Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Qashshash (Cerita-Cerita)
Surah Makkiyyah; surah ke 28: 88 ayat
“25. kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: “Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan Balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami”. Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu’aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu’aib berkata: “Janganlah kamu takut. kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu”. 26. salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. 27. berkatalah Dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik”. 28. Dia (Musa) berkata: “Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, Maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan”. (al-Qashshash: 25-28)
Ketika kedua wanita itu kembali lebih cepat dengan membawa kambing-kambing ke rumah ayahnya, sang ayah pun tidak percaya dengan kedatangan keduanya yang begitu cepat. Dia menyanyakan tentang kondisi kedua putrinya itu. Lalu keduanya menceritakan peristiwa tentang yang dilakukan oleh Musa. Maka sang ayah mengutus salah satu dari kedua puterinya itu untuk mengajak Musa menemui dirinya. Firman Allah: fajaa-atHu ihdaaHumaa tamsyii ‘alas tihyaa-i (“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari wanita itu berjalan dengan malu-malu.” Yaitu jalannya wanita-wanita yang terhormat [bukan budak].”)
Sebagaimana diriwayatkan dari Amirul Mukminin, ‘Umar ra, berkata: “Dia datang dengan menutupkan dengan pakaiannya ke wajahnya.”
Ibnu Abi Hatim berkata bahwa ‘Amir bin Maimun berkata, ‘Umar ra. berkata: “Dia datang berjalan dengan malu-malu dengan menutupkan pakaian ke wajahnya, bukan wanita yang amat berani dan sering keluar rumah.” Isnadnya shahih.
Al-Jauhari berkata: “Kata [assalfa’u] pada laki-laki adalah pemberani, dan pada wanita adalah aktif dan gesit, sedangkan pada unta adalah tangkas.”
Qaalat inna abii yad’uuka liyajziyaka ajra maa saqaita lanaa (“Ia berkata: ‘Sesungguhnya ayahku memanggilmu, agar ia memberi balasan terhadap kebaikanmu memberi minum ternak kami.’”) ini merupakan sikap beradab dalam bertutur kata, dimana ia tidak memintanya secara mutlak, agar tidak menimbulkan perasaan curiga, bahkan ia berkata: “Sesungguhnya ayahku memanggilmu untuk memberikan balasan bagi kebaikanmu memberi minum ternak kami.” Yaitu “agar ia memberikan balasan dan memberimu upah atas pertolonganmu memberikan minum ternak kami.”
Falammaa jaa-aHu wa qash-sha ‘alaiHil qashasha (“Maka tatkala Musa mendatangi ayahnya dan menceritakan kepadanya cerita tentang dirinya.”) yaitu dia menceritakan kepadanya perkara yang terjadi terhadap dirinya yang menyebabkan ia keluar dari negerinya.
Qaala laa takhaf najauta minal qaumidh dhaalimiin (“Ayahnya berkata: ‘Jangan kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang dhalim itu.’”) ia berkata: “Tenteramlah jiwamu dan luruskanlah pandanganmu, karena engkau telah keluar dari kerajaan mereka. mereka tidak memiliki kekuasaan di negeri kami.” Untuk itu dia berkata: takhaf najauta minal qaumidh dhaalimiin (“Kamu telah selamat dari orang-orang yang dhalim itu.”)
Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang siapa ayah wanita ini. Ada beberapa pendapat, salah satunya berpendapat bahwa ayahnya itu adalah Syu’aib as. salah seorang Nabi yang diutus kepada penduduk Madyan. Inilah pendapat yang masyur di kalangan banyak ulama. Juga dikatakan oleh al-Hasan al-Bashri dan selainnya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, telah bercerita kepada kami ‘Abdul ‘Aziz al-Azdi, dari Malik bin Anas, telah sampai kabar kepadanya, bahwa Syu’aib as. lah yang diceritakan oleh Musa tentang dirinya. Dia berkata: “laa takhaf najauta minal qaumidh dhaalimiin (“Jangan kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang dhalim itu.”)
Ath Thabrani meriwayatkan dari Salamah bin Sa’ad al-Ghazi, bahwa seorang utusan datang kepada Rasulullah saw. dan berkata kepadanya: “Selamat datang kaum Syu’aib dan dua saudari Musa, semoga engkau diberi hidayah.”
Ulama lain berkata: “Dia adalah anak laki-laki saudara Syu’aib.” Pendapat lain mengatakan: “Dia adalah seorang laki-laki Mukmin dari kaum Syu’aib.”
Firman Allah: qaalat ihdaaHumaa yaa abatis ta’jirHu inna khaira manis ta’jartal qawiyyul amiin (“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Ya bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja [pada kita], karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja [pada kita] ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’”) yaitu berkata salah seorang putri laki-laki ini. Satu pendapat mengatakan, wanita itu adalah yang pergi di belakang Musa as. ia berkata kepada ayahnya: yaa abatis ta’jirHu (“Hai ayahku, ambillah ia sebagai pekerja.”) yaitu sebagai penggembala kambingnya.
‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Syuraih al-Qadhi, Abu Malik, Qatadah, Muhammad bin Ishaq dan selainnya berkata: Ketika wanita itu berkata: inna khaira manis ta’jartal qawiyyul amiin (“sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja [pada kita] ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’”) maka ayahnya berkata kepadanya: “Apa yang kamu ketahui tentang itu?” wanita itu berkata: “Dia telah mengangkat sebuah batu besar yang tidak mampu diangkat kecuali oleh 10 orang laki-laki. Dan saat aku datang bersamanya, aku berjalan di depannya, lalu ia berkata kepadaku: ‘Berjalanlah di belakangku.’ Jika ia berbeda jalan denganku, ia memberikan sebuah tanda batu kerikil agar aku mengetahui kemana ia berjalan.”
Sufyan ats-Tsauri berkata dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “Manusia paling cerdik ada 3 orang; Abu Bakar yang memberikan kecerdikannya kepada ‘Umar, teman Yusuf ketika ia berkata: ‘Berikanlah kepadanya tempat yang baik,’ dan teman wanita Musa berkata: “yaa abatis ta’jirHu inna khaira manis ta’jartal qawiyyul amiin (“Ya bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja [pada kita], karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja [pada kita] ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”) ayahnya berkata: innii uriidu an unkihaka ihdabnatayya Haataini (“Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua anakku ini.”) Laki-laki ini memintanya untuk menggembalakan kambingnya dan menikahkannya dengan salah seorang putrinya.
Syu’aib al-Jubba-i berkata: “Keduanya cantik dan molek.”
Para murid Abu Hanifah mengambil dalil ayat ini tentang sahnya jual beli, dimana salah seorang berkata: “Aku jual kepadamu salah seorang budak ini dengan harga 100.” Lalu yang lain berkata, “Aku beli.” Maka sah. wallaaHu a’lam.
Firman-Nya: ‘alaa an ta’juranii tsamaaniya hijajin fa in atsmamta ‘asyran fa min ‘indika (“Atas dasar bahwa engkau bekerja denganku delapan tahun dan jika engkau cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah darimu.”) kewajibanmu hanya menggembalakan kambingku selama delapan tahun. Jika engkau mendermakan dengan melebihkannya dua tahun maka itu adalah darimu sendiri. Kalau tidak, cukup delapan tahun saja.
Wamaa uriidu an asyuqqa ‘alaika satajidunii insyaa allaaHu minash shaalihiin (“Maka aku tidak hendak memberatkanmu. Dan engkau insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.”) yaitu aku tidak akan memberatkanmu, tidak menyakitimu dan tidak menguasaimu.
Firman Allah mengabarkan tentang Musa: qaala dzaalika bainii wa bainika ayyamal ajalaini qadlaitu falaa ‘udwaana ‘alayya wallaaHu ‘alaa maa naquulu wakiil (“Dia [Musa] berkata: ‘Inilah [perjanjian] antara aku dan dirimu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku [lagi]. Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan.’”) ia berkata, Sesungguhnya Musa berkata kepada mertuanya: “Perkaranya sesuai dengan yang engkau katakan, dimana engkau menjadikan aku sebagai pegawai selama delapan tahun. Jika aku sempurnakan menjadi sepuluh tahun, maka itu berarti dariku. Mana saja yang paling minimal aku lakukan, maka aku telah bebas dari tanggungan dan telah keluar dari syarat yang ada.
Untuk itu ia berkata: ayyumal ajalaini qadlaitu falaa ‘udwaana ‘alayya (“Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku [lagi].”) maka tidak mengapa bagiku, sekalipun sempurna itu lebih baik sekalipun mubah, karena ia merupakan kelebihan dari satu sisi dengan dalil yang lain, sebagaimana Allah berfirman: faman ta’ajjala fii yaumaini falaa itsma ‘alaiHi wa man ta-akhkhara falaa itsma ‘alaiHi (“Barangsiapa yang ingin cepat berangkat [dari Mina] sesudah dua hari, maka tak ada dosa baginya. Dan barangsiapa yang menangguhkan [keberangkatannya dari dua hari itu], maka tidak ada dosa pula baginya.”)(al-Baqarah: 203)
Sesungguhnya dalil menunjukkan bahwa Musa as. melakukan dua waktu yang paling sempurna dan lengkap.
Al-Bukhari berkata, bahwa Sa’id bin Jubair berkata: “Seorang Yahudi dari penduduk Hirah bertanya kepadaku, waktu yang mana yang ditunaikan Musa dari waktu yang ditetapkan. Aku berkata, “Aku tidak tahu hingga aku bertanya kepada ahli bahasa Arab, aku bertanya kepadanya, lalu aku ajukan kepada Ibnu ‘Abbas. Maka aku menanyakannya dan beliau berkata: ‘Katakanlah, bahwa dia menunaikan waktu yang paling lama dan paling baik. Karena seorang Rasul Allah jika berkata, ia pasti lakukan.’
Diriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Abbas secara marfu’, ia berkata, Ibnu Jarir berkata dari Ibnu ‘Abbas, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku bertanya kepada Jibril, waktu yang mana yang ditunaikan Musa as ? Jibril menjawab: ‘Yang paling lengkap dan paling sempurna [di antara keduanya].’” HR Ibnu Abi Hatim dan al-Bazzar meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi saw.
Kemudian Ibnu Abi Hatim berkata dari Yusuf bin Tirah, bahwa Rasulullah saw. ditanya, “Dua masa mana yang dilakukan Musa?” beliau menjawab, “Aku tidak mengetahui.” Lalu Rasulullah saw. bertanya kepada Jibril dan Jibril menjawab, “Aku tidak mengetahui.” Lalu Jibril bertanya kepada Malaikat yang berada di atasnya dan mereka menjawab, “Aku tidak mengetahui.” Maka malaikat itu bertanya kepada Rabb tentang apa yang dipertanyakan Jibril dari pertanyaan Muhammad saw. Maka Allah menjawab, “Dia menunaikan yang paling bagus dan paling baik.” Hadits ini mursal serta ada dalam jalan lain secara mursal. Ini merupakan jalan-jalan yang saling mendukung. Kemudiah hal ini diriwayatkan dari Abu Dzarr ra, al-Hafizh Abu Bakar al-Bazzar berkata dari Abu Dzarr ra. bahwa Nabi saw. ditanya, manakah dua waktu yang ditunaikan Musa? Beliau menjawab: “Yang paling lengkap dan paling baik. Ia berkata: dan jika engkau ditanya tentang dua wanita mana yang dinikahinya? Maka katakanlah: yang paling muda.”
Kemudian al-Bazzar berkata: “Kami tidak mengetahui yang diriwayatkan dari Abu Dzarr kecuali dengan isnad ini.”
Bersambung ke bagian 9
Tag:agama, al qashash, Al-qur'an, ayat 25-28, hadits, islam, religion, riwayat, surah, surat, tafsir, tafsir al-Qur'an, tafsir alquran, tafsir ibnu katsir