-istrimu] dan [boleh pula] menggauli siapa yang kamu kehendaki.” [al-Ahzab: 51](HR Bukhari)

Umar ra. berkata, berkaitan dengan tawanan Perang Badar, “Maka Rasulullah saw. mengikuti [hawa] pendapat Abu Bakar ra. dan tidak menuruti pendapatku.”
Penggunaan kata “al-Hawa” juga bisa berarti kecenderungan untuk memenuhi syahwat. Makna inilah yang sering muncull dalam penggunaan kata tersebut. Juga sering disinyalir dalam berbagai nash syar’i dengan mencerca dan memperingatkan kita terhadapnya. Karena hawa nafsu lebih cenderung pada keburukan dan tidak mengindahkan syariat, dengan demikian ia merupakan jalan menuju kesesatan dan kesengsaraan.

Firman Allah yang artinya, “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan.” (Shaad: 26)

3. Hawa nafsu adalah sumber kesesatan
Barangsiapa yang memanjakan hawa nafsunya, maka hawa nafsu akan menyeretnya kepada berbagai perbuatan maksiat dan dosa. Pada dasarnya orang-orang yang menyeleweng, melakukan perbuatan bid’ah, dan ingkar dari manhaj yang jelas dan benar, itu bukan dikarenakan tidak memiliki pemahaman yang jelas dan benar terhadap kebenaran, akan tetapi mereka lebih mengikuti hawa nafsu mereka.

Firman Allah, “Maka jika mereka tidak menjawab [tantanganmu], ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanya mengikuti hawa nafsu mereka [belaka]. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim.” (al-Qashash: 50)

4. Mengikuti hawa nafsu sama halnya dengan menjadikannya sebagai tuhan
Ibadah adalah taat dan patuh. Barangsiapa yang taat kepada hawa nafsunya, berarti ia menjadi hambanya. Hawa nafsu akan terus menyertai manusia hingga ia dapat mengendalikannya. Semua gerak-geriknya dikendalikan oleh hawa nafsu, meskipun bertentangan dengan akal sehat dan pemahamannya.

Orang-orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya, menutup mata dan telinganya dari kebenaran. Sehingga mereka tidak bisa mengetahui jalan yang benar.
Ibnu ‘Abbas ra. berkata, “Hawa nafsu adalah tuhan yang disembah di dunia.” Lalu ia membaca ayat yang artinya, “Tidakkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan.” (al-Furqaan: 43)
Rasulullah saw. bersabda: “Di bawah langit ini, tiada tuhan yang disembah lebih besar bahayanya di sisi Allah, selain hawa nafsu.”

5. Manusia yang dimuliakan dengan “akal” tidak selayaknya mengikuti hawa nafsu
Allah swt. telah memberikan kepada manusia sesuatu yang membuatnya berbeda dari makhluk-makhluk lainnya. Allah swt menjadikannya sebagai makhluk mulia.
Firman Allah: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizky yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (al-Israa’: 70)

Karunia ini berupa akal yang bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan. Sehingga ia bisa mengambil yang baik dan menjauhi yang buruk.
Firman Allah, “Dan jiwa serta penyempurnaannya [ciptaannya]. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu [jalan] kefasikan dan ketakwaan.” (asy-Syams: 7-8)

Manusia pada dasarnya, sangat mungkin menerima kebaikan atau kejahatan. Karena itu, manusia diberi akal agar bisa memilih dan memiliki kemampuan untuk mengendalikan dirinya dari dorongan kejahatan yang senantiasa menariknya. Di samping itu, dengan akal yang dia miliki diharapkan dapat mendorong jiwanya kepada derajat kebaikan dan ketakwaan sehingga dapat menempatkan dirinya pada tingkatan kemuliaan yang layak. Jika hal ini bisa dilakukan manusia, maka perilakunya adalah bukti kekuatan akal yang dimiliki, bahwa ia manusia ideal, dan bahwa ia manusia sempurna.

Namun jika sebaliknya, ia larut dalam hawa nafsu dan tenggelam dalam berbagai kehinaan, maka sifat kemanusiaannya akan hilang, kemuliaan yang diberikan tinggal kenangan, dan indikasi kedunguan dan kelemahannya.
Firman Allah: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 9-10)

Diriwyatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Seorang pejuang adalah orang yang berjuang melawan hawa nafsunya. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang menjadikan dirinya pengikut hawa nafsunya dan mengharapkan dari Allah harapan-harapan kosong.”
Diriwayatkan Beliau juga bersabda: “Sejelek-jelek hamba adalah orang yang disesatkan oleh hawa nafsunya, dan orang yang dikendalikan oleh ketamakannya.”

Memerangi hawa nafsu adalah buah dari ma’rifatullah, mengetahui kebesaran-Nya, dan merasakan segala nikmat-Nya. oleh karena itu seseorang tidak akan berhenti memerangi hawa nafsunya hingga ia betul-betul terbebas dan hanya beribadah secara ikhlas kepada Allah swt, keimanannya semakin sempurna, dan keyakinannya semakin kokoh. Sehingga ia akan mendapat kemenangan dengan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Firman Allah: “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal[nya].” (an-Naazi’aat: 40-41)

6. Mengikuti hawa nafsu adalah kerugian
Mengikuti hawa nafsu, tenggelam dalam kelezatan syahwati, tanpa memperhatikan halal dan haram adalah bentuk penghambaan kepada selain Allah swt. Juga termasuk kedhaliman, tindakan melampaui batas, kebodohan, dan kesesatan. Karena dengan sikap itu, ia lebih mementingkan nikmat daripada Dzat yang memberikan nikmat. Lebih mementingkan barang yang fana daripada yang kekal selamanya. Bahkan apa yang mereka lakukan adalah jalan menuju kehancuran. Firman Allah: “Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal[nya].” (an-Naazi’aat: 37-39)

7. Tingkatan-tingkatan iman
Jika seorang muslim mengucapkan dua kalimat syahadat, dan bertekad untuk komitmen terhadap syariat Allah, maka ia telah beriman, meskipun pada tingkatan yang paling bawah. Ia telah menjadi muslim dan –insya Allah- mendapat keselamatan di hari Kiamat kelak.

Firman Allah: “Barangsiapa yang mengucapkan laa ilaaHa illallaaH, dengan keyakinan di hatinya maka ia masuk surga.” (HR Bukhari)

Jika setelah itu ia benar-benar komitmen terhadap syariat Allah, dalam semua aspek kehidupan, melakukan yang dihalalkan dan menjauhi yang dilarang, bahkan ia juga menghindari segala perkara syubhat dan menjaga kewara’an tanpa merasa berat ataupun terpaksa, berarti keimanannya telah mencapai kesempurnaan dan berada dalam tingkat tertinggi. Namun jika ia belum benar-benar komitmen, maka masih terdapat kekurangan pada keimanannya.

Adapun orang yang menjauhi syariat Allah, dan bahkan menginginkan yang lain, maka sedikitpun dasar keimanan belum tertanam pada dirinya. Dengan demikian, keislamannya pun tidak sah dan masih tergolong orang-orang kafir yang akan kekal di neraka jahanam.

8. Cinta Allah dan Rasul-Nya
Agar seseorang memiliki keimanan dan bisa mencapai kesempurnaan, maka seorang muslim harus mencintai apa-apa yang dicintai Allah, kecintaan yang dapat membawa seseorang untuk melakukan apa yang diperintahkan. Juga membenci apa-apa yang dibenci Allah, kebencian yang dapat membawa seseorang untuk menjauhi segala apa yang dilarang.

Hal ini tidak dapat terealisasi kecuali jika ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, melebihi kecintaannya terhadap segala sesuatu, hingga ia rela mengorbankan apapun demi kepentingan Allah dan Rasul-Nya.
Firman Allah: “Katakanlah: ‘Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya’. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (at-Taubah: 24)

Anas ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kalian hingga aku lebih dicintai daripada dirinya, anaknya, keluarganya, dan semua manusia.” (HR Bukhari dan Muslim)

9. Indikasi kecintaan adalah mengikuti
Kecintaan yang benar mempunyai konsekuensi bagi orang yang mencintai untuk mengikuti orang yang dicintai. Mengikuti semua apa yang disenangi, baik ucapan, perbuatan, maupun keyakinan. Barangsiapa yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan benar, maka Allah akan menjadikannya mencintai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Ini semua terefleksi dalam semua perilakunya. Senantiasa menjalankan perintah dan menjauhi semua larangan. Semua ini adalah bukti dari cintanya yang sejati dan tanda keimanan yang hakiki.

Allah swt. berfirman, “Katakanlah, ‘Jika kamu [benar-benar] mencintai Allah, ikutilah aku niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imraan: 31)

Barangsiapa yang meninggalkan apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, atau melakukan apa yang dibenci oleh Allah swt. Padahal ia mampu melakukan sesuatu yang dicintai, atau meninggalkan sesuatu yang dibenci Allah dan Rasul-Nya. Berarti ada kekurangan pada keimanannya. Karenanya, ia harus melakukan perbaikan. Sebab cinta yang diucapkan perlu bukti yang konkret.

Seorang ulama berkata, “ Seseorang yang mengklaim mencintai Allah sementara perilakunya tidak sesuai dengan syariat Allah, maka ia telah berbohong. Dan setiap orang yang mencintai Allah tapi tidak merasa takut kepada-Nya, maka ia telah tertipu.”
Ulama lain mengatakan, “Tidak benar, orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi ia tidak memperhatikan aturan-aturan-Nya.”
Dalam sebuah syair disebutkan:

Engkau maksiat kepada Allah dan mengaku mencintai-Nya
Sungguh perbuatan tidak terpuji
Jika kecintaanmu tulus, tentulah kamu akan menaati
Karena orang yang mencintai selalu patuh kepada yang dicintai

Sebuah kontradiksi yang amat nyata. Manakala kita melihat orang-orang yang khusyu’ dalam berdzikir, hingga air matanya bercucuran, kepalanya tertunduk, dan mengaku mencintai Allah dan Rasul-Nya. akan tetapi di sisi lain, mereka bergelimang maksiat. Mereka melakukan praktik riba, penipuan, penimbunan barang, ikhtilath [bercampur dengan bukan muhrim tanpa ada alasan yang syar’i], tidak mengindahkan berbagai adab Islami dan lain sebagainya. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada orang-orang yang seperti ini. Amiin.

10. Manisnya Iman.
Iman sangat berarti bagi ruhani seorang mukmin. Ia lebih segar dibanding dengan air dingin di saat orang merasa haus dan dahaga. Ia lebih manis dibanding madu bagi orang yang sudah sekian lama merasakan pahit.

Namun kenikmatan itu tidak bisa dirasakan kecuali oleh orang-orang yang keimanannya mencapai kesempurnaan dan benar-benar mencintai Allah dan Rasul-Nya. Ia tidak mencintai kecuali karena Allah. Tidak membenci kecuali karena Allah. Tidak memberi atau menolak pemberian kecuali karena Allah.

Anas ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tiga hal, jika seseorang melakukannya maka akan merasakan manisnya iman. Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada yang lain, seseorang mencintai saudaranya karena Allah, dan enggan untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana keengganannya untuk dimasukkan ke neraka.” (HR Bukhari dan Muslim)

11. Berhukum dengan hukum Allah
Termasuk konsekuensi dari keimanan adalah berhukum dengan hukum Allah, dan ridla sepenuhnya dengan ketentuan Allah dalam segala hal. Tidak peduli, apakah hukum tersebut berpihak kepadanya atau merugikannya, dan apakah hukum tersebut sesuai dengan hawa nafsunya atau tidak.

Firman Allah, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak [pula] bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan [yang lain] tentang urusan mereka.” (al-Ahzab: 36)

“Maka demi Rabbmu, mereka [pada hakekatnya] tidak beriman sehingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisaa’: 65)

12. Mencintai apa yang dibenci Allah dan Membenci apa yang dicintai Allah adalah kekufuran.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa akar keimanan tidak akan tumbuh kecuali dengan mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci Allah. Sedangkan kesempurnaan iman tidak akan terwujud kecuali dengan melakukan setiap amalan dengan mengacu pada kecintaan yang tidak dimiliki.

Barangsiapa yang tidak memiliki kecintaan seperti ini, maka ia telah kehilangan akar keimmanannya. Sedangkan orang yang mencintai apa yang dibenci Allah, dan membenci yang dicintai Allah, maka ia benar-benar telah kufur dan sesat. Ia adalah orang yang paling merugi di dunia dan di akhirat.

Firman Allah, “Dan orang-orang yang kafir maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menghapus amal-amal mereka. yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (al-Qur’an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.” (Muhammad: 8-9)

“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, setan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena Sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang Yahudi): “Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan”, sedang Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila Malaikat mencabut nyawa mereka seraya memukul-mukul muka mereka dan punggung mereka? Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan karena mereka membenci keridhaan-Nya, sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka.” (Muhammad: 25-28)

13. Contoh yang ideal
Para shahabat Rasulullah saw. adalah contoh ideal dalam mencintai Allah saw. dan Rasul-Nya. kecintaan mereka hanyalah terhadap berbagai masalah yang diridlai Allah. Kebencian mereka adalah terhadap berbagai yang dibenci Allah. Mereka mempersembahkan apa saja demi rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Hawa nafsu mereka mengikuti ketetapan-ketetapan yang dibawa oleh Rasulullah saw.

Untuk kepentingan ini, mereka rela mengorbankan jiwa, raga dan harta. Mereka rela memerangi orang tua atau meninggalkan istri, keluarga, dan tanah kelahiran. Karena mereka tahu persis keutamaan itu semua.

Sebagai contoh, lihatlah Umar bin Khaththab ra. ketika berkata, “Wahai Rasulallah, engkau lebih saya cintai dari apapun kecuali dari diriku sendiri.” Rasulullah saw. bersabda, “Tidak. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, (tidak sempurnya iman kamu) sehingga aku lebih kamu cintai dari dirimu.” Umar ra. terdiam sesaat. Merasakan bahwa Rasulullah saw. memang patut lebih diutamakan dari segalanya. Karena dialah yang telah menyelamatkan dirinya dari siksa neraka. lalu ia berkata, “Sekarang, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Rasulullah saw. bersabda, “Sekarang sudah sempurna imanmu, hai Umar.” (HR Bukhari)

Wajarlah jika mereka ini mendapat pujian dari Allah secara langsung. Bahkan pujian itu diabadikan dalam ayat-Nya,
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (at-Taubah: 100)

14. Setiap muslim diharuskan menyesuaikan setiap perbuatannya dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.

15. Barangsiapa yang mengakui kebenaran syariat Allah dengan hatinya, mengucapkan pengakuan tersebut dengan lisannya, namun perbuatannya tidak sesuai dengan syariat yang diyakininya, maka ia adalah orang fasik.
Barangsiapa yang perbuatannya sesuai dengan syariat, namun dalam keyakinan dan pikirannya ia mengingkari kebenaran syariat Allah, maka ia termasuk munafik.
Barangsiapa yang memperlakukan hukum-hukum Allah, sesukanya, ia termasuk zindiq.

16. Termasuk konsekuensi dari keimanan adalah membela dan mempertahankan syariat Allah sw.

&

Sejarah Munculnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah

21 Feb

Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah; Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Penamaan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sudah ada sejak generasi pertama Islam pada kurun yang dimuliakan Allah, yaitu generasi shahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in.

‘Abdullah bin ‘Abbas ra. berkata ketika menafsirkan firman Allah yang artinya: “Pada hari yang di waktu itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya [kepada mereka dikatakan]: ‘Kenapa kamu kafir setelah kamu beriman? Karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu.’” (Ali ‘Imraan: 106)

“Adapun orang yang putih wajahnya mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adapun orang yang hitam wajahnya mereka adalah Ahlul Bid’ah dan sesat.”

Kemudian istilah Ahlus Sunnah ini diikuti oleh kebanyakan ulama salaf, di antaranya:

1. Ayyub as-Sikhtiyani (wafat 131 H) ia berkata: “Apabila aku dikabarkan tentang meninggalnya seorang dari Ahlus Sunnah seolah-olah hilang salah satu anggota tubuhku.”

2. Sufyan ats-Tsaury (wafat 161 H) berkata: “Aku wasiatkan kalian untuk tetap berpegang kepada Ahlus Sunnah dengan baik, karena mereka adalah al-ghurabaa’. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

3. Fudhail bin ‘Iyadh (wafat 187 H) berkata: “….Berkata Ahlus Sunnah: Iman itu keyakinan, perkataan, dan perbuatan.”

4. Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam (hidup 157-224 H) berkata dalam muqaddimah kitabnya, al-iimaan: “….Maka sesungguhnya apabila engkau bertanya kepadaku tentang iman, perselisihan umat tentang kesempurnaan iman, bertambah dan berkurangnya iman dan engkau menyebutkan seolah-olah engkau berkeinginan sekali untuk mengetahui tentang iman menurut Ahlus Sunnah dari yang demikian…”

5. Imam Ahmad bin Hanbal (hidup 164-241 H), beliau berkata dalam muqaddimah kitabnya, as-Sunnah: “Inilah madzab ahlul ‘ilmi, ash-haabul atsar dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut Sunnah Rasul saw. dan para shahabatnya, dari semenjak zaman para shahabat hingga pada masa sekarang ini…”

6. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari (wafat 310 H) berkata: “…adapun yang benar dari perkataan tentang keyakinan bahwa kaum Mukminin akan melihat Allah pada hari kiamat, maka itu merupakan agama kami yang kami beragama dengannya, dan kami mengetahui bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa penghuni surga akan melihat Allah sesuai dengan berita shahih dari Rasulullah saw.”

7. Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawi (hidup 239-321 H). Beliau berkata dalam muqaddimah kitab ‘aqidahnya yang masyhur (al-‘Aqiidatuth Thahaawiyyah): “…Ini adalah penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”

Dengan penukilan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa lafadz Ahlus Sunnah sudah dikenal di kalangan Salaf (generasi awal ummat ini) dan para ulama sesudahnya. Istilah Ahlus Sunnah merupakan istilah yang mutlak sebagai lawan kata Ahlul Bid’ah. Para ulama Ahlus Sunnah menulis penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah agar umat paham tentang ‘aqidah yang benar dan untuk membedakan antara mereka dengan Ahlul Bid’ah. Sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Barbahari, Imam ath-Thahawi serta yang lainnya.

 

&

Definisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah

21 Feb

Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah; Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah: mereka yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah saw. dan para shahabatnya. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti) sunnah Nabi saw. dan para shahabatnya.

As-Sunnah menurut bahasa (etimologi) adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk.

Sedangkan menurut ulama ‘aqidah (terminologi), As-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah As-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang mengikutinya akan dipuji dan orang yang menyalahinya akan dicela.

Pengertian As-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat 795 H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi saw. dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah as-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan As-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashri (wafat 110 H), Imam al-Auza’i (wafat 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat 187 H).”

Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah-belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-haqq (kebenaran), tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah.

Al-Jama’ah menurut ulama ‘aqidah (terminologi) adalah generasi pertama dari ummat ini, yaitu kalangan shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran.

Imam Abu Syammah asy-Syafi’i (wafat 665 H) berkata: “Perintah untuk berpegang kepada jama’ah maksudnya adalah berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya. Meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyalahinya banyak. Karena kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang dilaksanakan oleh Rasulullah saw. dan para shahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah mereka.”

Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud ra.: “Al jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engaku sendirian.”

Jadi Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi saw. dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama.

Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah saw. dan mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka disebut juga Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba’. Di samping itu, mereka juga dikatakan sebagai ath-Thaa-ifatul Manshuurah (golongan yang mendapatkan pertolongan Allah), al-Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat), Ghurabaa’ (orang asing).

Tentang ath-Thaa-ifatul Manshuurah, Rasulullah saw. bersabda: “Senantiasa ada segolongan dari umatku yang selalu menegakkan perintah Allah, tidak akan mencelakai mereka orang yang tidak menolong mereka dan orang yang menyelisihi mereka sampai datang perintah Allah dan mereka tetap di atas yang demikian itu.” (HR Bukhari [3641] dan Muslim [1037 (174)], dari Mu’awiyah)

Tentang al-Ghurabaa’, Rasulullah saw. bersabda: “Islam awalnya asing, dan kelak akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka beruntunglah bagi al-Ghurabaa’ [orang-orang asing].” (HR Muslim [145] dari Shahabat Abu Hurairah)

Sedangkan makna al-Ghurabaa’ adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash ra. ketika suatu hari Rasulullah saw. menerangkan tentang makna dari al-Ghurabaa’, beliau bersabda: “Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek, orang yang mendurhakai mereka lebih banyak daripada yang mentaati mereka.” (HR Ahmad [II/177, 222] Ibnu Wadhdhah [168]. Hadits ini dishahihkan oleh Syaih Ahmad Syakir dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad [VI/.207 no 6650] lihat juga Bashaa-iru Dzawi Syaraj bi Syaraf Marwiyyati Manhajas Salaf/ hal 125)

Rasulullah saw. juga bersabda mengenai makna al-Ghurabaa’: “Yaitu orang-orang yang senantiasa memperbaiki (ummat) di tengah-tengah rusaknya manusia.” (HR Abu Ja’far ath-Thahawi dalam Syarah Musykilil Aatsaar [II/170 no 689])

Dalam riwayat lain disebutkan: “Yaitu orang-orang yang memperbaiki Sunnahku (Sunnah Rasulullah saw.) sepeninggalanku sesudah dirusak oleh manusia.” (HR At-Tirmidzi [2630] beliau berkata: “Hadits ini hasan shahih.” Dari shahabat ‘Amr bin ‘Auf)

Ahlus Sunnah, ath-Tha-ifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah semuanya disebut juga Ahlul Hadits. Penyebutan Ahlus Sunnah, ath-Thaifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah dengan Ahlul Hadits suatu hal yang masyhur dan dikenal sejak generasi salaf, karena penyebutan itu merupakan tuntutan nash dan sesuai dengan kondisi dan realita yang ada. Hal ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari para Imam seperti: ‘Abdullah Ibnul Mubarak, ‘Ali Ibnul Madini, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Ahmad bin Sinan, dan yang lainnya.

Imam asy-Syafi’i (wafat 204 H) berkata: “Apabila aku melihat seorang ahli hadits, seolah-olah aku melihat seorang dari shahabat Nabi saw, mudah-mudahan Allah memberikan ganjaran yang terbaik kepada mereka. mereka telah menjaga pokok-pokok agama untuk kita dan wajib atas kita berterima kasih atas usaha mereka.” (lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ [x/60])

Imam Ibnu Hazm adz-Zhahiri (wafat 456 H) menjelaskan mengenai Ahlus Sunnah: “Ahlus Sunnah yang kami sebutkan adalah ahlul haqq, sedangkan selain mereka adalah Ahlul Bid’ah. Karena sesungguhnya Ahlus Sunnah itu adalah para shahabat, dan setiap orang yang mengikuti manhaj mereka dari para Tabi’in yang terpilih, kemudian ash-haabul hadits dan yang mengikuti mereka dari ahli fiqih dari setiap generasi sampai pada masa kita ini serta orang-orang awam yang mengikuti mereka, baik di timur maupun di barat.”

&