Ketika Wanita Punya Nazar
Wanita Dalam Pandangan Islam
Karya: Dr. Syarief Muhammad abdul adhim;
Penerjemah: Ibrahim Qamaruddin, Lc.
Berdasarkan Kitab Al-Muqaddas, wajib bagi laki-laki untuk menunaikan nazar apa saja yang pernah dia janjikan untuk di jalan Allah, dan wajib untuk tidak mengingkari janjinya. Adapun perempuan, dia tidak mampu untuk bernazar suatu nazar dengan sendirinya karena wajib disepakati (nazarnya) oleh ayahnya jika dia belum nikah atau suaminya jika dia sudah menikah. Karena jika tidak disetujui oleh bapak atau suami atas nazarnya maka sama seperti dia tidak bernazar sedikitpun:
“Jika seorang laki-laki bernazar suatu nazar untuk Tuhan atau bersumpah dengan suatu sumpah bahwa dia ingin mewajibkan dirinya dengan suatu kewajiban, maka dia tidak boleh membatalkan perkataannya. Sesuai apa yang keluar dari mulutnya dia harus melaksanakannya. Dan adapun perempuan jika dia bernazar suatu nazar untuk Tuhan dan mewajibkan dirinya dengan suatu kewajiban di rumah ayahnya pada waktu kecilnya dan didengarkan oleh ayahnya nazar dan kewajibannya tersebut yang dia wajibkan untuk dirinya, jika ayahnya terdiam untuknya maka semua nazarnya sah dan juga semua kewajiban yang dia wajibkan untuk dirinya sah. Dan jika ayahnya melarangnya pada hari dia mendengarkannya bernazar, maka setiap nazar dan kewajibannya yang dia wajibkan untuk dirinya menjadi batal. Dan jika dia bersuami dan dia bernazar atau kedua bibirnya mengucapkan sesuatu yang dia wajibkan untuk dirinya dan didengar oleh suaminya, jika suaminya terdiam pada hari dia mendengarkannya bernazar maka sah nazarnya dan juga kewajiban-kewajiban yang dia wajibkan untuk dirinya. Dan jika dilarang oleh suaminya ketika dia mendengarkannya bernazar, maka batallah nazarnya yang wajib untuknya dan ucapan kedua bibirnya tentang kewajiban yang dia wajibkan untuk dirinya juga batal”. (`Adad 30: 2-15).
Kenapa ucapan perempuan tidak diperhitungkan? Jawabannya sangat mudah: karena dia (perempuan) adalah milik (dikuasai) ayahnya sebelum dia menikah. Karena penguasaan ayah terhadap anak perempuannya sampai kepada suatu tingkatan dimana sang ayah boleh menjual anak perempuannya jika dia ingin! Maka seorang pendeta berkata: “Boleh bagi seorang ayah untuk menjual anak perempuannya. Akan tetapi ibu tidak mampu menjual anak perempuannya. Seorang ayah boleh meminang (menentukan jodoh) untuk anak perempuannya, akan tetapi ibu tidak mampu (tidak boleh)”.
Dan dijelaskan oleh beberapa pendeta juga bahwa seorang perempuan jika dia sudah menikah akan berpindah dari penguasaan ayah kepada penguasaan suaminya. “Sesungguhnya pernikahan menjadikan perempuan milik suaminya dan merupakan kebenaran yang tidak boleh dilanggar”. Dan tentu saja tidak mungkin bagi perempuan untuk melakukan suatu perjanjian yang tidak disetujui oleh penguasanya (yang memilikinya).
Dan senantiasa hal ini berdampak negatif terhadap posisi perempuan dalam akidah orang-orang Yahudi dan Masihi hingga permulaan abad ini. Karena pekerjaan apa saja yang dilakukan oleh seorang perempuan di Barat tidak mempunyai ketetapan yang sah, dan suaminya berhak untuk membatalkan akad apa saja yang telah ditulis oleh isterinya atau transaksi apa saja yang telah dia perbuat. Maka perempuan dalam akidah orang-orang Yahudi dan Masihi tidak mungkin untuk melakukan suatu pekerjaan apapun karena dia adalah milik bagi orang lain. Maka perempuan-perempuan di Barat bersedih kira-kira selama dua ribu tahun disebabkan penguasaan ayah kemudian suami terhadap dia.
Dalam Islam setiap muslim mampu (baik laki-laki atau perempuan) untuk bernazar suatu nazar dengan dirinya sendiri, dan tidak berhak bagi siapa saja untuk menolak perjanjian-perjanjian yang telah dibuat oleh orang lain. Akan tetapi, jika seorang laki-laki atau perempuan tidak mampu untuk menunaikan janji (nazarnya), maka dia harus menunaikan kaffarat (denda atas pelanggaran janjinya) sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur`an:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluarga kamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat bagi sumpah-sumpahmu ketika kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepada kamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)”. (QS. Al-Maaidah: 89).
Kemudian para laki-laki dan perempuan mereka bersumpah di depan Rasulullah Saw. sebagai sumpah ketaatan dan keikhlasan. Maka perempuan sama seperti laki-laki, dia bersumpah di depan Rasulullah Saw., dalam al-Qur`an dijelaskan:
“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka, dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Mumtahanah: 12).
Dan tidak berhak bagi laki-laki untuk bersumpah menggantikan anak perempuannya atau isterinya dan dia juga tidak berhak untuk menolak sumpah apa saja yang telah disumpahkan oleh anak perempuannya atau isterinya.
Tinggalkan Balasan