Kaidah Kedua: “Setiap Sunnah yang Shahih, yang Berasal dari Rasulullah saw. Wajib Diterima, Walaupun Sifatnya Ahad.”

24 Feb

Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah; Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits Mutawatir atau tidak memenuhi sebagian dari syarat-syarat mutawatir. (lihat an-Nkat ‘alaa Nuz-hatin Nadzar Syarah Nukhbatil Fikr [hal 70-71] oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin’Ali al-Atsari)

Para ulama ummat ini pada setiap generasi, baik yang mengatakan bahwa hadits ahad menunjukkan ilmu yakin maupun yang berpendapat bahwa hadits ahad menunjukkan dhann, mereka berijma’ [sepakat] atas wajibnya mengamalkan hadits ahad. Tidak ada yang berselisih di antara mereka, kecuali kelompok kecil yang tidak masuk hitungan, seperti Mu’tazilah dan Rafidhah. (lihat Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah [1/112] oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-‘Aqiil)

Syaikh Muhammad al-Amin bin Muhammad Mukhtar asy-Syinqithi (wafat 1393 H) mengatakan: “Ketahuilah, bahwa penelitian yang tidak boleh menyimpang dari hasilnya bahwa hadits ahad yang shahih harus diamalkan untuk masalah-masalah Ushuluddin, sebagaimana ia diambil dan diamalkan untuk masalah-masalah hukum/furu’. Maka, apa yang datang dari Rasulullah saw. dengan sanad yang shahih mengenai sifat-sifat Allah, wajib diterima dan diyakini dengan keyakinan bahwa sifat-sifat itu sesuai dengan ke-Mahasempurnaan dan ke-Mahaagungan-Nya sebagaimana firman-Nya: “…Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. dan Dia lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syuura: 11)

Dengan demikian, anda menjadi tahu bahwa penerapan para ahli kalam dan pengikutnya bahwa hadits-hadits ahad itu tidak bisa diterima sebagai dalil dalam masalah-masalah aqidah seperti tentang sifat-sifat Allah, karena hadits-hadits ahad itu tidak menunjukkan pada hal yang yakin melainkan kepada dhann (dugaan) sementara aqidah itu harus mengandung keyakinan. Ucapan mereka itu adalah batil dan tertolak. Dan cukuplah sebagai bukti dari kebatilannya bahwa pendapat ini mengharuskan menolak riwayat-riwayat shahih yang datang dari Nabi saw. berdasarkan hukum akal semata.” (Mudzakkirah fii Ushuulil Fiqh [hal 124] cet III/ Maktabatul ‘Ulum wal Hikam, th. 1425 H)

Rasulullah saw. adalah pemakai bahasa Arab terbaik dan terfasih, beliau telah dikaruniai jawaami’ul kalim (kemampuan mengungkap kalimat ringkas dengan makna yang padat, kalimat sarat makna) dan ditugaskan untuk menyampaikannya. Dengan begitu, tidaklah dapat dibayangkan –baik secara syar’i maupun ‘aqli- bahwa beliau saw. akan membiarkan masalah ‘aqidah menjadi samar dan penuh syubhat, sebab ‘aqidah merupakan bagian terpenting dari seluruh rangkaian ajaran agama. Sehingga bila beliau menjelaskan masalah furu secara detail, mustahil beliau saw. tidak melakukan hal yang sama pada masalah ushul (pokok).

Rasulullah saw. sudah menjelaskan masalah ushul (‘aqidah) dengan detail (rinci) dengan sejelas-jelasnya. Karena itu seorang Muslim wajib menerima apa yang datang dari Rasulullah saw. meskipun derajat haditsnya adalah ahad, tidak mencapai mutawatir. Imam Ahmad berkata: “Barangsiapa yang menolak hadits Nabi saw. maka ia berada di tepi jurang kebinasaan.” (al-Ibaanah libni Baththah [I/260 no. 97].

&

Satu Tanggapan ke “Kaidah Kedua: “Setiap Sunnah yang Shahih, yang Berasal dari Rasulullah saw. Wajib Diterima, Walaupun Sifatnya Ahad.””

  1. Abdi Rahman 5 Juli 2020 pada 19.04 #

    Isi artikelnya sangat bagus tapi kenapa tulisan Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selalu disingkat dengan SAW, padahal setahu ana beliau (Ust.Jawas bin Abdul Qodir) dlm tulisan2nya tidak pernah menyingkatnya.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: