Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi
Apabila seseorang telah menikahi seorang anak perempuan maka haram baginya menikahi anak perempuan itu untuk selama-lamanya. Demikian menurut pendapat para imam madzab.
Diriwayatkan dari Ali ra. dan Zaid bin Tsabit ra. bahwa keharaman menikahi ibu perempuan itu adalah jika anaknya yang dinikahi telah dicampuri. Pendapat ini juga diterima dari Mujahid.
Zaid bin Tsabit berpendapat: jika ia menalak perempuan itu sebelum dicampuri, maka ia boleh menikahi ibu anak tadi. Sedangkan jika anak perempuan meninggal sebelum dicampuri maka ia boleh menikahi ibunya. Kematian sama dengan pencampuran dalam masalah ini, menurut Zaid bin Tsabit.
Para imam madzhab sepakat apabila ibu dari seorang perempuan yang dinikahi dan telah dicampuri maka anak perempuan itu tidak boleh dinikahi oleh orang yang menikahi ibunya, meskipun anak perempuan itu tidak berada dalam asuhannya.
Dawud berkata: jika anak perempuan tersebut tidak berada di bawah kekuasannya maka ia boleh dinikahi.
Keharaman perempuan mushaharah, yaitu muhrim karena hubungan perbesanan, berntung pada terjadinya percampuran pada kemaluannya. Jika terjadi pencampuran tidak pada kemaluannya, tetapi dengan dorongan syahwat, maka apakah keharamannya dapat bergantung pada hal tersebut? Hanafi berkata: hal demikian bisa mengakibatkan keharamannya. Bahkan ia pun berkata: melihat kemaluan sama dengan bercampur dalam hal keharaman menikahi mushaharah.
Wanita pezina [pelacur] boleh dinikahi. Demikian pendapat Hanafi dan Syafi’i. Dan Hambali berpendapat: haram menikahinya sebelum bertaubat terlebih dahulu.
Orang yang berzina dengan seorang perempuan tidak diharamkan menikahi perempuan tersebut, begitu pula menikahi ibu dan anaknya. Demikian menurut pendapat Maliki dan Syafi’i. Menurut Hanafi: keharaman mushaharah bergantung pula pada perzinaan. Hambali menambahkan: apabila seorang laki-laki melakukan hubungan sejenis [homo seksual] dengan laki-laki lain maka ia diharamkan menikahi ibu dan anak perempuannya.
Para imam madzhab sepakat bahwa apabila seorang perempuan berbuat zina maka pernikahannya tidak batal. Namun diriwayatkan dari Ali ra. dan al-Hasan al-Bashri bahwa dalam hal demikian pernikahannya menjadi batal.
Apabila seseorang berzina, kemudian ia menikah, maka suaminya boleh langsung mencampurinya tanpa ‘iddah. Akan tetapi jika ia hamil maka makruh menyetubuhinya hingga ia melahirkan. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i.
Maliki dan Hambali mengatakan: diwajibkan atasnya menunggu masa ‘iddah, dan diharamkan atas suaminya menyetubuhinya hingga habis masa ‘iddah-nya.
Abu Yusuf berpendapat: apabila perempuan itu hamil maka haram menikahinya hingga ia melahirkan. Sedangkan jika ia tidak hamil maka tidak haram menikahinya dan ia pun tidak perlu menunggu masa ‘iddah.
Apakah boleh menikahi anak sendiri dari hasil perzinaan? Hanafi dan Hambali mengatakan, tidak halal menikahi anak sendiri hasil perzinaan. Syafi’i berpendapat: boleh, tetapi makruh. Dari Maliki diperoleh dua pendapat: pertama tidak boleh, kedua boleh.
Para imam madzhab sepakat tentang haramnya mengumpulkan dua perempuan bersaudara [kakak beradik] untuk dinikahi dalam satu masa. Juga diharamkan menikahi seorang perempuan beserta bibinya, baik bibinya dari pihak bapak maupun dari pihak ibu.
Hanafi berpendapat: sah menikahi seorang perempuan sesudah menikahi saudaranya. Namun tidak dihalalkan menyetubuhinya sebelum mengharamkan persenggamaan dengan saudaranya yang telah dinikahi terlebih dahulu.
Barangsiapa yang masuk Islam, sementara ia mempunyai Istri lebih dari empat orang, maka ia harus memilih empat di antara mereka untuk dijadikan istri tetapnya. Jika di antara istri-istrinya ada yang bersaudara [kakak-beradik], maka ia harus menceraikan salah satunya. Demikian menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Hanafi berpendapat: jika pernikahan dengan lebih dari empat istri tersebut terjadi dalam satu keadaan, maka akad pernikahannya batal. Sedangkan jika terjadi dalam beberapa akad maka sah pernikahannya dengan empat orang istri yang pertama saja. demikian pula halnya dengan dua saudara kakak beradik yang telah dinikahi.
Jika salah seorang suami istri keluar dari agama Islam [murtad] maka secepatnya bercerai secara mutlak, baik murtadnya sebelum bercampur maupun sesudahnya. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Maliki. Sedangkan Syafi’i dan Hambali berpendapat: jika murtadnya sebelum terjadi bercampur maka harus segera bercerai. Namun jika murtadnya sesudah bercampur hendaknya ditunggu hingga ‘iddah-nya selesai.
Apabila suami istri sama-sama murtad maka hukumnya seperti ketika terjadi murtad salah satu di antara mereka, yaitu terjadi keduanya bercerai. Hanafi: tidak bercerai.
Pernikahan orang kafir dengan orang kafir adalah sah. Pernikahannya bergantung pada hukum-hukum yang berkaitan dengan hukum-hukum yang berlaku bagi kaum Muslim. Demikian menurut pendapat Hanafi, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Maliki berpendapat: pernikahannya batal.
Bolehnya seorang laki-laki menikahi budak perempuan dengan syarat berikut:
1. Takut terjerumus ke dalam perzinaan
2. Tidak ada kesanggupan untuk menikahi perempuan merdeka
Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Hanafi berpendapat: bolehnya tidak tergantung pada dua syarat tersebut. Yang menghalangi adanya istri yang merdeka atau sedang dalam masa ‘iddah.
Tidak halal bagi seorang muslim menikahi budak ahlul kitab, menurut Syafi’i, Maliki, dan Hambali. Sedangkan Hanafi berpendapat halal.
Menurut Syafi’i dan Hambali: seorang yang merdeka tidak boleh menikahi lebih dari seorang budak. Hanafi dan Maliki mengatakan: boleh menikahi budak hingga empat orang, sebagaimana bolehnya menikahi perempuan merdeka.
Seseorang yang telah berzina dengan seorang budak boleh menikahinya dan terus menyetubuhinya sebelum penangguhan persenggamaan untuk mengetahui kekosongan rahimm [istibra’]. Demikian menurut Syafi’i. Menurut Hanafi: tidak boleh disetubuhi sebelum istibra’ terlebih dahulu selama satu kali haid atau sampai melahirkan jika ia hamil. Sedangkan Maliki memakruhkan menikahi wanita pezina secara mutlak.
Hambali berpendapat: tidak boleh menikahi perempuan yang telah dizinahi kecuali dengan dua syarat:
1. Telah bertaubat dari perbuatannya
2. Istibra’, yaitu hingga melahirkan jika ia hamil atau menunggu tiga kali haid jika ia tidak hamil.
Empat madzab sepakat bahwa nikah mut’ah adalah batal. Yang mana pernikahan itu adalah seorang laki-laki menikahhi seorang perempuan selama batas waktu tertentu. Umpamanya, seseorang mengatakan, “Aku nikahi kamu selama satu bulan atau satu tahun.” Dan sejenisnya.
Nikah mut’ah selain tidak sah, telah dihapus hukumnya oleh ijma’ para ulama dahulu dan kemudian. Namun, madzab syi’ah memandangnya sah. Demikian itu berdasarkan riwayat dari Ibn Abbas. Tetapi yang shahih menurutnya adalah bahwa nikah mut’ah adalah batal.
Nikah shighar adalah batal menurut Syafi’i, Maliki dan Hambali. Pernikahan itu adalah seseorang meminta kepada orang alin untuk menikahkan saudara perempuannya dengannya, dan orang lain tersebut dijanjikan akan dinikahkan dengan saudara perempuannya tanpa mahar. Hanafi berpendapat pernikahannya sah sedangkan maharnya batal.
Apabila seorang perempuan yang ditalak tiga menikah lagi dengan orang lain, dengan maksud untuk menghalalkan pernikahan dengan mantan suaminya yang pertama, dengan memakai syarat apabila terjadi persetubuhan dengannya maka jatuh talak, maka pernikahan semacam ini adalah sah, namun syaratnya gugur. demikian menurut Hanafi. Adapun mengenai halalnya istri tersebut bagi mantan suaminya yang pertama, Hanafi mempunyai dua riwayat.
Menurut Maliki: tidak halal bagi suami pertama, kecuali sesudah terjadi pernikahan yang sah yang dilakukan atas dasar kesenangan kedua belah pihak, bukan bertujuan untuk menghalalkan pernikahan dengan mantan suami pertama, dan telah disetubuhi oleh suami kedua dalam keadaan suci, tidak dalam keadaan haid.
Syafi’i dalam masalah ini mempunyai dua pendapat, dan yang paling shahih: pernikahannya tidak sah. Hambali: tidak sah secara mutlak.
Adapun pernikahan tanpa mensyarat demikian, hanya bercita-cita saja, maka nikahnya sah. Demikian menurut pendapat Hanafi. Menurut Syafi’i: sah tetapi makruh. Menurut Maliki dan Hambali: tidak sah.
Pernikahan dengan syarat jangan dimadu, atau jangan pindah dari negerinya atau dari rumahnya, atau jangan diajak berkelana maka pernikahannya adalah sah, dan semua syarat itu tidak wajib dipenuhi. Selain itu, perempuan tersebut berhak memperoleh mahar mitsl, karena syarat tersebut mengharamkan yang halal. Demikian menurut Hanafi, Maliki dan Syafi’i.
Hambali berpendapat: pernikahannya adalah sah, dan syaratnya harus dipenuhi. Jika ia menyalahi syaratnya, maka istri boleh memilih untuk menceraikan dirinya.
&
Tag:4, agama, alquran, bahasa indonesia, diharamkan, empat, fiqh, hadits, ilmu, imam, islam, kajian, madzab, menikah, religion, sunah, sunnah