Fanatisme Madzhab dalam Tinjauan Syari’ah

20 Feb

Fanatisme Madzhab dalam Tinjauan Syari’ah
Madzab Fiqih, Kedudukan dan Cara Menyikapinya
Abdullah Haidir; islamhouse.com

Fanatisme mazhab (at-Ta’ashshub al-Mazhabi) adalah istilah yang diberikan kepada sikap yang hanya mengakui mazhabnya sebagai landasan dalam beragama dan menolak pendapat lain walaupun didukung oleh dalil yang kuat. Bagaimanakah kedudukan sikap tersebut dalam syariat ? Dalam banyak ayat-Nya, Allah Ta’ala secara tegas memerintahkan orang beriman untuk menjadikan ajaran-ajaran-Nya dan Rasul-Nya sebagai sumber hukum dan rujukan utama atas setiap perkara mereka.

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan rasulnya telah menetapkan sesuatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentan urusan mereka”. (QS. aI-Ahzab : 36)

“Sesungguhnya jazvaban orangorang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasulNya agar rasul menghukum (mengadilil) di antara mereka ialah ucapan: “Kami mendengar dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan” (QS. an-Nur : 51-52)

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat ten tang sesuatu, maka kembalikanlah is kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. an-Nina : 59)

Dengan demikian jelas, bahwa pedoman dan rujukan utama yang harus dipegang kuat-kuat oleh seorang muslim adalah al-Quran dan Hadits. Hal inilah yang dipahami oleh para shahabat A.. Tampak dari sikap mereka yang sangat menghormati dan menomorsatukan ucapan Allah dan Rasul-Nya di atas ucapan lainnya.

Ibnul Qoyyim meriwayatkan tentang Umar bin Khottob, Dalam salah satu suratnya kepada Syuraih (salah seorang qadhi di salah satu wilayah kekuasaan Islam), beliau menulis:
“Jika engkau nenemukan sesuatu dalam Kitabullah, maka berhukumlah dengannya, jangan menoleh kepada selainnya sedikitpun. Jika datang kepadamu permasalahan yang tidak terdapat dalam kitabullah maka hukumilah dengan sunnah Rasulullah saw. jika datang kepadamu masalah yang tidak terdapat pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw, maka tetapkanlah keputusan berdasarkan ijma”, dan jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah serta tidak ada yang membicarakannya sebelummu, maka jika kamu mau berijtihad lakukanlah, jika kamu mau menundanya, tundalah dan saya melihat menunda itu lebih baik” (I’lamul Muwaggi’in, juz 1, hal, 65.)

Sikap Para Imam Mazhab Itu Sendiri.

Bahkan para imam mazhab itu sendiri telah mengeluarkan pernyataan-pernyataan jelas yang pada umumnya menyatakan bahwa Al-Quran dan Hadits harus didahulukan dari ucapan lainnya, termasuk ucapan mereka sendiri, seraya mereka mengecam siapa saja yang menjadikan perkataannya diletakkan lebih utama dari al-Quran dan Hadits.

Imam Abu Hanifah berkata :
“Tidak boleh seseorang berkata dengan perkataan kami (berpendapat dengan pendapat kami) sebelum dia tabu darimana sumber pendapat kami” (At-Ta’dzim wa al-Minnahfi al-Intishar li as-Sunnah, hal 26. )

“Wahai Ya’qub, jangan tulis semua yang kau dengar dariku, sesungguhnya aku dapat saja berpendapat sesuatu pada hari ini, dan aku tinggalkan besok, atau aku berpendapat besok, lalu lusanya aku tinggalkan” (At-Ta’dzim wa al-Minnah fi al-Intishar ti as-Sunnah, hal 26.)

Imam Malik berkata:
“Jika seseorang yang meninggalkan perkataan Umar bin Khottob (shahabat nabi) demi mengikuti ucapan Ibrahim An-Nakhoi (tokoh tabi’in), dia harus diminta bertaubat, apatah lagi orang yang meninggalkan perkataan Allah dan Rasul-Nya demi untuk mengikuti perkataan orang yang tingkatannya berada di bawah atau sebanding dengan Ibrahim an-Nakho’i” (I’Iaamul Muwaggi’iin, juz II/178.)

“Sesungguhnya saya hanya seorang manusia, bisa benar hisa salah, maka perluttikanlah pendapat saya; apa saja yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, ambillah, dan apa saja
yang bertentangan dengan Kitab dan Sunnah, tinggalkanlah” (At-Ta’dzim wa al-Minnahfi al-Intishar li as-Sunnah, hal 36)

Imam Syafi’i berkata:
“Perumpamaan orang yang menuntut ilmu tanpa dalil bagaikan pencari kayu bakar di malam hari, dia membawa seikat kayu bakar padahal di dalamnya terdapat ular yang akan mematuknya sedang dia tidak tahu” ( I’Iamul Muwaqqi’in, juz: 11/178.)

“Jika kalian mendapatkan dalam kitabku apa yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah Z, ambillah pendapat sesuai sunnah dan tinggalkanlah apa yang aku ucapkan” (Manaqib Imam Syafi’i, Ibnu Katsir, 178)

“Setiap yang datang dari Rasulullah adalah pendapatku, meskipun tidak kalian dengar dariku” (Manaqib Imam Syafi’i, Ibnu Katsir, 179)

“Jika kalian menemukan sunnah (Rasulullah %) ikutilah dan jangan menoleh kepada pendapat seseorang” ( Manaqib Imam Syafi’i,180 )

Imam Ahmad berkata :
“Jangan engkau taklid kepadaku, jangan juga bertaklid kepada Malik, ats-Tsauri dan al-Auza’i, ambillah dari tempat mereka mengambil”.
“Merupakan tanda minimnya pemahaman seseorang (terhadap agamanya), jika kehidupan agamanya tergantung pada orang perorang”. (I’laamul Muwaggi’iin,11/178)

Dari sejumlah dali-dalil yang telah disebutkan di atas dan pemahaman serta sikap para shahabat serta para imam mujtahid, nyatalah bahwa tidak ada satupun dalil yang menguatkan untuk berpedoman pada satu mazhab tertentu dalam beribadah. Yang ada adalah perintah untuk menjadikan al-Quran dan hadits sebagai pedoman utama sebelum yang lainnya.

Pendapat ini bahkan dikuatkan para imam mazhab itu sendiri, lewat ungkapan-ungkapan mereka yang telah disebutkan di atas yang menyatakan ketidaksetujuannya dengan adanya taklid dan fanatisme mazhab seperti itu. Sehingga jika dikatakan siapakah para ulama yang paling pertama menentang adanya taklid membabi buta terhadap mazhab tertentu ?, maka jawabannya adalah para imam mazhab itu sendiri.

Karena itu apa yang disaksikan di sebagian masyarakat muslim yang berpegang teguh pada mazhab tertentu dalam beribadah dan menolak pendapat lainnya meskipun didukung dalil . yang kuat, bahkan menjadikannya sebagai asas wala’ dan bara’nya, sesungguhnya tak lebih merupakan penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam yang memerintahkan setiap orang beriman untuk berpegang teguh kepada al-Quran dan Sunnah dan bukan kepada mazhabnya yang dia anut.

Disamping itu, hal tersebut (fanatisme mazhab) juga merupakan penyimpangan sejarah yang perlu diluruskan. Karena berpedoman pada mazhab tertentu dan tidak merujuk kepada al-Quran dan Sunnah bukan merupakan metode atau cara yang dilakukan oleh Salafushshaleh; yaitu generasi shahabat, tabi’in dan tabittabi in. Hal tersebut baru muncul setelah abad ke tiga. Karenanya para ulama menyatakan bahwa berpedoman dengan mazhab tertentu dalam ibadah adalah perkara bid’ah.

Ibnu al-Qoyyim rahimahullah berkata tentang taklid: “Ini merupakan bid’ah yang buruk yang terjadi di kalangan umat. Hal ini tidak pernah dinyatakan oleh pars imam, padahal mereka lebih tinggi kedudukannya dan lebih mengetahui ajaran Allah dan Rasul-Nya jika ingin
mewajibkan manusia untuk itu.

Lebih keliru lagi orang yang berkata : Wajib bermazhab dengan mazhab salah seorang ulama, bahkan lebih keliru dari itu, orang yang mengatakan:
Wajib bermazhab dengan salah sate mazhab yang empat” (I’laamul Muwaqqi’iin, IV/333)

Bahkan Imam Nawawi berkata:
“Dalil yang ada menunjukkan bahwa seseorang tidak diwajibkan bermazhab dengan mazhab tertentu, akan tetapi dia boleh meminta fatwa kepada siapa yang dia kehendaki,
tetapi dengan syarat tidak mencari-cari yang ringan” (Al-Madkhol, hal. 217.)

&

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: