Kaidah Keenam: “Dalil ‘aqli (akal) yang Benar akan Sesuai dengan Dalil Naqli (Nash yang Shahih)

24 Feb

Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah; Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Kata ‘aql dalam bahasa Arab (etimologi) mempunyai beberapa arti, di antaranya: ad-Diyah [benda], al-Hikmah [kebijaksanaan], husnut tasharruf [tindakan yang baik atau tepat]. Secara istilah (terminologi): ‘Aql [selanjutnya dituli akal] digunakan untuk dua pengertian:
1. Aksioma-aksioma rasional dan pengetahuan-pengetahuan dasar yang ada pada setiap manusia.
2. Kesiapan bawaan yang bersifat instinktif dan kemampuan yang matang.

Akal merupakan ‘ardh atau bagian dari indera yang ada dalam diri manusia yang bisa ada dan bisa hilang. Sifat ini dijelaskan oleh Rasulullah saw. dalam salah satu sabdanya: “…dan orang gila sampai ia kembali berakal.” (HR Abu Dawud [no.4403]. lihat shahih Sunan Abi Dawud [III/832, no. 3703] dan Irwaa-ul Ghaliil [II/5-6])

Akal adalah daya fikir yang diciptakan Allah [untuk manusia] kemudian diberi muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktifitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan oleh Allah.

Firman Allah: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan…” (al-Israa’: 70)

Syari’at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi terhadap akal manusia. Hal itu dapat dilihat pada beberapa point berikut:

1. Pertama, Allah hanya menyampaikan kalam-Nya kepada orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syariat-Nya.

Firman Allah: “…Dan merupakan peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (Shaad: 43)

2. Kedua, akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif [beban hukum] dari Allah swt. Hukum-hukum syariat tidak berlaku bagi mereka yang tidak menerima taklif. Di antara yang tidak menerima taklif itu adalah orang gila karena kehilangan akalnya.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Pena [catatan pahala dan dosa] diangkat [dibebaskan] dari tiga golongan: orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia bermimpi [baligh], dan dari orang gila sampai ia kembali berakal [sadar].”

3. Ketiga, Allah mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan Allah terhadap ahli Neraka yang tidak menggunakan akalnya:
“Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan [peringatan itu] niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (al-Mulk: 10)

4. Keempat, penyebutan begitu banyak proses dan anjuran berfikir dalam al-Qur’an, seperti tadabbur, tafakkur, ta-aqqul dan lainnya.

5. Kelima, Islam mencela taqlid yang membatasi dan melumpuhkan fungsi dan kerja akal. Firman Allah: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (al-Baqarah: 170)

Perbedaan antara taqlid dan ittiba’ adalah sebagaimana telah dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal: “Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa-apa yang datang dari Rasulullahsaw.”

Ibnu ‘Abdil Barr (wafat 463) dalam kitabnya, Jaami’u Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, menerangkan perbedaan antara ittiba’ (mengikut) dan taklid, yaitu terletak pada dalil-dalil qath’i yang jelas. Bahwa ittiba’ yaitu penerimaan riwayat berdasarkan diterimanya hujjah, sedangkan taqlid adalah penerimaan yang berdasarkan pemikiran logika semata.

Berkata Ibnu Khuwaiz Mindad al-Maliki (namanya: Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdillah, wafat th. 390 H): “Makna taqlid secara syar’i adalah merujuk kepada perkataannya yang tidak ada hujjah (dalil) dari orang yang mengatakannya. Dan makna ittiba’ yaitu mengikuti apa-apa yang berdasarkan atas hujjah (dalil) yang tetap. Ittiba’ diperkenankan dalam agama, namun taqlid dilarang.”

Jadi definisi taqlid adalah: menerima pendapat orang lain tanpa dilandasi dalil.

6. Keenam, Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam memahami dan mengikuti kebenaran.

Firman Allah: “….sebab itu sampaikanlah berita (gembira) itu kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (az-Zumar: 17-18)

7. Ketujuh, pembatasan wilayah kerja akal dan fikiran manusia, sebagaimana firman Allah: “Mereka bertanya kepamu tentang ruh. Katakanlah: ‘Ruh itu adalah urusan Rabbku. Dan tidaklah kalian diberi ilmu melainkan sedikit.’” (al-Israa’: 85)

“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” (ThaaHaa: 110)

Ulama salaf (ahlus sunnah) senantiasa mendahulukan naql (wahyu) atas ‘aql (akal). Naql adalah dalil-dalil syar’i yang tertuang dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Sedangkan yang dimaksud dengan akal menurut Mu’tazilah adalah, dalil-dalil ‘aql yang dibuat oleh para ulama ilmu kalam dan mereka jadikan sebagai agama yang menundukkan (mengalahkan) dalil-dalil syar’i.

Mendahulukan dalil naql atas akal bukan berarti Ahlus Sunnah tidak menggunakan akal. Tetapi maksudnya adalah dalam menetapkan ‘aqidah mereka tidak menempuh cara seperti yang ditempuh para ahli kalam yang menggunakan akal semata untuk memahami masalah-masalah yang sebenarnya tidak dapat dijangkau oleh akal dan menolak dalil naqli (dalil syar’i) yang bertentangan dengan akal mereka atau rasio mereka.

Imam Abul Mudzaffar as-Sam’ani (wafat 498 H) berkata: “Ketahuilah, bahwa madzab Ahlus Sunnah mengatakan bahwa akal tidak mewajibkan sesuatu bagi seseorang dan tidak melarang sesuatu darinya, serta tidak ada hak baginya untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, sebagaimana juga tidak ada wewenang baginya untuk menilai ini baik atau buruk. Seandainya tidak datang kepada kita wahyu, maka tidak ada bagi seseorang suatu kewajiban agama pun dan tidak ada pula yang namanya pahala dan dosa.”

Secara ringkas pandangan Ahlus Sunnah tentang penggunaan akal, di antaranya sebagai berikut:
1. Syariat didahulukan atas akal, karena syariat itu ma’sum sedang akal tidak ma’shum.
2. Akal mempunyai kemampuan mengenal dan memahami yang bersifat global, tidak bersifat detail.
3. Apa yang benar dari hukum-hukum akal pasti tidak bertentangan dengan syariat
4. Apa yang salah dari pemikiran akal adalah apa yang bertentangan dengan syariat
5. Penentuan hukum-hukum tafshiliyah (terinci seperti wajib, haram dan seterusnya) adalah hak prerogatif syariat
6. Akal tidak dapat menentukan hukum tertentu atas sesuatu sebelum datangnya wahyu, walaupun secara umum ia dapat mengenal dan memahami yang baik dan buruk
7. Batasan atas pahala dan dosa ditentukan oleh syariat.
Firman Allah: “…Dan Kami tidak akan mengadzab hingga Kami mengutus seorang Rasul.” (al-Israa’: 15)
8. Janji surga dan ancaman neraka sepenuhnya ditentukan oleh syariat
9. Tidak ada kewajiban tertentu terhadap Allah yang ditentukan oleh akal kita kepada-Nya. karena Allah berfirman tentang diri-Nya: “Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (al-Buruuj: 16)

Dari sini dapat dikatakan bahwa keyakinan Ahlus Sunnah adalah benar dalam masalah penggunaan akal sebagai dalil. Jadi akal dapat dijadikan dalil jika sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dan tidak bertentangan dengan keduanya. Jika bertentangan dengan keduanya, maka ia dianggap bertentangan dengan sumber dan dasarnya. Keruntuhan pondasi berarti juga keruntuhan bangunan yang ada di atasnya. Sehingga akal tidak lagi menjadi hujjah (argumen, alasan) namun berubah menjadi dalil yang bathil.”

&

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: