Hak Seorang Musim untuk Mendapatkan Kesetiaan (Wafa’)

16 Mar

Hak Seorang Musim untuk Mendapatkan Kesetiaan (Wafa’)
Ukhuwah Islamiyah; Merajut Benang Ukhuwah Islamiyyah;
DR. Abdul Halim Mahmud

Sikap setia atau wafa’ adalah sikap konsisten dalam mencintai, baik ketika saudaranya masih hidup maupun setelah kematiannya, dengan melimpahkannya kepada anak-anak dan sahabat-sahabatnya.

Kesetiaan bagi kaum muslimin tegak di atas rasa cinta karena Allah, sedangkan kecintaan kepada Allah bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan kampung akhirat dengan segala yang ada di sisi Allah. Dengan kata lain, ia ditujukan untuk meraih hal-hal yang bersifat lebih kekal dan lebih baik.

Wafa’ dalam konteks ini bermakna keteguhan mencintai, dengan syarat bahwa cinta ini melahirkan sikap ingin bersatu dan berpisah karena Allah swt.

Makna wafa’ yang lain selain setia adalah penyempurnaan atau menepati. Misalnya ungkapan “wafa’ bi ‘aHdiHi” berarti menyempurnakan janjinya. Kebalikannya adalah berkhianat atau meninggalkan.

Makna wafa’ yang lain adalah menunaikan. Ungkapan “ar-rajul al-wafiy” artinya seseorang yang mengambil dan memberi hak.

Jadi, wafa’ di sini meliputi semua makna di atas, selain bermakna tetap dan konsisten dalam mencintai, karena adalah lazim bahwa seseorang berhak atas semua jenis wafa’ di atas dari saudara sesama muslim.

Macam-macam wafa’ yang harus dilaksanakan oleh orang-orang yang berukhuwah dalam Islam:

1. Seseorang berhak mendapatkan wafa’ dari saudaranya seiman, dalam arti kesetiaan dalam mencintai karena Allah selama keduanya bersatu karena-Nya. Wafa’ dalam pengertian ini merupakan hak seseorang atas saudaranya hingga mati, dengan mengalihkannya kepada anak-anak yang ditinggalkannya, kerabat-kerabatnya, sahabat-sahabatnya, dan semua orang yang mencintai atau dicintainya.

2. Saudaranya berkewajiban untuk menyempurnakan perjanjian di antara keduanya, yaitu perjanjian kepada Allah untuk saling bersaudara dalam Islam dan berjuang di jalan-Nya, janji untuk saling berwasiat di atas kebenaran dan kesabaran, serta terus menempuh jalan dakwah sehingga masing-masing dari keduanya kembali keharibaan Tuhannya.

3. Ia juga berhak atas saudaranya dalam hal wafa’ dalam arti hendaklah saudaranya itu menunaikan segala hak dan melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan oleh hubungan ukhuwah dalam Islam, baik berupa perkataan, perbuatan, doa, pemenuhan kebutuhan, pembelaan terhadap gunjingan, nasehat, pengajaran, dan sebagainya.

4. Ia juga berhak atas saudaranya itu dalam hal ditunaikannya perjanjian. Artinya, hendaklah saudaranya itu melaksanakan konsekuensi perjanjian ukhuwah dalam Islam. Hendaklah saudaranya itu memandangnya seperti memandang dirinya sendiri, terus bersamanya menempuh jalan dakwah dalam perkataan, hikmah, pengajaran yang baik, perdebatan dengan cara yang baik, serta amar ma’ruf dan nahi munkar. Salah satu tuntutan perjanjian itu adalah menolong. Juga menasehati dan menutupi jika pada saudaranya terdapat aib, dan ia memiliki peluang untuk itu.

5. Ia juga berhak atas saudaranya untuk mendapatkan wafa’ dalam arti mengambil hak darinya dan menuntut kewajiban, tanpa mengalah pada salah satunya.

Allah telah memerintahkan agar bersifak wafa’ terhadap perjanjian, dengan firman-Nya yang artinya:
“Tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kalian berjanji.” (an-Nahl: 91)
“Penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggung jawabannya.” (al-Ahzab: 15)
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah ikatan-ikatan perjanjian itu.”(al-Maidah: 1)

Perjanjian pada ayat pertama dan kedua menggunakan kata al-‘ahdu, yang maknanya “menjaga dan memperhatikan sesuatu secara terus-menerus.” suatu perjanjian yang mengharuskan untuk dipelihara terus disebut juga dangan ‘ahd.

Pada ayat ketiga disebut dengan kata “al-‘aqd” yang artinya “perjanjian antara kedua belah pihak yang harus dilaksanakan.”

Sedangkan kata ‘aHdullah [perjanjian Allah], yakni perjanjian yang diambil oleh Allah dari kita agar kita beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan siapapun. Bisa juga berarti seluruh perintah, larangan, atau wasiat-Nya.

Pemenuhan perjanjian itu disandarkan kepada Allah swt, karena Dia adalah Dzat yang menjadi saksi dan melihat dua orang yang mengadakan perjanjian itu. Orang-orang yang mengikat perjanjian itu akan dimintai pertanggung jawabannya di hadapan Allah; ia menunaikannya atau tidak, karena Allah swt. telah memerintahkan agar mereka memenuhi ikatan perjanjian itu.

Ikatan perjanjian Allah swt. adalah janji yang dibuat oleh seseorang kepada Allah untuk melaksanakan ketaatan dan amal shalih yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Demikian pula semua transaksi yang dibuat oleh seseorang dengan orang lain, misalnya: jual beli, sewa menyewa, pernikahan, perceraian, muzara’ah [perjanjian bagi hasil di bidang pertanian], dan sebagainya, hendaknya dilakukan dengan menggunakan hukum Islam.

Ibnu Abbas ra berkata, “Penuhilah perjanjian-perjanjian.” Artinya penuhilah apa yang dihalalkan dan diharamkan oleh Allah, serta apa yang diwajibkan dan dilarang-Nya dalam segala hal.

Perjanjian dan akad merupakan ikatan yang dibuat oleh pelakunya untuk dirinya sendiri, karena Nabi saw. bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanadnya dari Ibnu Abbas ra, “Orang-orang muslim terikat dengan syarat-syarat mereka.”

Bukhari meriwaytkan dengan sanadnya dari Aisyah ra. ia berkata, “…Kemudian Rasulullah berdiri di hadapan banyak orang, beliau memuji Allah lalu bersabda, ‘Mengapa orang-orang membuat persyaratan yang tidak terdapat dalam kitabullah? Itu adalah batal, sekalipun berjumlah seratus syarat, ketetapan Allah lebih wajib dan syarat-Nya lebih kuat.” (al-Qurthubi dalam tafsirnya III/2030, asy-Sya’b, Mesir)

Syarat, perjanjian, dan aqad yang wajib dipenuhi adalah yang sejalan dengan apa yang terdapat dalam kitabullah. Apabila jelas bahwa di dalamnya terdapat hal yang bertentangan denganya, ia tertolak. Hal itu berdasarkan kepada sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanadnya dari Ummul Mukminin Aisyah ra. ia berkata, “Barangsiapa mengada-ada dalam urusan kami ini [urusan agama] yang bukan berasal darinya, ia tertolak.”

Islam telah mengingatkan akan bahaya pengkhianatan dan mengingkari perjanjian. Bahkan orang yang berkhianat akan menjadi lawan Rasulullah saw.
Ath-Thabrani meriwayatkan dengan sanadnya dalam ash-Shaghir dari Abu Hurairah ra. yang berkata bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Tiga orang yang akan menjadi lawanku pada hari kiamat, padahal barangsiapa melawanku aku akan memusuhinya, yakni: seseorang yang memberikan perjanjian kepadaku kemudian mengingkari, seseorang yang menjual orang merdeka lalu memakan hartanya, dan seseorang yang mempekerjakan orang lain, sementara orang tersebut telah menyelesaikan pekerjaannya namun ia tidak memberikan upahnya.”

Persaudaraan dalam Islam menuntut wafa’ ini, bahkan semua bentuk wafa’, karena program Nabi saw. yang paling menonjol setiba beliau di daar al-Hijrah Madinah al-Munawwarah adalah persaudaraan antara orang-orang muhajirin dan anshar.

Rasulullah saw. mempersaudarakan para shahabatnya di kalangan muhajirin dan anshar. Beliau bersabda, “Bersaudaralah kalian karena Allah, dua-dua.” Kemudian beliau mengambil tangan Ali bin Abi Thalib ra. dan berkata, “Ini adalah saudaraku.” (Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah, I/504).

Tirmidzi meriwayatkan dengan sanadnya dari Yazid bin Nu’amah adh-Dhahabi, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang mempersaudarakan orang lain, hendaknya ia menanyakan tentang namanya, nama bapaknya, dan dari kalangan apa. Hal itu akan lebih memperkuat jalinan cinta kasih.”
Hadits yang serupa dengan hadits tersebut diriwayatkan juga dari Abdullah bin Umar ra.

Imam ath-Thabrani meriwayatkan dalam al-Ausath ash-Shaghir dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling kucintai di antara kalian adalah mereka yang bisa menyatu dan dipersatukan. Sedangkan yang paling kubenci di antara kalian adalah orang-orang yang berjalan dengan mengadu domba dan memutuskan hubungan antara orang-orang yang bersaudara.”

Jalan dakwah ini sungguh dipenuhi dengan berbagai hambatan dan kesulitan, bahkan dengan berbagai fitnah dan ujian. Oleh karena itu, jalan ini bakal menimbulkan kesulitan besar bagi siapa saja yang melaluinya seorang diri. Bahkan kesulitan-kesulitan di jalan dakwah ini terkadang mengakibatkan sebagian dari pelakunya takut, bahkan berbalik langkah. Kesulitan dan ketakutan ini bisa dihilangkan, dan tidak ada yang bisa menolong untuk bersabar menghadapinya kecuali jika ia terikat oleh ukhuwah karena Allah, di atas jalan ini. Itulah yang akan memberikan ketenangan dan meringankan beban, mengajari kesabaran dan mengharapkan pahalanya dari Allah swt. dengan meninggalkan musuh-musuhnya dalam keadaan seperti orang yang disesatkan setan, untuk kemudian memusuhi kebenaran dan penyerunya. Ia meninggalkan mereka dalam keadaan bingung, tidak mengetahui rahasia bertahannya para mujahid dalam menanggung berbagai derita ini, juga rahasia bagaimana mereka bisa tetap bertahan terus menerus berada di atas jalan kebenaran ini, juga sikap ukhuwah yang telah mempersembahkan berbagai sarana pendukungnya.

Wafa’ yang dilakukan oleh dua orang yang berukhuwah dalam Islam ini bermula dari kecintaan dan sifat mengutamakan orang lain [itsar]. Sejarah persaudaraan dalam Islam telah memuat banyak kisah tentang wafa’ ini di sepanjang lembarannya, mereka terus berukhuwah hingga sekarang, membuat keteladanan yang mengagumkan.

Di antara bentuk sikap wafa’ seorang muslim terhadap saudara muslimnya adalah hendaknya ia tetap konsisten dengannya, apapun yang terjadi, kecuali apabila ia mendapati saudaranya melakukan apa yang dilarang oleh Allah swt. Karena itu kita harus menasehatinya dengan beberapa etika sebagaimana yang telah dibahas. Memutuskan wafa’ terhadap saudara seiman berarti membantu setan dan pengikut-pengikutnya, karena setanlah yang menggoda untuk memutuskan wafa’. Tidaklah setan bertemu dengan dua orang yang bersaudara karena Allah, kecuali dia pasti akan berusaha untuk memisahkan keduanya, dengan membujuk salah satu dari keduanya untuk melakukan perbuatan dosa yang berkenaan dengan hak saudaranya. Allah swt. berfirman yang artinya: “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik. Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka.” (al-Israa’: 53)

Menafsirkan ayat ini al-Qurthubi berpendapat bahwa Allah swt. memerintahkan kepada orang-orang mukmin khususnya dalam berhubungan dengan sesama mereka, agar mereka bersopan santun, melunakkan pembicaraan, rendah hati, dan membuang godaan setan yang hendak menimbulkan perselisihan di antara mereka. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allah yang bersaudara.”

Basyar berkata, “Apabila seorang hamba mengurangi ketaatan kepada Allah swt, Dia mengurangi darinya orang yang bisa menghiburnya. Ini disebabkan karena saudara-saudaranya seagama merupakan penghibur kesedihan dan penolong dalam berbagai urusan.”

Salah satu bentuk wafa’ seseorang terhadap saudaranya adalah, ia tidak mendengarkan gunjingan mengenai cacat sauaranya itu, mengenai haknya, anak-anaknya, dan keluarganya, karena mendengarkan hal itu bisa menimbulkan kebencian di hati seseorang terhadap saudaranya. Jangan sampai seseorang tertipu oleh orang lain yang menceritakan suatu cela dari saudaranya, pada awalnya menampakkan seolah-olah juga mencintai saudaranya itu, tetapi kemudian mencelanya dengan cara tidak langsung atau dengan sindiran.

Sikap wafa’ ini haruslah terus berlangsung hingga saudaranya itu meninggal dunia, setelah itu wafa’ diberikan kepada anak-anaknya, keluarganya, dan orang-orang yang mencintainya. Rasulullah saw. telah menjadi teladan mengenai wafa’ yang dilakukan setelah kematian. Hakim meriwayatkan dengan sanadnya dalam al-Mustadrak, dari Aisyah ra. ia berkata, “Suatu ketika Rasulullah saw. memuliakan seorang tua yang mendatanginya. Ketika ditanyakan kepada mengenai hal ini, beliau berkata, “sesungguhnya, baiknya persahabatan adalah bagian dari diin.” Dalam riwayat lain dikatakan, “Sesungguhnya, baiknya persahabatan adalah bagian dari iman.”

Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra. Nabi saw. bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia tidak menepati, jika dipercaya ia berkhianat.”

Muslim juga meriwaytkan dengan sanadnya dari Abdullah bin Amr bin Ash ra. Rasulullah saw. bersabda, “Empat hal yang barangsiapa pada dirinya terdapat keempat hal itu, ia benar-benar seorang munafik sejati. Sedangkan barangsiapa pada dirinnya terdapat salah satu darinya, dalam dirinya terdapat salah satu dari sifat kemunafikan itu sampai ia meninggalkannya; apabila ia dipercaya ia berkhianat, apabila berbicara ia berbohong, apabila berjanji ia tidak menepati, dan apabila berperkara ia curang.”

Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Jabir ra. ia berkata bahwa Nabi saw. berkata kepadanya, “Jika kekayaan Bahrain telah datang, kuberikan kepadamu sekian, sekian, dan sekian [beliau membentangkan tanganya tiga kali]. Akan tetapi kekayaan dari Bahrain belum datang sampai Rasulullah saw. wafat. Ketika kekayaan Bahrain datang, Abu Bakar ra. menyuruh seseorang untuk berseru, ‘Barangsiapa mempunyai janji atau piutang yang menjadi tanggungan Rasulullah saw. hendaklah datang kepada kami.’ Maka Abu Bakar menumpahkan uang untukku begini dan begini. Aku menghitungnya, ternyata uang itu berjumlah lima ratus dirham. Ia berkata kepadaku, ‘Ambillah dua kali lipatnya lagi.’”

Kisah ini menunjukkan bahwa Abu Bakar melaksanakan janji yang pernah dibuat oleh Rasulullah saw.

&

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: