Arsip | Oktober, 2014

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 3 (2)

16 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Maa-idah (Hidangan)
Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat

tulisan arab alquran surat al maidah ayat 3“3. diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Maa-idah: 3)

Allah mengabarkan kepada hamba-hamba-Nya suatu berita yang mengandung larangan memakan semua yang diharamkan, yang terdiri dari bangkai binatang, yaitu binatang yang mati bukan karena disembelih dan bukan karena diburu. Yang demikian itu karena di dalamnya mengandung bahaya, yaitu adanya darah beku, yang sangat berbahaya bagi agama maupun bagi tubuh manusia. Oleh karena itu Allah mengharamkannya.

Jenis-jenis bangkai tersebut ada yang dikecualikan, yaitu ikan. Ikan tetap halal, baik yang mati karena proses penyembelihan maupun karena sebab lainnya. Hal itu didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitabnya, al-Muwaththa’, juga diriwayatkan oleh Imam asy-Syafi’i dan Ahmad dalam musnadnya; Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah dalam sunannya, bahwa Rasulullah saw. ditanya tentang air laut, maka beliau menjawab: “Air laut itu suci, dan bangkainya pun halal.”
Dan demikian halnya dengan belalang, yang akan dijelaskan dalam uraian selanjutnya.

Firman Allah: wad damu; (“dan darah”) yang dimaksud adalah darah yang mengalir, sebagaimana firman-Nya: au dammam masfuuhan (“atau darah yang mengalir”) (al-An’am: 145). Demikian yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas.

Begitu indah yang diungkapkan al-A’sya dalam bait syair yang disebutkan oleh Ibnu Ishaq:
Hindarilah olehmu semua bangkai, janganlah engkau mendekatinya.
Dan janganlah engkau mengambil tulang yang tajam, lalu engkau mengalirkan darah [menyembelih].

Maksudnya janganlah engkau mengerjakan perbuatan orang-orang jahiliyah. Jika salah seorang dari mereka lapar, maka ia akan mengambil tulang yang tajam atau semisalnya, kemudian dipergunakan untuk mengeluarkan darah untanya atau binatang apa saja, lalu ia mengumpulkan darahnya dan meminumnya. Oleh karena itu Allah mengharamkan darah bagi umat ini.

Firman-Nya: wa lahmul khinziiri (“dan daging babi”) baik yang jinak maupun yang liar. Yang jelas, kata daging itu mencakup semua bagian, sebagaimana yang difahami menurut bahasa Arab dan menurut kebiasaan yang ada. Dan dalam shahih Muslim disebutkan sebuah hadits dari Buraidah bin al-Khushaib al-Aslami, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang bermain dengan dadu, maka seolah-olah ia telah mencelupkan tangannya ke daging dan darah babi.”

Jika larangan itu hanya pada sentuhan terhadap daging, lalu bagaimana dengan ancaman keras atas tindakan memakannya. Dalam hadits tersebut terdapat dalil yang menunjukkan keumuman kata daging, yang mencakup untuk seluruh orang tubuh, termasuk lemak dan lainnya.

Dalam ash-Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim) disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah mengharamkan jual-beli khamr, bangkai, daging babi, dan patung.” Ditanyakan, “Ya Rasulallah, bagaimana menurutmu tentang lemak bangkai, sesungguhnya ia dipergunakan untuk mengecat kapal, meminyaki kulit, dan dipakai oleh manusia sebagai lampu penerang?” Maka beliau menjawab, “Tidak, hal itu adalah haram [menjualbelikannya haram].”

Firman-Nya: wa maa uHilla lighairillaaHi biHi (“Yang disembelih atas nama selain Allah”) yakni hewan yang disembelih atas nama selain Allah, maka dagingnya itu haram dimakan karena Allah ta’ala mewajibkan agar menyembelih binatang dengan menyebut Nama-Nya. bila menyimpang dari ketentuan ini, atau dengan nama seluruh makhluk lainnya, maka menurut ijma’ semuanya itu haram. Tetapi yang masih menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah berkenaan dengan tidak disebutkannya nama Allah ketika menyembelih, baik secara sengaja maupun tidak disengaja, sebagaimana hal itu akan diuraikan dalam pembahasan surah al-An’am.

Firman-Nya: wal munkhaniqatu (“yang tercekik”) yaitu binatang yang mati karena tercekik, baik secara disengaja maupun kecelakaan. Ia tercekik oleh tali pengikatnya sehingga mati, maka binatang itu haram hukumnya. Adapun almauquudzatu (“yang mati terpukul”) yaitu dipukul dengan sesuatu yang berat secara umum hingga mati. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu ‘Abbas dan beberapa ulama, “Yaitu, yang dipukul sekeras-kerasnya dengan balok kayu, lalu menghimpitnya hingga mati.” Qatadah mengatakan, “Dulu orang-orang jahiliyah memukul binatang dengan tongkat sampai binatang itu mati, maka mereka pun memakannya.”

Dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa ‘Adi bin Hatim berkata, Aku bertanya, “Ya Rasulallah, sesungguhnya aku pernah melemparkan tombak ke arah binatang dan mengenainya.” Maka beliau bersabda, “Jika kamu melemparnya dengan anak panah, lalu menusuknya, maka makanlah. Tetapi jika yang mengenai adalah batangnya, maka sesungguhnya binatang itu mati terpukul, janganlah engkau memakannya.”

Dengan demikian beliau membedakan antara yang terkena bagian tajam dari panah atau lembing, beliau menghalalkan binatang tersebut, tetapi beliau tidak menghalalkan binatang yang terkena batang panah yang mengakibatkan binatang itu mati terpukul. Itulah yang menjadi kesepakatan ulama fiqih. Namun mereka masih berada dalam perbedaan pendapat mengenai permasalahan “apakah senjata yang tajam mengenai buruannya, lalu membunuhnya karena hantamannya yang berat, tanpa melukainya.” Maka mengenai masalah ini terdapat dua pendapat yang keduanya merupakan pendapat asy-Syafi’i.

Pertama, binatang itu tidak halal seperti halnya terbunuh oleh batang panah. Kesamaannya adalah masing-masing terbunuh tanpa adanya luka, maka termasuk mati secara terpukul.
Kedua, binatang tersebut halal dimakan karen dihukumi dengan kebolehan memakan binatang yang diburu dengan menggunakan anjing dan tidak tercabik. Ketentuan ini menunjukkan kepada kebolehan hal yang telah disebutkan. Karena ia termasuk dalam hukum yang kedua.

Sedangkan “wal mutaraddiyatu” (yang terjatuh) ialah binatang yang terjatuh dari tempat yang tinggi sehingga menyebabkan kematiannya. Maka, binatang itu tidak halal dimakan. As-Suddi mengemukakan: “Yaitu binatang yang jatuh dari atas gunung atau terjatuh ke dalam sumur.”

Adapun: wan nathihatu (“yang ditanduk”) ialah binatang yang mati akibat ditanduk oleh binatang lainnya, maka ia haram dimakan, meskipun tandukknya itu sempat melukai dan menyebabkan keluarnya darah dari lehernya. Dan kata: an nathihatu bermakna al manthuuhatu (“Yang ditanduk”).

Firman-Nya: wa maa akalas sabu’u (“Dan yang diterkam binatang buas”) yaitu yang diserang oleh singa, harimau, macan, srigala, atau anjing, lalu binatang itu sempat memakan sebagian dari tubuh binatang tersebut hingga mati, maka binatang tersebut hukumnya haram, meskipun binatang mengalir dari tubuhnya, bahkan dari lehernya sekalipun. Maka, menurut kesepakatan ijma’ binatang itu tidak halal dimakan. Dahulu orang-orang jahiliyah suka memakan sisa-sisa kambing, unta, sapi atau binatang lainnya yang ditinggalkan binatang buas, maka Allah mengharamkan hal itu bagi orang-orang yang beriman.

Illaa maa dzakkaitum (“Kecuali yang sempat kamu sembelih.”) penggalan ayat ini bisa kembali pada binatang mana saja yang telah disebutkan di atas, yang masih dalam keadaan hidup sehingga ada kesempatan menyembelihnya, dan sesungguhnya penggalan ayat ini kembali kepada firman-Nya: wal munkhaniqatu wal mauquudzatu wal mutaraddiyatu wan nathiihatu wa maa akalas sabu’u (“Yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas.”)

Mengenai firman-Nya: illaa maa dzakkaitum (“Kecuali yang sempat kamu sembelih”) ‘Ali bin Abi Thalhah mengatakan, dari Ibnu ‘Abbas: “Kecuali binatang yang sempat engkau sembelih, sedang ia masih dalam keadaan hidup. Maka, makanlah karena ia termasuk binatang yang disembelih.” Hal yang demikian itu juga diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, Hasan al-Bashri, dan as-Suddi.

Berkenaan dengan ayat tersebut, Ibnu Abi Hatim menyatakan, dari ‘Ali, “Jika binatang itu masih menggerak-gerakkan ekornya atau mengais-ngaiskan kakinya, atau mengedipkan matanya, maka makanlah.”

Ibnu Jarir mengatakan, dari ‘Ali, “Jika engkau masih sempat menyembelih binatang yang hampir mati, atau binatang yang terjatuh, atau yang tertanduk binatang lain, sedang ia masih sempat menggerakkan tangan atau kaki, maka makanlah.”

Hal yang sama juga diriwayatkan dari Thawus, al-Hasan, Qatadah, ‘Ubaid bin ‘Umair, adh-Dhahhak, dan beberapa ulama lainnya: “Binatang yang disembelih jika masih melakukan suatu gerakan yang menunjukkan masih adanya kehidupan padanya saat penyembelihan, maka binatang itu halal.” Demikian itulah yang menjadi pendapat jumhur fuqaha. Pendapat ini juga dikemukakan Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal.

Ibnu Wahab berkata: “Malik pernah ditanya tentang kambing yang perutnya diterkam oleh binatang buas sehingga menyebabkan isi perutnya terburai keluar. Maka Malik berkata: “Aku tidak berpendapat bahwa binatang itu boleh disembelih, [lagipula] apa yang bisa disembelih darinya?” Ditanyakan lagi kepadanya: “Bagaimana srigala yang menerkam kambing dan tidak merobek perutnya?” Malik menjawab: “Jika perutnya sobek, aku berpendapat tidak boleh memakannya.”

Hal ini merupakan madzhab Imam Malik. Dan lahiriyah ayat bersifat umum mencakup apa yang dikecualikan oleh Imam Malik, berupa gambaran-gambaran tentang keadaan binatang yang tidak akan hidup setelahnya sehingga membutuhkan dalil khusus terhadap ayat tersebut. wallaaHu a’lam.

Dalam ash-Shahihain disebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij, ia berkata: Aku bertanya: “Ya Rasulallah, sesungguhnya besok kami akan bertemu musuh, sedang kami tidak mempunyai pisau besar, apakah kami boleh menyembelih dengan semacam bambu?” maka beliau pun menjawab: “Segala sesuatu yang dapat mengalirkan darah dan sudah disebut nama Allah, maka makanlah binatang tersebut, asalkan bukan dengan menggunakan gigi dan kuku. Aku beritahukan kepada kalian mengenai hal itu, gigi pada hakekatnya adalah tulang, sedangkan kuku merupakan pisau-pisau orang Habasyah [Ethiopia].”

Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan beberapa penyusun kitab as-Sunan, dari riwayat Hamad bin Salamah, dari Abul ‘Asyra’ ad-Darimi, dari ayahnya, ia berkata, Aku bertanya: “Ya Rasulallah, bukankah penyembelihan itu harus pada bagian saluran pernafasan dan tenggorokan ?” Beliau menjawab: “Jika kamu tusuk pada bagian pahanya, maka yang demikian itu sudah cukup bagimu.”
Hadits tersebut shahih, namun harus diterapkan pada binatang yang tidak disembelih pada jalan pernafasan dan tenggorokannya.

Mengenai firman Allah: wa maa dzubiha ‘alan nushubi (“Dan [diharamkan bagi kalian] yang disembelih untuk berhala.”) Mujahid dan Ibnu Juraij berkata: “Berhala itu adalah batu yang ada di sekitar Ka’bah.” Ibnu Juraij menambahkan: “Berhala tersebut berjumlah 360 berhala. Pada masa jahiliyah dulu bangsa Arab menyembelih binatang di dekatnya dan melumuri Ka’bah dengan darah binatang sembelihan tersebut. Mereka memotong-motong daging binatang itu kemudian meletakkannya pada berhala-berhala tersebut.” Riwayat yang seperti ini tidak hanya diriwayatkan oleh satu orang saja.

Kemudian Allah melarang orang-orang mukmin melakukan perbuatan tersebut, bahkan mengharamkan mereka memakan binatang-binatang yang disembelih di sisi berhala-berhala tersebut, meskipun penyembelihannya itu dengan menyebut nama Allah. Penyembelihan binatang di samping berhala merupakan salah satu bentuk kemusyrikan yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Penggalan ayat tersebut mengandung pengertian demikian karena telah dikemukakan sebelumnya pengharaman binatang yang disembelih tanpa disebutkan nama Allah padanya.

Firman-Nya: wa an tastaqsimuu bil azlaam (“Dan [diharamkan juga] mengundi nasib dengan anak panah.”) yakni diharamkan kepada kalian, wahai orang-orang yang beriman mengundi nasib dengan anak panah. Mufrad [bentuk tunggal] dari kata “al azlaam” adalah “zalam”. Pada masa jahiliyah dulu bangsa Arab biasa mengerjakan hal itu. Yaitu berupa tiga buah anak panah yang salah satunya ditulis “Kerjakan” dan yang kedua ditulis “jangan kerjakan”, dan yang ketiga tidak tertulis apapun. Dan di antara orang-orang yang mengatakan: “Yang satu bertuliskan “Rabbku menyuruhku”, yang kedua beruliskan “Rabbku melarangku”, dan yang ketika dibiarkan tanpa tulisan.” Jika yang muncul anak panah yang bertuliskan perintah [kerjakan] maka ia akan mengerjakan; jika yang muncul adalah bertuliskan larangan [jangan kerjakan], maka ia akan meninggalkan [tidak mengerjakan]. Dan jika yang muncul adalah anak panah ketiga yang tidak bertulis apa-apa, maka ia akan mengulanginya lagi.

Kata al-istiqsam berasal dari kata thalabul qism [meminta undian] dari anak panah tersebut. Demikianlah yang ditetapkan oleh Abu Ja’far Ibnu Jarir.

Dalam ash-Shahihain disebutkan bahwa ketika memasuki Ka’bah Nabi saw. mendapati Ibrahim dan Isma’il digambarkan di dalamnya, sedang pada kedua tangannya terdapat anak panah. Maka beliau bersabda: “Semoga Allah membinasakan mereka. sesungguhnya mereka mengetahui bahwa keduanya tidak pernah mengundi nasib dengan anak panah tersebut selamanya.”

Firman-Nya: dzaalikum fisq (“Yang demikian itu adalah kefasikan”) yakni mengundi nasib dengan anak panah tersebut merupakan kefasikan, penyimpangan, kesesatan, kebodohan, dan kemusyrikan. Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman jika mereka merasa ragu-ragu dalam menghadapi persoalan, maka hendaklah mereka beristikharah [meminta pilihan] kepada-Nya, yaitu dengan cara beribadah kepada-Nya, lalu memohon kepada-Nya pilihan yang terbaik dalam persoalan yang mereka kehendaki.

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Bukhari, dan para penyusun kitab Sunan melalui jalan ‘Abdur Rahman bin Abi al-Mawali, dari Muhammad bin al-Munkadir, dari Jabir bin ‘Abdullah, ia menceritakan: “Rasulullah saw. mengajarkan kepada kami beristikharah dalam menghadapi berbagai persoalan, sebagaimana beliau mengajari kami sebuah surah al-Qur’an. Beliau saw. bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian berhasrat dalam suatu urusan, maka hendaklah shalat dua rakaat selain shalat fardlu, lalu selesai shalat hendaklah ia berdoa: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan yang tepat dengan pengetahuan-Mu, aku memohon agar diberi kemampuan dengan kekuasaan-Mu, dan aku memohon anugerah-Mu yang sangat luas. Karena sesungguhnya Engkau berkuasa, sedang aku tidak. Engkau Mahamengetahui, sedang aku tidak, dan Engkau Mahamengetahui yang ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini [disebutkan perkaranya] baik bagiku, bagi agamaku, dan kehidupanku –atau beliau bersabda saat ini dan masa depanku-, maka mudahkanlah ia bagiku, kemudian berkahilah ia bagiku. Apabila Engkau mengetahui bahwa perkara itu buruk bagiku, bagi agamaku dan kehidupanku, saat ini dan masa depanku, maka jauhkanlah dia dariku, dan jauhkanlah aku darinya. Berikanlah kepadaku kebaikan dimana pun adanya, kemudian jadikanlah aku ridla menerimanya.”
(Demikian menurut lafadz Imam Ahmad. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih gharib. Kami tidak mengetahuinya, kecuali dari hadits Ibnu Abul Mawali.”)

Mengenai firman-Nya: al yauma ya-isal ladziina kafaruu min diinikum (“Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk [mengalahkan] agamamu,”) berkata ‘Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas: “Yakni, mereka berputus asa untuk mengembalikan kejayaan agama mereka.” hal yang senada juga diriwayatkan dari ‘Atha’ bin Abu Ribah, as-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan.

Berkenaan dengan pengertian tersebut, terdapat sebuah hadits Shahih Muslim bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya syaitan telah berputus asa dari usaha agar orang-orang yang shalat di Jazirah Arab menyembahnya, akan tetapi [ia tidak putus asa untuk] mengadu domba di antara mereka.” (HR Muslim dalam kitab Shifatul Qiyaamah, [2812])

Bisa juga mengandung pengertian lain bahwa mereka telah berputus asa untuk menyerupai kaum Muslimin. Karena kaum Muslimin mempunyai sifat-sifat yang berbeda dengan sifat-sifat kemusyrikan dan kaum musyrikin. Oleh karena itu Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk tetap sabar dan teguh dalam menyelisihi orang-orang kafir, serta tidak takut kepada seorang pun, kecuali kepada Allah Ta’ala.

Firman Allah: falaa takhsyauHum wakhsyauni (“Sebab itu, janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku.”) maksudnya janganlah kalian takut kepada mereka dalam usaha kalian menyelisihi mereka, tetapi takutlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan membantu kalian dalam menghadapi mereka, memenangkan kalian atas mereka, melapangkan hati kalian atas mereka, dan menjadikan kalian di atas mereka, baik di dunia maupun di akhirat.

Firman-Nya: al yauma akmaltu lakum wa atmamtu ‘alaikum ni’matii wa radliitu lakumul islaama diinan (“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridlai Islam itu jadi agamamu.”) ini merupakan nikmat Allah yang terbesar yang dikaruniakan kepada umat ini, tatkala Allah menyempurnakan agama mereka sehingga mereka tidak memerlukan agama lain, dan tidak pula Nabi lain selain Nabi mereka, yakni Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu Allah menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin sehingga tidak ada yang halal kecuali yang beliau halalkan, dan tak ada yang haram kecuali yang beliau haramkan. Tidak ada agama kecuali yang disyariatkannya. Semua yang dikabarkannya adalah haq, benar, dan tidak ada kebohongan, serta tidak ada pertentangan sama sekali.

Sebagaimana firman Allah: wa tammat kalimatu rabbika shidqaw wa ‘adlan (“Telah sempurna kalimat Rabbmu [al-Qur’an], sebagai kalimat yang benar dan adil.” (al-An’am: 115) maksudnya, benar dalam kabar yang disampaikan dan adil dalam seluruh perintah serta larangan. Setelah agama disempurnakan bagi mereka, maka sempurnalah nikmat yang diberikan kepada mereka.

Oleh karena itu Allah berfirman: al yauma akmaltu lakum wa atmamtu ‘alaikum ni’matii wa radliitu lakumul islaama diinan (“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridlai Islam itu jadi agamamu.”) maka ridlailah Islam untuk diri kalian karena ia merupakan agama yang dicintai dan diridlai Allah Ta’ala, yang karenanya Allah mengutus Rasul yang paling afdlal, dan yang karenanya pula Allah menurunkan Kitab yang paling mulia (al-Qur’an).

Mengenai firman-Nya: al yauma akmaltu lakum diinakum (“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu.”) ‘Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbas: “Maksudnya ialah Islam. Allah telah mengabarkan Nabi-Nya saw. dan orang-orang yang beriman bahwa Allah telah menyempurnakan keimanan kepada mereka sehingga mereka tidak membutuhkan penambahan sama sekali. Dan Allah telah menyempurnakan Islam sehingga Allah tidak akan pernah menguranginya, bahkan Allah telah meridlainya. Allah tidak akan pernah memurkainya selamanya.”

Asbath mengatakan, dari as-Saudi: “Ayat ini turun pada hari Arafah, dan setelah itu tidak ada lagi ayat yang turun menyangkut halal dan haram. Kemudian Rasulullah saw. kembali dan setelah itu meninggal dunia.”

Ibnu Jarir dan beberapa ulama lainnya mengatakan: “Rasulullah saw. meninggal pada hari Arafah, yaitu setelah 81 hari.” Keduanya telah meriwayatkan dari Ibnu Jarir. Selanjutnya ia menceritakan, “Sufyan bin Waki’ menceritakan kepada kami, Ibnu Fudhail menceritakan kepada kami, dari Harun bin Antarah, dari ayahnya, ia berkata, ‘Ketika turun ayat: al yauma akmaltu lakum diinakum (“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu.”) yaitu pada hari haji akbar [besar], maka ‘Umar menangis, lalu Nabi saw. bertanya: ‘Apa yang menyebabkan engkau menangis?’ Umar menjawab: ‘Aku menangis disebabkan karena selama ini kita berada dalam penambahan agama kita. Tetapi jika sudah sempurna, maka tidak ada sesuatupun yang sempurna melainkan akan berkurang.’ Kemudian beliau bersabda: ‘Engkau benar.’”

Pengertian tersebut diperkuat oleh sebuah hadits yang menegaskan sabda Rasulullah saw.: “Sesungguhnya, Islam bermula dalam keadaan asing dan akan kembali mejadi asing, maka berbahagialah orang-orang yang asing.” (HR Muslim dalam Kitab al-Iman [145])

Imam Ahmad mengatakan, dari Thariq bin Syihab, ia berkata: “Ada seorang Yahudi yang datang kepada ‘Umar bin Khaththab, lalu berkata: ‘Hai Amirul Mukminin, sesungguhnya kalian membaca sebuah ayat dalam kitab kalian. Jika ayat tersebut diturunkan kepada kami, orang-orang Yahudi, niscaya kami akan menjadikan hari ini [hari turunnya ayat itu] sebagai hari raya.’ ‘Ayat yang mana itu?’ tanya ‘Umar. Orang Yahudi itu berkata: ‘Yaitu firman-nya: al yauma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu ‘alaikum ni’matii (“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku.”).’ maka ‘Umar pun berkata: ‘Demi Allah, sesungguhnya aku telah mengetahui hari ketika itu turun kepada Rasulullah saw. Dan waktu diturunkannya ayat itu kepada Rasulullah saw., yaitu pada malam Arafah hari Jum’at.’ (Hadits ini diriwayatkan pula oleh al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i)

Firman Allah selanjutnya: fa manidl-thurra fii makhmashatin ghaira mutaajaanifil litsmin fa innallaaHa ghafuurur rahiim (“Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”) maksudnya, barangsiapa yang benar-benar perlu memakan sedikit saja dari apa-apa yang haram yang disebutkan Allah karena suatu kepentingan yang mengharuskan memakannya, maka ia boleh memakannya, dan sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang kepadanya. Karena Allah mengetahui kebutuhan hamba-Nya yang terpaksa dan keperluannya memakan hal itu sehingga Allah memaafkan dan mengampuninya.

Dalam musnad Imam Ahmad dan Shahih Ibnu Hibban diriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu ‘Umar, sebagai hadits marfu’, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah menyukai kemudahan-Nya dilaksanakan sebagaimana Allah membenci larangan-Nya dilanggar.” (Hadits ini berdasarkan lafadz Ibnu Hibban)

Sedangkan menurut lafadz Imam Ahmad adalah sebagai berikut: “Barangsiapa yang tidak mau menerima kemudahan dari Allah, maka baginya dosa sebesar gunung-gunung di Arafah.”

Oleh karena itu, para fuqaha berkata: “Terkadang pada kondisi tertentu bangkai merupakan suatu hal yang wajib, yaitu ketika seseorang khawatir pada jiwanya, sedang ia tidak menemukan makanan lain selain bangkai itu. Terkadang makan bangkai itu bersifat dianjurkan, dan terkadang juga mubah, tergantung pada kondisi.”

Para fuqaha masih berbeda pendapat tentang kadar bangkai yang boleh dimakan; apakah sekedar memperpanjang hidup atau boleh sampai kenyang, ataukah sampai kenyang dan sekaligus menjadikannya sebagai bekal?

Mengenai hal tersebut terdapat beberapa pendapat, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al-Ahkam (sebuah kitab yang ditulis oleh Ibnu Katsir, akan tetapi kitab tersebut termasuk di antara kitab-kitab beliau yang hilang.)

Selain itu, para fuqaha juga berbeda pendapat mengenai kenyataan jika seseorang menemukan bangkai dan makanan milik orang lain atau binatang buruan sedang ia dalam keadaan berihram, apakah ia boleh memakan bangkai atau memakan binatang buruan tersebut kemudian harus membayar denda atasnya, atau memakan makanan orang lain dan harus menggantinya. Mengenai yang terakhir ini terdapat dua pendapat, yang keduanya adalah pendapat asy-Syafi’i. Keadaan tidak menemukan makanan selama tiga hari bukanlah merupakan syarat dibolehkannya memakan bangkai. Sebagaimana hal itu telah menjadi dugaan orang-orang awam yang lainnya. Tetapi jika benar-benar terpaksa, maka seseorang dibolehkan memakannya.

Imam Ahmad meriwayatkan dari al-Walid bin Muslim, dari al-Auza-i, dari Hassan bin ‘Athiyyah Abu Waqid al-Laitsi bahwasannya mereka berkata: “Ya Rasulallah, sesungguhnya kami pernah berada di suatu tempat dimana kami mengalami kelaparan, lalu kapan kami diperbolehkan memakan bangkai?” Beliau saw. menjawab: “Jika kalian tidak makan siang, tidak makan malam dan tidak bisa mengambil sayur-sayuran [buah-buahan], maka kalian boleh memakannya.” (dalam redaksi seperti ini hanya Imam Ahmad saja yang meriwayatkan dan isnad hadits ini shahih dengan syarat al-Bukhari-Muslim)

Firman-Nya: ghaira mutajaanifil li itsmin (“tanpa sengaja berbuat dosa”) maksudnya tidak sengaja berbuat maksiat kepada Allah, maka sesungguhnya Allah telah membolehkannya [memakan bangkai itu], serta mendiamkan pula terhadap hal lainnya. Sebagaimana firman-Nya dalam surah al-Baqarah yang artinya: “Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa memakannya, sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (al-Baqarah: 173)

Ayat ini dipergunakan sebagai dalil oleh orang yang berpendapat bahwa orang yang bertujuan maksiat dalam suatu perjalanan, maka ia tidak mendapatkan keringanan [dispensasi] sedikitpun dari keringanan-keringanan dalam safar [perjalanan]. Karena keringanan [dispensasi] itu tidak diberikan kepada orang yang berbuat maksiat. wallaaHu a’lam.

Bersambung ke bagian 3

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 1-2 (1)

16 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Maa-idah (Hidangan)
Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat

Imam Ahmad meriwayatkan dari Asma’ binti Yazid, ia berkata: “Pada saat aku sedang memegang tali kekang Rasulullah saw., tiba-tiba turun kepada beliau surah al-Maa-idah secara keseluruhan. Karena beratnya surah al-Maa-idah, berdetak pangkal kaki depan unta itu.”

Sementara itu al-Hakim mengatakan: Muhammad bin Ya’qub menceritakan kepada kami dari Jubair bin Nufair, ia berkata: “Aku pernah pergi haji, lalu masuk ke rumah ‘Aisyah, maka ia berkata kepadaku: ‘Hai Jubair, apakah kamu sudah membaca surah al-Maa-idah?’ ‘Sudah.’ Jawabku. Kemudian, ‘Aisyah berkata: ‘Sesungguhnya, ia adalah surah yang terakhir kali turun. Apa saja yang kalian temukan dari yang halal, maka halalkanlah. Dan apa saja yang kalian temukan dari yang haram, maka haramkanlah.”
(Kemudian al-Hakim mengatakan: “Hadits tersebut shahih sesuai syarat Syaikhan [al-Bukhari dan Muslim], tetapi keduanya tidak mengeluarkan hadits itu.”)

tulisan arab alquran surat al maidah ayat 1-2bismillaaHir rahmaanir rahiim
(“Dengan menyebut nama Allah Yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang”)
“1. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. 2. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (al-Maa-idah: 1-2)

Ibnu Abi Hatim mengatakan dari az-Zuhri, ia berkata: “Apabila Allah berfirman: yaa ayyuHalladziina aamanuu [Hai orang-orang yang beriman] kerjakanlah oleh kalian, maka Nabi saw. termasuk dari mereka.”

Mengenai firman-Nya: aufuu bil ‘uquudi (“Penuhilah aqad-aqad itu.”) Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan beberapa ulama lainnya mengatakan: “Yang dimaksud dengan aqad adalah perjanjian.” Ibnu Jarir juga menceritakan adanya ijma’ tentang hal itu. Ia mengatakan: “Perjanjian-perjanjian adalah apa yang mereka sepakati, berupa sumpah atau yang lainnya.”

Mengenai firman Allah: yaa ayyuHalladziina aamanuu aufuu bil ‘uquudi (“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.”) ‘Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu ‘Abbas, [ia berkata]: “Yang dimaksud dengan perjanjian tersebut adalah segala yang dihalalkan dan diharamkan Allah, yang difardlukan, dan apa yang ditetapkan Allah di dalam al-Qur’an secara keseluruhan, maka janganlah kalian mengkhianati dan melanggarnya.”

Kemudian Allah mempertegas hal itu lagi, Allah berfirman yang artinya: “Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan Mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang Itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).” (ar-Ra’du: 25)

Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak ada hak pilih dalam jual beli telah menjadikan ayat tersebut sebagai dalil.

Mengenai ayat : aufuu bil’uquudi (“Penuhilah aqad-aqad itu.”) Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Hal itu menunjukkan keharusan berpegang dan menepati janji, dan hal itu menuntut dihilangkannya hak pilih dalam jual-beli.” Demikianlah madzab [pendapat] Abu Hanifah dan Malik. Namun pendapat tersebut bertentangan dengan pendapat Syafi’i, Ahmad dan jumhur ulama. Yang menjadi dalil dalam hal itu adalah hadits yang ditegaskan dalam ash-Shahihain, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar [hak memilih untuk jadi atau membatalkannya], selama mereka belum berpisah.”

Sedangkan dalam lafadz lain menurut riwayat al-Bukhari adalah sebagai berikut: “Jika dua orang melakukan transaksi jual beli, masing-masing dari keduanya mempunyai hak pilih selama keduanya belum berpisah.”

Hal itu jelas sekali [sharih] dalam menetapkan adanya hak pilih dalam jual beli sebagai kelanjutan bagi perjanjian jual beli. Dan hal ini tidak menafikkan keharusan berpegang teguh pada perjanjian, justru menurut syariat hal itu merupakan konsekuensi dari perjanjian tersebut. Dengan demikian, berpegang teguh pada perjanjian merupakan bagian dari kesempurnaan pemenuhan janji.

Firman-Nya: uhillat lakum baHiimatul an’aami (“Dihalalkan bagimu binatang ternak.”) yaitu unta, sapi dan kambing.” Demikian yang dikatakan oleh Abul Hasan, Qatadah, dan beberapa ulama lainnya. Ibnu Jarir mengatakan: “Dan demikian halnya menurut bangsa Arab.”

Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas serta beberapa ulama juga telah menggunakan ayat tersebut sebagai dalil yang membolehkan memakan janin binatang yang sudah mati dalam perut induknya jika induk tersebut telah disembelih. Dan mengenai hal itu telah ditegaskan oleh sebuah hadits dalam kitab Sunan yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari Abu Sa’id ia berkata: Kami bertanya: “Ya Rasulallah, kami menyembelih unta betina dan menyembelih sapi atau kambing, yang di dalam perutnya terdapat janin anaknya, apakah kami harus membuangnya ataukah kami boleh memakakannya?” Maka beliau menjawab: “Jika kalian mau, makanlah janin tersebut karena penyembelihannya [kehalalannya] terletak pada penyembelihan [kehalalan] induknya.”
(imam at-Tirmidzi mengatakan, “Hadits tersebut adalah hadits hasan.”)

Firman-Nya: illa maa yutlaa ‘alaikum (“Kecuali yang akan dibacakan kepadamu.”) kecuali apa yang akan diberitahukan kepada kalian berupa pengharaman sebagian binatang tersebut dalam beberapa kondisi tertentu.”

Ghaira muhillish shaidi wa antum hurum (“Yaitu dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.”) sebagian ulama mengatakan, “Kata ‘ghair’ adalah manshub karena kedudukannya sebagai hal [yang menerangkan keadaan]. Yang dimaksud dengan binatang ternak tersebut adalah binatang yang jinak; terdiri dari unta, sapi dan kambing; dan yang termasuk dalam kategori liar, misalnya kijang, sapi liar, dan keledai. Dari kelompok binatang jinak itu dikecualikan binatang seperti yang dijelaskan di depan, dan dari kelompok binatang liar dikecualikan binatang yang diburu ketika dalam keadaan berihram.”

Ada juga yang mengatakan: “Maksudnya adalah, ‘Kami [Allah] halalkan bagi kamu semua binatang ternak, kecuali bagi orang yang diberlakukan baginya pengharaman berburu ketika sedang berihram.’” Hal itu didasarkan pada firman-Nya yang artinya:
“Barangsiapa dalam keadaan terpaksa memakannya, sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (al-Baqarah: 173) artinya, Kami halalkan bangkai binatang bagi orang yang benar-benar terpaksa, dengan syarat ia tidak menginginkan hal itu dan tidak pula berlebihan. Demikian halnya disini, sebagaimana telah Kami halalkan semua binatang ternak dalam segala keadaan, lalu mereka diharamkan berburu ketika sedang berihram karena Allah telah menetapkan hal itu, dan Dia Mahabijaksana dalam segala perintah dan larangan-Nya.
Oleh karena itu Allah berfirman: innallaaHa yahkumu maa yuriid (“Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”)

Firman Allah: yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa tuhilluu sya’aa-irallaaHi (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah.”) Ibnu ‘Abbas berkata: “Yang dimaksud dengan hal ini adalah manasik haji.”
Ada juga yang berpendapat: “Yang dimaksud dengan syiar-syiar Allah adalah semua yang diharamkan-Nya.” artinya janganlah kalian menghalalkan semua yang diharamkan Allah ta’ala. Oleh karena itu Allah berfirman: wa lasy-syaHral haraama (“Dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram.”) yang dimaksud dengan hal itu adalah memberikan penghormatan dan mengakui keagungannya serta meninggalkan semua yang dilarang Allah Ta’ala (lihat surat al-Baqarah dan at-Taubah).

Firman-Nya: wa lal Hadya wa lal qalaa-ida (“[dan] jangan [mengganggu] binatang-binatang hadyu, dan binatang-binatang qalaaid.”) maksudnya janganlah sampai kalian tidak berkorban ke Baitul Haram karena dalam berkurban itu terdapat nilai pengagungan terhadap syiar-syiar Allah. Jangan sampai pula kalian tidak mengikatkan tali pada lehernya untuk membedakan dengan hewan lainnya, dan untuk diketahui bahwa hewan kurban itu merupakan persembahan untuk Allah sehingga ia terhindar dari gangguan orang yang hendak mencelakainya. Dan supaya orang yang melihatnya tergerak hatinya untuk berkurban juga. Sebab, sesungguhnya orang yang menyeru untuk berkurban akan mendapat pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun. Oleh karena itu, ketika menunaikan ibadah haji Rasulullah saw. menginap di Dzul Hulaifah, yaitu lembah di al-‘Aqiq, maka pada pagi harinya beliau mendatangi [menggilir] kesembilan istrinya. Kemudian beliau mandi dan mengenakan wangi-wangian, lalu mengerjakan shalat dua rakaat. Lalu menandai hewan kurbannya dan memberikan kalung pada hewan tersebut. Kemudian beliau mengerjakan ibadah haji dan umrah. Hewan yang menjadi kurbannya adalah unta yang jumlahnya enam puluh ekor lebih, yang berbadan paling bagus dan berwarna paling indah. Sebagaimana firman Allah yang artinya: “Demikianlah [perintah Allah]. Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (al-Hajj: 32)

Sebagian ulama salaf mengatakan: “Pengagungan syiar-syiar Allah adalah dengan mengurbankan hewan yang paling bagus dan paling gemuk.”
Ali bin Abi Thalib berkata: “Rasulullah saw. menyuruh kami supaya memeriksa mata dan telinga [hewan kurban].” (HR Para penulis kitab as-Sunan).

Mengenai firman Allah: wa lal qalaa-ida (“Dan [jangan mengganggu] binatang-binatang qalaaid.”) Muqatil bin Hayyan mengatakan: “Janganlah kalian melanggarnya. Dahulu orang-orang jahiliyah jika pergi meninggalkan negeri mereka pada bulan-bulan haram, mengalungi diri dengan bulu unta dan bulu kambing. Sementara orang-orang musyrik Makkah mengalungi diri dengan kulit pohon, lalu dengan kulit itu mereka melindungi diri.” Demikian yang diriwayatkan Ibnu Abi Hatim. Kemudian ia mengatakan dari Ibnu ‘Abbas, “Dari surah al-Maa-idah ini ada dua ayat yang dinasakh, yaitu ayat qalaaid dan firman-Nya: fa in jaa-uuka fahkum bainaHum au a’ridl ‘anHum (“Jika mereka [orang-orang Yahudi] datang kepadamu [untuk meminta keputusan], maka putuskanlah [perkara itu] di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka.”) (al-Maa-idah: 42)

Al-Mundzir bin Syadzan menceritakan kepada kami, dari Ibnu ‘Auf, ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada al-Hasan, ‘Apakah ada ayat dalam surah al-Maa-idah yang dinasakh?’ ia menjawab, ‘Tidak.’”

Firman-Nya: wa laa aammiinal baital haraama yabtaghuuna fadl-lam mirrabbiHim wa ridl-waanan (“Dan jangan [pula] mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridlaan dari Rabbnya.”) maksudnya janganlah kalian membolehkan penyerangan terhadap orang-orang yang hendak menuju ke Baitullah, yaitu suatu tempat dimana orang memasukinya akan menjadi aman. Demikian pula orang-orang yang hendak datang ke Baitullah dengan tujuan hendak mencari karunia Allah dan keridlaan-Nya, maka janganlah kalian merintangi dan menghalang-halangi mereka.

Mengenai firman-Nya: yabtaghuuna fadl-lam mir rabbiHim (“Mereka mencari karunia dan keridlaan dari Rabbnya.”) Mujahid, Atha’ Abul ‘Aliyah, Mutharrif bin ‘Abdullah, ‘Abdullah bin ‘Ubaid bin ‘Umair, Rabi’ bin Anas, Muqatil bin Hayyan, Qatadah dan beberapa ulama lainnya berkata: “Yang dimaksud dengan hal itu adalah perniagaan.” Yang demikian itu adalah sama seperti yang dikemukakan dalam pembahasan firman-Nya: laisa ‘alaikum junaahun an tabtaghuu fadl-lam mir rabbikum (“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia [rizky dari perniagaan] dari Rabbmu.”) (al-Baqarah: 198)

Mengenai firman-Nya: wa ridl-waanan (“Dan keridlaan [dari Rabbnya].”) Ibnu ‘Abbas berkata: “Mereka mencari keridlaan Allah melalui haji yang mereka kerjakan.”

‘Ikrimah, as-Suddi, dan Ibnu Jarir menyebutkan: “Ayat ini turun berkenaan dengan al-Hutham bin Hindi al-Bakri. Al-Hutham pernah menyerang ternak milik orang-orang Madinah [merampoknya], pada tahun berikutnya ia melaksanakan umrah ke Baitullah. Kemudian sebagian shahabat bermaksud menghalangi jalannya menuju Baitullah. Maka Allah menurunkan firman-Nya: wa laa aammiinal baital haraama yabtaghuuna fadl-lam mir rabbiHim wa ridl-waanan (“Dan jangan [pula] mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridlaan dari Rabbnya.”) Ibnu Jarir mengisahkan tentang adanya ijma’ bahwa orang musyrik boleh dibunuh jika ia tidak mempunyai perlindungan meskipun ia mendatangi Baitullah atau Baitul Maqdis. Dan hukum ini telah dimansukh [dihapuskan] dari mereka. wallaaHu a’lam.

Adapun orang yang mendatangi Baitullah dengan maksud untuk berbuat ingkar dan kemusyrikan serta kekufuran di sana, maka ia tidak diperbolehkan. Allah berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (at-Taubah: 28)

Oleh karena itu, pada tahun ke-9 Hijrah Rasulullah saw. mengirim utusan, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq ra., sebagai Amirul hajj [pemimpin rombongan haji] pada tahun itu, dan menyuruh Ali bin Abi Thalib supaya menyerukan kepada manusia atas nama Rasulullah saw. tentang “Bara’ah,” (pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya). memberitahukan bahwa setelah tahun ini orang-orang musyrik tidak boleh mengerjakan haji, dan tidak boleh berthawaf di Baitullah dalam keadaan telanjang.

Mengenai firman-Nya: wa laa aammiinal baital haraama (“Dan janganlah [pula] mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah.”) Ibnu Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu ‘Abbas, [ia berkata]: “Yakni orang-orang yang berangkat menuju Baitullah.”

Sebelumnya orang-orang mukmin dan juga orang-orang musyrik sama-sama mengerjakan ibadah haji, lalu Allah melarang orang-orang Mukmin menghalang-halangi siapa saja, baik Mukmin maupun kafir dari Baitullah. Setelah itu Allah menurunkan firman-Nya yang artinya: “sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (at-Taubah: 28)
“Tidak pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masji-masjid Allah.” (at-Taubah: 17)
“Hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir saja yang memakmurkan masjid-masjid Allah.” (at-Taubah: 18)
Dengan demikian, orang-orang musyrik dilarang dari memakmurkan Masjidil haram.

Firman-Nya: wa idzaa halaltum fash-thaaduu (“Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu.”) maksudnya jika telah usai mengerjakan ibadah ihram dan bertahalul, maka Kami [Allah] membolehkan bagi kalian berburu, yang mana hal itu sebelumnya adalah haram bagi kalian ketika kalian sedang mengerjakan ihram. Perintah tersebut adalah setelah adanya larangan, dan yang benar setelah adanya penyelidikan bahwa kembalinya hukum adalah kepada keadaan semula sebelum adanya larangan. Jika hukum itu bersifat wajib, ia kembali pada wajib; jika sunnah kembali pada sunnah; jika bersifat mubah ia kembali pada mubah. Orang yang berpendapat bahwa hukum mubah itu akan kembali menjadi wajib berarti bertolak belakang dengan banyak ayat-ayat al-Qur’an. Adapun orang yang berpendapat bahwa ia akan kembali menjadi mubah, maka ia dibantah oleh ayat-ayat lain. Dan yang mengatur semua dalil itu adalah apa yang telah disebutkan, sebagaimana yang menjadi pilihan sebagian ulama ushulul fiqih. wallaaHu a’lam.

Firman Allah: walaa yajrimannakum syana-aanu qaumin an shadduukum ‘anil masjidil haraami an ta’taduu (“Dan janganlah sekali-sekali kebencian[mu] kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kalian dari Masjidil Haram mendorong kalian berbuat aniaya [kepada mereka].”)

Di antara para qurra (Qurra yang tujuh, selain Ibnu Katsir dan Abu ‘Amir [Ibnu Katsir dan Abu ‘Amr membacanya: “in”) yang membaca “an shadduukum” dengan harakat fathah di atas hamzah [yaitu “an”], maknanya jelas, yaitu janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum yang telah menghalang-halangi kalian untuk sampai ke Masjidil Haram –dan itu terjadi pada tahun Hudaibiyah- menjadikan kalian menghalang-halangi mereka pergi ke Masjidil Haram. Sehingga dengan demikian kalian telah melampaui batas dalam memberlakukan hukum Allah kepada mereka, yang karenanya kalian telah menuntut balas kepada mereka secara dhalim dan penuh rasa permusuhan. Tetapi berlakukanlah hukum sesuai yang diperintahkan Allah kepada setiap orang secara adil. Ayat ini adalah sebagaimana ayat yang akan diuraikan lebih lanjut, yaitu firman-Nya:

Wa laa yajrimannakum syana-aanu qaumin ‘alaa alaa ta’diluu. I’diluu Huwa aqrabu lit taqwaa (“Dan janganlah sekali-sekali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”) (al-Maa-idah: 8). Maksudnya, janganlah kebencian pada suatu kaum menjadikan kalian berlaku tidak adil. Karena sesungguhnya berbuat adil itu wajib atas setiap orang lain dalam kondisi apapun. Sebagian ulama salaf mengatakan: “Selama engkau diperlakukan orang yang dhalim terhadap dirimu sesuai dengan ketentuan Allah dalam urusannya dan engkau pun berlaku adil terhadapnya, maka akan tegaklah langit dan bumi ini.”

Ibnu Abi Hatim mengatakan dari Zaid bin Aslam, ia berkata: Rasulullah saw. pernah berada di Hudaibiyah bersama shahabat beliau ketika dihalang-halangi oleh kaum musyrikin dari Baitullah, yang dilakukan keras terhadap mereka. lalu ada sekelompok kaum musyrikin dari penduduk daerah timur yang melewati mereka yang hendak menunaikan umrah, maka para shahbat Nabi berkata: “Kami akan menghalangi mereka sebagaimana shahabat-shahabat mereka telah menghalangi kami.” Maka Allah menurunkan ayat ini.

Asy-syana-aanu; berarti kebencian. Demikian yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas dan ulama lainnya.

Firman Allah: wa ta’aawanuu ‘alal birri wat taqwaa wa laa ta’aawanuu ‘alal itsmi wal ‘udwaani (“dan tolong-menolonglah kamu dalam [mengerjakan] kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”) maknanya Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk senantiasa tolong menolong dalam berbuat kebaikan, itulah yang disebut dengan al-birru [kebajikan]; serta meninggalkan segala bentuk kemungkaran, dan itulah dinamakan dengan at-taqwa. Allah swt. melarang mereka tolong menolong dalam hal kebathilan, berbuat dosa dan mengerjakan hal-hal yang haram.

Ibnu Jarir berkata: “Al-itsmu [dosa] berarti meninggalkan apa yang oleh Allah perintahkan untuk mengerjakannya, sedangkan al’udwan [permusuhan] berarti melanggar apa yang telah ditetapkan Allah dalam urusan agama dan melanggar apa yang telah diwajibkan-Nya kepada kalian dan kepada orang lain.”

Imam Ahmad berkata, dari Anas bin Malik, Rasulullah saw. bersabda: “Tolonglah saudaramu, baik yang dalam keadaan berbuat dhalim atau didhalimi.” Ditanyakan, “Ya Rasulallah, aku akan menolong orang yang didhalimi, lalu bagaimana aku akan menolongnya jika ia dalam keadaan berbuat dhalim ?” Beliau menjawab: “Menghindarkan dan melarangnya dari kedhaliman, itulah bentuk pertolongan baginya.”
(Hadits yang senanda juga diriwayatkan oleh al-Bukhari sendiri dari Husyaim. Muslim juga mengeluarkannya dari Anas)

Imam Ahmad berkata, dari salah seorang Syaikh dari kalangan shahabat Nabi saw. beliau bersabda: “Orang mukmin yang bergaul dengan manusia lainnya dan bersabar atas tindakan yang menyakitkan diri mereka adalah lebih baik daripada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar atas apa yang menyakitkan dari mereka.”
(Demikian hadits yang diriwaytkan oleh at-Tirmidzi dari hadits Syu’bah dari Ibnu Majah, melalui jalan Ishaq bin Yusuf. Keduanya dari al-A’masy).

Sehubungan dengan itu, Ibnu Katsir katakan bahwa di dalam hadits shahih disebutkan: “Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala yang diterima oleh orang yang mengikutinya sampai hari kiamat, tanpa mengurangi pahala mereka [orang-orang yang mengikuti petunjuk itu] sedikitpun. Barangsiapa menyeru pada kesesatan, maka baginya dosa seperti dosa yang dilakukan oleh orang yang mengikutinya sampai hari kiamat, dan hal itu tidak mengurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka [orang-orang yang mengikutinya].” (diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitabnya, Sunan Abi Dawud bab “as-Sunnah”)

Bersambung ke bagian 2

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Ankabuut ayat 67-69 (24)

14 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Ankabuut (Laba-Laba)
Surah Makkiyyah; surah ke 29:69 ayat

tulisan arab alquran surat al ankabuut ayat 67-69“67. dan Apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa Sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya rampok-merampok. Maka mengapa (sesudah nyata kebenaran) mereka masih percaya kepada yang bathil dan ingkar kepada nikmat Allah? 68. dan siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang kepadanya? Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir? 69. dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (al-Ankabuut: 67-69)

Allah berfirman memberikan anugerah kepada orang Quraisy tentang apa yang dihalalkan bagi mereka dari tanah haram yang dijadikan bagi manusia, baik orang i’tikaf, pengembara ataupun siapa saja yang memasukinya [akan] menjadi aman. Maka mereka berada dalam keadaan aman yang sangat benar. Sedangkan orang-orang sekitarnya, sebagian mereka membegal dan membunuh sebagian yang lain.

Sebagaimana firman Allah: li iilaafi quraisy (“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy”) (Quraisy: 1) dan firman Allah: a fa bil baathili yu’minuuna wa bini’matillaaHi yakfuruun (“Maka, mengapa mereka masih percaya kepada yang bathil dan ingkar kepada nikmat Allah?”) yaitu apakah rasa syukur mereka terhadap nikmat yang besar ini dengan berbuat syirik dan menyembah kepada selain Allah bersama-Nya, berupa berhala dan patung-patung. Lalu mereka kufur kepada seorang Nabi, hamba dan Rasul-Nya? padahal yang layak bagi mereka adalah mengikhlaskan peribadahan hanya kepada Allah serta tidak berbuat syirik kepada-Nya, membenarkan Rasul, mengagungkan dan mendukungnya. Akan tetapi mereka mendustakannya, memerangi dan mengusirnya dari hadapan mereka. untuk itu Allah mencabut nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada mereka serta terbunuhnya orang-orang di perang Badar. Kemudian jadilah kedaulatan itu hanya milik Allah, Rasul-Nya dan kaum Mukminin. Maka, ditaklukkanlah kota Makkah oleh Allah untuk Rasul-Nya dengan menghinakan kaum musyrik dan merendahkan mereka.

Firman Allah: wa man adhlamu mimmanif taraa ‘alallaaHi kadziban au kadzdzaba bil haqqi lammaa jaa-aHu (“Dan siapakah yang lebih dhalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang haq tatkala yang haq itu datang kepadanya.”) tidak ada seseorang yang lebih berat hukumannya daripada orang yang berdusta atas nama Allah, dimana dia berkata: “Sesungguhnya Allah telah memberikan wahyu kepadanya, padahal dia tidak diberi wahyu sedikitpun.” Serta dia berkata: “Aku akan turunkan seperti apa yang diturunkan Allah.” Dan demikian pula tidak ada seseorang yang lebih berat hukumannya daripada orang yang mendustakan kebenaran tatkala kebenaran itu datang kepadanya. Orang yang pertama adalah orang yang mengada-ada dan orang kedua adalah orang yang mendustakan.
Untuk itu Allah berfirman: alaisa fii jaHannama matswal lilkaafiriin (“Bukankah neraka jahanam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir?”) kemudian Allah berfirman: wal ladziina jaaHaduu fiinaa (“Dan orang-orang yang berjihad untuk Kami”) yaitu Rasulullah saw., para shahabat dan para pengikutnya hingga hari kiamat. lanaHdiyannaHum subulanaa (“Benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.”) sesungguhnya Kami akan perlihatkan kepada mereka jalan-jalan Kami, yaitu jalan-jalan Kami di dunia dan di akhirat.

Ibnu Abi Hatim berkata: “Ayahku bercerita kepada kami, bahwa Ahmad bin Abil Hawari bercerita, ‘Abbas al-Hamdani Abu Ahmad dari penduduk Uka berkata tentang firman Allah: wal ladziina jaaHaduu fiinaa lanaHdiyannaHum subulanaa wa innallaaHa lama’al muhsiniin (“Dan orang-orang yang berjihad untuk Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami, dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”) yaitu orang-orang yang beramal dengan apa yang mereka ketahui, niscaya Allah akan memberikan petunjuk kepada mereka tentang apa yang belum mereka ketahui.

Ahmad bin Abil Hawari berkata: “Hal itu aku ceritakan kepada Abu Sulaiman ad-Darani dan dia mengaguminya, lalu berkata: ‘Tidak patut bagi seseorang yang diberikan ilham kebaikan untuk mengamalannya, hingga ia mendengar dari atsar. Jika dia mendengarnya dari atsar, maka amalkanlah dan memujilah kepada Allah, hingga diberi kesesuaian di dalam hatinya.’”

Dan firman-Nya: wa innallaaHa lama’al muhsiniin (“Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”) Ibnu Abi Hatim berkata, asy-Sya’bi berkata, bahwa ‘Isa bin Maryam as. berkata: ‘Ihsan itu adalah bahwa engkau berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk kepadamu. Dan ihsan bukanlah engkau berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepadamu.” wallaaHu a’lam.

Selesai.

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Ankabuut ayat 64-66 (23)

14 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Ankabuut (Laba-Laba)
Surah Makkiyyah; surah ke 29:69 ayat

tulisan arab alquran surat al ankabuut ayat 64-66“64. dan Tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. dan Sesungguhnya akhirat Itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. 65. Maka apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah). 66. agar mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka dan agar mereka (hidup) bersenang-senang (dalam kekafiran). kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya).” (al-Ankabuut: 64-66)

Allah mengabarkan tentang kerendahan dunia, hilang dan lenyapnya. Bahkan dunia ini tidak kekal dan ujungnya adalah senda gurau dan permainan, wa innad daaral aakhirata laHiyal hayawaan (“Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan.”) yaitu kehidupan yang kekal hakiki yang tidak akan hilang dan tidak habis, bahkan dia akan terus berlangsung selama-lamanya.
Lau kaanuu ya’lamuun (“Seandainya mereka mengetahui”) yaitu sungguh mereka akan memilih yang kekal dibandingkan yang akan binasa.

Kemudian Allah mengabarkan tentang orang-orang musyrik bahwa di saat mereka berada dalam keadaan terjepit, mereka berdoa kepada Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya. maka mengapa hal ini tidak mereka lakukan terus-menerus. fa idzaa rakibuu fil fulki da’awullaaHa mukhlishiina laHud diin (“Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.”) seperti dalam firman Allah:

Wa idzaa massakumudl-dlurru fil bahri dlalla man tad’uuna illaa iyyaaHu falammaa najjaakum ilal barri a’radl-tum (“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkanmu ke daratan, kamu berpaling.”) (al-Israa’: 67). Dan di ayat ini Allah berfirman: falammaa najjaaHum ilal barri idzaa Hum yusyrikuun (“Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka [kembali] mempersekutukan [Allah].”)

Muhammad bin Ishaq menceritakan dari ‘Ikrimah bin Abi Jahal bahwa ketika Rasulullah saw. memerdekakan Makkah, dia [‘Ikrimah] pergi melarikan diri. Ketika ia naik kapal di lautan untuk pergi ke Habasyah, tiba-tiba perahu mengalami guncangan. Maka penghuninya berkata: “Wahai Rombongan, ikhlaskan doa kepada Rabb kalian, karena tidak ada yang dapat menyelamatkan kita disini kecuali Dia.” lalu ‘Ikrimah berkata, “Demi Allah, jika tidak ada selain-Nya yang dapat menyelamatkan kita di laut, maka tidak ada pula yang dapat menyelamatkan kita di darat. Ya Allah. Aku mengikat janji kepadamu. Jika aku keluar dengan selamat, niscaya aku akan meletakkan kedua tanganku kepada tangan Muhammad. Sesungguhnya aku menemukan dia seorang yang sangat kasih sayang. Maka demikianlah keadaannya.”

Dan firman Allah: liyakfuruu bimaa aatainaaHum wa liyatamatta’uu (“Agar mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka dan agar mereka hidup bersenang-senang.”) huruf “laam” di sini oleh kebanyakan ahli bahasa Arab, ahli tafsir dan para ulama ushul dinamakan dengan “laamul ‘aaqibah”, karena mereka tidak bermaksud demikian. Tidak diragukan lagi bahwa itulah yang dimaksud, jika dihubungkan dengan mereka. akan tetapi jika dihubungkan dengan qadla dan qadar Allah bagi mereka, maka “laam”nya adalah “laamut ta’liil.” Masalah ini telah dikemukakan dalam firman Allah: liyakuuna laHum ‘aduwwaw wa hazanan (“Yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.”)(al-Qashshash: 8)

Bersambung ke bagian 24

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Ankabuut ayat 61-63 (22)

14 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Ankabuut (Laba-Laba)
Surah Makkiyyah; surah ke 29:69 ayat

tulisan arab alquran surat al ankabuut ayat 61-63“61. dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar). 62. Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba- hamba-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. 63. dan Sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” (al-Ankabuut: 61-63)

Allah Ta’ala berfirman mengikrarkan bahwa tidak ada Ilah [yang berhak diibadahi secara benar] kecuali Dia. karena orang-orang musyrik yang menyembah selain-Nya mengakui bahwa Dia Mahaesa dalam menciptakan langit, bumi, matahari dan bulan serta mengatur peredaran malam dan siang. Dia adalah Mahapencipta dan Mahapemberi rizky kepada hamba-hamba-Nya, penentu ajal mereka, perbedaannya dan perbedaan rizky-rizky mereka. Maka terjadilah perbedaan tingkatan di antara mereka, ada yang kaya dan ada yang fakir. Dia Mahamengetahui apa yang maslahat bagi mereka semuanya serta siapa yang berhak menjadi kaya dan siapa pula yang berhak menjadi fakir.

Disebutkan pula bahwa Dia Mahaesa dalam menciptakan segala sesuatu lagi Mahaesa dalam mengaturnya. Jika perkaranya seperti itu, mengapa dia menyembah selain-Nya? dan mengapa dia bertawakal kepada selain-Nya? Sebagaimana Dia Mahaesa dalam kerajaan-Nya, maka hendaklah esakan Dia dalam peribadahan. Banyak sekali penetapan Allah Ta’ala dalam maqam Uluhiyyah dengan pengakuan terhadap tauhid Rububiyyah. Dahulu, kaum musyrikin mengakui hal itu, sebagaimana mereka ucapkan dalam talbiyah mereka.

Bersambung ke bagian 23

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Ankabuut ayat 56-60 (21)

14 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Ankabuut (Laba-Laba)
Surah Makkiyyah; surah ke 29:69 ayat

tulisan arab alquran surat al ankabuut ayat 56-60“56. Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, Sesungguhnya bumi-Ku luas, Maka sembahlah aku saja. 57. tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan. 58. dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, Sesungguhnya akan Kami tempatkan mereka pada tempat-tempat yang Tinggi di dalam syurga, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah Sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal, 59. (yaitu) yang bersabar dan bertawakkal kepada Tuhannya. 60. dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (al-Ankabuut: 56-60)

Ini adalah perintah dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk hijrah dari negeri, dimana mereka tidak mampu menegakkan agama menuju Allah yang sangat luas, dimana dimungkinkan ditegakkannya agama Allah dengan mengesakan-Nya dan beribadah kepada-Nya sebagaimana yang diperintahkan kepada mereka. untuk itu Allah Ta’ala berfirman: yaa ‘ibaadiyal ladziina aamanuu inna ardlii waasi’atun fa iyyaaya fa’buduun (“Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumiku luas, maka beribadahlah kepada-Ku saja.”)

Imam Ahmad meriwayatkan dari az-Zubair bin al-‘Awwam, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Negeri-negeri itu adalah negeri Allah dan hamba-hamba itu adalah hamba-hamba Allah. Dimana saja engkau mendapatkan kebaikan, maka tegakkanlah.”

Untuk itu tatkala posisi orang-orang yang tertindas di kota Makkah semakin terjepit, mereka keluar berhijrah ke bumi Habasyah agar mendapatkan rasa aman dalam agama mereka di sana. Maka mereka mendapatkan sebaik-baiknya tempat singgah, dimana di sana ada Ash-himah an-Najasyi, raja Habasyah. Dia melindungi dan mendukung mereka dengan pertolongannya serta menjadikan mereka orang-orang yang berharga di negerinya. Setelah itu Rasulullah saw. dan para shahabatnya [yang masih tinggal] berhijrah ke kota Madinah an-Nabawiyyah, Yatsrib al-MuththaHHarah.

Kemudian Allah berfirman: kullu nafsin dzaa-iqatul mauti tsumma ilainaa turja’uun (“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”) yaitu dimana saja kalian berada, niscaya kematian akan mendatangi kalian. Maka hendaknya kalian berada dalam keadaan taat kepada Allah. Dan dimana saja kalian diperintah oleh Allah swt, itu lebih baik bagi kalian. Karena kematian itu pasti adanya dan tidak akan ada yang luput darinya. Kemudian hanya kepada Allah tempat kembali. barangsiapa yang mentaati-Nya, niscaya Dia akan membalasny dengan sebaik-baik balasan serta memenuhinya dengan pahala yang sempurna.

Untuk itu Allah berfirman: wal ladziina aamanuu wa ‘amilush shaalihaati lanubawwa-annaHum minal jannati ghurafan tajrii min tahtiHal anHaaru (“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shalih, sesungguhnya akan Kami tempatkan mereka pada tempat-tempat yang tinggi di dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya.”) yaitu Kami akan menempatkan mereka di tempat-tempat tinggi di dalam surga dimana mengalir sungai-sungai di bawahnya dengan berbagai ragam air, khamr, madu dan susu yang dapat didistribusikan dan dialirkan sesuai kehendak mereka.

Khalidiina fiiHaa (“mereka kekal di dalamnya,”) yaitu mereka tinggal di dalam surga selama-lamanya, mereka tak ingin pindah darinya. Ni’ma ajrul ‘aamiliin (“Itulah sebaik-baik pembalasan bagi orng-orang yang beramal.”) kamar-kamar ini adalah sebaik-baik pahala atas amal orang-orang yang beriman. Alladziina shabaruu (“yaitu orang-orang yang bersabar.”) di atas agama mereka, berhijrah kepada Allah, menentang para musuh serta berpisah dengan keluarga dan para kerabat dalam rangkak mengharapkan wajah Allah, mengharapkan apa yang ada di sisi-Nya dan membenarkan janji-Nya.
Wa ‘alaa rabbiHim yatawakkaluun (“Dan bertawakal kepada Rabb mereka.”) di dalam seluruh keadaan, baik agama maupun dunia mereka.

Kemudian Allah Ta’ala mengabarkan bahwa rizky itu tidak dibatasi hanya di satu tempat saja. akan tetapi rizky Allah itu berlaku umum untuk makhluk-Nya dimana saja dan kapan saja mereka berada. Bahkan rizky orang-orang yang berhijrah dimana saja mereka berhijrah adalah lebih banyak, lebih luas dan lebih baik. Karena tidak lama lagi mereka akan menjadi penguasa-penguasa negeri di seluruh pelosok dan negara.

Untuk itu Allah berfirman: wa ka-ayyim min daabbatil laa tahmilu rizqaHaa (“Dan berapa banyak binatang yang tidak [dapat] membawa [mengurus] rizky-Nya sendiri.”) yaitu tidak mampu menghimpun dan menghasilkan serta tidak mampu menampung sedikitpun untuk hari esok. AllaaHu yarzuquHaa wa iyyaakum (“Allah lah yang memberi rizky kepada-Nya dan kepadamu.”) Allah yang membentangkan rizkynya atas kelemahan yang dimilikinya serta memberikan kemudahan kepadanya. Maka Dia menurunkan rizky kepada setiap makhluk yang memberikan maslahat untuk mereka, hingga benih-benih yang berada di tanah, burung-burung yang ada di udara dan ikan-ikan yang berada di air. Dan firman-nya: wa Huwas samii’ul ‘aliim (“Dan Dia Mahamendengar lagi Mahamengetahui.”) yaitu Mahamendengar seluruh perkataan hamba-hamba-Nya lagi Mahamengetahui gerakan-gerakan dan diamnya mereka.

Bersambung ke bagian 22

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Ankabuut ayat 53-55 (20)

14 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Ankabuut (Laba-Laba)
Surah Makkiyyah; surah ke 29:69 ayat

tulisan arab alquran surat al ankabuut ayat 53-55“53. dan mereka meminta kepadamu supaya segera diturunkan azab. kalau tidaklah karena waktu yang telah ditetapkan, benar-benar telah datang azab kepada mereka, dan azab itu benar-benar akan datang kepada mereka dengan tiba-tiba, sedang mereka tidak menyadarinya.
54. mereka meminta kepadamu supaya segera diturunkan azab. dan Sesungguhnya Jahannam benar-benar meliputi orang-orang yang kafir, 55. pada hari mereka ditutup oleh azab dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka dan Allah berkata (kepada mereka): “Rasailah (pembalasan dari) apa yang telah kamu kerjakan”. Pada hari mereka ditutup oleh azab dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka dan Allah berkata (kepada mereka): “Rasailah (pembalasan dari) apa yang telah kamu kerjakan.” (al-Ankabuut: 53-55)

Allah telah mengabarkan tentang kebodohan orang-orang musyrik dalam mengharapkan cepatnya kedatangan adzab Allah menimpa mereka. wa yasta’jiluunaka bil’adzaabi walau laa ajalum musammal lajaa-aHumul ‘adzaab (“Dan mereka meminta kepadamu agar segera diturunkan adzab. Kalau tidaklah karena waktu yang telah ditetapkan, benar-benar datang adzab kepada mereka.”) seandainya Allah tidak menetapkan ditundanya adzab hingga hari kiamat, niscaya adzab itu telah datang kepada mereka dalam waktu yang dekat dan segera sebagaimana yang mereka minta.

Kemudian Dia berfirman: wa laya’tiyannaHum baghtatan (“Dan adzab itu benar-benar akan datang kepada mereka dengan tiba-tiba.”) yakni secara mendadak, wa Hum laa yasy’uruun. Yasta’jiluunaka bil’adzaabi wa inna jaHannama lamuhiithathum bil kaafiriin (“Sedangkan mereka tidak menyadarinya. Mereka meminta kepadamu agar segera diturunkan adzab. Dan sesungguhnya jahanam benar-benar meliputi orang-orang yang kafir.”) mereka meminta kepadamu agar segera diturunkan adzab, dan hal itu pasti menimpa mereka, tidak mustahil.

Syu’bah berkata dari Simak bahwa ‘Ikrimah berkata tentang firman Allah: wa inna jaHannama lamuhiithathum bil kaafiriin (“Dan sesungguhnya jahanam benar-benar meliputi orang-orang yang kafir.”) yaitu lautan. Ibnu Abi Hatim dari asy-Sya’bi berkata, bahwa dia mendengar Ibnu ‘Abbas berkata: wa inna jaHannama lamuhiithathum bil kaafiriin (“Dan sesungguhnya jahanam benar-benar meliputi orang-orang yang kafir.”) jahanam itu adalah lautan hijau yang memcah belah bintang-bintang yang terdapat di dalamnya dan membenturkan matahari dan bulan yang kemudian menyala. Itulah jahanam.

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda: “Lautan itu adalah jahanam.” Ini adalah tafsir yang gharib dan hadits yang gharib sekali. wallaaHu a’lam.

Firman Allah: yauma yaghsyaa Humul ‘adzaabu min fauqiHim wa min tahti arjuliHim (“Pada hari mereka ditutup oleh adzab dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka.”) api neraka menutupi mereka dari seluruh sudut. Dan ini lebih dahsyat, tentang adzab secara fisik. Dan firman Allah ta’ala, wa yaquulu dzuuquu maa kuntum ta’maluun (“Dan Allah berfirman kepada mereka: ‘Rasakanlah [pembalasan dari] apa yang telah kamu kerjakan.”) ini adalah ancaman, hinaan dan ejekan dan ini merupakan adzab yang bersifat abstrak pada jiwa.

Bersambung ke bagian 21

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Ankabuut ayat 50-52 (19)

14 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Ankabuut (Laba-Laba)
Surah Makkiyyah; surah ke 29:69 ayat

tulisan arab alquran surat al ankabuut ayat 50-52“50. dan orang-orang kafir Mekah berkata: “Mengapa tidak diturunkan kepadanya mukjizat-mukjizat dari Tuhannya?” Katakanlah: “Sesungguhnya mukjizat- mukjizat itu terserah kepada Allah. dan Sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata”. 51. dan Apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) sedang Dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al Quran) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. 52. Katakanlah: “Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan antaramu. Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi. dan orang-orang yang percaya kepada yang batil dan ingkar kepada Allah, mereka Itulah orang-orang yang merugi.” (al-Ankabuut: 50-52)

Allah berfirman mengabarkan tentang orang-orang musyrik dalam penentangan dan tuntutan mereka terhadap tanda-tanda yang menunjukkan kepada mereka bahwa Muhammad saw. adalah Rasulullah, sebagaimana Shalih mendatangkan sapi. Allah berfirman: qul (“Katakanlah”) hai Muhammad; innamal aayaatu ‘indallaaHi (“Sesungguhnya ayat-ayat itu terserah kepada Allah.”) yaitu urusan tersebut hanya diserahkan kepada Allah. Karena seandainya dia mengetahui bahwa kalian mendapat hidayah, niscaya Dia memperkenankan permintaan kalian. Bagi-Nya hal itu amat mudah dan ringan. Akan tetapi Dia mengetahui bahwa kalian bertujuan mengejek dan menguji, maka Dia tidak memperkenankan kalian dalam hal itu.

Firman-Nya: wa innamaa ana nadziirum mubiin (“Dan sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata.”) yaitu aku diutus hanya sebagai pembawa peringatan kepada kalian sejelas-jelas peringatan. Sedangkan kewajibanku hanyalah menyampaikan risalah Allah kepada kalian.

Dan firman Allah: may yaHdillaaHu fa Huwal muHtadi wa may yudl-lil falan tajida laHuu waliyyam mursyidan (“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah orang yang hakekatnya mendapatkan petunjuk. Dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (al-Kahfi: 17)

Kemudian, Allah Ta’ala berfirman menjelaskan besarnya kebodohan mereka dan lemahnya akal mereka, dimana mereka meminta tanda-tanda yang menunjukkan mereka tentang kebenaran yang dibawa oleh Muhammad saw. Sesungguhnya telah datang kepada mereka Kitab yang mulia yang tidak didatangi kebathilan dari depan maupun dari belakangnya yang merupakan sesuatu yang lebih besar dari setiap mukjizat, dimana para ahli bahasa dan sastra amat lemah untuk menandinginya, bahkan untuk menandingi 10 surah sekalipun, atau untuk menandingi satu surah pun.

Bahkan Allah berfirman: a walam yakfiHim annaa anzalnaa ‘alaikal kitaaba yutlaa ‘alaiHim (“Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasannya Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab sedang dia dibacakan kepada mereka.”) yaitu apakah tidak cukup bagi mereka satu tanda bahwa Kami telah menurunkan sebuah Kitab yang agung yang mengandung kabar sebelum mereka, kabar sesudah mereka dan hukum di antara mereka. sedangkan engkau adalah orang yang ummi, tidak mampu membaca dan menulis serta tidak bercampur dengan seorang ahli kitab pun. Maka engkau datangkan kepada mereka dengan berita-berita yang ada pada shuhuf-shuhuf pertama dengan memberikan penjelasan yang benar tentang apa yang mereka perselisihkan serta dengan kebenaran yang tegas, jelas dan nyata. Sesungguhnya Allah berfirman: inna fii dzaalika larahmataw wa dzikraa liqaumiy yu’minuun (“Sesungguhnya di dalamnya terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.”) di dalam al-Qur’an ini mengandung rahmat, yaitu penjelasan kebenaran dan penghapus kebathilan serta peringatan dengan isinya yang mengandung lepasnya bencana dan turunnya siksaan bagi para pendusta dan para pelaku maksiat terhadap kaum yang beriman.

Kemudian Allah berfirman: qul kafaa billaaHi bainii wa bainakum syaHiidan (“Katakanlah: ‘Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan antaramu.”) Dia Mahatahu kedustaan yang meliputinya dan Mahamengetahui apa yang aku katakan kepada kalian tentang berita bahwa Dia telah mengutusku. Seandainya aku berdusta di atas-Nya, niscaya Dia akan mengutukku, sebagaimana Allah berfirman yang artinya:

“Seandainya Dia (Muhammad) Mengadakan sebagian Perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang Dia pada tangan kanannya. kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu.” (al-HaaqqaH: 44-47). Sesungguhnya aku adalah orang yang jujur tentang apa yang aku kabarkan kepada kalian. Untuk itu Dia mendukungku dengan mukjizat-mukjizat yang tegas dan dalil-dalil yang qath’i [pasti].

Ya’lamu maa fis samaawaati wal ardli (“Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi.”) tidak ada sesuatupun yang tersembunyi.
Wal ladziina aamanuu bil baathili wa kafaruu billaaHi ulaa-ika Humul khaasiruun (“Dan orang-orang yang percaya kepada yang bathil dan ingkar kepada Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi.”) pada hari kiamat, Dia akan membalas mereka atas apa yang telah mereka lakukan serta memberi imbalan atas apa yang telah mereka lakukan yang mendustakan kebenaran dan mengikuti kebathilan.

Bersambung ke bagian 20

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Ankabuut ayat 47-49 (18)

14 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Ankabuut (Laba-Laba)
Surah Makkiyyah; surah ke 29:69 ayat

tulisan arab alquran surat al ankabuut ayat 47-49“47. dan demikian (pulalah) Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran). Maka orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka Al kitab (Taurat) mereka beriman kepadanya (Al Quran); dan di antara mereka (orang-orang kafir Mekah) ada yang beriman kepadanya. dan Tiadalah yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang kafir. 48. dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Quran) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu). 49. sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim.” (al-Ankabuut: 47-49)

Ibnu Jarir berkata: “Allah telah berfirman: ‘Sebagaimana Kami telah turunkan kitab-kitab kepada para Rasul sebelummu hai Muhammad, Kami pun menurunkan kitab ini kepadamu.’” Pendapat yang dikemukakannya ini adalah baik dan sesuai serta keterikatannya sangat bagus. Dan firman Allah: fa aatainaaHumul kitaaba yu’minuuna biHi (“Maka orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka al-Kitab [Taurat], mereka beriman kepadanya [al-Qur’an].”) yaitu orang-orang yang menerimanya, lalu membacanya dengan benar di antara pendeta-pendeta mereka adalah para ulama yang pandai seperti ‘Abdullah bin Salam, Salman al-Farisi dan tokoh-tokoh seperti keduanya.

Dan firman Allah: wa min Haa-ulaa-i may yu’minu biHi (“Dan di antara mereka ada yang beriman kepadanya.”) yaitu orang Arab Quraisy dan lain-lain. Wa maa yajHadu bi aayaatinaa illal kaafiruun (“Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang kafir.”) yakni tidak ada yang mendustakan dan menentang kebenarannya kecuali orang yang menutupi kebenaran dengan kebathilan serta menutupi cahaya matahari dengan washilah.

Kemudian Allah berfirman: wa maa kunta tatluu min qabliHii min kitaabi wa laa takhuthuHuu biyamiinika (“Dan kamu tidak pernah membacakan sebelumnya [al-Qur’an] sesuatu Kitab pun dan kamu tidak [pernah] menulis suatu kitab dengan tangan kanannya.”) yaitu engkau telah tinggal bersama kaummu, hai Muhammad, sebelum engkau diberikan al-Qur’an ini beberapa masa, engkau belum pernah membaca kitab dan engkau tidak pandai menulis. Bahkan, setiap satu orang di antara kaummu mengetahui bahwa engkau adalah seorang yang ummi, tidak pandai membaca dan menulis serta demikianlah sifatnya yang tertulis dalam kitab-kitab terdahulu, sebagaimana Allah berfirman yang artinya:
“(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar.” (al-A’raaf: 157)

Allah berfirman: wa maa kunta tatluu (“Dan kamu tidak pernah membaca.”) yaitu membaca; min qabliHii min kitaab (“Sebelumnya [al-Qur’an] suatu kitab pun.”) untuk memperkuat ketiadaan. Sedangkan tidak pula engkau menulis dengan tangan kananmu adalah ta’kid [penguat] dan keluar dari daerah kebiasaan, seperti firman Allah Ta’ala: wa laa thaa-iriy yatiiru (“Dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya.”) (al-An’am: 38)

Firman Allah: idzaa lartaabal mubthiluun (“Benar-benar ragulah orang yang mengingkari[mu].”) yaitu seandainya engkau memperbaikinya, niscaya ragulah orang-orang jahil, lalu ia berkata: “Sesungguhnya engkau mengetahui ini hanyalah dari kitab-kitab terdahulu yang ditinggalkan para Nabi.” Padahal mereka mengatakan hal demikian dalam keadaan mereka mengetahui bahwa Nabi Muhammad adalah seorang yang ummi, tidak pandai menulis.

Dia berfirman: bal Huwa aayaatum bayyinaatun fii shuduuril ladziina uutul ‘ilma (“Sebenarnya, al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu.”) al-Qur’an ini adalah ayat-ayat yang jelas dan tegas dalam menunjukkan kebenaran, baik perintah, larangan ataupun informasi yang dijaga oleh para ulama serta dimudahkan oleh Allah bagi mereka yang menghafal, membaca dan menafsirkan. Sebagaimana Allah berfirman: wa laqad yassarnal qur-aana lidzdzikri faHal mim muddakir (“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”)(al-Qamar: 17)

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada satu orang Nabi pun melainkan diberikan kepadanya tanda-tanda [mukjizat] yang manusia mengimani tanda-tanda seperti itu. Sesungguhnya yang diberikan kepadaku hanyalah wahyu yang diwahyukan Allah kepadaku. Maka, aku berharap menjadi Nabi yang paling banyak pengikutnya pada hari kiamat.” (HR Muttafaq ‘alaiH)

Dan dalam hadits ‘Iyadh bin Hammad di dalam Shahih Muslim, bahwa Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku mengutusmu untuk mengujimu dan menguji denganmu serta menurunkan kepadamu sebuah kitab yang tidak terhapus oleh air yang engkau membacanya di saat tidur dan di saat bangun.”

Yaitu seandainya air menghapus tempat dituliskannya Kitab itu, niscaya dia tidak membutuhkan tempat tersebut, karena ia terpelihara di dalam dada-dada manusia, amat mudah diucapkan lisan lagi terjaga di dalam hati serta mengandung mukjizat di dalam lafadz dan maknanya. Untuk itu, di dalam kitab-kitab terdahulu terkandung tentang sifat umat ini: “Aku memantapkkan mereka di dalam dada-dada mereka.”

Ibnu Jarir memilih pendapat bahwa firman Allah: bal Huwa aayaatum bayyinaatun fii shuduuril ladziina uutul ‘ilma (“Sebenarnya, al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu.”) bahkan, pengetahuan bahwa engkau tidak pernah membaca sebelum Kitab ini sesuatu Kitab pun dan kamu tidak menulis dengan tangan kananmu, adalah ayat-ayat nyata di dada orang-orang yang diberi ilmu di antara ahlul Kitab. Hal ini dinukil dari Qatadah dan Ibnu Juraij. Dan pendapat yang pertama diceritakan dari al-Hasan al-Bashri. Ibnu Katsir berkata: “Itulah yang diriwayatkan oleh al-‘Aufi dari Ibnu ‘Abbas serta dikatakan oleh adh-Dahhak dan itulah yang lebih dhahir.” wallaaHu a’lam.

Dan firman Allah: wa maa yajhadu bi-aayaatinaa illadh dhaalimuun (“Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang dhalim.”) yaitu tidak ada yang mendustakannya dan tidak ada yang mengurangi haknya serta menolaknya kecuali orang-orang dhalim, yaitu orang-orang yang melampaui batas lagi keras kepala, dimana mereka mengetahi kebenaran dan [kemudian] menentangnya.

Bersambung ke bagian 19

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Ankabuut ayat 46 (17)

14 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Ankabuut (Laba-Laba)
Surah Makkiyyah; surah ke 29:69 ayat

tulisan arab alquran surat al ankabuut ayat 46“46. dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan Katakanlah: “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu; dan Kami hanya kepada-Nya berserah diri”. (al-Ankabuut: 46)

Qatadah dan lain-lain berkata: “Ayat ini dinasakh [dibatalkan] oleh ayat pedang, dimana tidak ada pertentangan lagi yang dapat diterima dari mereka kecuali [masuk] Islam, [membayar] jizyah atau pedang [diperangi].”
Sedangkan yang lain berkata: “Ayat ini tetap berlaku dan muhkam bagi orang di kalangan mereka yang hendak meneliti agama dengan melakukan perdebatan yang lebih baik agar lebih mengena.”

Sebagaimana Allah berfirman: ud’u ilaa sabiili rabbika bil hikmati wal mau’idhatil hasanati (“Serulah [manusia] kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (an-Nahl: 125) Allah berfirman kepada Musa dan Harun di saat keduanya diutus kepada Fir’aun: fa quulaa laHuu qaulal layyinal la’allaHuu yatadzakkaru au yakhsyaa (“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.”) (ThaaHaa: 44). Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir dan diceritakan dari Ibnu Zaid.

Firman Allah: illalladziina dhalamuu minHum (“Kecuali dengan orang-orang yang dhalim di antara mereka.”) yakni mereka menyimpang dari arah kebenaran serta buta dari bukti yang jelas, menentang dan takabbur. Di saat itu, berpindahlah dari perdebatan kepada ketegasan serta perangi mereka dengan cara yang dapat mencegah dan membuat mereka gentar. Jabir berkata: “Kami diperintahkan terhadap orang-orang yang menentang al-Kitab [al-Qur’an] untuk memenggalnya dengan pedang.”

Mujahid berkata: “illalladziina dhalamuu minHum (“Kecuali dengan orang-orang yang dhalim di antara mereka.”) yaitu kafir harbi serta orang yang enggan membayar jizyah di kalangan mereka.

Dan firman Allah: wa quuluu aamannaa billadzii unzila ilainaa wa unzila ilaikum (“Dan katakanlah: ‘Kami telah beriman kepada kitab-kitab yang diturunkkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu.’”) yakni jika mereka mengabarkan sesuatu yang tidak kami ketahui kejujurannya dan kedustaannya, maka kami tidak terburu-buru mendustakannya, karena terkadang hal tersebut adalah kebenaran serta tidak pula kami tergesa-gesa membenarkannya, karena boleh jadi hal tersebut adalah kebathilan. Akan tetapi kami mengimaninya secara global yang dikaitkan dengan syarat bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang diturunkan, bukan sesuatu yang diganti atau ditakwil.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa dahulu, ahlul kitab membaca Taurat dengan bahasa Ibrani dan menafsirkannya kepada pemeluk Islam dengan bahasa Arab. Maka Rasulullah saw. bersabda: “Jangan kalian membenarkan ahlul kitab dan jangan pula mendustakan mereka. dan katakanlah oleh kalian: ‘Kami telah beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kalian; Ilah kami dan Ilah kalian adalah satu dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.’”
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari sendiri. Dan segala puji bagi Allah.

Bersambung ke bagian 18