Arsip | April, 2015

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 283

30 Apr

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 283

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabb-nya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan kesaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha-mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 283)

Firman Allah: wa in kuntum ‘alaa safarin (“Jika kamu dalam perjalanan.”) Yakni, sedang melakukan perjalanan dan terjadi hutang-piutang sampai batas waktu tertentu; wa lam tajiduu kaatiban (“Sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis.”) Yaitu seorang penulis yang menuliskan transaksi untukmu. Ibnu Abbas mengatakan: “Atau mereka mendapatkan penulis, tetapi tidak mendapatkan kertas, tinta atau pena, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang oleh pemberi pinjaman. Maksudnya, penulisan itu diganti dengan jaminan yang dipegang oleh si pemberi pinjaman.”

Firman Allah Ta’ala: fariHaanum maqbuudlatun (“Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang [oleh yang berpiutang].”) Ayat ini dijadikan sebagai dalil yang menunjukkan bahwa jaminan harus merupakan sesuatu yang dapat dipegang. Sebagaimana yang menjadi pendapat Imam Syafi’i dan jumhur ulama. Dan ulama yang lain menjadikan ayat tersebut sebagai dalil bahwa barang jaminan itu harus berada ditangan orang yang memberikan gadai. Ini merupakan riwayat dari Imam Ahmad. Sekelompok ulama lain juga berpendapat demikian.

Sebagian ulama salaf juga menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa barang jaminan itu hanya disyariatkan dalam transaksi di perjalanan saja. Demikian pendapat yang dikemukakan oleh Mujahid dan ulama lainnya. Dan dalam Shahihain telah diriwayatkan, dari Anas bin Malik ra: “Bahwa Rasulullah telah meninggal dunia, namun baju besinya masih menjadi jaminan di tangan seorang Yahudi, untuk pinjaman 30 wasaq gandum. Beliau meminjamnya untuk makan keluarganya.”

Sedangkan dalam riwayat lain disebutkan: “Dari seorang Yahudi Madinah.”

Dan dalam riwayat Imam Syafi’i, (beliau gadaikan) pada Abu Syahmal-Yahudi. Penjelasan mengenai permasalahan ini terdapat dalam kitab al-Ahkamul-Kabir.

Firman Allah: fa in amina ba’dlukum ba’dlan fal yu-addil ladzi’tumina amaanataHuu (“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya [hutangnya].”) Diwayatkan Ibnu AbiHatim dengan isnad jayid, dari Abu Sa’id al-Khudri, ia telah mengatakan bahwa ayat ini telah dinasakh oleh ayat sebelumnya.

Imam asy-Sya’bi mengatakan, “Jika sebagian kamu saling mempercayai sebagian lainnya, maka tidak ada dosa bagimu untuk tidak menulis dan tidak mengambil kesaksian. Dan firman-Nya lebih lanjut: wal yattaqillaaHa rabbaHu (“Dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya,”) maksudnya (adalah), orang yang dipercaya (untuk memegang jaminan, hendaklah bertakwa kepada Allah.)

Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan para penulis kitab as-Sunan, dari Qatadah, dari al-Hasan, dari Samurah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Kewajiban tangan adalah mempertanggung-jawabkan amanat yang diterima-Nya, sehingga ia melaksanakan (pengembalian)nya.” (Dha’if, didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Dha’iful jaami’ (3737).

Firman Allah selanjutnya: walaa taktumusy syaHaadata (“Dan janganlah kamu [para saksi] menyembunyikan kesaksian.”) Maksudnya, janganlah kamu menyembunyikan, melebih-lebihkan, dan jangan pula mengabaikannya. Ibnu Abbas dan ulama lainnya mengatakan, “Kesaksian palsu merupakan salah satu dosa besar yang paling besar, demikian juga menyembunyikannya.”

Oleh karena itu Allah berfirman: wamay yaktumHaa fa innaHuu aatsimun qalbuHu (“Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.”) As-Suddi mengatakan, “Yaitu orang yang jahat hati-Nya.” Ini sama dengan firman-Nya yang artinya: “Dan (tidak pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa.” (QS. Al-Maa-idah: 106).

Dan firman-Nya yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih mengetahui kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha-mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisaa’: 135).

Demikian juga dalam surat al-Baqarah ini, Allah Ta’ala berfirman: walaa taktumusy syaHaadata wamay yaktumHaa fa innaHuu aatsimun qalbuHu wallaaHu bimaa ta’maluuna ‘aliim (“Dan janganlah kamu [para saksi] menyembunyikan kesaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan Allah Maha-mengetahui apa yang kamu kerjakan.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 282

30 Apr

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 282

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muaamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah: 282)

Ayat ini merupakan ayat yang paling panjang di dalam al-Qur’an.

Firman Allah: yaa ayyuHal ladziina aamanuu idzaa tadaayantum bidaini ilaa ajalim musamman faktubuuHu (“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”) Ini merupakan nasihat dan bimbingan dari Allah swt. bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, jika mereka melakukan muamalah secara tidak tunai, hendaklah mereka menulisnya supaya lebih dapat menjaga jumlah dan batas waktu muamalah tersebut, serta lebih menguatkan bagi saksi. Dan Allah telah memperingatkan hal tersebut pada akhir ayat, di mana Dia berfirman: dzaalikum aqsathu ‘indallaaHi wa aqwamu lisy syaHaadati wa adnaa allaa tartaabuu (“Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak [menimbulkan] keraguanmu.”)

Mengenai firman Allah: yaa ayyuHal ladziina aamanuu idzaa tadaayantum bidaini ilaa ajalim musamman faktubuuHu (“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”) Sufyan ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan pemberian utang salam dalam batas waktu yang ditentukan. (utang salam: Uang pembayaran lebih dulu, dan barangnya diterima kemudian.)

Sedangkan Qatadah menceritakan, dari Abu Hasan al-A’raj, dari Ibnu Abbas, aku bersaksi bahwa pemberian hutang yang dijamin untuk diselesaikan pada tempo tertentu, telah dihalalkan dan diizinkan Allah swt. Kemudian ia membacakan ayat: yaa ayyuHal ladziina aamanuu idzaa tadaayantum bidaini ilaa ajalim musamman; demikian riwayat al-Bukhari.

Dan disebutkan di dalam kitab Shahihain (al-Bukhari dan Muslim), dari Ibnu Abbas, ia menceritakan: Bahwa Nabi pernah datang di Madinah sedang masyarakat di sana biasa mengutangkan buah untuk tempo satu, dua, atau tiga tahun. Lalu Rasulullah bersabda: “Barangsiapa meminjamkan sesuatu, maka hendaklah ia melakukannya dengan takaran dan timbangan yang disepakati sampai batas waktu yang ditentukan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

faktubuuHu (“Hendaklah kamu menuliskannya.”) ini merupakan perintah dari Allah Ta’ala supaya dilakukan penulisan untuk memperkuat dan menjaganya.

Abu Sa’id, as-Sya’bi, Rabi’ bin Anas, al-Hasan, Ibnu Juraij, Ibnu Zaid, dan ulama lainnya mengatakan, sebelumnya hal itu merupakan suatu kewajiban, kemudian dinasakh (dihapuskan) denan firman-Nya yang artinya: “Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya).” (QS. Al-Baqarah: 283). Dalil lain yang menunjukkan hal itu adalah hadits yang menceritakan tentang syariat yang ada sebelum kita dan ditetapkan dalam syariat kita, serta tidak diingkari, yang isinya menjelaskan tentang tidak adanya (kewajiban untuk) penulisan dan persaksian.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw. beliau bercerita: “Ada seorang dari Bani Israil yang meminta kepada salah seorang Bani Israil (lainnya) agar meminjamkan kepadanya uang seribu dinar. Kemudian orang yang dimintai pinjaman itu berkata: ‘Datangkanlah saksi-saksi kepadaku sehingga aku dapat menjadikan mereka sebagai saksi.’ Lalu orang yang meminjam itu pun berujar: ‘Cukuplah Allah sebagai saksi.’ Si pemberi pinjaman itu berkata lagi: ‘Datangkan kepadaku orang yang dapat memberi jaminan.’ Orang itu berujar pula: ‘Cukuplah Allah yang memberi jaminan.’ Si pemberi pinjaman itu berujar lagi: ‘Engkau benar.’ Maka si pemberi pinjaman itu menyerahkan kepadanya seribu dinar dengan batas waktu tertentu.

Kemudian orang (peminjam uang) itu pun pergi ke laut untuk menunaikan keperluannya. Kemudian ia sangat memerlukan perahu guna mengantarkan uang pinjaman yang sudah jatuh tempo pembayarannya. Namun ia tidak juga mendapatkan perahu, lalu ia mengambil sebatang kayu dan melubanginya. Selanjutnya ia memasukkan uang seribu dinar ke dalam kayu tersebut berikut selembar surat yang ditujukan kepada pemilik uang itu (pemberi pinjaman). Kemudian ia melapisinya (agar tidak terkena air). Setelah itu ia membawa kayu itu ke laut. Selanjutnya ia berucap: ‘Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah mengetahui bahwa aku telah meminjam uang seribu dinar kepada si fulan. Lalu ia meminta kepadaku pemberi jaminan, maka kukatakan kepadanya: ‘Cukuplah Allah yang memberi jaminan.’ Danis pun menyetujui hal itu. Selanjutnya ia meminta saksi kepadaku, dan kukatakan kepadanya: ‘Cukuplah Allah sebagai saksi.’ Dan ia pun menyetujui hal itu. Dan sesungguhnya aku telah berusaha mencari perahu untuk mengirimkan uang pinjaman itu. Namun aku tidak mendapatkannya. Kini kutitipkan uang ini kepada-Mu.’ Maka orang itu pun melemparkan kayu tersebut ke laut hingga tenggelam. Kemudian ia kembali pulang. Dan ia masih tetap mencari perahu untuk kembali ke negerinya. Sementara itu si pemberi pinjaman keluar untuk memperhatikan barangkali ada perahu datang membawa uangnya (yang dipinjamkan). Tiba-tiba ia menemukan sebatang kayu yang di dalamnya terdapat uangnya, maka ia pun mengambilnya untuk diberikan kepada keluarganya sebagai kayu bakar. Ketika ia membelah kayu tersebut ia menemukan uang dan selembar Surat.

Kemudian orang yang meminjam uang darinya pun datang dengan membawa seribu dinar. Peminjam itu berkata: ‘Demi Allah, sebelum mendatangi anda sekarang ini, aku secara terus-menerus berusaha mencari perahu untuk mengembalikan uang anda, namun aku tidak mendapatkan perahu sama sekali.’ Si pemberi pinjaman itu bertanya: ‘Apakah engkau mengirimkan sesuatu kepadaku?’ Si peminjam menjawab: ‘Bukankah telah kuberitahukan kepada anda bahwa aku tidak mendapatkan perahu sebelum kedatanganku ini.’ Si pemberi pinjaman itu berkata: ‘Sesungguhnya Allah telah mengantarkan pinjamanmu yang telah engkau letakkan dalam kayu. Maka kembalilah dengan uangmu yang seribu dinar itu dengan baik.’” (Isnad hadits ini shahih. Telah diriwayatkan al-Bukhari dalam tujuh tempat melalui jalan yang shahih secara muallaq dan dengan memakai sighat jazm (ungkapan yang tegas).

Dan firman-Nya: wal yaktub bainakum kaatibun bil’adl (“Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.”) Maksudnya dengan adil dan benar serta tidak boleh berpihak kepada salah seorang dalam penulisannya tersebut dan tidak boleh juga ia menulis kecuali apa yang telah disepakati tanpa menambah atau menguranginya.

Sedangkan firman Allah: walaa ya’ba kaatibun ay yaktuba kamaa ‘allamaHullaaHu falyaktub (“Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya. Maka hendaklah ia menulis.”) Maksudnya, orang yang mengerti tulis menulis tidak boleh menolak jika ia diminta menulis untuk kepentingan orang lain dan tidak boleh menyusahkannya, sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya apa yang sebelumnya tidak diketahuinya. Maka hendaklah ia berbuat baik kepada orang lain yang tidak mengenal tulis-menulis, dan hendaklah ia menuliskannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya termasuk sedekah jika engkau membantu seorang yang berbuat (kebaikan) atau berbuat baik bagi orang bodoh.” (HR. al-Bukhari dan Ahmad).

Dan dalam hadits yang lain juga disebutkan, bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa menyembunyikan ilmu yang diketahuinya, maka ia akan dikekang pada hari kiamat kelak dengan tali kekang dari api neraka.” (Hr. Ibnu Majah).

Mujahid dan Atha’ mengatakan: “Orang yang dapat menulis berkewajiban untuk menuliskan.”

Dan firman Allah berikutnya: wal yumlilil ladzii ‘alaiHil haqqu wal yattaqillaaHa rabbaHu (“Dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan [apa yang akan ditulis itu], dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabb-nya.”) Artinya, hendaklah orang yang menerima pinjaman mendiktekan kepada juru tulis jumlah hutang yang menjadi tanggungannya, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah melakukan hal itu. Walaa yabkhas minHu syai-an (“Dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya.”) Maksudnya, tidak menyembunyikan sesuatu apa pun darinya. Fa in kaanal ladzii ‘alaiHil haqqu safiiHan (“Jika orang yang berhutang itu orang yang lemah akalnya.”) Sebagai upaya mencegahnya dari tindakan penghamburan uang dan lain sebagainya. Au dla’iifan (“atau lemah keadaannya”) maksudnya masih dalam keadaan kecil atau tidak waras. Au laa yastathii’u ay yumilla Huwa (“atau ia sendiri tidak mampu mengimlakkan,”) baik karena cacat atau tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Wal yumlil waliyyuHuu bil’adl (“Maha hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.”)

Dan firman Allah: wasytasyHaduu syaHiidaini mir rijaalikum (“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki-laki di antaramu.”) Ini adalah perintah untuk memberi kesaksian disertai penulisan untuk menambah validitasnya (kekuatannya). Fa illam yakuunaa rajulaini farajuluw wamra-ataani (“Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan.”)

Hal itu hanya berlaku pada perkara yang menyangkut harta dan segala yang diperhitungkan sebagai kekayaan. Ditempatkannya dua orang wanita menduduki kedudukan seorang laki-laki karena kurangnya akal kaum wanita.

Sebagaimana yang diriwayatkan Muslim dalam kitab shahihnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Wahai kaum wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar, karena aku melihat kebanyakan dari kalian sebagai penghuni neraka.” Salah seorang wanita bertubuh besar bertanya: “Mengapa kebanyakan dari kami sebagai penghuni neraka?” Beliau menjawab: “Karena kalian banyak melaknat dan tidak bersyukur kepada suami. Aku tidak melihat orang-orang yang kurang akal dan agamanya yang lebih dapat menaklukkan seorang lelaki yang berakal daripada kalian.” Wanita itu bertanya: “Apa yang dimaksud dengan kekurangan akal dan agama?” Beliau menjawab: “Yang dimaksud kurang akal adalah kesaksian dua orang wanita sama dengan kesaksian seorang laki-laki, yang demikian itu termasuk kurangnya akal. Dan kalian berdiam diri selama beberapa malam, tidak mengerjakan shalat, dan tidak berpuasa pada bulan Ramadhan (karena haidh dan nifas). Dan yang demikian itu termasuk dari kekurangan agama.”

Dan firman Allah: mimman tardlauna minasy syuHadaa-i (“Dari saksi-saksi yang kamu ridhai.”) Dalam potongan ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan adanya syarat adil bagi para saksi. Dan hal ini adalah muqayyad (terbatas). Makna ayat muqayyad (mengikat) inilah yang dijadikan pegangan hukum oleh Imam Syafi’i dan menetapkannya pada setiap perintah mutlak untuk memberikan kesaksian di dalam al-Qur’an tanpa ada persyaratan. Dan bagi pihak yang menolak kesaksian orang yang tidak jelas pribadinya potongan ayat ini juga menunjukkan bahwa saksi itu harus adil dan diridhai (diterima).

Dan firman-Nya: an tadlillaa ihdaa Humaa (“Supaya jika seorang lupa.”) Yaitu kedua orang wanita tersebut jika salah seorang lupa atas kesaksiannya. Fa tudzakkira ihdaaHumal ukhraa (“Maka seorang lagi mengingatkannya.”) Maksudnya, mengingatkan kesaksian yang pernah diberikan.

Dan firman Allah: walaa ya’basy syuHadaa-u idzaa maa du’uu (“Janganlah saksi-saksi itu enggan [memberi keterangan] apabila mereka dipanggil.”) Ada yang mengatakan, makna ayat ini adalah, jika mereka dipanggil untuk memberikan kesaksian, maka hendaklah mereka memenuhi panggilan tersebut. Demikian pendapat yang dikemukakan oleh Qatadah dan Rabi’ bin Anas. Hal ini seperti firman Allah Ta’ala: walaa ya’ba kaatibun ay yaktuba kamaa ‘allamaHullaaHu falyaktub (“Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya. Maka hendaklah ia menulis.”)

Dari sini dapat disimpulkan bahwa hukum memberikan kesaksian adalah fardhu kifayah. Ada yang mengatakan bahwa hal itu merupakan pendapat jumhur ulama. Sedangkan yang dimaksud dengan firman-Nya: walaa ya’basy syuHadaa-u idzaa maa du’uu (“Janganlah saksi-saksi itu enggan [memberi keterangan] apabila mereka dipanggil,”) yakni untuk melaksanakan kesaksian, karena hakekat mereka sebagai saksi. Seorang saksi hakekatnya adalah yang bertanggung-jawab. Jika dipanggil, maka ia berkewajiban untuk memenuhinya, jika hal itu hukumnya fardhu ‘ain. Jika tidak, maka berkedudukan sebagai fardhu kifayah. Wallahu a’lam.

Mujahid, Abu Majlaz, dan ulama lainnya mengatakan, “Jika anda dipanggil untuk memberikan kesaksian, maka anda boleh memilih (boleh bersedia dan boleh juga tidak). Namun jika anda telah menjadi saksi, lalu dipanggil, maka penuhilah panggilan itu.”

Fardu kifayah ialah, suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh sebagian orang, bila tidak adayang mengerjakan kewajiban tersebut maka seluruh penduduk wilayah tersebut berdosa.
Fardu ‘ain ialah, kewajiban yang harus dilakukan oleh tiap orang yang mukallaf (dewasa).

Dalam kitab Shahih Muslim dan kitab as-Sunan telah disebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari jalan Malik, dari Zaid bin Khalid, bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Maukah kalian aku beritahu tentang sebaik-baik saksi ? Yaitu orang yang datang dengan mempersiapkan kesaksiannya sebelum diminta kesaksiannya.”

Adapun hadits yang disebutkan dalam kitab Shahihain, Rasulullah saw. bersabda: “Maukah kalian aku beritahu seburuk-buruk saksi ? Yaitu orang yang memberikan kesaksian sebelum mereka diminta untuk memberikan kesaksian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Juga diriwayatkan tentang sabda Rasulullah: “Kemudian datang suatu kaum yang sumpah mereka mendahului kesaksian mereka dan kesaksian mereka mendahului sumpah mereka.” Dan dalam riwayat lain juga disebutkan, Rasulullah bersabda: “Kemudian datang suatu kaum yang memberikan kesaksian, padahal mereka tidak diminta memberikan kesaksian.”

Maka mereka itu adalah saksi-saksi palsu. Dan telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Hasan Bashri bahwa hal itu mencakup dua keadaan, yaitu menyampaikan dan memberikan (kesaksian).

Sedangkan firman Allah selanjutnya: walaa yas-amuu an taktubuuHu shaghiiran au kabiiran ilaa ajaliHi (“Dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.”) Ini merupakan bagian dari kesempurnaan bimbingan, yaitu perintah untuk menulis kebenaran baik yang kecil maupun yang besar. Dia berfirman: “Janganlah kamu merasa bosan untuk menulis kebenaran bagaimanapun kondisinya, baik yang kecil maupun yang besar sampai batas waktu pembayarannya.”

Dan firman-Nya: dzaalikum aqsathu ‘indallaaHi wa aqwamu lisy syaHaadatai wa adnaa allaa tartaabuu (“Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak [menimbulkan] keraguanmu.”) Maksudnya, inilah yang kami perintahkan kepada kalian yaitu untuk menulis kebenaran, jika hal itu dilakukan secara tunai. Yang demikian itu “aqsathu ‘indallaaHi (“Lebih adil di sisi Allah.”) Artinya, lebih adil. Dan “wa aqwamu lisy syaHaadati” (“Dan lebih dapat menguatkan persaksian.”) Maksudnya, lebih menguatkan kesaksian. Yakni lebih memantapkan bagi saksi, jika ia meletakkan tulisannya dan kemudian melihatnya, niscaya ia akan ingat akan kesaksian yang pernah ia berikan. Karena jika tidak menulisnya, maka ia lebih cenderung untuk lupa, sebagaimana yang sering terjadi.

Firman-Nya: wa adnaa allaa tartaabuu (“Dan lebih dekat kepada tidak [menimbulkan] keraguanmu.” Maksudnya lebih dekat kepada ketidakraguan. Dan jika terjadi perselisihan kamu akan kembali kepada catatan yang pernah kamu tulis sehingga dapat menjelaskan di antara kamu tanpa ada keraguan.

Dan firman Allah: illaa an takuuna tijaaratan haadliratan tudiiruunaHaa bainakum falaisa ‘alaikum junaahun allaa taktubuuHaa (“[Tulislah muamalah kamu itu], kecuali jika muamalah tersebut perdagangan tunai yang kamu jalankan di antaramu, maka tidak ada dosa bagimu, jika kamu tidak menulisnya.”) Maksudnya, jika jual beli itu disaksikan dan kontan, maka tidak ada dosa jika kalian tidak menulisnya, karena tidak ada hal-hal yang mengkhawatirkan jika tidak dilakukan penulisan terhadapnya.

Sedangkan mengenai pemberian kesaksian terhadap jual beli, maka Allah telah berfirman: wa asy-Hiduu idzaa tabaaya’tum (“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli.”) Menurut jumhur ulama, masalah tersebut diartikan sebagai bimbingan dan anjuran semata dan bukan sebagai suatu hal yang wajib.

Dalil yang menjadi landasan hal itu adalah hadits Khuzaimah bin Tsabital-Anshan, diriwayatkan Imam Ahmad, dari az-Zuhri, Imarah bin Khuzaimahal-Anshari pernah memberitahuku bahwa pamannya pernah memberitahunya, dan pamannya itu adalah salah seorang sahabat Nabi saw: Bahwa Rasulullah saw. pernah membeli seekor kuda dari seorang Badui. Lalu Nabi memintanya ikut untuk membayar harga kudanya tersebut. Maka Nabi berjalan dengan cepat, sedangkan orang Badui itu berjalan lambat. Kemudian ada beberapa orang yang menghadang orang Badui tersebut dengan tujuan agar mereka dapat menawar kudanya itu. Mereka tidak mengetahui bahwa Nabi telah membelinya. Sehingga sebagian mereka ada yang menawar dengan lebih tinggi dari harga kuda yang telah dibeli oleh Rasulullah tersebut.

Kemudian si Badui itu berujar kepada Nabi: “Jika engkau benar-benar membeli kuda ini, maka belilah. Jika tidak, maka aku akan menjualnya.” Maka Nabi pun berdiri ketika beliau mendengar seruan Badui itu, lalu beliau berkata: “Bukankah aku telah membelinya darimu.” “Tidak demi Allah, aku tidak menjualnya kepadamu,” sahut si Badui itu. Kemudian beliau berkata: “Aku telah membelinya darimu.” Setelah itu, orang-orang mengelilingi Nabi dan si Badui itu. Keduanya saling mengulangi ucapan mereka. Kemudian si Badui itu berkata: “Datangkan seorang saksi yang memberikan kesaksian bahwa aku telah menjualnya kepadamu.”

Lalu ada seorang Muslim yang hadir berkata kepada si Badui itu: “Celakalah kamu, sesungguhnya Nabi tidak berbicara kecuali kebenaran.” Hingga akhirnya datanglah Khuzaimah, ia mendengar ucapan Nabi dan bantahan si Badui tersebut, di mana si Badui itu mengatakan: “Datangkan seorang saksi yang memberikan kesaksian bahwa aku telah menjualnya kepadamu.” Maka Khuzaimah berkata: “Aku bersaksi bahwa engkau telah menjualnya kepada beliau.” Maka Nabi menatap kepada Khuzaimah seraya bertanya: “Dengan apa engkau hendak bersaksi?” “Dengan membenarkanmu, ya Rasulullah,” jawab Khuzaimah. Maka Rasulullah menjadikan kesaksian Khuzaimah itu sebagai kesaksian dari dua orang laki-laki.”

Keterangan yang sama juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i.

Firman Allah: walaa yudlaarra kaatibuw walaa syaHiid (“Dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan.”)

Ada yang mengatakan, makna ayat tersebut adalah, tidak diperbolehkan bagi penulis dan saksi untuk memperumit permasalahan, di mana ia menulis sesuatu yang bertolak belakang dengan apa yang didiktekan, dan si saksi memberikan kesaksian dengan apa yang bertentangan dengan yang ia dengar, atau bahkan ia menyembunyikannya secara keseluruhan. Demikianlah pendapat yang disampaikan oleh al-Hasan, Qatadah, dan ulama-ulama lainnya. Ada juga yang mengatakan, artinya, keduanya (penulis dan saksi) tidak boleh mempersulit.

Mengenai firman Allah: walaa yudlaarra kaatibuw walaa syaHiid (“Dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan.”) Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, “Ada seseorang datang. Lalu ia memanggil keduanya untuk menjadi penulis dan saksi. Kemudian kedua orang tersebut berucap, “Kami sedang ada keperluan.” Lalu orang itu berkata, “Sesungguhnya kamu berdua telah diperintahkan untuk memenuhinya.” Maka orang itu tidak boleh mempersulit keduanya.

Lebih lanjut ia menceritakan, hal senada juga telah diriwayatkan dari Ikrimah, Mujahid, Thawus, Sa’id bin Jubair, adh-Dhahak, Athiyyah, Muqatil bin Hayyan, Rabi’ bin Anas, dan as-Suddi.

Firman Allah Ta’ala selanjutnya: wa in taf’aluu fa innaHuu fusuuqum bikum (“Jika kamu lakukan [yang demikian], maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.”) Maksudnya, jika kamu menyalahi apa yang telah Allah perintahkan, atau kamu mengerjakan apa yang telah dilarang-Nya, maka yang demikian itu merupakan suatu kefasikan pada dirimu. Yaitu, kamu tidak akan dapat menghindarkan dan melepaskan diri dari kefasikan tersebut.

Firman-Nya: wattaqullaaHa (“Dan bertakwalah kepada Allah.”) Maksudnya, hendaklah kamu takut dan senantiasa merasa berada di bawah pengawasan-Nya, ikutilah apa yang diperintahkan-Nya, dan jauhilah semua yang dilarang-Nya. wa yu’allimukumullaaHu (“Allah mengajarmu.”) Penggalan ayat ini adalah seperti firman Allah yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furgan. ” (QS. Al-Anfaal: 29).

Furqan artinya, petunjuk yang dapat membedakan antara yang hak dan yang bathil. Dapat juga diartikan di sini dengan pertolongan.

Dan firman-Nya: wallaaHu bikulli syai-in ‘aliim (“Dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu.”) Artinya, Allah mengetahui hakikat seluruh persoalan, kemaslahatan, dan akibatnya. Sehingga tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya, bahkan ilmu-Nya meliputi seluruh alam semesta.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 278-281

30 Apr

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 278-281

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Al-Baqarah: 278) Makajika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. Al-Baqarah: 279) Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 280) Dan peliharalah dirimu dari (adzab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan). (QS. Al-Baqarah: 281)

Allah berfirman seraya memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk bertakwa kepada-Nya sekaligus melarang mereka mengerjakan hal-hal yang dapat mendekatkan kepada kemurkaan-Nya dan menjauhkan dari keridhaan-Nya, di mana Dia berfirman: yaa ayyuHal ladziina aamanut taqullaaHa (“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah.”) Maksudnya, takutlah kalian kepada-Nya dan berhati-hatilah, karena Dia senantiasa mengawasi segala sesuatu yang kalian perbuat.

Wa dzaruu maa baqiya minar ribaa (“Dan tinggalkan sisa riba [yang belum dipungut].”) Artinya, tinggalkanlah harta kalian yang merupakan kelebihan dari-pokok yang harus dibayar orang lain, setelah datangnya peringatan ini.

In kuntum mu’miniin (“Jika kalian orang-orang yang beriman.”) Yaitu, beriman kepada syariat Allah, yang telah ditetapkan kepada kalian, berupa penghalalan jual beli, pengharaman riba, dan lain sebagainya.

Zaid bin Aslam, Ibnu Juraij, Muqatil bin Hayan dan as-Suddi menyebutkan bahwa redaksi ayat ini diturunkan berkenaan dengan Bani ‘Amr bin Umair dari suku Tsaqif, dan Bani Mughirah dari Bani Makhzum. Di antara mereka telah terjadi praktek riba pada masa jahiliyah. Setelah Islam dating dan mereka memeluknya, suku Tsaqif meminta untuk mengambil harta riba itu dari mereka. Kemudian mereka pun bermusyawarah, dan Bani Mughirah pun berkata: “Kami tidak akan melakukan riba dalam Islam dan menggantikannya dengan usaha yang disyariatkan. Kemudian Utab bin Usaid, pemimpin Makkah, menulis surat membahas mengenai hal itu dan mengirimkannya kepada Rasulullah saw. Maka turunlah ayat tersebut. Lalu Rasulullah membalas Surat Utab dengan surat yang berisi: yaa ayyuHal ladziina aamanut taqullaaHa Wa dzaruu maa baqiya minar ribaa In kuntum mu’miniin fa illam taf’aluu fa’dzanuu biharbim minallaaHi wa rasuuliHi (“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba [yang belum dipungut] jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan [meninggalkan sisa riba] maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.”)
Maka mereka pun mengatakan, “Kami bertaubat kepada Allah Ta’ala dan kami tinggalkan sisa riba yang belum kami pungut.” Dan mereka semua pun akhirnya meninggalkannya.

Ayat ini merupakan peringatan keras dan ancaman yang sangat tegas bagi orang yang masih tetap mempraktekkan riba setelah adanya peringatan tersebut.

Ibnu Juraij mencentakan, Ibnu Abbas mengatakan bahwasanya ayat: fa illam taf’aluu fa’dzanuu biharbim minallaaHi wa rasuuliHi (“Maka jika kalian tidak mengerjakan [meninggalkan riba], maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian.”) Maksudnya ialah, yakinilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian.

Sedangkan menurut All bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, mengenai finnan Allah: fa illam taf’aluu fa’dzanuu biharbim minallaaHi wa rasuuliHi (“Maka jika kalian tidak mengerjakan [meninggalkan riba], maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian.”) Maksudnya, barangsiapa yang masih tetap melakukan praktek riba dan tidak melepaskan diri darinya, maka wajib atas imam kaum muslimin untuk memintanya bertaubat, jika ia mau melepaskan diri darinya, maka keselamatan baginya, dan jika menolak, maka ia harus dipenggal lehernya.

Setelah itu Allah swt. berfirman: wa in tubtum falakum ru-uusu amwaalikum laa tadhlimuuna walaa tudhlimuun (“Dan jika kalian bertobat [dari pengambilan riba], maka bagi kalian pokok harta kalian. Kalian tidak menganiaya dan tidak [pula] dianiaya.”) Maksudnya, kalian tidak berbuat zhalim dengan mengambil pokok harta itu: walaa tudhlamuun; (“Dan tidak pula dianiaya.”) Maksudnya, karena pokok harta kalian dikembalikan tanpa tambahan atau pengurangan (yaitu: memperoleh kembali pokok harta).

Ibnu Mardawaih meriwayatkan, Imam asy-Syafi’i memberitahu kami, dari Sulaiman bin `Amr, dari ayahnya, ia menceritakan, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya setiap riba dari riba jahiliyah itu sudah dihapuskan. Maka bagi kalian pokok harta [modal] kalian. Kalian tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”

Dia berfirman: wa in kaana dzuu ‘usratin fanadhiratun ilaa maisaratin wa an tashaddaquu khairul lakum in kuntum ta’lamuun (“Dan jika [orang yang berhutang itu] dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan [sebagian atau semua utang] itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.”)

Allah memerintahkan agar bersabar jika orang yang meminjam dalam kesulitan membayar hutang, yang tidak memperoleh apa yang untuk membayar. Tidak seperti yang terjadi di kalangan orang-orang Jahiliyah. Di mana salah seorang di antara mereka mengatakan kepada peminjam, Jika sudah jatuh tempo: “Dibayar atau ditambahkan pada bunganya.”

Selanjutnya Allah swt. menganjurkan untuk menghapuskannya saja. Dan Dia menyediakan kebaikan dan pahala yang melimpah atas hal itu. Maka Dia pun berfirman: wa an tashaddaquu khairul lakum in kuntum ta’lamuun (“Dan menyedekahkan [sebagian atau semua utang] itu lebib baik bagi kalian, jika kalian mengetahui.”) Artinya, hendaklah kalian meninggalkan pokok harta (modal) secara keseluruhan dan membebaskannya dari si peminjam.

Dan mengenai hal tersebut telah banyak hadits yang diriwayatkan melalui beberapa jalan yang berbedabeda dari Nabi Bahwasanya Abu Qatadah pernah mempunyai piutang kepada seseorang, lalu ia mendatanginya untuk menagihnya, namun orang itu bersembunyi darinya. Pada suatu hari ia datang kembali, kemudian keluarlah seorang anak, lalu Abu Qatadah bertanya kepada anak tersebut mengenai keberadaan orang itu, dan si anak itu menjawab: “Ya, ia berada di rumah.” Maka Abu Qatadah pun memanggilnya seraya berucap: “Hai Fulan, keluarlah, aku tahu bahwa engkau berada di dalam.” Maka orang itu pun keluar menemuinya. Dan Abu Qatadah bertanya: “Apa yang menyebabkan engkau bersembunyi dariku?” Orang itu menjawab: “Sesungguhnya aku benar-benar dalam kesulitan, dan aku tidak mempunyai sesuatu apa pun.” “Ya Allah, apakah engkau benar-benar dalam kesulitan?” tanya Abu Qatadah. “Ya,” jawabnya. Maka Abu Qatadah pun menangis, lalu menceritakan, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Barangsiapa memberi kelonggaran kepada peminjam -atau menghapuskannya-, maka ia berada dalam naungan `Arsy pada hari kiamat kelak.” (HR. Muslim).

Ada juga hadits lain diriwayatkan al-Hafizh Abu Ya’la al-Mushili, dari Hudzaifah bin al-Yaman, ia menceritakan, Rasulullah pernah bersabda: “Allah mendatangi salah seorang hamba-Nya pada hari kiamat kelak. Dia bertanya, ‘Apa yang telah engkau kerjakan di dunia untuk-Ku?’ la menjawab, ‘Aku tidak mengerjakan sesuatu apa pun untuk-Mu, ya Rabbku, meski hanya sebesar biji atom pun di dunia, yang dengannya aku berharap kepada-Mu.’ Dia ucapkan hal itu tiga kali. Dan pada kalimat terakhirnya hamba itu pun berucap, ‘Ya Rabbku, sesungguhnya Engkau telah memberikan kepadaku kelebihan harta, dan aku adalah seorang yang berdagang dengan orang-orang. Di antara tabiatku adalah mempermudah urusan. Maka aku berikan kemudahan kepada orang yang dalam kemudahan dan memberi tangguh kepada orang yang dalam kesulitan.’ Setelah itu Allah swt berfirman, ‘Aku lebih berhak memberikan kemudahan itu, masuklah ke dalam surga.’
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah.

Selanjutnya Allah menasehati dan mengingatkan hamba-hamba-Nya akan kefanaan dunia dan musnahnya semua harta kekayaan dan segala yang ada di muka bumi. Untuk kemudian datang alam akhirat dan semua makhluk kembali kepada-Nya, dan Allah Ta’ala menghisab semua yang pernah mereka lakukan, serta memberikan pahala sesuai dengan perbuatan mereka, yang baik maupun yang buruk. Dan Allah swt mengingatkan mereka akan siksaan-Nya, dengan berfirman: wattaquu yauman turja’uuna fiiHi ilallaaHi tsumma tuwaffaa kullu nafsim maa kasabat wa Hum laa yudhlamuun (“Dan peliharalah dirimu dari [adzab yang terjadi pada] hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).”

Ada yang meriwayatkan bahwa ayat ini merupakan ayat al-Qur’an yang terakhir turun. Ibnu Lahi’ah meriwayatkan dari Atha’ bin Dinar, dari Sa’id bin Jubair, ia mengatakan, ayat al-Qur’an yang terakhir turun adalah firman Allah swt: wattaquu yauman turja’uuna fiiHi ilallaaHi tsumma tuwaffaa kullu nafsim maa kasabat wa Hum laa yudhlamuun (“Dan peliharalah dirimu dari [adzab yang terjadi pada] hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).”

Dan Rasulullah masih sempat hidup selama sembilan hari setelah turunnya ayat ini, kemudian beliau meninggal dunia pada hari Senin tanggal 2 bulan Rabi’ul Awwal. Demikian diriwayatkan Ibnu Abi Hatim.

Dan juga diriwayatkan Ibnu Mardawih, dari Ibnu Abbas, katanya, ayat yang terakhir kali turun adalah firman Allah: wattaquu yauman turja’uuna fiiHi ilallaaHi. Atsar ini diriwayatkan pula oleh an-Nasa’i, dari Abdullah bin Abbas. Demikian juga telah diriwayatkan oleh adh-Dhahhak, al-Aufi, dari Ibnu Abbas.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 276-277

30 Apr

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 276-277“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (QS. Al-Baqarah: 276) Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal sahalih, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Rabb-nya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 277)

Allah memberitahukan bahwa Dia menghapuskan riba, baik menghilangkannya secara keseluruhan dan tangan pelakunya maupun mengharamkan keberkahan hartanya, sehingga ia tidak dapat mengambil manfaat darinya, bahkan Dia melenyapkan hasil riba itu di dunia dan memberikan hukuman kelak pada hari kiamat.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya: “Dan Dia menjadikan yang buruk itu sebagiannya atas sebagian yang lain, lalu semuanya Dia tumpukkan dan dimasukkan-Nya ke dalam neraka jahannam.” (QS. Al-Anfaal: 37).

Dalam kitab al Musnad, Imam Ahmad meriwayatkan dan Ibnu Masud, dari Nabi, beliau bersabda: “Sesungguhnya riba, meskipun pada awalnya banyak, namun akhirnya akan menjadi sedikit.” (HR. Ahmad)

Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Yang demikian itu dari sisi muamalah, dan itu jelas bertentangan dengan tujuan mengambil riba supaya banyak.

Firman Allah: wa yurbish shadaqaat (“Dan Allah menyuburkan sedekah”) Kata itu dibaca dengan memberikan dhammah pada huruf “ya’”. Kata “yurbii” tersebut berasal dari kata: rabasy-syai-a yarbuu; arbaaHu yurbiiHi; yang berarti memperbanyak dan mengembangbiakkan. Ada juga yang membacanya, “yurabbii” dengan memberikan dhammah pada huruf “ya’” dan disertai dengan tasydid pada “ba’” berasal dari kata “attarbiyyatu”

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. ia menceritakan, Rasulullah pernah bersabda: “Barangsiapa bersedekah senilai satu kurma yang dihasilkan dengan usaha yang baik (halal) dan Allah tidak menerima kecuali yang baik, maka sesungguhnya Allah menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu memeliharanya untuk pelakunya, seperti halnya seseorang di antara kalian memelihara anak kudanya hingga menjadi sebesar bukit.” (HR. Al-Bukhari).

Dan hal yang sama juga diriwayatkan Imam Muslim, Imam at-Tirmidzi dan an-Nasa’i.

Firman Allah A berikutnya: wallaaHu laa yuhibbu kulla kaffaarin atsiim (“Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.”) Maksudnya, Dia tidak menyukai orang yang hatinya senantiasa ingkar, yang selalu berbuat dosa baik berupa ucapan maupun perbuatan. Penyebutan sifat di atas dalam mengakhiri ayat ini sangatlah tepat. Karena, seorang yang melakukan riba itu pada hakekatnya tidak mau menerima yang halal yang telah ditetapkan Allah baginya dan tidak merasa cukup dengan usaha yang halal tersebut. Bahkan ia berusaha memakan harta orang lain dengan cara yang bathil, yaitu dengan berbagai macam usaha busuk. Dengan demikian, ia telah mengingkari nikmat Allah Ta’ala yang telah diberikan kepadanya, zhalim, dan berbuat dosa dengan memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.

Selanjutnya Allah Ta’ala memuji orang-orang yang beriman kepada Rabb mereka, yang senantiasa menaati perintah-Nya, selalu bersyukur dan berbuat baik dengan mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat. Allah Ta’ala berfirman untuk mengabarkan apa yang telah disediakan untuk mereka berupa kemuliaan, dan bahwasanya mereka pada hari kiamat kelak termasuk orang-orang yang beriman.

Dalam hal ini, Dia telah berfirman: innal ladziina aamanuu wa ‘amilush shaalihaati wa aqaamush shalaata wa aatuz zakaata laHum ajruHum ‘inda rabbiHim wa laa khaufun ‘alaiHim walaa Hum yahzanuun (“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendinikan shalat, dan menunaikan zakat, mereka mendapatkan pahala di sisi Rabb-nya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 275

30 Apr

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 275“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat): “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah: 275)

Setelah Allah menceritakan tentang orang-orang yang berbuat kebajikan, mengeluarkan infak, membayar zakat, serta mengutamakan kebaikan dan sedekah kepada orang-orang yang membutuhkan dan kepada kaum kerabat, yang dilakukan di setiap keadaan dan waktu, kemudian dalam ayat ini Allah Swt. memulai dengan menceritakan tentang orang orang yang memakan riba dari harta kekayaan orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan, serta berbagai macam syubhat. Lalu Allah, mengibaratkan keadaan mereka pada saat bangkit dan keluar dari kubur ada hari kebangkitan.

Allah Ta’ala berfirman: alladziina ya’kuluunar ribaa laa yaquumuuna illaa kamaa yaquumul ladzii yatakhabbathuHusy syaithaanu minal massi (“Orang-orang yang makan [mengambil] riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila.”) Artinya, mereka tidak dapat berdiri dari kuburan mereka pada hari kiamat kelak kecuali seperti berdirinya orang gila pada saat mengamuk dan kerasukan syaitan. Yaitu mereka berdiri dengan posisi yang tidak sewajarnya.

Ibnu Abbas mengatakan: “Pemakan riba akan dibangkitkan pada hari kiamat kelak dalam keadan gila yang tercekik.”

Imam Bukhari meriwayatkan dari Samurah bin Jundab, dalam hadits panjang tentang mimpi: “Maka tibalah kami di sebuah sungai, aku menduga ia mengatakan, ‘Sungai itu merah semerah darah.’ Ternyata di sungai tersebut terdapat seseorang yang sedang berenang, dan di pinggirnya terdapat seseorang yang telah mengumpulkan batu yang sangat banyak di sampingnya. Orang itu pun berenang mendatangi orang yang mengumpulkan batu itu. Kemudian orang yang berenang itu membuka mulutnya, lalu ia menyuapinya dengan batu.” (HR. Al-Bukhari).

Dan dalam menafsirkan peristiwa tersebut dikatakan bahwa ia itulah pemakan riba.

Dan firman Allah berikutnya: dzaalika biannaHum qaaluu innamal bai’ul mitslur ribaa wa ahallallaaHul bai’a wa harramar ribaa (“Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata [berpendapat], sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”) Maksudnya, mereka membolehkan riba dengan maksud untuk menentang hukum-hukum Allah Ta’ala yang terdapat dalam syariat-Nya. Bukan karena mereka mengqiyaskan riba dengan jual beli, sebab orang-orang musyrik tidak pernah mengakui penetapan jual beli yang telah ditetapkan Allah swt. di dalam al-Qur’an. Seandainya hal itu termasuk masalah qiyas, niscaya mereka akan mengatakan: “Sesungguhnya riba itu sama seperti jual beli.” Tetapi dalam hal ini mereka mengatakan, “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. “Artinya, keduanya serupa, lalu mengapa Dia mengharamkanyang ini dan menghalalkan yang itu?

Yang demikian itu merupakan penentangan mereka terhadap syariat. Artinya, yang ini sama dengan ini, dan Dia sendiri telah menghalalkan ini danmengharamkan yang ini.

Dan firman Allah swt. berikutnya: wa ahallallaaHul bai’a wa harramar ribaa (“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”) Hal itu mungkin merupakan bagian dari kesempurnaan kalam sebagai penolakan terhadap mereka atau terhadap apa yang mereka katakan, padahal mereka mengetahui perbedaan hukum yang ditetapkan Allah Ta’ala antara keduanya.

Dia Mahamengetahui lagi Mahabijaksana. Tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya dan Allah tidak dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah Ia kerjakan, justru merekalah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Dialah yang Mahamengetahui segala hakikat dan kemaslahatan persoalan. Apa yang bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya, maka Dia akan membolehkannya bagi mereka, dan apa yang membahayakan bagi mereka, maka Dia akan melarangnya bagi mereka. Kasih sayang Allah kepada para hamba-Nya lebih besar daripada sayannya seorang ibu kepada anak bayinya.

Oleh karena itu, Dia berfirman: faman jaa-aHu mau’idhatum mir rabbiHi fantaHaa falaHuu maa salafa wa amruHuu ilallaaHi (“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti [dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu [sebelum datangnya larangan], dan urusannya terserah kepada Allah.”) Maksudnya, barangsiapa yang telah sampai kepadanya larangan memakan riba, lalu ia mengakhirinya ketika syariat sampai kepadanya, maka baginya hasil muamalah terdahulu.

Yang demikian itu didasarkan pada firman-Nya: ‘afallaaHu ‘ammaa salaf (“Allah memaajkan apa yang telah berlalu. ” (QS. Al-Maa-idah: 95).

Dan sebagaimana sabda Rasulullah pada saat pembebasan kota Makkah (Bahkan pada haji Wada’): “Segala bentuk riba pada masa Jahiliyah diletakkan di bawah kedua kakiku ini, dan riba yang pertama kali aku letakkan adalah riba ‘Abbas.” (Lihat kitab Taarikhul Kabir, karangan al-Bukhari, juz I)

Rasulullah tidak menyuruh mereka mengembalikan keuntungan yang mereka peroleh pada masa jahiliyah, tetapi Allah Ta’ala telah memaafkan mereka atas apa yang telah berlalu. Sebagaimana yang difirmankan-Nya: falaHuu maa salafa wa amruHuu ilallaaHi (“Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu [sebelum datangnya larangan), dan urusannya terserah kepada Allah.”

Said bin Jubair dan as-Suddi mengatakan: “Baginya riba yang dahulu pernah ia makan sebelum diharamkan.”

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan: bahwa Aisyah radiallahu anha, isteri Nabi saw. pernah bertutur: “la pernah ditanya oleh Ummu Bahnah, yaitu ummu walad Zaid bin Arqam, ‘Wahai Ummul Mukminin, apakah engkau kenal Zaid bin Argam?’ ‘Ya, aku mengenalnya,’ jawab Aisyah. Ummu Bahnah mengatakan: ‘Sesungguhnya aku telah menjualkannya (untuk Zaid) seorang budak kepada Atha’ dengan harga 800 dirham (dengan tempo/utang). Lalu aku memerlukan uang, maka aku membeli kembali (budak itu) (dengan tunai) sebelum sampai waktu pembayaran (sebelum jatuh tempo) dengan harga 600 dirham (tunai).’ Aisyah pun berkata: ‘Alangkah buruknya pembelianmu, alangkah buruknya pembelianmu itu. Sampaikanlah kepada Zaid bahwa ia benar-benar telah menghapuskan pahala jihadnya bersama Rasulullah, jika ia tidak segera bertaubat.’ Ummu Bahnah melanjutkan pertanyaan: ‘Bagaimana menurut pendapatmu, jika aku meninggalkan 200 dirham dan mengambil yang 600. dirham (sebagai pembayaran hutang)?’ Aisyah menjawab: ‘Ya, boleh.’ ‘Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datangnya larangan), dan urusannya terserah kepada Allah.” Atsar ini sudah sangat masyhur dan merupakan dalil bagi orang yang mengharamkan jual beli a’inah (riba terselubung) serta beberapa Hadits lain yang berkaitan dengan hal itu yang telah ditetapkan dalam masalah hukum. Segala puji bagi Allah.

(Ummu walad adalah wanita yang melahirkan anak majikannya.-ed)

Selanjutnya Allah A berfirman: waman ‘aada (“Orang yang mengulangi [mengambil riba].”) Maksudnya kembali mengambil riba, dan ia mengerjakannya setelah sampai kepadanya larangan tersebut, maka wajib baginya hukuman dan penegasan hujjah atasnya. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman: fa ulaa-ika ash-haabun naari Hum fiiHaa khaaliduun (“Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”)

Abu Daud telah meriwayatkan dari Abu Zubair, dari Jabir, ia menceritakan ketika turun ayat yang artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila.” Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan mukhabarah, maka maklumatkanlah perang kepada Allah dan Rasul-Nya.’” (Dha’if: Didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha’iifah (990)

Hadits terakhir di atas juga diriwayatkan oleh al-Hakim dalam kitabnya, al-Mustadrak, dari Abu Khaitsam. Dan ia mengatakan, bahwa derajat Hadits itu sahib dengan syarat Muslim, namun Imam al-Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkannya.

Diharamkan mukhabarah, yaitu menyewakan tanah dengan imbalan sebagian hasil buminya. Demikian juga muzabanah, yaitu membeli kurma basah yang masih ada di pohonnya dengan pembayaran kurma kering yang sudah ada di tanah. Dan muhagalah, yaitu pembelian biji yang masih melekat pada tangkainya di ladang dengan biji yang sudah ada di atas tanah. Semuanya itu dan juga semua praktek yang sejenisnya diharamkan untuk merintangi jalan ke inti riba, sebab belum diketahui kesamaan dua barang sebelum keduanya kering betul. Oleh karena itu, para fuqaha mengemukakan: “Ketidaktahuan terhadap kesamaan, sama seperti hakikat kelebihan.” Dan mereka juga mengharamkan segala sesuatu yang mereka pahami, sebagai upaya untuk mempersempit jalan dan berbagai sarana yang mengantarkan kepada riba. Adapun ketidaksamaan pandangan mereka tergantung pada ilmu yang dikaruniakan Allah kepada mereka.

Dan Allah Ta’ala sendiri telah berfirman yang artinya: “Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Mahamengetahui (Allah).” (QS. Yusuf: 76).

Masalah riba ini merupakan masalah yang paling rumit menurut kebanyakan ulama. Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab pernah mengatakan, tiga hal yang seandainya saja Rasulullah saw. mewasiatkan kepada kami dengan suatu wasiat yang dapat memuaskan kami yaitu dalam masalah; al-jaddu (bagian warisan kakek), al-kalalah (orang yang meninggal tidak meninggalkan ayah dan anak), dan beberapa masalah riba.

Maksudnya adalah sebagian masalah yang di dalamnya terdapat percampuran riba, sedangkan syariat telah menetapkan bahwa sarana yang mengantarkan kepada yang haram itu pun haram hukumnya, karena sesuatu yang mengantarkan kepada yang haram adalah haram, sebagaimana tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu, makanya itu menjadi wajib.

Di dalam kitab ash-Shahihain (al-Bukhari dan Muslim) telah ditegaskan sebuah Hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir, ia menceritakan, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu telah jelas, yang haram pun telah jelas, dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang samar (diragukan). Barangsiapa menjaga dirinya dari perkara yang diragukan, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam keraguan, berarti ia telah terjerumus ke dalam perkara yang haram, seperti penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah terlarang, lambat laun ia akan masuk ke dalamnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dan di dalam kitab as-Sunan juga diriwayatkan sebuah hadits dari al-Hasan bin Ali radiallahu anhuma, ia menceritakan, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Tinggalkan perkara yang engkau ragukan, menuju kepada perkara yang tidak engkau ragukan.”

Dalam hadits yang lain Rasulullah juga bersabda: “Dosa itu adalah sesuatu yang mengganjal di dalam hatimu, yang padanya jiwa menjadi ragu, dan engkau tidak suka bila diketahui orang lain.”

Sedangkan dalam riwayat lain disebutkan: “Mintalah fatwa kepada hatimu, meskipun manusia telah memberikan fatwa kepadamu.” (Diriwayatkan Imam Ahmad dan Imam ad-Darimi dalam kitab Musnad milik masing-masing dari keduanya dengan sanad shahih atau hasan; Dha’if, lihat kitab alMajma’ (8/175).-ed.)

Ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan: “Ayat yang terakhir kali turun kepada Rasulullah adalah ayat tentang riba.” Demikian yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dari Qabishah.

Imam Ahmad juga meriwayatkan bahwa Umar pernah mengatakan: “Ayat yang terakhir kali turun kepada Rasulullah saw adalah ayat tentang riba, dan sesungguhnya beliau telah dipanggil ke hadirat-Nya sebelum beliau sempat menafsirkannya kepada kami. Oleh karena itu, tinggalkan riba dan keraguan.”

Ia mengatakan bahwa Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Majah dan Ibnu Mardawih.

Ibnu Majah juga meriwayatkan dari Abdullah bin Masud, dari Nabi beliau bersabda: “Riba itu ada 73 (tujuh puluh tiga) macam.” (HR. Ibnu Majah).

Hadits di atas juga diriwayatkan al-Hakim dalam kitabnya, al Mustadrak, dari ‘Amr bin ‘Ali al-Falas, dengan isnad yang sama, dengan tambahan lafazh: “Yang paling ringan dari riba itu seperti seseorang menikahi ibunya sendiri dan sejahat-jahat riba adalah mengganggu kehormatan seorang muslim.”

Al-Hakim mengatakan: “Hadits tersebut sahih dengan syarat Syaikhani (al-Bukhari dan Muslim), namun keduanya tidak meriwayatkannya.”

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Akan datang suatu masa di mana manusia banyak memakan riba.” Ditanyakan kepada Rasulullah: “Apakah manusia secara keseluruhan?” Beliau menjawab: “Yang tidak memakannya pun akan terkena debunya.” (HR. Ahmad; Dha’if, didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Dha’iiful Jaami’ (4864).-ed.)

Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Oleh karena itu, diharamkan segala sarana yang dapat menimbulkan setiap perkara yang haram.

Ahmad meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Setelah ayat-ayat mengenai riba yang terdapat pada akhir surat al-Baqarah turun, Rasulullah saw. berangkat ke masjid, lalu beliau membacakan ayat-ayat tersebut. Selanjutnya beliau mengharamkan perdagangan khamer.”
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Jama’ah, kecuali at-Tirmidzi, melalui jalan al-A’masy.

Demikian pula redaksi dari riwayat al-Bukhari ketika menafsirkan ayat ini, maka diharamkanlah perdagangan khamer.

Dalam lafazh al-Bukhari, yang diriwayatkan dari Aisyah radiallahu anha, ia menceritakan: “Ketika ayat-ayat yang terdapat pada akhir surat al-Baqarah mengenai riba, Rasulullah membacakannya kepada umat manusia, lalu beliau mengharamkan perdagangan khamer.”

Beberapa imam yang membicarakan Hadits ini berkata, “Setelah riba dan berbagai macam sarananya diharamkan, maka khamer dan segala bentuk perdagangannya pun diharamkan,” sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw. dalam sebuah Hadits muttafaqun ‘alaih: “Allah melaknat orang Yahudi yang telah diharamkan bagi mereka lemak, namun mereka mencairkannya, lalu menjualnya dan memakan hasil penjualannya.” (Muttafaqun ‘alaih).

Telah dikemukakan sebelumnya pada Hadits Ali, Ibnu Mas’ud, dan yang lainnya dalam pelaknatan terhadap muhallil pada penafsiran firman Allah swt. berikut ini: hattaa tankiha azwaajan ghairaHu (“Sehingga ia menikah dengan suami yang lain.”) (QS. Al-Baqarah: 230). Sabda Rasulullah saw: “Allah melaknat orang yang memakan riba, yang mewakili transaksi riba, dua orang saksinya, dan orang yang menuliskannya.”

Mereka berpendapat: “Dan janganlah seseorang menyaksikannya dan menuliskannya kecuali jika diperlihatkan dalam bentuk akad syar’i, padahal transaksi itu sendiri batal.”

Dengan demikian, yang dijadikan sandaran adalah maknanya, bukan gambaran lahiriahnya. Karena amal perbuatan itu tergantung pada niatnya.

Muhallil: Seseorang yang berpura-pura menikahi wanita yang sudah ditalak tiga, agar bisa kembali kepada suami yang menceraikannya.-ed.

Dalam Hadits shahih telah ditegaskan, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa kalian, dan tidak juga kepada harta kekayaan kalian, melainkan la melihat kepada hati dan perbuatan kalian.”

Imam al-‘Allamah Abu ‘Abbas Ibnu. Taimiyah telah menyusun sebuah kitab mengenai Ibthalut-Tahlil yang mencakup larangan menempuh berbagai sarana yang mengantarkan kepada setiap perkara yang bathil. Dan pembahasan tentang hal itu sudah sangat mencukupi dan memuaskan dalam kitab tersebut. Semoga Allah memberikan rahmat dan meridhainya.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 272-274

30 Apr

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 272-274“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 272) (Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleb jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (dijalan Allah), maka sesungguhnya Allah Mahamengetahui. (QS. Al-Baqarah: 273) Orang-orang yang menafkahkan bartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan; maka mereka mendapat pahala di sisi Rabb-nya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al-Baqarah: 274)

Abu Abdurrahman an-Nasa’i meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia menceritakan, dahulu mereka tidak suka memberikan sedekah kepada keturunan mereka dari kalangan musyrik, lalu mereka menanyakan hal itu, hingga diberikan rukhshah (keringanan) bagi mereka. Maka turunlah ayat ini: “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya.”

Firman-Nya: wa maa tunfiquu min khairin fali-anfusikum (“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan [di jalan Allah], maka pahalanya itu untuk kamu sendiri.”)

Firman-Nya ini sama seperti firman-Nya yang berikut ini: man ‘amila shaalihan falinafsiHi (“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih, maka [pahalanya] untuk dirinya sendiri.”) (QS. Fushshilat: 46). Dan yang semisal dengan hal tersebut cukup banyak di dalam al-Qur’an.

Firman Allah Ta’ala berikutnya: wa maa tunfiquuna ilabtighaa-a wajHillaaHi (“Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah.”) Hasari Bashri mengatakan, “Yaitu nafkah yang diberikan orang mukmin untuk dirinya sendiri. Dan seorang mukmin tidak menafkahkan hartanya melainkan dalam rangka mencari keridhaan Allah swt.

Atha’ al-Khurasani mengatakan: “Yakni, jika engkau memberikan sesuatu karena mencari keridhaan Allah, maka pahala amal itu bukanlah urusanmu.” Ini merupakan makna yang bagus. Maksudnya adalah bahwa jika seseorang bersedekah dalam rangka mencari keridhaan Allah swt, maka pahalanya terserah pada Allah, dan tidak ada masalah baginya, apakah sedekah itu diterima oleh orang yang baik atau orang yang jahat, orang yang berhak menerima maupun orang yang tidak berhak menerima. Orang yang bersedekah ini tetap mendapatkan pahala atas niatnya.

Yang menjadi sandaran dalam hal ini adalah kelanjutan ayat berikut: wa maa tunfiquu min khairiy yuwaffa ilaikum wa antum laa tudh-lamuun (“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikit pun tidak akan dianianya (dirugikan).”)

Juga berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan dalam shahihain, melalui jalan Abu Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Hurairah, ia menceritakan, Rasulullah pernah bersabda: “Ada seseorang berkata: ‘Aku akan mengeluarkan sedekah pada malam ini.’ Kemudian ia pergi dengan membawa sedekah, lalu sedekah itu jatuh ke tangan seorang pezina, maka pada pagi harinya, orang-orang pun membicarakan: ‘Seorang pezina diberi sedekah.’ Kemudian ia berucap: ‘Ya Allah, segala puji hanya untuk-Mu atas (sedekah) kepada seorang pezina.’ Selanjutnya orang itu berkata: ‘Aku akan mengeluarkan sedekah pada malam ini.’ Kemudian sedekah itu jatuh ke tangan orang kaya. Dan pada pagi harinya, orang-orang membicarakan: ‘Tadi malam ada orang kaya yang diberi sedekah.’ Maka orang itu pun berucap: ‘Ya Allah, segala puji bagi-Mu atas (segala sedekah) kepada orang kaya. Dan pada malam ini aku akan mengeluarkan sedekah.’ Maka ia pun keluar dan sedekah itu jatuh ke tangan seorang pencuri. Dan pada pagi harinya, orang-orang pun membicarakan: ‘Tadi malam seorang pencuri diberi sedekah.’ Maka orang itu pun berucap: ‘Ya Allah, segala puji bagi-Mu atas (sedekah) kepada pezina, orang kaya, dan pencuri.’ Kemudian ia didatangi (oleh malaikat) dan dikatakan kepadanya: “Sedekahmu telah diterima. Adapun si pezina itu semoga ia menjaga diri dari zina. Dan semoga orang kaya akan mengambil pelajaran sehingga ia mau menginfakkan apa yang telah diberikan Allah Ta’ala kepadanya. Dan semoga si pencuri itu menjaga diri dari perbuatan mencurinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Sedangkan firman-Nya: lil fuqaraa-il ladziina uhshiruu fii sabiilillaaHi (“Berikanlah kepada orang orang fakir yang terikat oleh jihad di jalan Allah.”) Yakni orang-orang Muhajirin yang telah mengabdikan diri kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya serta menetap di Madinah. Mereka tidak memiliki sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri. Laa yastathii’uuna dlarban fil ardli (“Mereka tidak dapat berusaha di muka bumi.”) Maksudnya, mereka tidak dapat pergi mencari penghidupan dan berjalan di bumi ini, maksudnya ialah bepergian (safar). Allah berfirman yang artinya: “Dan jika kamu bepergian di muka bumi ini, maka tidak mengapa kamu meng-qashar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” (QS. An-Nisaa’: 101) .

Dan firman Allah: yahsabuHumul jaaHilu agniyaa-a minat ta’affufi (“Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta.”) Maksudnya orang-orang yang tidak mengetahui persoalan dan keadaan mereka menduga bahwa mereka itu orang-orang kaya karena sikap iffahnya (penjagaan dirinya) dalam hal pakaian, perilaku, dan perkataan.

Mengenai makna ini terdapat sebuah hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia menceritakan, Rasulullah pernah bersabda: “Orang miskin itu bukanlah orang yang berkeliling untuk meminta-minta satu dua buah kurma, satu dua suap makanan dan satu dua kali makan, tetapi orang miskin adalah orang yang tidak mempunyai kekayaan yang mencukupinya dan tidak mampu berusaha, maka diberikan kepadanya shadaqah dan dia tidak meminta apa pun pada orang lain.” (Muttafaqun ‘alaih)

Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad dari Hadits Ibnu Mas’ud.

Firman-Nya lebih lanjut: ta’rifuHum bisimaaHum (“Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya.”) Yaitu sifat-sifat yang nampak dari mereka, bagi orang-orang yang berpikir. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah swt: siimaaHum fii wujuuHiHim (“Tanda-tanda mereka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud.”) (QS. Al-Fath: 29).

Sedangkan dalam Hadits yang lain juga pernah diriwayatkan mengenai hal yang serupa, di mana Rasulullah bersabda: “Takutlah kalian terhadap firasat orang mukmin, karena sesungguhnya ia memandang dengan nur Allah.”

Kemudian beliau membaca ayat: inna fii dzaalika la aayaatil lil mutawassimiin (“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda [kekuasaan Kami] bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda.”) (QS. Al-Hijr: 75).

Selanjutnya firman Allah Ta’ala berikut ini: laa yas-aluunan naasa ilhaafan (“Mereka tidak meminta-minta kepada orang secara mendesak.”) Artinya, mereka tidak mendesak dalam meminta-minta serta tidak memaksa orang-orang dengan sesuatu yang tidak mereka butuhkan. Sesungguhnya orang yang meminta-minta, sedang ia mempunyai apa yang mencukupi dirinya sehingga tidak perlu baginya meminta-minta, maka berarti ia telah meminta dengan mendesak.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abu Sa’id, dari ayahnya, ia menceritakan: “Ibuku pernah mengutusku kepada Rasulullah untuk meminta sesuatu kepada beliau, maka aku pun mendatangi beliau dan duduk. Rasulullah saw. menghampiriku, seraya bersabda: ‘Barangsiapa yang sudah merasa kaya, maka Allah akan menjadikannya kaya, dan barangsiapa yang menjaga kesucian (tidak meminta-minta), maka Allah akan menjaga kesuciannya, dan barangsiapa yang merasa cukup, maka Allah pun akan memberikan kecukupan baginya. Dan barangsiapa yang meminta-minta sedang ia mempunyai 40 dirham (uqiyah), berarti ia telah meminta secara mendesak.’” Kemudian Abu Sa’id menuturkan, lalu aku bergumam: “Unta punyaku lebih baik daripada uqiyah (40 dirham).” Setelah itu aku pun kembali pulang, dan tidak jadi meminta kepada beliau.”
Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan an-Nasa’i.

Firman Allah selanjutnya: wa maa tunfiquu min khairin fa innallaaHa biHii ‘aliim (“Dan apa saja harta yang baik yang kalian nafkahkan [di jalan Allah], maka sesungguhnya Allah Mahamengetahui.”) Maksudnya, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari Allah Ta’ala. Dan Dia akan memberikan balasan pahala yang lebih banyak dan sempurna kepadanya pada hari kiamat kelak, dengan sesuatu yang sangat dibutuhkan olehnya.

Dan firman-Nya berikutnya: alladziina yunfiquuna amwaalaHum bil laili wan naHaari sirraw wa ‘alaa niyatan falaHum ajruHum ‘inda rabbiHim walaa khaufun ‘alaiHim walaa Hum yahzanuun (“Orang-orang yang menafkahkan hartanya pada malam dan siang hari secara sembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”)

Ini merupakan pujian dari Allah swt. bagi orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan-Nya serta mencari keridhaan-Nya sepanjang waktu, baik malam maupun siang hari, serta dalam setiap keadaan, baik dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Bahkan nafkah yang diberikan kepada keluarga pun termasuk dalam hal itu juga.

Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Hadits yang terdapat dalam kitab Shahihain (al-Bukhari dan Muslim), bahwa Rasulullah pernah bersabda kepada Sa’ad bin Abi Waqqash ketika ia menjenguk beliau pada saat sedang sakit pada tahun pembebasan kota Makkah. Dan dalam sebuah riwayat disebutkan pada tahun hail wada’. Beliau bersabda: “Sesungguhnya engkau tidaklah menginfakkan sesuatu infak dengan tujuan untuk mencari keridhaan Allah melainkan akan bertambah derajat dan ketinggian, bahkan apa yang dimakan oleh isterimu.”

Dan Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Abu Mas’ud ra, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Sesungguhnya seorang muslim apabila memberikan nafkah kepada keluarganya dengan mengharap pahala dari Allah, maka nafkah itu merupakan sedekah baginya.” (HR. Ahmad).
Hadits tersebut juga diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Syu’bah.

Dan firman Allah berikutnya: falaHum ajruHum ‘inda rabbiHim (“Maka mereka mendapat pahala di sisi Rabb mereka.”) Yaitu pahala pada hari kiamat kelak atas infak yang telah mereka keluarkan dengan penuh ketaatan.

Walaa khaufun ‘alaiHim walaa Hum yahzanuun (“Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”) Mengenai penggalan ayat yang terakhir ini telah diuraikan sebelumnya.

&

Mewarnai pemandangan 2 anak muslim

27 Apr

Mewarnai Gambar  Islami Untuk Anak Muslim
Untuk Kreatifitas dengan Mewarnai Gambar
alquranmulia.wordpress.com

Mewarnai pemandangan 2 anak muslim

 

 

&

Mewarnai gambar pesawat tempur3 anak muslim

27 Apr

Mewarnai Gambar  Islami Untuk Anak Muslim
Untuk Kreatifitas dengan Mewarnai Gambar
alquranmulia.wordpress.com

Mewarnai gambar pesawat tempur3 anak muslim

 

 

&

Mewarnai gambar anak muslimah 6

27 Apr

Mewarnai Gambar  Islami Untuk Anak Muslim
Untuk Kreatifitas dengan Mewarnai Gambar
alquranmulia.wordpress.com

Mewarnai gambar  anak muslimah 6

Mewarnai gambar anak muslimah 5

27 Apr

Mewarnai Gambar  Islami Untuk Anak Muslim
Untuk Kreatifitas dengan Mewarnai Gambar
alquranmulia.wordpress.com

Mewarnai gambar  anak muslimah 5

 

 

&