Arsip | Februari, 2015

Penghibur Hati yang Sedih dan Galau

26 Feb

Penghibur Hati yang Sedih dan Galau
Opini, Dakwah

Pernahkah hati anda merasakan suatu kekosongan dan kegalauan yang sangat meresahkan ? Merasakan ada sesuatu yang hilang dalam diri ini, lalu bertanya-tanya dan mencari-cari apakah gerangan yang hilang itu. Nah, ini bukan cuma omongan yang tanpa kenyataan. Akan tetapi setiap manusia tidak bisa mengelak bahwa ada saat-saat dirinya merasakan “kehilangan” sehingga hatinya kosong, lalu berusah mencarinya. Lucu kedengarannya, akan tetapi itulah kita.

Sesungguhnya Allah menciptakan manusia ini bisa kita analogikan dengan sebuah pabrik yang memproduksi sebuah produk, misalnya kulkas. Lalu mereka membuat buku panduan bagaimana cara mengoperasikan dan merawat barang tersebut. Tentu saja akan terdengar lucu apabila orang yang memiliki barang tersebut lalu menggunakan buku panduan yang diterbitkan oleh perusahaan merek lain. Atau bahkan dia sendiri berinisiatif untuk membuat prosedur sendiri terkait penggunaan dan pemeliharaannya. Kira-kira apakah yang akan terjadi?

Manusia diciptakan dengan komponen lahir dan batin, yakni fisik dan jiwanya. Kedua bagian itu haruslah mendapatkan hak-haknya sehingga akan tumbuh dan melalui perjalanan hidup ini dengan baik. Jiwa pun demikian. Apabila dia merasa haus, kurang mendapat haknya untuk dipenuhi, maka akan merasakan risau, gelisah, sedih dan lain-lain perasaan yang tidak enak. Jauh dari rasa tenteram dan damai, meski hartanya bertumpuk tak habis dimakan tujuh turunan.

Maka, mengenal visi dan misi diciptakannya manusia, maka akan membuat hati ini menjadi tenang, karena tahu dari mana ia berasal, harus bagaimana, dan akan kemanakah gerangan jiwa ini berlabuh…..

&

Menuntut Ilmu pengetahuan umum tentang Islam

25 Feb

Pilar-pilar Keberhasilan Seorang Da’i
Dr. Ali bin Umar bin Ahmad Ba Dahdah;
islamhouse.com

Tambahan setelah seorang da’i memperoleh ilmu-ilmu syar’i serta alat-alatnya maka sesungguhnya seorang da’i masih memerlukan pada ilmu pengetahuan umum tentang Islam secara umum walau pun sedikit, demikian pula pengetahuan modern, dan tidak di ragukan bahwa pergerakan da’wah adalah pergerakan yang sangat luas, cara menyebarkannya pun banyak, dan hubungan yang berkaitan pun banyak, dan da’wah tidak di ragukan bisa di kerjakan oleh berbagai macam orang dengan berbagai macam cara yang sangat banyak, yang pada setiap individunya memiliki kelebihan dan pengetahuan dan wawasan yang luas, maka selayaknya bagi seorang da’i untuk mengenyangkan dirinya dengan pengetahuan-pengetahuan ini dan menghimpun sedikit darinya sehingga ia bisa ikut serta berbaur dengan orang yang di ajak bicara sesuai dengan kadar ilmu pengetahuannya, yang ini seperti sarana untuk bisa masuk kepada inti sebuah da’wah. ( ad-Da’wah Qawaid wa Ushul hal: 71).

Maka harus adanya kesadaran pada kekurangan yang ada dalam masalah pengetahuan pada kebanyakan para da’i, karena di sana ada yang tidak mampu mengetahui akan adanya kehidupan yang lebih modern dan kenyataan hidup modern, bahkan di sana ada yang tidak saling mengenal dengan yang lainya, hingga sampai pada tingkat meneror dan meremehkan mereka, sedangkan mereka mengenal kita dengan detail sekali sampai-sampai kita terlihat oleh mereka ibaratnya sudah terlihat tulang sumsumnya, bahkan di sana juga ada yang tidak tahu dengan keadaan dirinya sendiri, ketika sedang berada pada suatu masa, dirinya tidak memahami apakah sedang berada dalam hakikat kekuatan atau tudak, tidak pula paham akan kelemahannya, dan kebanyakan yang kita perbesar adalah pada masalah yang mudah, tidak memudahkan pada suatu perkara yang besar, sama saja apakah itu pada kemampuan yang kita miliki atau pada kekurangan-kekurangan y6ang ada pada kita. (Ulawiyaat al-Harakah Islamiyyah hal: 21)
Oleh karena itu wajib bagi kita memperhatikan sisi ini serta memberikan haknya sesuai kadarnya, dan di sini saya akan memberi sedikit gambaran dalam perkara yang penting yang ada pada sisi ini, diantaranya:

 Ilmu pengetahuan Umum
Dan yang saya maksud dengan pengetahuan umum di sini adalah pengetahuan yang berkaitan dengan keindahan Islam yang nampak menonjol, dengan mengetahui maksud-maksud baik dari tujuan adanya syari’at, dan melemahkan serta membantah syubhat-syubhat serta persangkaan buruk dari musuh-musuh Islam, menampakan kesempurnaan hukum-hukum Islam baik dalam hubungan hidup antar sesama maupun dalam ekonomi dan yang lainnya, dan menjelaskan bahwa Islam sangat memperhatikan seluruh kebaikan yang ada dan menutup semua pintu-pintu keburukan, Islam juga cocok pada setiap zaman dan tempat. Dan semisal dari pengetahuan-pengetahuan ini.

Penguasaan pengetahuan ini bisa diperoleh ketika sedang mempelajari ilmu syar’i apa lagi jika seorang da’i itu lebih luas dan lama lagi di dalam menuntut ilmu, bersamaan dengan ini di sana juga ada buku-buku yang telah mengumpulkan tentang tujuan-tujuan ini dalam sebuah buku dan itu bisa banyak kita jumpai seperti buku “Nahwa Tsaqofah Islamiyyah Ashilah” oleh Umar al-Asyqar, atau “al-Khasaais al-‘Amah lil Islam” oleh Yusuf Qardhowi, atau “Madkhal ilaa Tsaqofah Islamiyyah” oleh Muhammad Rasyaad Saalim, dan yang lainnya.

 Pengetahuan Modern
Yang saya maksud dalam masalah ini adalah pengetahuan yang ada pada jumlah tertentu dan ada pada beberapa sisi, di antaranya:

a. Madzhab pemikiran modern, seperti: Komunis, kapitalis, kebangsaan, kebudayaan, dan lain sebagainya. Dan buku-buku yang menjelaskan ini sangat banyak, dan yang termasuk paling luas pembahasannya adalah buku “al-Madzahib Fikriyyah al-Mu’shiroh” oleh Muhammad Qutub, dan di antara buku yang paling komplit dan ringkas dalam masalah ini adalah buku “al-Mausu’ah al-Muyasaroh fii Adyaan wal Madzahib al-Mu’ashiroh” terbitan Nadwah al-‘Alamiyyah lii Syabab Islami.
b. Perkembangan serta kenyataan yang ada pada zaman modern ini, dari sisi adanya musuh-musuh Islam yang tidak henti-hentinya mempelajari apa yang di namakan dengan perang pemikiran, gerakan ilmiah yang yang di canangkan oleh yahudi, cara dan metode serta target-target yang telah mereka program, tidak ketinggalan pula gerakan misionaris dengan yayasan-yayasan yang mereka miliki. Dan di sana ada buku-buku yang sangat bermanfaat dalam masalah ini, seperti “al-Ghooroh ‘alaa ‘Alamil Islam” oleh Prof.L, Syatlih, dan telah di terjemahkan Yang di maksud penulis adalah telah di terjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhibudiin al-Khathib dan Musa’ad al-Yaafi, dan buku “Afiiquu Ayuhal Muslimun” oleh Abdul Wadud Syalbi, dan buku “Protokolat Hukama Shuyuni” di terjemahkan oleh Khalifah Tunisi, dan buku “Asaalibul Ghazwu Fikri” oleh D. Ali Jarisyah dan Muhammad Syarif Alu Zibqo. Demikian pula mengetahui keadaan kaum muslimin dewasa ini, dengan mengetahui keadaaan mereka, mengikuti berita dan keadaan yang ada pada minoritas mereka, dan ini bisa banyak kita jumpai, seperti dalam buku “Hadirul ‘Alamil Islami” oleh D. Ali Jarisyah,, dan buku “al-Aqaliyaat wa Ahwaal Bilaadil Islam”. Maka jika seorang da’i telah memiliki banyak pengetahuan dalam masalah ini maka hal itu bisa membantu dirinya dalam da’wah dan pintu menuju sukses.

&

Menuntut Ilmu dari Dari sisi Syar’i

25 Feb

Pilar-pilar Keberhasilan Seorang Da’i
Dr. Ali bin Umar bin Ahmad Ba Dahdah;
islamhouse.com

Harus bagai seorang da’i mengetahui bahwa ilmu yang pertama dan yang paling utama di antara ilmu-ilmu yang lainnya adalah ilmu agama, di karenakan manusia dengan mengetahui ilmu agama akan terbimbing dan dengan kebodohanya akan tersesat. (Adabu Dunya wa Diin hal: 44.)
Maka dari sini harus di bedakan antara sesuatu yang wajib untuk di ajarkan kepada manusai, yang tidak boleh ada seorang pun untuk bodoh dan tidak paham darinya dengan sesuatu yang sifatnya fardu kifayah untuk di ajarkan di tengah-tengah masyarakat. Di katakan dalam sebuah penjelasan tentang makna adanya ilmu itu menjadi wajib bagi setiap muslim adalah bahwa wajib atas setiap orang harus mempelajarinya dan tidak boleh jahil tentangnya yaitu ilmu yang berkaitan dengan keadaan dirinya (maksudnya ilmu yang berkaitan dengan amalan yang akan di kerjakan.pent).

Berkata Ibnu Mubarak: “Hanyalah menuntut ilmu itu akan menjadi wajib kepada seseorang yang terjatuh dalam suatu perkara dari perkara agamanya, kemudian ia di tanya tentangnya sampai ia harus mempelajarinya dan memahaminya”. (al-Faqiih wal Mutafaqih 1/45)

Kemudian al-Khathib al-Baghdadi menjelaskan perkataan beliau dengan mengatakan: “Maka wajib atas setiap orang untuk mencari suatu (ilmu) yang mengharuskan dirinya paham tentangnya dari perkara-perkara yang telah Allah Ta’ala wajibkan atas dirinya sesuai dengan kemampuan dan usaha yang di milikinya, seperti halnya bagi setiap muslim yang telah baligh (mencapai usia dewasa), berakal, baik itu dari kalangan laki-laki maupun dari kalangan perempuan, budak maupun merdeka, mengharuskan dirinya untuk berthoharoh (bersuci), sholat, puasa, yang telah menjadi suatu hal yang wajib atasnya, maka wajib atas setiap muslim untuk mengetahui ilmunya hal-hal tersebut. Demikianlah maka menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk mengetahui apa yang telah di halalkan baginya dan apa yang telah di haramkan atas dirinya baik itu dari makanan, minuman, pakaian, kemaluan, darah, harta benda maka semuanya ini tidak boleh bagi seorang muslim untuk bodoh (tidak tahu tentang ilmunya)” (Ibid 1/46)

Dan saya melihat bahwa hendaknya seorang da’i mempunyai paling tidak sedikitnya ilmu-ilmu syar’i yang pokok , maka kalau boleh saya bagi maka sebagai berikut:
 Ilmu Aqidah Islamiyah
Ia bisa mempelajari pokok-pokok Aqidah dari buku-buku yang telah di jadikan sebagai sandaran, yang ringkas di kalangan madzhab Ahlu Sunah wal Jama’ah seperti halnya kitab “Lum’atul Itiqod” oleh Ibnu Qudamah, atau kitab “al-Aqidah Wasithiyah” oleh Ibnu Taimiyyah, dan yang lainnya.
 Ilmu Tafsir
Ia bisa melihat kepada tafsir yang ringkas, dan terpercaya yang mencakup makna-makna kalimat dan sebab-sebab turunya ayat di sertai dengan makna ayat secara global, ia bisa mengambil faidah tentang hal itu dengan sebagian mushaf yang telah di cetak dengan ada catatan kaki yang menjelaskan sebab turunya ayat, dan makna kalimat. Kemudian dia tambah dengan mempelajari dan pahami tafsir pada sebagian surat atau juz yang menjelaskan tafsirnya, makiyah dan madaniyah dari kitab-kitab yang sifatnya tengah-tengah (tidak pendek tidak terlalu panjang) telah menjadi sandaran oleh umat semisal kitab tafsirnya Ibnu Katsir.
 Ilmu Hadits
Ia bisa belajar kepada kitab dari kitab-kitab hadits yang mencakup seluruhnya dan ringkas semisal “Mukhtashor Shahih Bukhari” atau ” Mukhtashor Shahih Muslim”, demikian pula memungkin bagi dirinya untuk melihat kepada kitab dari kitab-kitab hadits yang umum yang telah di jelaskan derajatnya dari hadits-hadits yang dho’if, yang mencakup kepada bab-bab yang penting yang di butuhkan olehnya dalam masalah Iman, Fadhilah amal, dan adab, semisal kitab “Riyadhus Shalohin”, dan ada baiknya dia juga melihat kepada sebagian kitab-kitab hadits yang telah mengkhususkan dengan sub pembahasan tertentu, dalam hadits-hadits hukum semisal “Bulghul Maram”, dalam masalah dzikir semisal “Adzkaar an-Nawawi”, yang mencakup seluruhnya semisal “Syamaail at-Tirmidzi”, dan yang semisalnya.
 Ilmu Fiqih
Ia bisa mempelajari secara ringkas dalam masalah fiqih ibadah, muamalah, di tambah lagi dengan yang di butuhkan olehnya dari bab-bab pada madzhab tertentu dari madhzab-madhzab yang empat, yang telah kita kenal semuanya.
 Ilmu Siroh dan Sejarah
Ia bisa mempelajari secara ringkas siroh perjalanan Rasul Shalallahu ‘alaihi wa sallam semisal “Tahdzib Siroh Ibnu Hisyaam”, di antara kitab yang di tulis pada zaman ini yang sangat bagus dan bermanfaat adalah kitab “Rahiqul Makhtum” oleh Mubarakfuri. Maka hendaknya paling sedikit setidaknya ia mempelajari sejarahnya para Khulafaur Rasyidin.
 Kunci-kunci Ilmu
Ia bisa mempelajari secara ringkas dalam masalah ushul fiqih semisal “Mukhtashor Ushul” oleh Syaikh Ibnu Utsaimin, atau “Ushul Fiqh lil Mubtadiin” oleh al-Asyqar, demikian pula ia mempelajari secara ringkas dalam masalah ilmu hadits semisal “Taisir Mushthalah Hadits” oleh ath-Thahaan, atau “Mukhtashor ‘Ulumul Hadits” oleh Ibnu Utsaimin, dalam masalah ilmu Qur’an semisal “Mabaahits Ulmul Qur’an” oleh al-Qothon, dalam masalah Ushul tafsir semisal “Muqodimah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah”, semua itu di pelajari sesuai dengan kemampuannya.
 Ilmu Bahasa
Ia bisa mempelajari secara ringkas dalam ilmu nahwu semisal “Jurumiyyah” atau “Malhamtul I’rab”, demikian pula dalam masalah balaghah dan adab di butuhkan untuk di pelajari secara ringkas semisal “al-Balaghah Wadhihah” oleh Ali al-Jaraam, dan memungkinkan untuk melihat kepada buku-buku metode dan ilmu pengetahuan bagi para da’i semisal “Tsaqofah Da’iyah”, atau “Jundullah Tsaqofatan wa Akhlaqan”, atau “al-Ilmu Fadhluhu wa Thalabuhu” oleh Amiin al-Haaj Ahmad Muhammad, dan yang lainnya.

Dan ilmu-ilmu ini tergolong masuk pada ilmu-ilmu yang sangat pokok yang di butuhkan oleh para da’i demikian pula di butuhkan bimbingan secara umum, diantara yang terpenting adalah:
 Pelan dan bertahap pada setiap ilmu, di mulai dari yang permulaan sampai pada tingkatan yang tinggi, dari yang termudah sampai kepada yang sulit dan rumit. Dan perlu di ketahui bahwa bagi setiap ilmu itu pasti ada permulaanya yang akan mengantarkan pada akhir (ujungnya), maka masuk kedalamnya akan mengharuskan memahami hakekatnya, oleh karena itu penuntut ilmu hendaknya memulai dari permulaan untuk bisa sampai pada ujung pangkalnya, dengan memasukinya dia akan memahaki hakekatnya, jangan mencari dari ujungnya terlebih dahulu sebelum pangkalnya, karena dia tidak akan paham hakekatnya, bahkan bisa jadi dia tidak mendapati (memahami) ujungnya dan tidak pula mengerti hakekatnya, di karenakan bangunan yang di dirikan bukan di atas pondasinya maka tidak bisa untuk dibangun, seperti halnya buah tidak mungkin bisa di petik kalu tidak mau menanamnya terlebih dahulu. (Muqodimah Ibnu Khaldun hal: 533)

Inilah Ibnu Khaldun menjelaskan kepadamu jalan tersebut, beliau mengatakan: “Ketahuilah bahwa mempelajari ilmu bagi para pelajar hanyalah bisa memberi manfaat (baginya) jika di mulai dengan cara bertahap sedikit demi sedikit”. (Muqodimah Ibnu Khaldun hal: 533).Dan cukup dari penjelasan beliau ini pentingnya belajar secara bertahap. Berkata Imam dan Ahli Hadits Ibnu Syihaab az-Zuhri: “Barangsiapa mencari ilmu sekaligus maka yang akan hilang darinya pun sekaligus, namun (belajarlah) sedikit demi sedikit bersama hari dan waktu”. (Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhlihi hal:138)
 Bersemangat untuk mempelajarinya dari para ulama pada setiap cabang ilmunya, dan jangan sampai hanya bersandar serta mencukupkan dari membaca saja, karena ilmu-ilmu ini bukanlah seperti halnya Koran dan majalah yang hanya cukup membaca dan melihatnya, sebagaimana pernah di katakan: “Siapa yang syaikhnya (gurunya) itu bukunya maka kesalahannya akn lebih banyak dari pada benarnya”. Sungguh benar apa yang di katakan oleh salah seorang penyair:
يظن الغَمرُ أن الكُتْبَ تَهـدِي أخـا جهلٍ لإدراكِ العُلُـومِ
ومـا علِمَ الجَهُولُ بأنَّ فيهـا مَدَارِك قد تـدقُّ عن الفَهِيمِ
ومَن أخَذَ العُلُومَ بغير شَيـخٍ يضِلُّ عن الصِّراطِ المُستقيـمِ
وكم من عائبٍ قولًا صحيحًا وآفَتُهُ من الفَهـمِ السَّقِيـمِ
Dia mengira bahwa kitab bisa memberinya petunjuk
Teman kebodohanya untuk mencari ilmu
Siapa yang mengambil ilmu tanpa guru
Dia akan tersesat dari jalan yang lurus
Betapa banyak perkataan yang benar
Kesalahanya di sebabkan dari pemahaman yang jelek
Kita lihat buku-bukunya para ulama salaf dan biografinya mereka maka buku-bukunya di penuhi dengan nama-nama guru-guru mereka, dan kisah perjalanan hidupnya bersama guru yang pernah mereka temui dan ambil ilmunya, demikian pula buku-bukunya para ulama juga penuh dengan adab-adab yang harus di miliki oleh seorang tholib (pelajar) bersama gurunya yang itu semua menunjukan bagaimana urgennya hal tersebut bagi mereka. Berkata Syatibi: “Termasuk dari jalan-jalan ilmu yang paling bermanfaat yang akan mengantarkan pada puncaknya adalah mengambil (ilmu) dari ahlinya yang telah di ketahui dengan kesempurnaan”. (al-Muwafaqqot 1/9)

Dan sungguh beliau Rahimahullah telah menjelaskan secara gamblang dan memuaskan tentang masalah ini, maka silakan merujuk kepada kitab aslinya.
 Sabar dan mulazamah (terus menerus) tidak merasa bosan, jangan mencoba pindah dari satu ilmu kepada ilmu yang lain sebelum sempurna, dan berpindah dari satu guru ke guru yang lain sebelum dirinya mampu mengambil faidah darinya, dari satu kitab ke kitab yang lain sebelum khatam (selesai). Berkata Az-Zarnuuji: “(Maka) seharusnya ia menetapi dan sabar pada satu guru, dan satu kitab sehingga tidak ada yang di tinggalkan secara sia-sia, demikian pula pada satu cabang ilmu dan tidak menyibukan dirinya dengan cabang ilmu yang lain sebelum ia mutqin (paham betul), pada satu negeri sehingga tidak meninggalkan negeri tersebut tanpa adanya kebutuhan yang mendesak, karena itu semua akan menjadikan pudar dan terpencarnya urusan, menyibukan hati, menyia-yiakan waktu dan merusak ilmu”. (at-Ta’lim al-Muta’alim hal: 44)

&

Ilmu yang Dituntut

25 Feb

Pilar-pilar Keberhasilan Seorang Da’i
Dr. Ali bin Umar bin Ahmad Ba Dahdah;
islamhouse.com

Bukan suatu yang sifatnya wajib bagi seorang da’i untuk menjadi alim (paham) terlebih dahulu pada semua ilmu-ilmu yang ada, bahkan bukan termasuk syaratnya da’wah sempurnanya ilmu dan kemampuan yang sempurna secara terperinci sedetail-detailnya, da’wah bukanlah kekhususan bagi para ulama saja tanpa orang lain boleh ikut nimbrung di dalamnya, namun bagi setiap orang yang telah mempunyai ilmu tentang hukum-hukum Islam walaupun sedikit maka ia boleh untuk ikut berda’wah, dan setiap orang yang telah paham adanya sebuah kemungkaran dengan di sertai dalil tentang keharamannya maka ia boleh untuk melarangnya, karena jikalau perkaranya tidak demikian maka akan hilanglah da’wah dan matilah pintu al-Amru bil ma’ruf wa nahyu ‘anil munkar (memerintah kepada kebaikan dan melarang dari keburukan).

Dan sebagaimana telah kita jelaskan di muka bahwa da’wah di syaratkan baginya ilmu akan tetapi ilmu bukanlah suatu hal yang berada dalam satu kesatuan yang tidak boleh terpisah dan bercabang, namun menjadi tabiatnya bahwa ilmu itu akan bercabang maka barangsiapa yang mengilmui pada suatu masalah dan tidak paham pada yang lainnya maka dia dikatakan alim (paham) pada yang pertama dan bodoh pada yang kedua, dengan ini maka akan terpenuhi syarat kewajiban berda’wah yaitu kepada suatu yang telah di pahaminya bukan kepada yang tidak di pahaminya, tidak ada perselisihan di antara para ahli fiqih bahwa orang yang bodoh pada suatu perkara atau bodoh pada hukumnya maka janganlah ia berda’wah padanya, di karenakan ilmu dengan sebab benarnya seorang da’i itu mengajak kepadanya menjadi syarat bagi benarnya sebuah da’wah, oleh karena itu bagi setiap muslim kiranya sudi mengajak manusia kepada Allah Ta’ala, berda’wah sesuai dengan batas dan kadar kemampuan yang di milikinya. (Ushul Da’wah hal: 302)

Perbuatan para sahabat telah menunjukan hal tersebut seperti halnya sahabat Thufail bin Amr ad-Dausi dan Abu Dzar al-Ghifari, beliau berdua adalah termasuk dari orang-orang pertama yang masuk Islam, mereka berdua berdiri menyambut kepentingan da’wah dengan apa yang mereka berdua miliki dari ushul tauhid dan sebagian dari apa yang telah di turunkan dari al-Qur’an, maka Allah memberi hidayah dengan sebab keduanya beberapa kelompok manusia, tidaklah sampai Abu Dzar al-Ghifari menuju Madinah untuk menyusul Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam kecuali pada tahun ketujuh hijriyah sedangkan bersama beliau satu kabilah yang telah berhasil beliau Islamkan, demikian pula kabilahnya, kabilah al-Ghifari pun telah beliau Islamkan. Demikian pula kita telah tahu bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Sampaikanlah dariku walau satu ayat”. Di riwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab para Nabi, bab apa yang telah di sebut tentang Bani Israil. Al-Fath 6/572.
Beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam juga persabda: “Allah akan melihat seseorang yang mendengar perkataanku, memahaminya dan menghafalnya lalu menyampaikan (kepada orang lain), adakalanya orang yang di sampaikan lebih paham dari pada orang yang menyampaikannya”. Di riwayatkan oleh Tirmidzi dalam kitab ilmu, bab yang menjelaskan anjuran untuk menyampaikan apa telah ia dengar no: 2658.

Bersama dengan penjelasan ini kecuali bahwasannya masih dapat kita jumpai adanya da’i yang sangat menonjol dalam perkara nasehat, bimbingan, dan pendidikan maka ia di tuntut sesuai dengan kemampuan ilmu syar’i dan ilmu pengetahuanya yang di milikinya tersebut bisa membantu dirinya dalam urusan da’wah serta kepentingan da’wah, dan kalau boleh kita ringkas maka ilmu yang penting tersebut ada pada dua sisi.

&

Keutamaan ilmu dan buah hasilnya

25 Feb

Pilar-pilar Keberhasilan Seorang Da’i
Dr. Ali bin Umar bin Ahmad Ba Dahdah;
islamhouse.com

Harus bagi seorang da’i untuk yakin bahwa ilmu adalah kemulian bagi orang yang ingin meraihnya, keutamaan yang sedang di cari oleh seorang penuntut ilmu, dan yang akan memberi kecukupan bagi orang yang sedang mengkaisnya. (Adabu ad- Dunya wa ad- Diin hal: 40)

Maka permulaan dari mengambil ilmu hendaknya di mulai dengan cara dan metode yang benar di karenakan ilmu itu di dahulukan dari perkataan dan perbuatan sebagaimana yang tertera dalam firman Allah Ta’ala:
“Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan yang hak untuk di sembah) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan”. QS Muhammad: 19.
Dengan ilmu akan mengantarkan seorang da’i pada kedudukan yang tinggi di dalam mizan Rabbani, seperti yang ada dalam firmanNya:
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. (QS al-Mujaadilah: 11)

Oleh karenanya bersegera pergi untuk menuntut ilmu termasuk bentuk pelaksanaan yang paling sempurna dari apa yang di inginkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, yang memperkuat hal itu adalah firman Allah Ta’ala:
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. QS at-Taubah: 122.

Di dalam ayat di atas Allah Ta’ala membagi umat ini menjadi dua golongan, mewajibkan salah satunya untuk berjihad di jalanNya dan memperdalam pengetahuan mereka tentang agama bagi kelompok yang lain, supaya nantinya semua tidak terputus dari yang namanya jihad fi sabilillah dan tidak hilang jihad tersebut dari syari’at, tidak adanya para penuntut ilmu yang mau mengabdikan dirinya kepada ilmu maka akan menjadikan orang-orang kafir menguasai umat ini, oleh karena itu pelihara dan lindungi kemulian Islam dengan jihad fi sabilillah dan jagalah syari’at iman dengan pembelajaran umat.

Dan Allah Ta’ala telah memerintahkan kepada mereka untuk bertanya dan mengembalikan persoalan-persoalan yang baru terjadi, Allah Ta’ala berfirman:
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. (QS an-Nahl: 43)

Dalam firmanNya yang lain Allah mengatakan:
“Dan kalau sekiranya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri)…”. (QS an-Nisaa’: 83)

Dan jika seorang da’i telah menempuh jalannya ilmu maka dia akan memperoleh kebaikan Rabbaniyah (surga.pent) sebagaimana yang di jelaskan dalam hadits yang shahih dari Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Barangsiapa yang menempuh jalan yang di dalamnya ingin mencari ilmu maka Allah Ta’ala akan memudahkan bagi dirinya jalan dari jalan-jalan menuju surga”. Di riwayatkan oleh Abu Dawud kitab ilmu bab yang menjelaskan anjuran untuk mau menuntut ilmu no: 3641.

Maka jika seorang da’i telah mempunyai ilmu yang cukup banyak dan termasuk bagian orang yang telah menempuh jalannya para penuntut ilmu maka sesungguhnya akan menjadikan dirinya pada lingkungan masyarakatnya bagaikan pelita yang akan memberi petunjuk sebagaimana hal ini pernah di katakan oleh Imam Ibnu Qoyim berkaitan dengan kedudukannya para ulama, beliau mengatakan: “Sesungguhnya mereka (para ulama) di dunia kedudukan menjadi seperti bintang di langit, karena dengan mereka (orang) akan mendapat petunjuk di tengah-tengah kegelapan, kebutuhan manusia kepada mereka sangatlah besar di bandingkan kebutuhannya mereka terhadap makanan dan minuman, dan ketaatan kepada mereka menjadi lebih utama di bandingkan ketaatannya mereka terhadap bapak dan ibu mereka”. (I’lam Muwaqi’in 1/9)

Ketika seorang da’i sudah bergerak menyebarkan ilmunya, berada di tengah-tengah manusia untuk mengajak perbaikan diri, memperingatkan mereka dari kelalaian dan kerusakan maka sesungguhnya ia sedang meraih kemulian sifat sebagaimana yang telah di sebutkan oleh Imam Ahmad, yang mana beliau mengatakan: “Segala puji hanya milik Allah yang telah menjadikan pada setiap zaman di utusnya para Rasul dan tetap adanya para ulama yang mengajak manusia yang tersesat untuk kembali kepada kebenaran, yang tetap sabar atas gangguan mereka. Mereka telah menghidupkan (hati-hati) yang telah mati dengan kitab Allah, memberi cahaya kepada orang yang telah buta dari (kebenaran) dengan cahaya Allah, betapa banyak orang yang telah terbunuh oleh anak panahnya iblis berhasil mereka hidupkan kembali, dan betapa banyak orang yang telah tersesat sanggup memperoleh petunjuknya kembali, betapa indahnya hasil perbuatan mereka terhadap manusia namun betapa buruknya perilaku balasan manusia kepada mereka”. (I’lam Muwaqi’in 1/9)

Dan para ulama dan para da’i sungguh sejarah telah mencatat nama harum mereka bahwa mereka adalah orang-orang yang di jadikan rujukan bagi orang yang sedang kebingungan, yang sedang berdiri (sehingga) turut di belakangnya, orang yang tadinya menolak pun dengan rela mau menerima (kebenaran), sebagai penyempurna bagi kekurangan yang ada, orang yang sedang tersesat pun bisa kembali lagi, dan mereka juga bisa mengembalikan kekuatan setelah (sebelumnya) dalam kelemahan. (Madaariju Saalikin 3/304)

Bagi para ulama dalam hal menjelaskan tentang kemuliaan dan keutamaan ilmu banyak perkataan-perkataan mereka yang sangat indah, diantaranya apa yang di katakan al-Khathib al-Baghdadi dalam bukunya yang berjudul al-Faqiih wal Mutafaqih (2/71) beliau mengatakan: “Sungguh Allah Ta’ala telah menjadikan ilmu sebagai sarana bagi para waliNya, dan pegangan bagi orang yang telah memilihnya dari para pengagumnya”.

Berkata Muhammad bin al-Qosim bin Khalaad: “Telah di katakan bahwa akal itu menunjukan kepada kebaikan,sedangkan ilmu adalah cahaya bagi akal, dia adalah pembuka hati dari pintu kebodohan, ilmu adalah sarana yang bisa menyakinkan teman duduknya, suatu hal yang sangat membahagiakan bagi para perindunya, sebaik-baik teman dan karib, tali (pegangan) yang paling suci, perdagangan paling menguntungkan, jerih payah yang paling baik, tempat untuk bernaung yang paling indah, sebaik-baik peliharaan yang ada di dunia yang dengannya akan menjadi cerah jalan menuju akhirat, tercegah dirinya dari melakukan perbuatan dosa, hati menjadi tenang, dan akan bertambah kemulian orang yang telah mulia, dan semakin tinggi kedudukannya, lupa pada ketakutan, merasa aman tatkala dalam kesusahan, akan menunjukan kepada ketaatan kepada Allah serta mencegahnya dari perbuatan maksiat, pemimpin menuju keridhoanNya, dan sarana untuk menggapai rahmatNya”. (al-Faqiih wal Mutafaqih 2/71)

Dan telah mengatakan Abu Hilal al-Askari dalam bukunya al-Hats ‘Ala Tholibil ilmi (hal: 43) beliau mengatakan: “Dan jika engkau – wahai saudaraku yang mulia- menginginkan kedudukan yang tinggi, sampai pada popularitasnya, tinggi kedudukannya di mata manusia, menyandang kemulian yang tidak runtuh di telan zaman, tidak terlupakan oleh lamanya zaman, mempunyai wibawa walau dirinya tidak memiliki kekuasaan, kaya tanpa harta, menang tanpa harus menggunakan senjata, tinggi dan luhur tanpa adanya sanak kerabat, akan menjadi dermawan tanpa pamrih, pasukan tanpa adanya barak, maka wajib atas kamu dari itu semua dengan ilmu, carilah ilmu di tempat-tempat yang engkau sangka akan memberi manfaat pada ilmumu dan engkau anggap layak untuk engkau jadikan sandaran dalam ilmumu”.

Ibnu Ishak bin Abi Farwah pernah mengatakan: “Manusia yang paling dekat dengan tingkatan kenabian adalah para ulama dan mujahid adapun para ulama maka mereka yang menunjuki manusia kepada apa yang dengannya para Rasul datang, adapun para mujahid maka mereka berjihad untuk memperjuangkan apa yang di bawa oleh para Rasul”. (al-Faqiih wal Mutafaqih 1/35)

&

Mempunyai ilmu yang cukup

25 Feb

Pilar-pilar Keberhasilan Seorang Da’i
Dr. Ali bin Umar bin Ahmad Ba Dahdah;
islamhouse.com

Dan pondasi ini sudah menjadi keharusan bagi diri seorang da’i yang tidak bisa di tawar-tawar lagi sehingga manusia akan mendapati adanya seorang da’i yang mampu menjawab dari pertanyaan-pertanyaanya, mampu menghilangkan persoalan-persoalan yang ada di tambah lagi dari itu persiapan yang matang untuk mengajari manusia hukum-hukum Islam, dan bisa melihat tentang kenyataan yang ada, dengan ilmu juga akan menjadikan seorang da’i mampu untuk menyakinkan orang serta menghilangkan keraguan dan kerancuan yang ada, akan menjadikan dirinya dalam perangai yang indah, dan selalu jenius di dalam menelurkan ide dalam nasehat dan bimbingan.

Dan manakala da’wah yaitu mengajak manusia kepada Allah Ta’ala itu memiliki kedudukan yang mulia bagi seorang hamba, bahkan da’wah adalah amalan yang utama, maka da’wah tersebut tidak mungkin akan tercapai kecuali dengan ilmu yang dengannya ia akan menyeru dan kepada ilmu itulah dia akan mengajak manusia, dan suatu keharusan bagi kesempurnaan da’wah sampainya ia kepada ilmu yang akan ia da’wahkan. (Miftah Daar Sa’adah 1/154)

Terjunnya seorang da’i di petualangan dan medan da’wah sedangkan ia tidak memiliki ilmunya akan mengantarkan dan mengakibatkan pada dampak yang buruk di karenakan seorang pelaku (da’wah) tanpa di sertai ilmu maka dia seperti orang yang sedang berjalan bukan pada jalannya, dan seorang pelaku (da’wah) bukan pada ilmunya maka kerusakannya lebih banyak dari pada memperbaiki. (Ibid 1/130)

Dan tidak mungkin amalan perbuatannya itu memperbaiki jika dirinya tidak memiliki ilmu dan fiqihnya, sebagaimana yang di katakan oleh Umar bin Abdul Aziz, beliau mengatakan: “Barangsiapa menyembah Allah Ta’ala tanpa di sertai ilmu maka kerusakan yang di hasilkan lebih banyak dari pada kebaikannya”. Hal ini juga seperti apa yang ada dalam sebuah hadits sebagaimana yang di riwayatkan oleh sahabat Mu’adz bin Jabal semoga Allah meridhoinya: “Ilmu adalah imamnya (pemimpinnya.pent) amal perbuatan sedangkan amal mengikutinya”. Dan ini jelas sekali jika dia ingin beramal, maka sebuah amalan tanpa di sertai dengan ilmu maka ia merupakan kebodohan, kesesatan, dan tergolong sebagai pengekor hawa nafsu. ( Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 28/135-136)

Dan sudah menjadi suatu hal yang biasa kalau kiranya tujuan seorang da’i itu akan menjadi suatu yang sangat berbahaya di karenakan manusia sedang memperhatikannya, dan mereka siap untuk mengambil contoh yang ada pada dirinya sehingga menjadikan perkara ilmu sangatlah penting bagi seorang da’i yang mengajak kepada Allah di karenakan ilmu yang akan menegakkan agama, dan menisbahkan kepada Rabb semesta alam. Maka hendaknya wajib bagi seorang da’i berada di atas petunjuk dan ilmu dari yang sedang ia seru kepadanya, demikian pula apa yang ia katakan, lakukan dan ia tinggalkan selalu berada di rel syari’at. Dan jika hilang ilmu yang seharusnya dia miliki serta tidak paham apa yang di inginkan maka dia sedang bertindak secara serampangan dan terjatuh pada perbuatan yang pandir, di karenakan berbicara tentang Allah dan RasulNya tanpa di sertai dengan ilmu maka menjadikan madharatnya lebih banyak dari pada manfaatnya, menjadikan kerusakannya lebih banyak dari pada memperbaikinya, bahkan bisa jadi ia memerintah kepada kemungkaran dan mencegah dari perbuatan ma’ruf (baik) di sebabkan kebodohannya dengan sesuatu yang telah Allah Ta’ala syari’atkan dan wajibkan, dan dengan sesuatu yang telah Allah larang dan haramkan. (Ushul Da’wah hal: 135)

Dan termasuk perkara-perkara yang banyak membuat fitnah di kalangan orang-orang awam adalah adanya perbuatan yang keliru yang datang dari sebagian orang-orang yang bodoh di kalangan ahli ibadah, di karenakan manusia menyangka dengan persangkaan yang baik kepada mereka, karena ibadahnya dan kebaikannya sehingga menjadikan mereka mengikutinya itu semua di sebabkan kebodohan yang ada. (Miftah daar Sa’adah 2/12)

Dan mereka rela mencontoh ahli ibadah tersebut hanya di karenakan dampak dari perilakunya tersebut, maka bagaimana dengan seorang da’i yang mana ia memberi arahan dengan perilaku dan perkataannya maka sesungguhnya akibat yang akan di peroleh lebih banyak dan lebih besar.

&

Ketiga: Memiliki hubungan yang baik bersama Allah Ta’ala

24 Feb

Pilar-pilar Keberhasilan Seorang Da’i
Dr. Ali bin Umar bin Ahmad Ba Dahdah;
islamhouse.com

Yang di maksud dari judul bab di atas adalah mengerjakan kewajiban-kewajiban yang ada, memperbanyak amalan sunah, menyibukan dirinya dengan dzikir-dzikir yang telah di syari’atkan, senantiasa membiasakan diri dengan kalimat istighfar serta memperbanyak di dalam membaca al-Qur’an, bersungguh-sungguh di dalam munajatnya kepada Allah Ta’ala, dan yang semisalnya dari qurbah (amalan yang bisa mendekat diri kepada Allah.pent) dan ketaatan-ketaatan yang lainnya, di karenakan ibadah akan menambah kekuatan bagi seorang da’i, seperti sholat maka sholat adalah shilah (penghubung) antara dirinya dengan Rabb Jalla wa ‘ala, tidak ada jalan lain untuk bisa menghindar dari sholat karena hal itu yang membedakan dirinya di dalam semangatnya ia pada ibadah sholat, bersegera untuk mengerjakan sholat, khusyu serta panjang di dalam sholatnya, sambil mengerjakan bersama jama’ah, karena dirinya memiliki banyak qudwah (contoh) dari para pendahulunya, seperti Sa’id bin Musayib beliau mengatakan: “Tidak pernah terlewatkan olehku sholat bersama jama’ah sebanyak empat puluh tahun”. (Nuzhatul Fudholaa 1/370.)

Adalah Rabi’ bin Khatsim maka beliau dituntun menuju sholat berjamaah manakala beliau mengalami lumpuh, ketika beliau di tanya perbuatanya tersebut, maka beliau mengatakan: “Sungguh saya telah mendengar panggilan hayya ‘ala sholat (mari kita sholat), maka jika kalian mampu untuk mendatanginya (maka datangilah) walau harus dengan merangkak”. (Ideem 1/381)

Saya tidak tahu mengapa ada seorang da’i yang rela untuk meninggalkan sholatnya bersama jama’ah di masjid, apa lagi ketika sholat shubuh dan sholat ashar walaupun mereka telah paham tentang keutamaan yang ada, seperti yang telah jelas dalam nash yang ada, lebih khusus lagi sholat berjamaah adalah sebagai bentuk pengagungan terhadap pahala yang akan di peroleh. Dan telah datang bagi orang-orang yang telah menyia-yiakan kedua sholat tersebut peringatan yang keras di mana mereka akan mendapatkan dosa, ketika di tanya maka sungguh akan banyak di dapati mereka mengambil keringanan dengan seenak perutnya sendiri sehingga tidak memperhatikan masalah tabkir (bersegera untuk mendatangi sholat jama’ah), tidak mempedulikan apakah ia mendapat takbirotul ihram atau tidak, dan saya tidak tahu apa yang akan mereka katakan bilamana mereka mendengar perkataanya Ibrohim bin Zaid at-Taimi, beliau pernah berkata: “Jika engkau mendapati ada orang yang menyepelekan keutamaan takbirotul ihram maka cucilah tanganmu darinya (berlepas dirilah darinya.pent)”. (Ideem 1/468)

Dengan apa mereka akan berkomentar jika mereka mengetahui bahwa Sa’id bin Abdul Aziz at-Tanuhi jika beliau ketinggalan satu sholat maka beliau langsung menangis. (Ideem 2/611).
Pada kenyataanya bahwa perkara ini sangatlah panjang kalau mau kita bicarakan seluruhnya adapun kekurangan dari sebgian da’i tentang masalah sholat bersama jama’ah adalah perkara yang sangat berbahaya, sedangkan dalil-dalil dari al-Kitab dan Sunah sangatlah banyak untuk di sebutkan semuanya.

Kemudian yang bisa menjalin hubungan bersama Allah Ta’ala adalah dzikir maka sesungguhnya dzikir memiliki kedudukan yang sangat agung yang mana dzikir itu terbentang luas yang mana bila seseorang itu sudah berdzikir maka dia bisa terus menyambung tanpa henti, namun siapa yang terlarang darinya maka ia akan terisolasi, dzikir adalah kekuatan hati seseorang yang mana kapan ia berpisah darinya maka anggota badannya bagaikan kuburan, penerang rumahnya yang mana jika padam maka akan rusak semuanya, dzikir adalah senjatanya yang dengannya mereka bisa mengalahkan para tukang begal, bagaikan air yang akan memadamkan hebatnya jilatan api, obat yang mujarab bagi hati yang sakit yang bilamana ia berpisah darinya maka rusaklah hati tersebut. (Tahdzib Madariju Saalikiin hal: 463)

Dzikir adalah ibadah yang tidak memiliki batasan yang berakhir dengannya, Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya”. (QS al-Ahzab: 41)

Tidak memiliki waktu yang khusus, Allah Ta’ala berfirman:
“Dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang”.( QS Thaahaa: 130)

Yang boleh dilakukan pada semua keadaan, Allah Ta’ala berfirman:
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring …”. (QS Ali Imran: 191)

Ahli dzikir mereka adalah kelompok pertama yang masuk dalam hadits yang di riwayatkan oleh Abu Hurairah, di mana Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Telah mendahului (kalian) mufridun, siapa mufridun itu wahai Rasulallah? Beliau menjawab: “Para laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir kepada Allah Ta’ala”. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab dzikir dan do’a, bab yang menjelaskan anjuran untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala. 17/4 oleh Imam Nawawi.

Majelis dzikir bagaikan taman dari taman-tamannya surga yang kita di anjurkan supaya mendekat kepadanya, seperti yang ada dalam haditsnya Anas bin Malik, Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika kalian melewati taman dari taman-taman surga maka mendekatlah, maka di katakan kepada beliau: “Seperti apa taman-taman surga itu? Beliau menjawab: “Majelis dzikir”. Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi beliau berkata Hadits hasan ghorib. (Lihat at-Targhib wa Tarhib 2/407-408)

Banyak berdzikir juga merupakan salah satu wasiat dari wasiat-wasiatnya Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang tercantum dalam hadits yang di riwayatkan oleh Abdullah bin Basyar, bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada Rasulallah: “Wahai Rasulallah sesungguhnya syari’at Islam itu sangatlah banyak untuk saya kerjakan beritahulah saya apa yang harus saya pegangi kuat-kuat? Beliau menjawab: “Jadikanlah bibirmu senantiasa basah untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala”. Di riwayatkan oleh Imam Tirmidzi beliau berkata: “Hadits hasan ghorib. (Lihat at-Targhib wa Tarhib 2/394)

Ahli dzikir dan majelis dzikir mereka akan di banggakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala di hadapan para malaikatNya, maka ini sebenarnya sudah cukup membikin kita semua berbahagia, hal ini sebagaimana hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang orang-orang yang duduk untuk berdzikir kepada Allah, beliau bersabda: “Akan tetapi telah datang kepada saya Jibril mengkhabarkan kepadaku bahwa Allah Azza wa jalla membanggakan kalian di hadapan para malaikat”. Di riwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab dzikir, bab yang menjelaskan keutamaan berkumpul untuk mempelajari al-Qur’an dan berdzikir. 17/23 oleh Imam Nawawi.

Selanjutnya yang bisa menjalin hubungan seorang da’i dengan Allah Ta’ala adalah kalimat istighfar (meminta ampun kepada Allah Ta’ala.pent) maka istighfar adalah merupakan bagian dari dzikir yang agung yang mana adalah Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam beliau beristighfar di dalam sehari semalam sebanyak tujuh puluh kali. Di riwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab do’a bab yang menjelaskan istighfarnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sehari semalam. Al-Fath 11/101.

Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam juga telah mengkhabarkan kepada umatnya bahwa siapa yang membiasakan dirinya membaca istighfar maka Allah akan menjadikan bagi dirinya dari setiap kesusahan jalan keluar, dari setiap kesempitan kelapangan, dan akan memberi rizki dari arah yang tidak di sangka-sangka. Hadits di riwayatkan oleh Imam Abu Dawud di dalam kitab sholat bab Istighfar no: 1518.

Oleh karena itu sudah menjadi keharusan bagi seorang da’i untuk selalu berdzikir kepada Allah Ta’ala supaya Allah selalu menghidupkan hatinya, demikian pula dia harus membiasakan dirinya dengan istighfar agar Allah menghapus dosa-dosanya.

Sedangkan dzikir yang paling utama adalah membaca al-Qur’an yang mana itu merupakan penghubung yang paling kuat yang di butuhkan oleh seorang da’i, membaca al-Qur’an juga memiliki dampak yang luar biasa baik itu di alam nyata di dunia da’wah maupun pada kehidupan pada umumnya, dan termasuk dari penghubung bersama Allah Ta’ala adalah menghormati al-Qur’an dengan selalu membiasakan dirinya membacanya serta mentadaburi makna kandungannya, mengokohkan secara kuat dan terus menerus mencontoh tauladannya sebagaimana para ulama melakukan hal tersebut, pada kenyataanya manusia akan rela menerima melihat tauladanya duduk bersama menasehati mereka dengan kebenaran, membimbing mereka menuju Allah Ta’ala, dan membiasakan itu semua. Dan dekatnya seorang da’i dengan kitab Allah Ta’ala menjadikan ruhnya dalam kesenangan, sebagai tempat bagi jiwanya dan sebagai cahaya yang akan menerangi akalnya, sebagai mesin penggerak bagi setiap gerak langkahnya dan tangga untuk menaiki prestasinya. (Ma’allah hal: 191)

Memiliki hubungan yang baik bersama al-Qur’an akan menjadikan dirinya terbeda dengan yang lainnya sebagaimana yang pernah di katakan oleh Ibnu Mas’ud semoga Allah meridhoinya, beliau mengatakan: “Bagi seorang penghafal al-Qur’an hendaknya ia paham pada malam harinya (ia gunakan untuk membaca dan mentadaburinya.pent) ketika kebanyakan manusia terlelap tidur, pada siang harinya ketika manusia sibuk dengan kesibukannya, ia juga tahu dengan kesedihannya ketika manusia sedang bahagia, dengan tangisannya ketika manusai senang dan tertawa, dengan diamnya ketika manusai ramai, dengan kekhusyuannya ketika manusia meninggalkannya, seharusnya bagi para pembawa al-Qur’an supaya ia sebagai orang yang mudah untuk menangis, sedih, penuh hikmah, bijaksana dan tenang pembawaanya. Tidak selayaknya bagi para pembawa al-Qur’an menjadi orang yang kering, lalai, mengecewakan, suka berteriak dan pemarah”. (Al-Fawaid hal: 192)

Kesimpulannya bahwa sifat keimanan yang menonjol dari seorang da’i menjadi bagian terpenting dan sebab untuk bisa sukses, yang mana keberhasilan itu bukan hanya ada pada bahasanya bagus tidak pula pada kuatnya di dalam istinbat dalil bukan pula dari banyaknya ia membantu orang namun bersamaan dengan itu dan sebelum itu semua adalah adanya taufik dari Allah Subhanahu wa ta’ala yang telah memberi kekhususan bagi para wali-waliNya, dan tidak di ragukan lagi bahwa para da’i yang banyak mengkhususkan waktunya mereka untuk Allah Ta’ala, mengajak manusia menuju jalanNya, maka sudah sepantasnya perasaan mereka tentang Allah Ta’ala itu lebih dalam, hubungannya dengan Allah lebih kuat, kesibukan yang mereka lakukankan (untuk Allah) pun bersifat kontiyu terus menerus, perjuangannya pun jelas. (Ma’allah hal: 190)

Dan kami menginginkan adanya ruhaniyah yang positif bukan yang sifatnya lembek hanya memusatkan pada beberapa jenis ibadah saja jauh dari kreatifitas yang sejalan dengan kehidupan dan yang berkaitan dengannya, sehingga dengan sebab memusatkan pada salah satu jenis ibadah tertentu menjadikan orang berada dalam kesusahan dan kepayahan.

Yang kami inginkan adalah ruhaniyah yang positif yang bisa mendorongnya untuk melakukan secara terang-terangan dengan bertujuan untuk mencapai mati syahid yang sangat dalam di dalam kebutuhan kepada ridho Allah Ta’ala, pergi mengikuti yang terlintas dalam hatinya mencari semua tempat yang bisa mencapai keridhoan Rabbnya, walau di dalam amalan yang paling rumit dan membutuhkan banyak bantuan sekalipun, sehingga menjadikan dirinya hidup berjalan bersama keyakinannya, pemikirannya dan perasaannya, di dalam hubungannya dan ambisinya. Maka itu semua akan merubah yang ada di dalam kepribadiannya menuju cita-cita kesehariannya bergerak dengan memperhatikan apa yang ada di sekelilingnya, membatasi dirinya selalu berada di atas pondasi yang di bangunnya. (Al-Harakah Islamiyyah humumun wa qodhoya hal: 14)

Tidak di pungkiri bahwa di sana masih ada kekurangan yang nampak jelas pada sebagian para da’i dan kelompok dan golongan islamiyah di dalam memperhatikan sisi ini, dan kebanyakan yang menjadikan itu di sebabkan condongnya mereka dalam memperhatikan sisi pemikiran, politik dan yang lainnya saja, oleh karena itu sebagian orang yang menisbahkan dirinya kepada da’wah masih kita lihat mereka sangat kurang dalam pengetahuan dan hubungannya bersama Allah Ta’ala.

&

Ikhlas kepada Allah Ta’ala

24 Feb

Pilar-pilar Keberhasilan Seorang Da’i
Dr. Ali bin Umar bin Ahmad Ba Dahdah;
islamhouse.com

Ikhlas kepada Allah Ta’ala adalah merupakan ruhnya agama dan isinya ibadah dan pondasinya siapa saja yang ingin menyeru dan mengajak kepada Allah Ta’ala. (Ideem hal: 201)
Dan ikhlas itu mengindikasikan kuatnya iman yang ada pada dirinya, yang sebelumnya di dahului dengan pergulatan hati yang itu semua akan mengantarkan pemiliknya –setelah, tentunya di situ ada saling menarik dan mengikat- kepada berlepas diri dari kepentingan-kepentingan pribadi, dan akan mengangkat dirinya dari tujuan yang pokok, yang mana ia akan meniatkan dari amal perbuatannya itu wajah Allah Ta’ala, tidak mengharapkan di belakang amalannya tersebut balasan dari orang lain maupun hanya sekedar ucapan terima kasih. (Shifaat Da’iyah Nafsiyah hal: 12)

Maka orang-orang yang ikhlas di dalam amal perbuatannya mereka menjadikan amalan-amalannya tersebut seluruhnya hanya untuk Allah Ta’ala, ucapannya pun hanya untuk Allah Ta’ala, ketika memberi dan mencegah dirinya untuk tidak melakukan sesuatu apa pun itu semua di lakukan hanya untuk Allah Ta’ala, demikian pula cinta dan marahnya hanya untuk Allah Ta’ala, maka bisa di simpulkan, seluruh mu’amalahnya baik yang nampak maupun yang bathin (tersembunyi) di lakukan hanya untuk mencari wajahnya Allah Ta’ala semata. (Tahdzib Madariju Saalikiin hal: 68)

Dan ikhlas bagi seorang da’i adalah suatu keharusan tidak terkecuali siapa pun orangnya, di karenakan kebutuhan dirinya kepada ikhlas harus berada di atas segala kepentingan dan urusannya, yaitu dalam rangka memenuhi perintah Allah Ta’ala seperti dalam firmanNya:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus”. (QS Al-Bayyinah: 5)

Dan jika ia meninggalkan keikhlasan maka di khawatirkan dia akan terhalangi dan akan di kembalikan amalannya serta tercegah untuk bisa memperoleh taufiknya Allah Ta’ala, di karenakan Allah Ta’ala pernah berfirman dalam hadits qudsi: “Saya tidak membutuhkan amalan yang di sertai dengan kesyirikan, barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang di dalamnya disertai dengan kesyirikan, maka akan saya biarkan ia bersama dengan sekutunya”. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab zuhud, bab yang menjelaskan tentang riya’ syarh shahih Muslim oleh Imam Nawawi 18/115.

Di dalam keikhlasan ini juga bisa sebagi tameng dari adzab pada hari kiamat nanti sebagaimana yang telah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam peringatkan tentang itu dalam sebuah sabdanya yang mengkisahkan orang yang beramal namun tidak di sertai dengan keikhlasan manakala beliau menyebutkkan kisah tiga orang (kelompok.pent) yang pertama kali akan di seret kedalam neraka mereka adalah qori’ (pembaca al-Qur’an) orang kaya dan seorang mujahid yang mana mereka tidak mempunyai niat sama sekali di dalam amalannya tersebut mengharap wajah Allah Ta’ala, sebagaimana yang tercantum dalam Shahih Muslim, kitab pemimpin, bab yang menjelaskan tentang orang yang berperang karena riya dan ingin di puji maka wajib bagi dirinya neraka.no:1513, 1514.

Maka menjadi suatu keharusan agar perkaranya senantiasa demikian yaitu berusaha sekuat tenaga agar selalu ikhlas di dalam amalannya dan berhati-hati dari semua yang bisa menghilangkan keikhlasan, di karenakan tidak akan mungkin berkumpul di dalam hati seseorang keikhlasan, cinta pujian dan tamak terhadap apa yang ada di tangan manusia kecuali seperti berkumpulnya air dan api dan dhob dengan ikan paus. (al-Fawaid hal: 195)

Yang menjadi kewajiban bagi seorang da’i yang telah paham dan tahu tentang Allah Ta’ala yang telah sampai pada tingkatan yang tinggi di dalam masalah iman adalah menjadikan raja’nya (rasa harapnya) hanya kepada Allah Ta’ala semata, itu semua lebih dulu di lakukan dari pada hanya sekedar memenuhi keinginan makhluk. Maka dengan ikhlas akan menjadikan nasehat mudah di terima dan membekas di dalam hati dan bagi da’wah akan menjadi mudah.

&

Takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala

24 Feb

Pilar-pilar Keberhasilan Seorang Da’i
Dr. Ali bin Umar bin Ahmad Ba Dahdah;
islamhouse.com

Takut kepada Allah Ta’ala adalah merupakan dampat yang teragung dari keimanan dan salah satu sifat seorang mukmin yang paling menonjol. Allah Ta’ala berfirman:
“(yaitu) orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat”. (QS al-Anbiyaa: 49)

Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman:
“(yaitu) orang-orang yang menyapaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah”. (QS al-Ahzab: 39)

Dan yang menjadi qudwah mereka dalam itu semua adalah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang mana beliau pernah bersabda: “Sungguh saya adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling bertakwa kepada (Allah) di antara kalian”. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Nikah, dan di dalam al-Fath kitab anjuran untuk menikah. (al-Fath 9/104)

Sedangkan al-Khasyah itu lebih khusus lagi maknanya dari khauf, yang mana al- Khasyah (takut) yang di sertai dengan pengetahuan di dalam rasa takutnya. (Tahdzib Madariju Saalikiin hal: 269)

Manakala hati seorang da’i mukmin itu di penuhi oleh rasa Khasyah dan Khauf maka mereka akan sangat berbeda dengan orang-orang yang lalai dan orang-orang yang suka bermain-main. Karena rasa takut kepada Allah Ta’ala akan mencegah pemiliknya antara dirinya dengan keharaman-keharaman Allah. Maka pemahamannya sebagaimana yang telah di katakan oleh Ibrohim bin Sufyan dengan penuh hikmah, beliau mengatakan: “Jika rasa takut (kepada Allah) itu telah menempati ruangan hati (seseorang) maka ia akan membakar semua bagian-bagian yang (tersisa) bagi syahwat dan dunia itu akan memantul (dari) dirinya”. (Ideem hal: 270)

Berkata Fudhail bin Iyadh: “Barangsiapa (yang memiliki) rasa takut kepada Allah Ta’ala maka tidak akan ada yang dapat mencelakainya, dan barangsiapa yang rasa takutnya kepada selain Allah maka tidak akan ada seorang pun yang bisa memberinya manfaat”. (Nuzhatul Fudholaa 2/661)

Dan khasyah ini akan mengantarkan seorang da’i kepada ketaatan, dan tidak ada yang bisa membantu seorang hamba di dalam perkara agamanya semisal rasa takutnya ia kepada Allah Ta’ala. (Ideem 2/513)
Dan seharusnya bagi seorang da’i ia harus memiliki tingkatan yang tinggi dalam masalah keimanan, ia menjadikan rasa takutnya kepada Allah Ta’ala lebih cepat dari pada perasaanya yang menghiasi dirinya di depan seorang penguasa. (Ma’allah hal: 190)

Maka khasyah adalah pondasi dari seseorang itu merasa selalu di awasi oleh Allah Ta’ala yang akan mengangkat derajatnya seorang mukmin menuju derajat ihsan yaitu beribadah kepada Allah seolah-olah melihatNya kalaupun tidak bisa melihatNya maka sesungguhnya Allah melihat dirinya.

&

Bebas dari peribadahan kepada selain Allah Ta’ala

24 Feb

Pilar-pilar Keberhasilan Seorang Da’i
Dr. Ali bin Umar bin Ahmad Ba Dahdah;
islamhouse.com

Iman yang kuat dan kokoh yang dengannya seorang mumin menjadi tinggi kedudukannya dimuka bumi dari setiap kekuatan manapun yang ada di muka bumi, dari setiap syahwat yang ada pada kenikmatan-kenikmatan dunia, ia menjadi bebas tidak di kuasai oleh seorang pun kecuali Allah Ta’ala, tidak merasa takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah, tidak mau tunduk kecuali kepada Allah, enggan untuk mencari (keridhoan) kecuali keridhoan dari Allah, tidak ada sesuatu y ang di harapkan kecuali yang datangnya dari Allah, tidak bertawakal kecuali kepada Allah, oleh karenanya bagi keimanan memiliki dampak yang sangat besar di dalam dua perkara yang paling urgen yang mengekang atas kehidupan manusia yaitu takut tidak memperoleh rizki dan takut dari kematian.

Adapun yang pertama tidak bisa di pungkiri bahwa betapa banyak orang yang bersemangat untuk (mencari dunia) terlihat menjadi rendah dan hina, betapa banyak kesibukan yang di lakukan manusia kecuali di karenakan kecintaannya mereka kepada harta, betapa banyak manusia yang menjual prinsip dasar agamanya, mereka tega berkhianat kepada umatnya dan mengingkari keadaaanya manakala ia mendapati tidak sesuai dengan apa yang di harapkan oleh hatinya, adapun seorang mu’min maka hakekat keimanannya akan memenuhi ruang hatinya tidak akan terpengaruh dengan suatu apapun dari ini semua itu semua di karenakan yang ada di dalam hatinya adalah firman Allah Ta’ala:

“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezkimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu”. (QS adz-Dzariyaat: 22)

Di karenakan pula karena ia paham dengan pasti di tangan siapa rizki itu berada, seperti yang Allah Ta’ala firmankan:
“Maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya… (QS al-‘Ankabut: 17)

Bahwasannya tidak ada seeorang pun yang ada dimuka bumi ini yang memiliki itu semua, yang ada di muka bumi ini semuanya adalah milik Allah Subahanhu wa ta’ala, Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki kepadamu… (QS Al-‘Ankabut: 17)

Dan terlepas dari itu semua ia mengetahui hakekat rizki yang ada di dunia, harganya sangatlah sedikit seperti bila mana kita gandengkan dengan firman Allah Ta’ala:
“Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal”. (QS Thaahaa: 131)

Dan firman Allah Ta’ala yang lainnya seperti dalam firmanNya:
“Sesungguhnya ini adalah benar-benar rezki dari Kami yang tiada habis-habisnya”. (QS Shaad: 54)
Dan juga hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang mana beliau bersabda, “Kalau sekiranya dunia itu memiliki nilai di sisi Allah di banding dengan sayap nyamuk tentu orang kafir tidak akan di beri minum air (sedikitpun)”. Di riwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam kitab zuhud, beliau mengatakan: “Bab yang menjelaskan tentang rendahnya dunia di sisi Allah”. (Hadits no: 2320.)

Dan berangkat dari sini berkata Imam Syafi’i Rahimahullah dalam bait syairnya:
أنا إن عشتُ لست أعدِمُ قوتًا وإذا مِتُّ لست أعدِم قبرًا
همتـي همةُ الملـوك ونفسي نفسُ حرٍّ ترى المذَلَّةَ قهرًا
Jika saya tetap hidup kekuatanku tidak mungkin bisa kekal
Ketika saya mati saya pun tidak akan kekal di dalam kuburku
Cita-citaku adalah cita-citanya para raja
Dan diriku adalah jiwa yang bebas yang jauh dari kebinasaan

Adapun yang kedua maka yang menjadi keyakinannya seorang mukmin bahwa kematian dan kehidupan itu ada di tangan Allah Ta’ala, bahwa tidak akan bisa selamat orang yang menghindar darinya, kalau sekiranya seluruh umat manusia ini bersatu untuk memberi madharat kepadanya dengan suatu hal maka mereka tidak akan sanggup untuk memudhorotinya kecuali dengan sesuatu yang telah Allah Ta’ala takdirkan kepada dirinya, bahwa kematian tidaklah datang dengan meminta izin terlebih dahulu dan orang yang sehat bukanlah pertanda bisa tertutupi oleh kematian namun sebagaimana yang Allah Ta’ala tegaskan dalam firmaNya, bahwa kematian itu akan menjemput siapa saja di manapun ia berada, Allah befirman:
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh..”. (QS an-Nisaa: 78)

Dari sini seorang mukmin akan kelihatan lebih menonjol dari pada yang lainnya, manakala hati merasa gemetar dan air mata bercucuran, meninggi kekhawatiranya di sebabkan ia bersemangat untuk hidup kekal, maka di dapati seorang mukmin seperti patok yang kokoh sebagaimana yang telah di katakana Khabib bin ‘adi beliau mengatakan dalam qosidahnya:
ولستُ أُبالي حين أُقتلُ مُسلِمًا على أي جَنبٍ كان في الله مصرَعِي
Saya tidak peduli ketika aku terbunuh sebagai seorang muslim *** bagaimana aku meninggal dijalan Allah
Teringat perkataannya sahabat Ali bin Abi Tholib semoga Allah meridhoinya:
أي يوميَّ من الموت أفر يـوم لا يقـدر أو يوم قُدر
يوم لا يقدر لا أرهبـه ومن المقدور لا ينجو الحذر

Hari apa yang saya bisa lari kematian *** hari yang tidak ditakdirkan atau yang telah ditakdirkan
Aku tidak takut terhadap hari yang tidak ditakdirkan (kematianku) *** dan kehati-hatian tidak bisa menyelamatkan seseorang dari takdir

Seorang mukmin teringat keadaan yang di alami oleh sahabat Anas bin Nadhar ketika pada suatu hari beliau mencium baunya surga pada peperangan uhud maka ia begitu merindukan untuk bisa segera menjemput kematian, dan juga seorang mukmin mendapati bagaimana dalamnya keimanan yang di miliki oleh Amir bin al-Hamaam ketika menjadi panjang -di karenakan memakan kurma- pada kehidupan ini, seorang mukmin akan berhenti sejenak di atas keimanan yang membahagiakan ketika bertemu dengan seorang yang mati syahid sambil mengatakan: “Demi Rabb pemilik ka’bah sungguh saya telah menang”. Jangan pula di lupakan bagaimana khabarny para tukang sihirnya Fir’aun manakala mereka berbalik menjadi beriman kepada Nabi Musa ‘Alaihi sallam mereka di takut-takuti dengan kematian mereka mengatakan seperti yang Allah Ta’ala kisahkan dalam firmanNya:
“Maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja”. (QS Thaahaa: 72)

&