Arsip | 16.33

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 87

20 Mar

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 87“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan al-Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada ‘Isa putera Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus. Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombongkan diri, maka beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?” (QS. Al-Baqarah: 87)

Allah telah mencap Bani Israil dengan sifat melampaui batas, ingkar, melanggar perintah, dan sombong terhadap para Nabi. Mereka ini hanya menuruti hawa nafsu. Lalu Allah Ta’ala mengingatkan bahwa Dia telah menurunkan al-Kitab kepada Musa, yaitu Taurat. Tetapi orang-orang Yahudi itu mengubah, menukar, dan melanggar perintah-Nya. Sepeninggal Musa, Allah mengutus para Rasul dan Nabi yang menjalankan hukum berdasarkan syari’at-Nya, sebagaimana firman-Nya yang artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi) yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh Nabi-nabi yang menyerahkan diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. ” (QS. Al-Maa-idah: 44).

Oleh karena itu Dia berfirman: wa qaffainaa mim ba’diHii bir rusul (“Dan Kami telah menyusulinya [berturut-turut] sesudah itu dengan rasul-rasul”) dari Abu Malik, as-Suddi meriwayatkan, “Artinya Kami [Allah] susulkan di belakang mereka.” Sebagaimana firman-Nya: tsumma arsalnaa rusulanaa tat-raa (“Kemudian kami mengutus para rasul Kami berturut-turut.” (QS. Al-Mukminun: 44) Hingga Dia menutup para nabi Bani Israil itu dengan Isa putera Maryam yang datang dengan mengganti beberapa hukum Taurat. Oleh karena itu, Allah memberinya beberapa keterangan, yaitu mukjizat.

Menurut Ibnu Abbas, di antara mukjizatnya itu adalah menghidupkan orang mati, membuat bentuk seekor burung dari tanah lalu ditiupkan padanya roh sehingga benar-benar menjadi burung dengan seizin Allah, menyembuhkan orang sakit, dan mampu memberitahu hal-hal yang bersifat ghaib, dan diperkuat dengan Ruhul Qudus, yaitu jibril as. Semuanya itu merupakan bukti yang menunjukkan kepada mereka kebenaran apa yang dibawa oleh `Isa. Namun meski begitu, Bani Israil semakin gencar mendustakannya. Kedengkian dan keingkaran mereka pun semakin parah, disebabkan mereka menyelisihi sebagian isi Taurat.

Sebagaimana firman-Nya tentang `Isa: “Dan untuk menghalalkan bagimu sebagian yang telah diharamkan untukmu, dan aku datang kepadamu dengan membawa suatu tanda (mukjizat) dari Rabbmu.” (QS. Ali Imraan: 50).

Bani Israil memperlakukan para nabi dengan perlakuan yang paling kasar dan kejam. Satu golongan mendustakannya, dan golongan yang lain membunuhnya. Semua itu tidak lain disebabkan karena para Nabi datang kepada mereka dengan membawa hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan hawa nafsu dan pendapat mereka, serta mengharuskan mereka berpegang-teguh pada hukum Taurat yang telah mereka ubah dengan tujuan menyelisihinya. Maka hal itupun menyulitkan mereka, sehingga mereka mendustakan para nabi, bahkan membunuh sebagian dari mereka.

Oleh karena itu, Allah swt. berfirman: afa kulla maa jaa-akum rasuulum bimaa laa taHwaa anfusukumus takbartum fafariiqan kadz-dzabtum wa fariiqan taqtuluun (“Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa suatu [pelajaran] yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombongkan diri. Maka beberapa orang [di antara mereka] kamu dustakan dan beberapa orang yang [lainnya] kamu bunuh?”

Ruhul Qudus yang dimaksud di situ adalah Jibril as. sebagaimana ditegaskan Ibnu Mas’ud dalam manafsirkan ayat ini. Dan pendapat itu diikuti pula oleh Ibnu Abbas, Muhammad bin Ka’ab, Ismail bin Khalid, as-Suddi, Rabi’ bin Anas, Athiyyah al-Aufi, dan Qatadah. Demikian juga kaitannya dengan firman Allah swt.: “Ia dibawa turun oleh Ruhul Amin [Jibril] ke dalam hatimu [Muhammad] agar engkau menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan. ” (QS. Asy-Syu’ara’: 193-194).

Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Rasulullah pemah menaruh sebuah mimbar dimasjid untuk Hassan bin Tsabit, dan ia selalu membela Rasulullah (dengan bait-bait syairnya), maka beliau pun berdiri seraya berdo’a: “Ya Allah, dukunglah Hassan dengan Ruhul Qudus, sebagaimana ia telah membela Nabi-Mu.”

Demikian hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari secara muallaq juga Abu Daud serta at-Tirmidzi. Imam at-Tirmidzi mengatakan, hadits ini hasan shahih, dari Abu az-Zanad. Hadits muallaq ialah yang diriwayatkan dengan tidak menggunakan sanad, kadang karena hendak diringkas, padahal sanadnya ada, dan kadang memang diriwayatkan begitu saja, yakni dengan tidak bersanad.

Sedangkan dalam kitab Shahihain (al-Bukhari dan Muslim) diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Umar bin al-Khatthab pemah melewati Hassan, ketika ia sedang membaca syair di dalam masjid. Kemudian ia pun memperhatikannya, maka Hassan berkata kepadanya, “Aku telah membaca syair di dalamnya dan di sana terdapat orang yang lebih baik darimu.” Setelah itu Umar menoleh ke arah Abu Hurairah seraya berkata, “Demi Allah, apakah engkau pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Ya Allah, perkenankanlah bagiku, perkuatkanlah ia dengan Ruhul Qudus.” Ia menjawab, “Ya, pernah.”

Dalam beberapa riwayat yang lain disebutkan bahwa Rasulullah pernah berkata kepada Hassan, “Balaslah celaan mereka, dan Jibril bersamamu.” Melalui sebuah syair, Hassan pernah berkata:
Jibril adalah utusan Allah, ada bersama kita
Dan dia adalah Ruhul Qudus yang tidak diragukan lagi.

Dalam kitab Shahih Ibnu Hibban ada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Sesungguhnya Ruhul Qudus mewahyukan ke dalam diriku. Bahwasanya seseorang tidak akan mati sehingga rizki dan ajalnya dengan sempurna. Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah permohonanmu.” (HR. Ibnu Hibban)

As-Suddi mengatakan, al-Qudus artinya al-barakah. Sedang menurut al-Aufi dari Ibnu Abbas, al-Qudus artinya at-thuhr (kesucian).

Mengenai firman Allah Ta’ala: biruuhil qudusi (“Dengan Ruhul Qudus,”) Zamakhsyari mengungkapkan, “Artinya dengan ruh yang disucikan seperti anda menyebut Hatim baik, orang jujur. Dan ruh ini disifasi dengan al-Qur’an. Hal itu seperti pada firman-Nya, wa ruuhum minHu (“Dengan tiupan roh dari-Nya. “) Penyebutan khusus itu dimaksudkan sebagai penghormatan.”

Dan mengenai firman-Nya: “fa fariiqan kadz-dzabtum wa fariiqan taqtuluun” az-Zamakhsyari mengatakan: “Dalam ayat ini Allah tidak mengajarkan karena Dia bermaksud mengungkapkan juga untuk masa yang akan datang (mustaqbal). Karena mereka berusaha untuk membunuh Nabi dengan racun dan sihir. Pada saat itu beliau menderita sakit yang menyebabkan kematiannya, Rasulullah bersabda: “Makanan Khaibar (kambing yang diracuni orang Yahudi) masih menyakitiku, dan sekarang adalah saat terputusnya urat nadiku.”

Saya (Ibnu Katsir) katakan, hadits ini terdapat dalam kitab shahih al-Bukhari dan lainnya.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 84-86

20 Mar

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 84-86“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): Kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung balamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhi) sedang kamu mempersaksikannya.” (QS. Al-Baqarah: 84) Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan darimu dari kampung halamannya, kamu bantu-membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakab kamu beriman kepada sebagian dari al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian darimu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada bari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengab dari apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Baqarah: 85) Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong. (QS. Al-Baqarah: 86)

Allah mengecam orang-orang Yahudi pada zaman Rasulullah di Madinah dan apa yang mereka alami karena peperangan dengan kaum Aus dan Khazraj. Kaum Aus dan Khazraj adalah kaum Anshar, yang pada masa Jahiliyah mereka menyembah berhala. Di antara mereka terjadi banyak peperangan, kaum Yahudi Madinah terbagi menjadi tiga kelompok: Bani Qainuqa’ dan Bani Nadhir menjadi sekutu kaum Khazraj, dan Bani Quraidhah yang menjadi sekutu kaum Aus. Apabila perang meletus, masing-masing kelompok bersama sekutunya saling menyerang. Orang Yahudi membantai musuh-musuhnya, bahkan ada orang Yahudi yang membunuh orang Yahudi dari kelompok lain. Padahal menurut ajaran mereka, yang demikian itu merupakan suatu hal yang diharamkan bagi mereka dan telah tertuang di dalam kitab mereka. Kelompok yang satu mengusir kelompok yang lain sambil merampas harta kekayaan dan barang-barang berharga. Kemudian apabila peperangan usai mereka segera melepaskan tawanan kelompok yang kalah sebagai bentuk pengamalan hukum Taurat.

Oleh karena itu Allah berfirman: a fa tu’minuuna bi ba’dlil kitaabi wa takfuruuna bi ba’dlin (“Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab [Taurat] dan inkar terhadap sebagian lainnya.”) dan firman-Nya juga: wa idz akhadnaa miitsaaqakum laa tasfikuuna dimaa-akum wa laa tukhrijuuna anfusakum min diyaarikum (“[ingatlah] ketika Kami mengambil janji darimu, yaitu: kalian tidak akan menumpahkan darah [membunuh orang] dan kamu tidak akan mengusir diri kamu dari kampung halaman kamu”). Artinya, sebagian kalian tidak diperbolehkan membunuh sebagian yang lain, tidak boleh juga mengusirnya, sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Maka bertaubatlah kepada Rabb yang menjadikanmu dan bunuhlah dirimu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu di sisi Rabb yang menjadikanmu. ” (QS. Al-Baqarah: 54)

Hal itu karena pemeluk satu agama adalah seperti satu tubuh, sebagaimana disabdakan Rasulullah “Perumpamaan orang mukmin dalam cinta mencintai, kasih mengasihi, dan sayang menyayangi adalah laksana satu tubuh. Jika salah satu anggotanya sakit, maka seluruh tubuhnya akan merasakan sakit dengan demam dan tidak dapat tidur.” (Muttafaq ‘alaih)

Firman-Nya: tsumma aqrartum wa antum tasy-Haduun (“Kemudian kamu berikrar [akan memenuhinya] sedang kamu mempersaksikannya.”) Maksudnya, kalian mengakui dan mempersaksikan bahwa kalian mengetahui perjanjian itu dan kebenarannya.

Firman-Nya: tsumma antum Haa-ulaa-i taqtuluuna anfusakum wa takhrijuuna fariiqam minkum min diyaariHim (“Kemudian kamu [Bani Israil membunuh dirimu [saudara seagama] dan mengusir segolongan darimu dari kampong halamannya.”) Allah swt. memberitahu mereka mengenai hal itu dan kandungan ayat di atas. Siyaq (redaksi) ayat ini merupakan kecaman sekaligus hinaan terhadap orang-orang Yahudi yang meyakini kebenaran perintah Taurat itu, dan menyalahi syari’atnya di sisi lain, padahal mereka mengetahui dan memberikan kesaksian akan kebenarannya. Oleh karena itu mereka tidak dapat dipercaya dalam (pengamalan) isinya, penukilannya, dan mereka tidak jujur dalam hal sifat Rasulullah, perilakunya, pengutusannya, kehadirannya, dan hijrah Nabi yang mereka sembunyikan, dan segala hal yang telah diberitahukan oleh para Nabi sebelumnya. Orang-orang Yahudi -la’natullah ‘alaihim- saling menutup-nutupi apa yang ada di antara mereka.

Oleh karena itu, Allah berfirman: fa maa jazaa-u may yaf’alu dzaalika minkum illaa khizjun fil hayaatid-dun-yaa (“Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian darimu, melainkan kehinaan dalam kehidupan di dunia.”) hal itu disebabkan oleh pelanggaran yang mereka lakukan terhadap syariat dan perintah Allah swt.

Wa yaumal qiyaamati yuradduuna ilaa ‘asyaddil ‘adzaab (“Dan pada hari kiamat kelak mereka dikembalikan kepada siksa yang berat.”) sebagai balasan atas penyimpangan mereka terhadap kitab Allah yang berada di tangan mereka.

Wa mallaaHu bighaafilin ‘amaa ta’maluun. Ulaa-ikaladziinasytarawul hayaatad-dun-yaa bil aakhirati (“Dan Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan [kehidupan] akhirat.”) artinya mereka lebih mencintai dan memilih dunia, fa laa yukhaffafu ‘anHumul ‘adzaabu (“Maka tidak akan diringankan siksa mereka.”) maksudnya adzab itu tidak akan dihilangkan dari mereka meski hanya sekejap saja. Wa laa Hum yunsharuun (“Dan mereka tidak akan ditolong.”) artinya tidak ada seorang penolong pun yang akan membantu dan menyelamatkan mereka dari adzab yang menimpa mereka selamanya.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 83

20 Mar

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 83“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): ‘Janganlah kamu beribadah kepada selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil darimu, dan kamu selalu berpaling.” (QS. Al-Baqarah: 83)

Allah mengingatkan Bani Israil mengenai beberapa perkara yang telah diperintahkan kepada mereka. Dia mengambil janji dari mereka untuk mengerjakan perintah tersebut. Namun mereka berpaling dan mengingkari semua itu secara sengaja, sedang mereka mengetahui dan mengingatnya.

Kemudian Allah menyuruh mereka agar beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dia juga memerintahkan hal itu kepada seluruh makhluk-Nya. Dan untuk itu Pula (beribadah) mereka diciptakan. Sebagaimana firman-Nya: “Dan tidaklah Kami mengutus para Rasul sebelummu melainkan Kami wahyukan kepadanya. Bahwasannya tidak ada ilah (yang haq) melainkan Aku, maka beribadahlah kepada-Ku.” (QS. Al-Anbiyaa’: 25).

Itulah hak Allah yang paling tinggi dan agung, yaitu hak untuk senantiasa diibadahi dan tidak disekutukan dengan sesuatu apapun, lalu setelah itu hak antar sesama makhluk. Hak antar makhluk yang paling ditekankan dan utama adalah hak kedua orang tua. Oleh karena itu, Allah memadukan antara hak-Nya dengan hak kedua orang tua, sebagaimana firman-Nya: Aku pernah bertanya: “Ya Rasulullah, perbuatan apakah yang paling utama?” “Shalat tepat pada waktunya,” jawab Rasulullah saw. “Lalu apa lagi,” tanyaku lebih lanjut. Beliau menjawab: “Berbakti kepada ibu bapak.” Selanjutnya kutanyakan: “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab: “Berjihad di jalan Allah.”

Dalam hadits shahih disebutkan: Ada seseorang bertanya, “Ya Rasulallah, kepada siapa aku harus berbakti.” “Ibumu,” jawab Rasulullah saw. “Lalu siapa lagi?” tanyanya. “Ibumu.” Ujar beliau. “Kemudian siapa lagi?” lanjutnya. Beliau menjawab, “Kepada bapakmu, kemudian kepada orang yang terdekat denganmu, lalu orang yang terdekat denganmu lagi.”

Firman-Nya: laa ta’buduuna illallaaHa (“Janganlah kamu beribadah kepada selain Allah.”) az-Zamakhsyari mengatakan, “Ini merupakan kabar dengan dengan makna thalab [tuntutan] dan hal itu lebih tegas dan kuat.

Wal yataamaa (“anak-anak yatim”) yaitu anak-anak yang masih kecil dan tidak memiliki orang tua lagi yang memberikan nafkah kepada mereka. “Orang-orang miskin” adalah orang-orang yang tidak mampu menafkahi dirinya sendiri dan keluarganya. Mengenai hal ini akan diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan tentang orang-orang yang berhak mendapatkan zakat dalam surah an-Nisaa’.

Dan Allah secara jelas dan gamblang telah memerintahkan kepada kita untuk senantiasa beribadah kepada-Nya dan berbakti kepada kedua orang tua melalui firman-nya yang artinya: “Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan suatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada ibu bapak.” (an-Nisaa’: 36)

Firman-Nya: wa quluu linnaasi husnan (“dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia”) artinya ucapkanlah perkataan yang baik kepada mereka dan bersikap lemah lembut. Termasuk dalam hal ini adalah amar ma’ruf nahi munkar [menyuruh berbuat baik dan mencegah kemunkaran]. Sebagaimana dikatakan oleh al-Hasan al-Bashri mengenai firman-Nya ini: “Termasuk ucapan yang baik adalah menyuruh berbuat baik dan mencegah perbuatan munkar, bersabar, suka memberi maaf, serta berkata kepada manusia dengan ucapan yang baik, sebagaimana yang difirmankan Allah tadi, yaitu setiap akhlak baik yang diridlai Allah.”

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Dzar, dari Nabi saw. beliau bersabda, “Janganlah menyepelekan kebaikan sedikitpun. Jika engkau tidak menemukannya [maka dengan cara] ‘Temuilah saudaramu dengan wajah ceria’.” Juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam at-Tirmidzi dan at-Tirmidzi menshahihkan hadits ini.

Setelah Allah memerintahkan Bani Israil untuk berbuat baik kepada manusia dengan tindakan nyata, Dia menyuruh mereka mengucapkan ucapan yang baik kepada manusia. Dengan demikian Dia telah menyatukan antara kebaikan dalam bentuk tindakan nyata dengan kebaikan dalam bentuk ucapan. Setelah itu Dia menegaskan perintah untuk beribadah kepada-Nya dan berbuat baik kepada umat manusia dengan cara tertentu berupa shalat dan zakat. Dia berfirman, wa aqiimush shalaata wa aatuz zakaata (“Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.”)

Dan kemudian Dia memberitahukan bahwa Bani Israil berpaling dari semuanya itu dan meninggalkannya di belakang mereka secara sengaja, setelah mereka mengetahui dan memahaminya. Hanya sedikit sekali dari mereka yang tidak berpaling.
Allah juga telah memerintahkan hal serupa dalam surat an-Nisaa’, Dia berfirman yang artinya: “Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, Ibnu Sabil dan hamba sahaya kamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisaa’: 36)

Umat ini pun melakukan semuanya itu, yang belum pernah dikerjakan sama sekali oleh umat-umat lain sebelumnya. Segala puji dan karunia bagi Allah. Menurut Sunnah, kita tidak boleh terlebih dahulu memberi salam kepada mereka (Ahlul Kitab), Wallahu a’lam.

(Ibnu Sabil adalah orang yang kehabisan bekal ketika berada dalam perjalanan yang bukan untuk maksiat. Termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu bapaknya.-Pent.)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 54

20 Mar

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 54“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telab menjadikan anak lembu (sesembahanmu), maka bertaubatlah kepada Rabb yang menjadikanmu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalab lebih baik bagimu pada sisi Rabb yang menjadikanmu; maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah Yang Mahapenerima taubat lagi Mahapenyayang.” (QS. 2:54)

Mengenai firman Allah: “Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya, Wahai kaumku, sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu (sebagai sembahamu),” al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, Musa berkata demikian ketika hati mereka telah tersesat dengan menyembah anak lembu, hingga Allah swt. berfirman:
“Dan setelah mereka sangat menyesali perbuatannya dan mengetahui bahwa mereka telah sesat, mereka pun berkata: ‘Sungguh jika Rabb kami tidak memberi rahmat kepada kami dan tidak mengampuni kami. “‘ (QS. Al-‘Araaf: 149).

Kata Hasan al-Bashri, hal itu ketika Musa berkata:
“Wahai kaumku, sesungguhnya kamu telah menzhalimi dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu (sesembahanmu).”

Mengenai firman-Nya, fatuubuu ilaa baari-ikum (“Maka bertaubatlah kepada Rabb yang menjadikanmu,”) Abu al-Aliyah, Sa’id bin Jubair dan Rabi’ bin Anas mengatakan, yaitu kepada penciptamu.

Firman-Nya, ilaa baari-ikum (“Kepada Rabb yang menjadikanmu,”) menurut penulis (Ibnu Katsir) mengandung peringatan akan besarnya kejahatan yang mereka lakukan. Artinya, bertaubatlah kalian kepada Rabb yang telah menciptakan kalian, setelah kalian menyembah yang lain bersama-Nya.

Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam menceritakan, ketika Musa as. kembali kepada kaumnya, di antara mereka ada tujuh puluh orang laki-laki yang beruzlah (mengasingkan diri) bersama Harun dan tidak menyembah anak lembu, maka Musa berkata kepada mereka (kaumnya); “Berangkatlah menuju janji Rabb kalian.” lalu mereka pun berkata: “Hai Musa, apakah kami masih bisa bertaubat?” Musa menjawab: “Masih, faqtuluu anfusakum, khairul lakum ‘inda baari-ikum fataaba ‘alaikum (“Bunuhlah diri kalian. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian di sisi Rabb yang telah menjadikan kalian, sehingga Dia pun akan menerima taubat kalian.”Maka mereka pun melepaskan pedang dari sarungnya, dan mengeluarkan alat-alat potong juga pisau-
pisau. Lalu Allah pun mengirim kabut kepada mereka, lalu mereka saling mencari-cari dengan tangannya masing-masing, lalu saling membunuh. Ada seseorang berhadapan dengan bapaknya atau saudaranya, lalu membunuhnya sedangkan ia dalam keadaan tidak mengetahuinya. Pada saat itu mereka saling berseru, “Semoga Allah memberikan rahmat kepada hamba yang bersabar atas dirinya sampai ia mendapatkan ridha-Nya.” Akhimya mereka yang terbunuh gugur sebagai syuhada’, sedangkan orang-orang yang masih hidup diterima taubatnya.

Kemudian ia membaca firman-Nya, fa taaba ‘alaikum innaHuu Huwat tawwaabur rahiim (“Maka
Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dia Mahamenerima taubat lagi Mahapenyayang.”)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 81-82

20 Mar

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 81-82(Bukan demikian), yang benar, barangsiapa berbuat dosa dan is telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalam-nya. (QS. Al-Baqarah: 81) Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah: 82)

Allah swt mengatakan, “Masalahnya tidak seperti yang kalian angan-angankan dan harapkan. Tetapi barangsiapa mengerjakan kejahatan dan dosa-nya itu telah meliputi dirinya sampai hari kiamat, sedang ia tidak mempunyai kebaikan sedikitpun, dan semua amalannya berupa kejahatan, maka ialah salah satu penghuni neraka.”

Wal ladziina aamanuu wa ‘amilush shaalihaati (“Dan orang-orang yang beriman dan beramal shalih”) maksudnya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengerjakan amal shalih, yaitu amal yang sesuai dengan syariat, maka mereka itulah penghuni surga.

Mengenai firman-Nya: balaa man kataba sayyi-atan (“Bukan demikian, yang benar, barangsiapa berbuat dosa.”) dari Ibnu Abbas, Muhammad bin Ishak mengatakan: “Yaitu suatu perbuatan seperti perbuatan kalian [orang-orang Yahudi] kekufuran seperti kekufuran kalian kepada-Nya, sehingga kekufuran itu meliputi dirinya, sedang ia sama sekali tidak mempunyai kebaikan.”

Dalam suatu riwayat Ibnu Abbas, ia mengatakan: “Yaitu perbuatan syirik.”
Hasan al-Bashri juga as-Suddi mengatakan: “Dosa yang dimaksud, yaitu salah satu perbuatan yang termasuk dosa besar.”

Sedang mengenai firman-Nya: ahaathat biHii khathii-atuHu (“Dan ia telah diliputi oleh dosa-dosanya itu.”) dari Mujahid, Ibnu Juraij mengatakan: “Yaitu yang meliputi hatinya.”
Dari Abu Razin, dari Rabi’ bin Khaitsam, al-A’masy mengatakan: “Yaitu orang yang mati dalam keadaan masih berlumuran dosa yang ia lakukan dan belum bertobat.” Semua pendapat ini masih saling berdekatan maknanya, wallaaHu a’lam.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Waspadalah kalian terhadap dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa kecil itu akan menumpuk pada diri seseorang sehingga membinasakannya.” (HR Ahmad)

Rasulullah saw. memberikan perumpamaan bagi mereka ini seperti kaum yang singgah di suatu tanah yang tandus, lalu satu-persatu dari mereka pergi dan kembali dengan membawa sepotong kayu hingga akhirnya mereka berhasil mengumpulkan setumpuk kayu, lalu membakar apa yang mereka campakkan di dalamnya hingga matang.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 80

20 Mar

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 80“Dan mereka berkata: ‘Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.’ Katakanlah: ‘Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya, ataukah kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.’ (QS. 2:80)

Allah berfirman dengan maksud memberitahukan mengenai keadaan orang-orang Yahudi tentang pernyataan dan pengakuan mereka, bahwa neraka Jahanam tidak akan menyentuh mereka kecuali beberapa hari saja, dan setelah itu mereka akan selamat darinya. Maka Allah, dan membantah pengakuan mereka itu melalui firman-Nya: qul attakhadz-tum ‘indallaaHi ‘aHdan (“Katakanlah: ‘Sudahkah kamu menerima janji dari Allah?’”) karena apabila Dia telah berjanji, maka Dia tidak akan pernah mengingkari janjinya. Oleh karena itu, dalam firman-Nya itu Dia menggunakan kata “lam” yang berarti bahkan. Yaitu, bahkan kalian hanya mengatakan kepada Allah apa yang tidak kalian ketahui, berupa kebohongan dan mengada-ada atas nama-Nya.

Mengenai firman-Nya: wa qaaluu lan tamassanan naaru illaa ayyaamam ma’duudatan (“Mereka berkata, kami sekali-kali tidak akan disentuh api neraka kecuali hanya beberapa hari saja.”) dari Ibnu Abbas, al-Aufi mengatakan: “Orang-orang Yahudi itu berujar: `Kami tidak akan disentuh api neraka kecuali 40 hari saja.'” Ada juga yang menambahkan, waktu 40 hari itu adalah masa penyembahan mereka terhadap anak sapi.

Al-Hafidz Abu Bakar bin Mardawaih rahimahullahu menuturkan, Abdur Rahman bin Ja’far memberitahu kami, dari Abu Hurairah ra, ia menceritakan, setelah Khaibar berhasil ditaklukkan, Rasulullah diberi hadiah daging kambing yang ditaburi racun, maka beliau pun langsung bersabda: “Kumpulkan orang-orang Yahudi di sini untuk menghadapku.” Setelah berkumpul, Rasulullah bertanya: “Siapakah orang tua kalian?” “Si fulan,” jawab mereka. Beliau pun berkata: “Kalian berdusta, padahal orang tua kalian adalah si Fulan (lainnya).” Dan mereka berujar: “Engkau memang benar.”

Selanjutnya beliau bertanya kepada mereka: “Apakah kalian menjawab jujur jika kutanya mengenai sesuatu kepada kalian?” “Ya, wahai Abul Qasim. Jika kami bohong, engkau pasti mengetahuinya, sebagai mana engkau mengetahui orang tua kami,” jawab mereka. Lebih lanjut Rasulullah bertanya kepada mereka: “Siapakah penghuni neraka itu?” Maka mereka menjawab: “Kami berada di neraka hanya sebentar saja, kemudian kalian akan menggantikan kami di sana.” Setelah itu Rasulullah bersabda kepada mereka: “Hinalah kalian, kami tidak akan pernah menggantikan kalian di neraka.” Kemudian beliau pun bertanya: “Apakah kalian akan (menjawab) jujur jika aku tanyakan sesuatu kepada kalian?” “Ya, wahai Abul Qasim,” jawab mereka. Maka beliau pun bertanya: “Apakah kalian telah menaburkan racun pada daging kambing ini?” Mereka menjawab: “Ya, kami menaburinya.” Lantas beliau bertanya lagi: “Lalu mengapa kalian melakukan hal itu?” Mereka menjawab: “Jika engkau bohong, kami bisa bebas dari anda, dan jika engkau memang benar-benar Nabi, maka hal itu tidak akan pernah membahayakanmu.” Hadist ini diriwayatkan Imam Ahmad, Imam al-Bukhari, dan an-Nasa’i, dari al-Laits bin Sa’ad seperti itu (riwayatnya).

&

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 78-79

20 Mar

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 78-79“Dan di antara mereka ada yang beta huruf, tidak mengetahui al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga”. (QS. 2:78) Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan Langan mereka sendiri, lalu dikatakannya: `Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan-perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. 2:79)

Allah swt berfirman, wa minHum ummiyyuuna (“Di antara mereka ada yang buta huruf,”) yaitu dari kalangan Ahlul Kitab. Kata Mujahid, al-ummiyyuuna adalah jama’ dari kata al-ummiyyun, yang berarti orang yang tidak dapat membaca dan menulis.” Hal itu dikemukakan pula oleh Abu al-Aliyah, Rabi’ bin Anas, Qatadah, Ibrahim an-Nakha’i, dan ulama lainnya. Hal itu adalah dhahir (hal yang jelas dan tampak) pada firman-Nya, ‘Mereka tidak mengetahui al-Kitab (Taurat).” Maksudnya mereka tidak mengetahui isi kitab tersebut.

Oleh karena itu, di antara sifat yang dimiliki Nabi ummiy, karena beliau tidak bisa menulis, sebagaimana firman-Nya: wa maa kunta tatluu min qabliHii min kitaabi walaa takhuththuHuu biyamiinika idzal lartaabal mubthiluun (“Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Quran) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu).” (al-Ankabuut: 48)

Rasulullah saw. pernah bersabda: “Kami adalah umat yang ummiyy, tidak dapat menulis dan berhitung. Satu bulan sekian, sekian, sekian.” (Hadits muttafaq ‘alaiHi) artinya dalam menjalankan dan menentukan waktu ibadah, kami tidak membutuhkan hitungan dan tulisan. Juga firman-Nya tentang hal tersebut: Huwal ladzii ba’atsa fil ummiyyinna rasuulam minHum (“Dialah yang mengutus pada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka.”)(al-Jumu’ah: 2)

Ibnu Jarir menuturkan: “Masyarakat Arab menasabkan seorang laki-laki yang tidak bisa membaca dan menuli kepada ibunya, karena keadaannya yang tidak bisa menulis, bukan kepada bapaknya.”

Sedangkan firman-Nya: illaa amaaniyya (“Kecuali dongengan bohong belaka.”) Ibnu Abi Thalhah dari Ibnu Abbas, mengatakan, “illaa amaaniyya; yaitu obrolan dan pembicaraan yang sia-sia.”
Masih dari Ibnu Abbas, adh-Dahhak mengemukakan, “Mereka berbicara bohong dengan mulutnya.” Sedangkan Abu al-‘Aliyah dan Rabi’ bin Anas menuturkan, “Kecuali angan-angan yang mereka harapkan dari Allah, yaitu apa yang bukan hak mereka.”

Firman-Nya: laa ya’lamuunal kitaaba illaa amaaniyya wa in Hum illaa yadhunnuun (“Mereka tidak mengetahui al-Kitab [Taurat] kecuali dongengan bohong belaka dan mereka menduga-duga.”dari Ibnu Abbas, Muhammad bin Ishak mengatakan, “Artinya mereka tidak mengetahui isi kitab tersebut, dan mereka mengetahui kenabianmu, Muhammad, hanya dengan melalui dugaan belaka.”

Mengenai firman-Nya: wa in Hum illaa yadhunnuun (“dan mereka hanya menduga-duga”) Mujahid mengatakan: “Mereka hanya berdusta berlaka.” Sedangkan Qatadah, Abu al-Aliyah, dan Rabi’ bin Anas menuturkan, “Mereka berprasangka buruk kepada Allah tanpa sedikitpun kebenaran.”

Dan firman-Nya: fa wailul lilladziina yaktubuunal kitaaba bi aidiiHim tsumma yaquuluuna Haadzaa min ‘indillaaHi liyasy-taruu biHii tsamanan qaliilan (“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: `Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan-perbuatan itu.”) mereka ini kelompok lain dari kalangan Yahudi, yaitu para penyeru kesesatan melalui tipu daya dan cerita-cerita bohong atas nama Allah serta mamakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar.

Menurut Ibnu Abbas, al-Wail ini berarti siksaan yang sangat berat. Dan menurut al-Khalil bin Ahmad, al-wail berarti puncak kejahatan.
Menurut Sibawaih, “wailun” itu ditujukan bagi orang yang terjerumus dalam kebinasaan, sedangkan “waihun” dimaksudkan bagi orang yang masih berada di tepi jurang kebinasaan.

Al-Ashma’i mengatakan, al-wail dipergunakan sebagai kecaman. Sedangkan al-waih dipergunakan sebagai ungkapan kasihan. Dan ulama lainnya mengatakan, al-wail berarti kesedihan.

Al-Khalil bin Ahmad mengatakan, yang semakna dengan kata wail yaitu “waihun” waisyun” “waiHun” “waikun” “waibun” ada pula ulama yang membedakan maknanya.

Mengenai firman-Nya: fa wailul lilladziina yaktubuunal kitaaba bi aidiiHim (“maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri,”) dari Ibnu Abbas ra, Ikrimah mengatakan, “Mereka itu adalah para pendeta Yahudi.” Hal senada juga dikemukakan oleh Said, dari Qatadah, ia mengatakan: “Mereka adalah orang-orang Yahudi.”

Mengenai finnan-Nya, fa wailul lilladziina yaktubuunal kitaaba bi aidiiHim (“Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri.”) Dari Sufyan ats-Tsauri, Abdur Rahman bin Alqamah, mengatakan: “Aku pernah menanyakan penggalan ayat tersebut kepada Ibnu Abbas, maka ia pun menjawab: ‘Ayat tersebut turun di kalangan orang-orang musyrik dan Ahlul Kitab.”‘

As-Suddi mengatakan, “Ada beberapa orang Yahudi yang menulis sebuah kitab berdasarkan pemikiran mereka sendiri, lalu mereka menjualnya kepada masyarakat Arab dengan mengatakan bahwa kitab ini berasal dari Allah. Dan mereka pun menjualnya dengan harga yang sangat murah sekali.”

Az-Zuhri menceritakan, Ubaidullah bin Abdillah memberitahuku, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, “Wahai kaum muslimin, bagaimana mungkin kalian menanyakan sesuatu kepada Ahlul Kitab, sedangkan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya merupakan berita Allah yang paling aktual yang apabila kalian membacanya tidak membosankan. Dan Allah telah memberitahu kalian bahwa Ahlul Kitab telah mengganti kitab Allah dan mengubahnya serta menulis kitab baru dengan tangan mereka sendiri, lalu mereka mengatakan bahwa kitab itu berasal dari Allah dengan maksud agar mereka dapat menjualnya dengan harga yang murah. Bukankah ilmu yang sampai kepada kalian melarang untuk bertanya kepada mereka. Demi Allah, kami tidak pernah melihat seorang pun dari mereka bertanya mengenai apa yang diturunkan kepada kalian.” (Hadits ini diriwayatkan Imam al-Bukhari melalui beberapa jalan dari az-Zuhri).

Hasan bin Abi Hasan al-Bashri mengatakan, ats-stamanul qaliilu; berarti dunia dan segala isinya.

Dan firman Allah: fa wailul lilladziina yaktubuunal kitaaba bi aidiiHim (“Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis al Kitab dengan tangan mereka sendiri.”) Artinya, kecelakaan bagi mereka karena apa yang mereka tulis adalah dusta. Dan kecelakaan pula bagi mereka karena mereka biasa menerima uang sogok (dan lainnya). Sebagaimana dikatakan adh-Dhahhak dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya, fawailul laHum; mereka yang telah menulis kebohongan dan kedustaan itu.

Sedangkan firman-Nya, fa wailul lilladziina yaktubuunal kitaaba bi aidiiHim (“Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis al Kitab dengan tangan mereka sendiri.”) Maksudnya, lanjut adh-Dhahhak, “akibat dari apa yang mereka makan.”

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 199-200

20 Mar

Tafsir Al-Qur’an Surah Ali ‘Imraan (Keluarga ‘Imraan)
Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat

tulisan arab alquran surat ali imraan ayat 199-200“Dan Sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah Amat cepat perhitungan-Nya. (Ali ‘Imraan: 199) Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (Ali ‘Imraan: 200)

Allah swt. memberitahukan mengenai segolongan orang-orang dari Ahlil Kitab yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya, serta beriman kepada apa yang dibawa oleh Muhammad saw., disamping mereka juga beriman kepada kitab-kitab sebelumnya, dan mereka khusyuk kepada Allah, artinya taat dan tunduk kepada-Nya sambil merendahkan diri di hadapan-Nya dengan tidak menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, yakni mereka tidak menyembunyikan sedikitpun mengenai kabar gembira akan kedatangan Muhammad saw. Mereka menceritakan mengenai sifat, karakter, tempat diutusnya beliau, serta sifat umatnya. Mereka itu adalah orang-orang pilihan dari ahlil kitab, baik orang-orang yang berasal dari Yahudi maupun Nasrani.

Dalam surah al-Qashash Allah berfirman yang artinya:

“Orang-orang yang telah Kami datangkan kepada mereka al-Kitab sebelum al-Qur’an, mereka beriman (pula) dengan al-Qur’an itu. Dan apabila dibacakan (al-Qur’an itu) kepada mereka, mereka berkata, ‘Kami beriman kepadanya, sesungguhnya al-Quran itu adalah suatu kebenaran dari Rabb kami, sesungguhnya kami sebelumnya adalah orang-orang yang membenarkan(nya).’ Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka.” (QS. Al-Qashash: 52-54)

Dan sifat-sifat dalam ayat tersebut terdapat pada diri orang-orang Yahudi tetapi jumlahnya sangat sedikit sekali, seperti ‘Abdullah bin Salam dan orang-orang semisalnya yang beriman dari kalangan pendeta Yahudi. Itu pun tidak sampai sepuluh orang. Sedangkan di kalangan orang-orang Nasrani terdapat banyak orang yang mendapat petunjuk dan mengikuti kebenaran.

Sebagaimana yang difirmankan-Nya yang artinya: “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya kami ini orang Nasrani.’ Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri. Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (al-Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: ‘Ya Rabb kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran al-Qur’an dan kenabian Muhammad saw.). Mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Rabb kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang shalih.’ Maka Allah memberi mereka pahala terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) Surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya).” (QS. Al-Maa-idah: 82-85)

Karena itu di sini Allah berfirman, ulaa-ika laHum ajruHum ‘inda rabbiHim (“Mereka memperoleh pahala di sisi Rabb-nya.”)

Dalam hadits shahih telah ditegaskan bahwa ketika Ja’far bin Abi Thalib membaca surat, “Kaaf Haa Yaa ‘Aiin Shaad” (surat Maryam) dihadapan Najasyi, Raja Habasyah (Ethiopia), yang di sisi raja itu terdapat para uskup dan pendeta Nasrani, maka ia (Najasyi) pun menangis dan mereka pun menangis bersamanya sehingga air mata mereka membasahi janggut mereka.

Dan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim ditegaskan bahwa ketika raja Najasyi meninggal dunia, Rasulullah memberitahu para Sahabatnya, “Sesungguhnya saudara kalian di Habasyah telah meninggal dunia, maka laksanakanlah shalat (ghaib) untuknya.” Kemudian beliau pergi ke tanah lapang dan mengatur shaf para Sahabat-nya, kemudian mengerjakan shalat.

Dalam kitab al-Mustadrak, al-Hafizh Abu ‘Abdullah al-Hakim meriwayatkan dari `Amir bin ‘Abdullah bin az-Zubair dari ayahnya, ia berkata: Bahwa Raja Najasyi mendapatkan ancaman dari musuh dalam negerinya. Lalu orang-orang Muhajirin mendatanginya dan berkata, “Sesungguhnya kami senang jika engkau berangkat menghadapi mereka sehingga kami dapat berperang bersamamu dan engkau akan tahu keberanian kami dan kami akan memberikan balasan kepadamu atas apa yang telah engkau lakukan kepada kami.” Maka ia pun berkata, “Penyakit yang diakibatkan pertolongan Allah swt. adalah lebih baik daripada obat yang diakibatkan pertolonan manusia.”

Pada peristiwa itu turunlah ayat, wa inna min aHlil kitaabi lamay yu’minu billaaHi wa maa unzila ilaikum wa maa unzila ilaiHim khaasyi-‘iina lillaaHi (“Dan sesungguhnya di antara Ahli Kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka, sedang mereka berendah hati kepada Allah.”) Kemudian al-Hakim berkata, bahwa hadits ini sanadnya shahih, sedangkan al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya.

Mengenai firman-Nya, wa inna min aHlil kitaabi la may yu’minu billaaHi (“Dan sesungguhnya di antara Ahlil Kitab ada orang yang beriman kepada Allah.”) Ibnu Abi Najih mengatakan dari Mujahid, yakni, Ahli Kitab yang Muslim.

Sedang ‘Ubbad bin Manshur berkata, aku pernah bertanya kepada al-Hasan al-Bashri mengenai firman Allah: wa inna min aHlil kitaabi la may yu’minu billaaHi (“Dan sesungguhnya di antara Ahlil Kitab ada orang yang beriman kepada Allah.”) la menjawab, mereka itu adalah Ahlul Kitab sebelum diutusnya Muhammad lalu mereka mengikuti beliau serta mengenal (masuk) Islam, maka Allah memberikan dua pahala kepada mereka, yaitu pahala untuk keimanan mereka sebelum (diutusnya) Muhammad dan pahala mereka mengikuti ajarannya. (Diriwayatkan Ibnu Abi Hatim).

Dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim telah ditegaskan sebuah hadits dari Abu Musa, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Ada tiga golongan yang pahala mereka diberikan dua kali.” Kemudian beliau menyebutkan, di antaranya adalah seorang dari ahlil kitab yang beriman kepada Nabinya dan kepada diriku [Muhammad saw.]

Dan firman-Nya: laa yasy-taruuna bi-aayaatillaaHi tsamanan qaliilan (“Mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit.”) artinya mereka tidak menyembunyikan ilmu yang mereka miliki sebagaimana telah dilakukan oleh segolongan dari mereka, bahkan sebaliknya, mereka menyebar luaskannya dengan cuma-Cuma.

Oleh karena itu Allah berfirman: ulaa-ika laHum ajruHum ‘inda rabbiHim innallaaHa sarii-‘ul hisaab (“Mereka memperoleh pahala di sisi Rabbnya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.”) Mujahid berkata, yakni cepat perhitungannya. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Hatim dan lainnya.

Firman-Nya: yaa ayyuHal ladziina aamanushbiruu wa shaabiruu wa raabithuu (“Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu serta tetaplah bersiap siaga [di perbatasan negerimu].”) Hasan al-Bashri berkata: mereka diperintahkan untuk senantiasa bersabar dalam menjalankan agamanya yang diridhai oleh Allah, yaitu agama Islam. Sehingga mereka tidak akan meninggalkannya pada saat sengsara maupun pada saat bahagia, pada saat kesusahan maupun pada saat penuh kemudahan, hingga akhirnya mereka benar-benar mati dalam keadaan muslim. Selain itu, mereka juga diperintahkan untuk memperkuat kesabaran mereka terhadap musuh-musuh yang menyembunyikan agama mereka. Hal yang lama juga dikatakan oleh beberapa ulama Salaf.

Sedangkan murabathah berarti teguh dan senantiasa berada di tempat ibadah. Ada juga yang mengartikannya dengan tindakan menunggu shalat setelah shalat. Hal itu dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Sahl bin Hunaif, Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi dan yang lainnya.

Di sini Ibnu Abi Hatim meriwayatkan sebuah hadits yang juga diriwayatkan Imam Muslim dan an-Nasa’i dari Malik bin Anas dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., beliau bersabda: “Maukah kalian aku beritahukan sesuatu yang dengannya Allah akan menghapuskan dosa-dosa dan meninggikan derajat?” Para Sahabat menjawab, “Mau, ya Rasulullah.” Beliau pun bersabda, “Yaitu, menyempurnakan wudhu pada saat-saat sulit (seperti pada saat udara sangat dingin), banyak melangkahkan kaki ke masjid, dan menunggu shalat setelah shalat. Demikian itu adalah ribath. Demikian itu adalah ribath (menahan diri atas ketaatan yang disyari’atkan). Demikian itu adalah ribath.” Wallahu a’lam.

Ada yang mengatakan, yang dimaksud dengan murabathah di sini adalah keteguhan berperang melawan musuh, mempertahankan kemuliaan Islam, serta menjaganya agar musuh tidak masuk ke daerah Islam. Telah banyak hadits yang menganjurkan hal tersebut disertai dengan penyebutan pahala yang besar bagi yang melakukannya.

Imam al-Bukhari pernah meriwayatkan dalam Shahihnya, dari Sahl binSa’ad as-Sa’idi, bahwa Rasulullah, bersabda: “Ribath (bersikap siaga di perbatasan) selama satu hari di jalan Allah, lebih baik dari pada dunia seisinya.” (HR. Al-Bukhari)

Sedangkan Imam Muslim meriwayatkan dari Salman al-Farisi, dari Rasulullah, beliau bersabda: “Ribath satu hari satu malam lebih baik daripada puasa satu bulan penuh dan qiyamul lail pada bulan itu. Jika meninggal dunia, maka amal yang dilakukannya masih terus berlaku, rizkinya pun terus mengalir, dan dia aman dari berbagai fitnah.” (HR. Muslim)

Imam Ahmad meriwayatkan dari Haiwah bin Syuraih, Abu Hani’ al-Khaulani memberitakan kepadaku, bahwa ‘Amr bin Malik al-Haini pernah memberitahukan kepadanya bahwa ia telah mendengar Fadhalah bin ‘Ubaid berkata, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Setiap orang yang meninggal itu berakhir amalannya kecuali yang meninggal dalam keadaan ribath di jalan Allah maka amalnya itu senantiasa berkembang sampai hari Kiamat dan dia diamankan dari fitnah kubur.” (HR. Ahmad)

Demikian juga yang diriwayatkan Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dan Imam at-Tirmidzi berkata, bahwa hadits ini hasan shahih. Dan Ibnu Hibban mengeluarkannya dalam kitab Shahihnya.

Sedangkan Abu Dawud berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Taubah, telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah Ibnu Salam, telah menceritakan kepadaku as-Saluli, bahwasanya disampaikan kepadanya sebua hadits oleh Sahl bin al-Hanzhalah, bahwa mereka pernah berjalan bersama Rasulullah pada waktu perang Hunain, sampai pada waktu ‘Isya’. Kemudian aku mengerjakan shalat bersama Rasulullah, lalu datanglah seseorang penunggang kuda dan mengatakan: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku bertolak dari hadapan kalian, sehingga aku melihat gunung ini dan itu, tiba-tiba aku melihat kabilah Hawazin, semuanya tanpa ada yang ketinggalan sedang berkemah dengan unta-untanya, berbagai barang berharga, serta domba-domba mereka.”

Maka Rasulullah pun tersenyum seraya bersabda: “Itu semua adalah ghanimah kaum muslimin besok insya Allah (jika Allah menghendaki).’ Lebih lanjut beliau bertanya: “Siapa yang akan menjaga kami malam ini?” Anas bin Abi Martsad berkata: “Aku, ya Rasulullah.” “Kalau begitu, tunggang-lah,” sahut Rasulullah. Maka Anas pun menunggangi kuda miliknya. Setelah itu ia mendatangi Rasulullah, maka beliau bersabda kepadanya: “Telusuri jalan pengunungan ini hingga sampai ke puncaknya dan jangan engkau serang orang yang menjumpaimu malam ini.” Ketika pagi hari tiba, beliau berangkat ke tempat shalat dan mengerjakan shalat dua rakaat dan setelah itu beliau bertanya: “Apakah kalian telah memperoleh berita mengenai utusan berkuda kalian?” Seseorang menjawab: “Kami belum mengetahuinya, ya Rasulullah.”

Kemudian beliau berangkat shalat, dan ketika sedang mengerjakan shalat, beliau menoleh ke arah jalan pegunungan tersebut, hingga ketika shalatnya telah usai beliau bersabda; “Berbahagialah, sesungguhnya utusan berkuda kalian telah datang kepada kalian.” Maka kami pun melihatnya melalui sela-sela pepohonan, ternyata memang benar ia telah datang. Lalu orang itupun berhenti di hadapan Nabi seraya berkata: “Sesungguhnya aku telah ber-tolak hingga aku sampai di puncak gunung itu seperti yang telah engkau perintahkan. Dan ketika pagi harinya, aku menaiki kedua lereng tersebut, lalu aku mengamati (mengawasi) ternyata aku tidak melihat seorang pun. Rasulullah saw. bertanya kepadanya: “Apakah engkau pada tadi malam turun?” Ia menjawab: “Tidak, kecuali untuk shalat atau buang hajat.” Maka Rasulullah bersabda: “Engkau telah mendapatkan pahalanya, maka sesudah itu tidak akan membahayakanmu bila kamu tidak beramal lagi.” (HR. An-Nasa’i)

Dalam kitab Shahih al-Bukhari telah diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah bersabda: “Celakalah hamba dinar, hamba dirham, hamba pakaian. Hingga jika diberi,ia senang dan jika tidak diberi, ia marah. Celaka dan sengsaralah. Dan jika tertusuk duri, maka ia tidak dapat mencabutnya. Beruntunglah bagi seorang hamba yang mempergunakan kudanya untuk kepentingan di jalan Allah, rambutnya kusut masai, kedua kakinya berlumuran debu. Jika ia diperintahkan untuk berjaga, maka ia berjaga dan bila ia diperintahkan untuk berada di akhir pasukan maka ia siap berada di garis belakang. Jika ia meminta izin (untuk menemui penguasa), tidak diberikan izin kepadanya, dan jika meminta
syafa’at (untuk menjadi perantara), tidak diberikan syafa’at untuknya (tidak diterima perantaraannya).” (Karena tawadhu’ dan jauh dari sikap ingin terkenal).

Ini hadits terakhir yang kami kemukakan berkaitan dengan pembahasan ini. Segala puji bagi Allah atas berbagai nikmat yang datang dari tahun ke tahun, dari hari ke hari.

Ibnu Jarir berkata: Abu ‘Ubaidah pernah menulis surat kepada ‘Umar bin al-Khaththab yang memberitahukan kepadanya beberapa golongan dari bangsa Romawi dan apa yang ditakutkan dari mereka. Maka ‘Umar pun mengirimkan balasan surat itu kepadanya. (Dituliskan), Amma Ba’du. Meskipun apa saja yang menimpa seorang mukmin dari satu kesulitan (penderitaan), maka pasti setelah itu Allah menjadikan baginya kelapangan, karena sesungguhnya satu kesulitan itu tidak akan mengalahkan dua kemudahan. Sesunguhnya Allah swt. berfirman, yaa ayyuHal ladziina aamanushbiruu wa shaabiruu wa raabithuu (“Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu serta tetaplah bersiap siaga [di perbatasan negerimu].”)

Demikianlah yang diriwayatkan al Hafizh Ibnu ‘Asakir dalam biografi Abdullah Ibnu al-Mubarak melalui jalan Muhammad bin Ibrahim bin Abi Sakinah, ia menceritakan, aku pernah mendiktekan kepada ‘Abdullah bin al-Mubarak bait-bait berikut ini di Tharsus dan aku berpamitan kepadanya untuk keluar. Dan kau bacakan bait-bait itu kepada al-Fudhail bin ‘Iyadh padatahun 170 H, dalam riwayat lain disebutkan pada tahun 177 H:

Wahai yang beribadah di Haramain, andai saja engkau melihat kami,
niscaya engkau akan mengetahui bahwa engkau bermain-main dalam beribadah.
Jika orang membasahi pipinya dengan air matanya, maka kami membasahi wajah kami dengan darah kami.
Atau jika orang melelahkan kudanya dalam kebathilan, maka kuda-kuda kami merasa kelelahan pada pagi hari esok.
Bau wangi menyerbak untuk kalian, sedang bau wangi kami adalah tanah pada kuku kaki kuda dan debu yang baik. Telah datang kepada kami ungkapan Nabi kami, ungkapan yang benar dan tidak berbohong.
Tidak sama antara debu kuda Allah di hidung seseorang dan asap api yang berkobar.
Inilah kitab Allah berbicara di tengah-tengah kita, dan saksi terhadap mayat itu tidak berbohong.

Kemudian ia melanjutkan ceritanya, lalu aku menyerahkan tulisan itu kepada al-Fudhail bin ‘Iyadh di Masjidilharam. Ketika ia membacanya, maka kedua matanya pun meneteskan air mata, dan ia pun berkata, “Abu ‘Abdir-Rahman itu memang benar,” ia telah menasihatiku.

Dan firman-Nya, wat taqullaaHa (“Dan bertakwalah kepada Allah.”) Yakni dalam segala urusan dan keadaan kalian. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw. kepada Mu’adz ketika beliau mengutusnya ke Yaman: “Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada, iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskan perbuatan buruk itu. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”
Hadits tersebut diriwayatkan Imam at-Tirmidzi. la berkata bahwa hadits ini hasan.

La-‘allakum tuflihuun (“Supaya kamu beruntung.”) Yaitu, beruntung di dunia dan di akhirat.

Demikianlah penafsiran surat Ali-‘Imran. Dan hanya milik Allahlah segala puji dan anugerah. Kami memohon kepada-Nya, semoga kita semua meninggal dunia dalam keadaan berpegang kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.
Aamiin.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 196-198

20 Mar

Tafsir Al-Qur’an Surah Ali ‘Imraan (Keluarga ‘Imraan)
Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat

tulisan arab alquran surat ali imraan ayat 196-198“Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. (QS. Ali ‘Imraan: 196). Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya. (QS. Ali ‘Imraan: 197). Akan tetapi orang-orang yang bertakwa kepada Rabb-nya, bagi mereka Surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sedang mereka kekal di dalamnya sebagai tempat tinggal (anugerah) dari sisi Allah. Dan apa yang di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti.” (QS. Ali ‘Imraan: 198)

Allah berfirman, janganlah kalian melihat kepada orang-orang kafir yang berlebih-lebihan dan bergelimang didalam kenikmatan, kesenangan dan kegembiraan, karena semuanya itu akan binasa dengan segera dan mereka akan tergadai dengan amal keburukan mereka. Sebenarnya Kami memperpanjang sedikit waktu mereka dalam menikmati itu hanyalah sebagai tipuan dari semua yang ada pada mereka, mataa-‘un qaliilun tsumma ma’waaHum jaHannamu wa bi’sal miHaad (“Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam, dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.”)

Firman Allah tersebut sama seperti firman-Nya yang artinya, “Katakanlah: Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak beruntung. (Bagi mereka) kesenangan (sementara) di dunia. Kemudian kepada Kamilah mereka kembali, kemudian Kami rasakan kepada mereka siksa yang berat, disebabkan kekafiran mereka.” (QS. Yunus: 69-70)

Demikianlah, ketika Allah swt. menceritakan keadaan orang-orang kafir di dunia, di mana Allah menyebutkan bahwa tempat kembali mereka adalah Neraka, maka setelah itu Allah berfirman yang artinya: “Akan tetapi orang-orang yang bertakwa kepada Rabb-nya, bagi mereka Surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sedang mereka kekal di dalamnya sebagai tempat tinggal (anugerah) dari sisi Allah. Dan apa yang di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti.”

Ibnu Abi Hatim mengatakan dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: Allah swt. menyebut mereka sebagai orang-orang baik. Lantaran mereka berbuat baik kepada orang tua dan anak-anak mereka, sebagaimana orang tua anda mempunyai hak atas diri anda, seperti halnya anak-anak anda mempunyai hak atas diri anda.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 195

20 Mar

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 195
Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat

tulisan arab alquran surat ali imraan ayat 195“Maka Rabb mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam Surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik “. (QS. Ali ‘Imraan: 195)

Allah berfirman, fastajaaba laHum rabbuHum (“Maka Rabb mereka memperkenankan permohonannya.”) Maksudnya, maka Rabb mereka mengabulkan mereka. Sebagaimana yang diungkapkan seorang penyair:
Seorang hamba berseru: “Wahai Rabb yang mendengar seruan.”
Maka pada saat itu tidak ada seorang pun yang dapat menjawabnya.

Sa’id bin Manshur berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari ‘Amr bin Dinar, dari Salamah, seorang dari keluarga Ummu Salamah, ia mengatakan, Ummu Salamah pernah berkata: “Ya Rasulullah, kami tidak mendengar Allah menyebut kaum wanita sedikit pun dalam hijrah.” Maka Allah menurunkan ayat yang artiny: “Maka Rabb mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantaramu, baik laki-laki maupun perempuan, karena sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilahakan Aku masukkan mereka ke dalam Surga yang mengalir sungai-sungai dibawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.”

Kaum Anshar berkata: “Ummu Salamah adalah wanita yang pertama kali datang kepada kami.”

Hadits itu juga diriwayatkan al-Hakim dari Sufyan bin ‘Uyainah. Ia (al-Hakim) mengatakan, hadits ini shahih sesuai dengan syarat al-Bukhari, tetapi al-Bukhari dan Muslim sendiri tidak mengeluarkannya.

Makna ayat di atas adalah bahwa orang-orang yang beriman yang berakal memohon apa yang dikemukakan di depan, maka permohonan itu dikabulkan oleh Rabb mereka. Hal itu disambung dengan menggunakan (fa’) fa’ ta’qib (menggabungkan dengan yang sebelumnya). Sebagaimana yang difirmankan-Nya yang artinya, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. “(QS. Al-Baqarah: 186)

Firman-Nya, innii laa ‘u-dlii-‘u ‘amala ‘aamilim minkum min dzakarin au untsaa (“Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan.”) Penggalan ayat ini merupakan penafsiran dari pengabulan do’a itu. Dengan kata lain, Allah memberitahukan kepada mereka bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan amal seorang dari kalian, bahkan Allah akan memberikan balasan kepada setiap orang dari kalian dengan sempurna sesuai dengan amal perbuatannya, baik laki-laki maupun perempuan.

Firman-Nya: ba’dlukum mim ba’dlin (“[Karena] sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.”) Artinya, di hadapan-Ku, perolehan pahala kalian adalah sama. Fal ladziina Haajaruu (“Maka orang-orang yang berhijrah.”) Yakni, meninggalkan kampung yang penuh kesyirikan mendatangi kampung yang penuh keimanan, di mana mereka rela meninggalkan orang-orang yang dicintainya, saudara, paman, dan tetangganya. Wa ukhrijuu min diyaariHim (“Yang diusir dari kampung halamannya.”) Yakni mereka dipersempit oleh orang-orang musyrik dengan cara disakiti sehingga mendorong mereka pergi dari tengah-tengah mereka.

Oleh karena itu Allah berfirman: wa uudzuu fii sabiilii (“Yang disakiti pada jalan-Ku.”) Kesalahan mereka di mata orang-orang musyrik itu adalah karena mereka hanya beriman kepada Allah semata. Sebagaimana firman-Nya: wa maa naqamuu minHum illaa ay yu’minuu billaaHil ‘aziizil hamiid (“Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah yang Mahaperkasa lagi Mahaterpuji.”) (QS. Al-Buruuj: 8)

Dan firman-Nya, wa qaataluu wa qutiluu (“Yang berperang dan yang dibunuh.”) Artinya, inilah maqam tertinggi agar manusia berjihad di jalan Allah, menjadikan tubuhnya terluka dan wajahnya berlumuran darah dan debu.

Dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim ditegaskan bahwasanya ada seseorang yang berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana menurut pendapatmu jika aku berperang di jalan Allah dengan penuh kesabaran, mencari keridhaan-Nya dan pantang menyerah, apakah Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahanku?” “Ya,” jawab beliau. Lalu beliau bertanya: “Bagaimana pertanyaanmu tadi?” Maka orang itu pun mengulangi pertanyaan itu. Dan beliau pun menjawab, “Ya, kecuali urusan utang, demikianlah apa yang baru saja dikatakan oleh Jibril kepadaku tadi.”

Oleh karena itu, Allah berfirman, la ukaffiranna ‘anHum sayyi-aatiHim wa la-ud-khilannaHum jannaatin tajrii min tahtiHal anHaaru (“Pastilah akan Ku hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam Surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya.”) Yakni, di tengah-tengah Surga itu mengalir berbagai macam minuman, berupa susu, madu, khamr, air tawar dan lain-lainnya yang tidak pernah dilihat oleh mata dan tidak pernah didengar oleh telinga serta tidak pernah terbetik dalam hati manusia.

Dan firman-Nya, tsawaabam min ‘indillaaHi (“Sebagai pahala di sisi Allah.”) Pahala itu didasarkan dan dinisbatkan kepada-Nya agar menjadi petunjuk bahwa Allah itu Mahaagung, karena Rabb yang Mahaagung lagi Mahamulia itu tidaklah memberi kecuali dalam jumlah yang banyak.

Sedangkan firman-Nya, wallaaHu ‘indaHuu husnuts tsawaab (“Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.”) Artinya, Allah mempunyai pahala yang baik bagi orang yang beramal shalih.

&