Tanggungan Harta oleh Istri ?

23 Feb

Tanggungan Harta oleh Istri ?
Wanita Dalam Pandangan Islam
Karya: Dr. Syarief Muhammad abdul adhim;
Penerjemah: Ibrahim Qamaruddin, Lc.

Sesungguhnya ketiga agama (Islam, Yahudi dan Masihi) sepakat tentang pentingnya pernikahan dan pembentukan keluarga. Dan sepakat bahwasanya suami adalah kepala rumah tangga. Akan tetapi, disana terdapat perbedaan yang jelas tentang sejauh mana penguasaan suami. Karena akidah orang-orang Yahudi dan Masihi -berbeda dengan akidah orang-orang Islam- menganggap penguasaan ini berlangsung sampai kepada tingkatan suami menguasai isterinya. Pada akidah orang-orang Yahudi, seorang suami menguasai atau memiliki isterinya seperti penguasaan terhadap seorang budak.

Hal ini yang menjadi sebab merangkapnya ukuran pada undang-undang perzinahan dan mampunya suami untuk menolak nazar apa saja yang dinazarkan oleh isterinya, dan dasar ini juga mengharamkan perempuan mendapatkan hak pada hartanya dan propertinya. Oleh karena perempuan orang-orang Yahudi menikah, maka suaminyalah yang berhak mengatur dan berkuasa pada hartanya dan propertinya. Dan para pendeta Yahudi berkata bahwasanya isteri dan hartanya milik suaminya.

Lebih dari itu, pernikahan (pada orang-orang Yahudi) menjadikan perempuan yang kaya menjadi bangkrut. Hal itu telah dijelaskan dalam Talmuud sebagaimana berikut: “Perempuan tidak mempunyai apa-apa sedikitpun, karena setiap yang dia miliki adalah milik suaminya. Dan setiap apa yang dimiliki suami adalah miliknya (suami sendiri), dan setiap apa yang dimiliki isterinya adalah kepunyaan dia juga, dan setiap apa yang diusahakan isterinya atau apa yang dia dapatkan di jalan adalah miliknya (suami) juga ,dan setiap sesuatu yang ada di rumah seperti potongan roti di atas meja makan adalah miliknya juga. Dan jika isteri mengajak tamu ke rumah dan memberinya makan, maka dia dikategorikan mencuri hak milik suaminya”. (Talmuud Git 62 a, San 71 a).

Sesungguhnya perempuan-perempuan Yahudi, dia menarik pinangannya dengan hartanya. Maka seorang ayah dalam keluarga Yahudi menyiapkan sebagian dari hartanya untuk anak perempuannya. sebagai mahar untuk suaminya. Dan mahar ini yang menjadikan sebab kelahiran anak perempuan merupakan dendam di sisi ayah Yahudi. Selain wajib untuk mendidiknya sepanjang hidup, seorang ayah juga harus memberikan sebagian hartanya ketika anak perempuannya menikah. Oleh karena itu, gadis-gadis dalam keluarga orang Yahudi adalah suatu kesedihan dan tidak ada faidahnya.

Dan hal ini yang mengakibatkan tidak adanya kegembiraan ketika lahirnya anak perempuan di masyarakat Yahudi dahulu (lihat bab Anak Perempuan Memberikan Aib?). dan mahar diberikan kepada suami sebagai hadiah dan menjadi miliknya, akan tetapi dia tidak berhak untuk menjualnya, dan sang isteri tidak berhak sedikitpun terhadap mahar tersebut. Kemudian suami memberikan hadiah kepada pengantin perempuan, akan tetapi hadiah ini juga milik suami setelah menikah.

Lebih dari itu, sang isteri wajib bekerja setelah menikah dan setiap apa yang dia peroleh adalah milik suaminya karena dia yang bertanggung jawab atasnya. Dan tidak mungkin bagi isteri untuk meminta hartanya kecuali pada dua keadaan: “ditalak atau suaminya meninggal”. Apabila sang isteri meninggal sebelum suaminya, maka barang-barangnya akan diwariskan kepada suaminya. Ketika suami meninggal, maka isteri hanya berhak meminta mahar yang telah dia bayar sebelum menikah, dan dia tidak mempunyai hak sedikitpun untuk mewarisi harta-harta suaminya.

Dalam beberapa kurun waktu yang lalu, akidah orang-orang Masihi mengikuti akidah orang-orang Yahudi. Karena keduanya bersumber dari undang-undang sipil dan agama dari kaisar Romania orang-orang Masihi (setelah kaisar Qostantin), yang mana dia mensyaratkan akad kesepakatan mengenai warisan dalam pernikahan. Dan bagi para keluarga perempuan, mereka mengkhususkan mahar yang mahal untuk anak-anak perempuan mereka. Dan hal itu menyebabkan para kaum laki-laki mengajukan agar cepat-cepat dinikahkan di mana para keluarga perempuan memperlambat pernikahan anak perempuan mereka.

Sesuai dengan undang-undang gereja, isteri boleh meminta maharnya jika sudah berakhir pernikahannya kecuali jika dia tertuduh berzina, maka wajib bagi dia untuk untuk merelakan mahar tersebut untuk suaminya sebagai denda.

Dan sesuai dengan undang-undang sipil dan gereja-gereja, maka seorang isteri di Eropa dan di Amerika dia tidak mempunyai hak terhadap harta-hartanya (propertinya), ini berlangsung sampai akhir abad ke sembilan belas dan permulaan abad ke dua puluh. Maka muncullah undang-undang yang mengatur hak-hak perempuan yang sesuai dengan undang-undang Inggris pada tahun 1632. Dari undang-undang ini: “Setiap apa yang dimiliki suami maka itu adalah miliknya. Dan setiap apa yang dimiliki isteri adalah milik suaminya juga”.

Perempuan tidak hanya kehilangan harta-hartanya saja setelah menikah, bahkan kepribadiannya juga ikut hilang, karena tidak sah pekerjaan apapun yang dia kerjakan. Kemudian suaminya mampu untuk melarang pekerjaan apapun atau jual beli apapun yang dia lakukan. Dan siapa saja yang melakukan akad transaksi dengannya dikategorikan sebagai orang yang berbuat suatu tindakan kriminal (dosa) dan berkongsi dalam tindakan kriminal Nashab. Sebagaimana dia tidak mampu untuk mengangkat Qadhiyah (keputusan) dengan namanya dan juga tidak bisa mengangkat Qadhiyah terhadap suaminya.

Oleh karena itu perempuan yang sudah menikah diperlakukan seperti anak-anak dan sesuai dengan undang-undang, karena dia dikategorikan milik suaminya dan selanjutnya dia kehilangan hartanya dan kepribadiannya dan nama keluarganya.

Islam sejak munculnya telah menjaga kepribadian perempuan yang bebas, yang telah dilanggar oleh akidah orang-orang Yahudi dan Masihi sampai pada beberapa waktu yang lalu. Maka pengantin perempuan dan keluarganya, mereka tidak berkewajiban untuk membayar mahar kepada pengantin laki-laki, dan seorang gadis dalam keluarga muslimah bukanlah suatu kesedihan. Islam sangat memuliakan perempuan karena dia tidak mewajibkan baginya untuk memberikan hadiah agar bisa menarik pinangannya. Bahkan pengantin laki-lakilah yang seharusnya memberikan hadiah kepada pengantin perempuan, dan hadiah tersebut menjadi milik sang isteri dan tidak ada yang berhak atas hadiah ini, tidak suaminya dan juga tidak terhadap keluarga perempuan. Dalam masyarakat-masyarakat muslimah sekarang, mahar seorang perempuan telah mencapai apa yang sebanding dengan (USD 100.000) dari intan.

Hadiah menjadi milik dia (isteri) walaupun dia ditalak, dan tidak ada haknya suami terhadap barang-barang (property) isteri kecuali kadar yang telah diperbolehkan sang isteri untuknya. Sebagaimana di jelaskan dalam al-Qur`an:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita-wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. (QS. An-Nisaa`: 4).

Kemudian perempuan mempunyai hak untuk mempergunakan hartanya sebagaimana yang dia kehendaki, karena dia dan anak-anaknya merupakan tanggungan suaminya.

Bagaimanapun kayanya sang isteri, dia tidak berkewajiban untuk membantu suami dalam memberikan nafkah terhadap keluarganya kecuali jika dia ridha terhadap hal tersebut. Dan dia mempunyai hak untuk mewarisi suaminya setelah suaminya meninggal, begitupun suami berhak mewarisi isterinya. Demikianlah perempuan yang telah menikah dalam Islam, terjaga kepribadiannya juga nama keluarganya.

Suatu ketika seorang jaksa (qadhie) Amerika berkomentar tentang perempuan muslimah: “Sesungguhnya perempuan muslimah ibarat matahari, karena dia bebas dan dia bisa menjaga kepribadiannya dan nama keluarganya sampai walaupun dia menikah sepuluh kali”.

&

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: