Arsip | 14.23

Proses Keluarnya Roh dari Jasad

20 Mei

At-Tadzkirah Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Di sini diterangkan bahwa menjelang dikeluarkannya roh seorang mukmin maupun kafir dari jasadnya, ada pemberitahuan terlebih dahulu. Setelah dicabut maka roh dibawa naik ke langit.

Ibnu Mubarak berkata dari Haiwah, dari Abu Shakhr, dari Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi, apabila jiwa seorang mukmin telah tergenang maka datanglah kepadanya malaikat Maut lalu menucapkan, “Assalaamu ‘alaika, hai Wali Allah, Allah mengucapkan salam untukmu.” Kemudian dia mencabut nyawanya. Demikian sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an [yang artinya]: “Orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat, seraya mengatakan [kepada mereka]: Salaamun ‘alaikum.” (an-Nahl: 32) (isnadnya dlaif: Abu Shakr aadalah Yazid bin Abu Sumayyah, seorang yang dianggap dlaif)

Dalam ayat lain Allah swt berfirman yang artinya: “Salam penghormatan kepada mereka [orang-orang mukmin] pada hari mereka menemui-Nya: ‘Salaam’.” (al-Ahzab: 44)

Menurut riwayat al-Barra’ bin Azib, maksudnya, malaikat Maut mengucapkan salam kepada orang mukmin ketika mencabut nyawanya, dan dia tidak mencabut roh-nya sebelum mengucapkan salam kepadanya.

Sedang menurut Mujahid, orang mukmin diberi kabar gembira tentang kebaikan keadaan anak-anaknya kelak, sehingga hatinya tenang.

Adapun menurut riwayat Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw beliau bersabda: “Para malaikat pada datang. Apabila orang [yang akan mati] itu shalih, maka para malaikat itu akan berkata: “Keluarlah hai jiwa yang baik, dari tubuh yang baik. Keluarlah dalam keadaan terpuji. Dan bergembiralah karena akan mendapat rahmat dan kesenangan, dan Tuhan pun meridlaimu, tidak murka.”

Demikianlah perkataan itu diucapkan terus-menerus sampai nyawanya keluar. Dan selanjutnya dibawa ke langit. Maka dibukalah pintu langit untuknya seraya ditanya: “Siapa ini?”.
Para malaikat yang membawa nyawa itu berkata, “Fulan bin Fulan.” Maka disambut dengan ucapan, “Selamat datang jiwa yang baik, dari tubuh yang baik. Masuklah hai jiwa yang terpuji, dan bergembiralah, karena akan mendapat rahmat dan kesenangan, dan Tuhan pun meridlaimu, tidak murka.”

Begitulah seterusnya perkataan itu diucapkan kepadanya, hingga sampai ke langit dimana dia menemui Allah.

Tetapi jika yang [yang akan mati] itu manusia jahat, maka malaikat Maut berkata kepadanya, “Keluarlah hai jiwa yang busuk, dari dalam tubuh yang busuk! Keluarlah dalam keadaan tercela, dan bergembiralah dengan mendapat air yang sangat panas, air yang sangat dingin, dan berbagai macam adzab lain yang serupa dengannya.”

Perkataan seperti itu diucapkan terus sampai nyawanya keluar, kemudian dibawa ke langit, dan diminta bukakan pintu. Maka ditanya, “Siapa ini?” “Fulan,” jawab malaikat yang membawanya. Maka disambutlah dengan ucapan, “Tidak ada kata selamat datang untukmu hai jiwa yang busuk, yang berasal dari dalam tubuh yang busuk. Kembalilah kamu dengan terhina, pintu langit tidak akan dibuka untukmu.”

“Maka nyawa itu dikembalikan dari langit ke dalam kubur.” (Shahih al-Jami’ [1968] karya al-Albani)

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari Syababah bin Siwar, dari Ibnu Abi Dzi’b, dari Muhammad bin Amr bin Atha’, dari Sa’id bin Yasar, dari Abu Hurairah ra. Isnadnya shahih dan tsabit [otentik], tokoh-tokohnya disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim, selain Ibnu Abi Dzi’b, dia hanya disepakati oleh Muslim saja.

Muhammad bin Amr, dari Sa’id bin Yasar, dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. beliau bersabda, “Sesungguhnya orang yang akan mati dihadiri para malaikat. Apabila dia orang shalih, maka para malaikat itu berkata, ‘Keluarlah hai jiwa yang baik.’”

Adapun menurut riwayat Muslim dari Abu Hurairah juga yaitu: “Apabila nyawa orang mukmin keluar maka dijemput dua orang malaikat yang terus membawanya naik.” (Shahih Muslim [2872])

Kata Hammad, “Dan seterusnya Abu Hurairah menyebutkan tentang keharuman aromanya bagaikan minyak misk [kesturi]. Maka para penghuni langit pun berkata, “Inilah nyawa yang harum datang dari bum. Semoga Allah merahmati kamu dan jasadmu yang telah kamu diami.”

Nyawa itu kemudian dibawa kepada Tuhannya, Maka Dia menitahkan: “Bawalah dia sampai ke batas terakhir.”

Adapun orang kafir, apabila nyawanya keluar, maka kata Hammad, “Selanjutnya Abu Hurairah menyebutkan tentang betapa busuk baunya, sehingga dikutuk oleh semua makhluk yang dilewati sepanjang jalan. Maka berkatalah para penghuni langit, “Inilah nyawa yang busuk datang dari bumi.”
Kata Abu Hurairah pula, “Maka diperintahkanlah, ‘Bawalah dia sampai batas terakhir.’”

Sampai di sini Abu Hurairah mengatakan, “Rasulullah saw. menutupkan seecarik kain tipis yang beliau pakai pada hidungnya, begini.”

Sementara al-Bukhari meriwayatkan dari Ubadah bin ash-Shamit ra, dari Nabi saw. beliau bersabda: “Barangsiapa ingin bertemu dengan Allah, maka Allah pun ingin bertemu dengannya. Dan barangsiapa tidak ingin bertemu dengan Allah, maka Allah pun tidak ingin bertemu dengannya.”

Aisyah ra. berkata, “Sesungguhnya kami semua tidak menyukai mati.” Maka Rasulullah saw. bersabda, “Jangan begitu, tetapi apabila seorang mukmin akan meninggal dunia, ia diberi kabar gembira akan mendapatkan ridla Allah dan kemuliaan-Nya, sehingga tidak ada yang lebih dia sukai selain apa yang ada di hadapannya. Oleh karena itu dia ingin bertemu dengan Allah, dan Allah pun ingin bertemu dengannya.
Dan sesungguhnya apabila orang kafir meninggal dunia, maka dia diberitahukan tentang adzab Allah dan hukuman-Nya, sehingga tidak ada sesuatu yang lebih dia benci selain apa yang ada di hadapannya. Oleh karena itu dia tidak ingin bertemu dengan Allah, dan Allah pun tidak ingin bertemu dengannya.” (Shahih al Bukhari [6507], shahih Muslim [2683, 684]; hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dan Ibnu Majah dari Aisyah ra. dan diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dari Anas ra)

&

Peluang Bertaubat

20 Mei

At-Tadzkirah Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Dasar dari uraian berikut ini adalah hadits riwayat Abu Hurairah ra tentang orang yang telah membunuh seratus orang banyaknya, lalu dia bertanya kepada seorang alim, apakah dia boleh bertobat, maka orang alim itu menjawab, “Siapa yang dapat menghalangi kamu untuk bertobat? Tetapi pergilah kamu ke negeri bani Fulan, karena di sana banyak orang shalih yang senantiasa beribadah kepada Allah. Ikutlah kamu beribadah kepada Allah bersama mereka. dan jangan kembali ke negerimu, karena negerimu itu tempat orang-orang jahat.” (HR Muslim dalam Shahihnya)

Dalam musnad Abu Dawud ath-Thayalisi, Suhair bin Mu’awiyah, dari Abdul Karim Al-Jazari, dari Ziyad [bukan Ibnu Abi Matyam], dari Abdullah bin Mughaffal, dia berkata: Aku pernah menemani ayahku. Waktu itu aku berada di sebelahnya di hadapan Abdullah bin Mas’ud ra. Maka ayahku berkata: “Apakah engkau mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya apabila seseorang mengakui dosanya, kemudian dia bertobat kepada Allah Azza wa Jalla, maka Allah menerima taubatnya.’?” Ibnu Mas’ud menjawab: “Ya aku mendengar beliau bersabda, ‘Penyesalan adalah taubat.’” (Shahih: Shahih al jamii’ [6802] karya al-Albani)

Dan dalam Shahih al Bukhari dan Shahih Muslim, dari Aisyah ra, aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya apabila seseorang mengakui dosanya, kemudian dia bertaubat kepada Allah, maka Allah menerima taubatnya.” (Shahih Bukhari [2661] dan shahih Muslim [2770])

Begitu pula Abu Hatim al-Busti telah meriwayatkan dalam kitabnya, al-Musnad ash-Shahih, dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri ra. bahwa Rasulullah saw. duduk di atas mimbar kemudian bersabda, “Demi Allah yang menggenggam jiwaku.” Tiga kali, kemudian diam. Maka setiap orang dari kami menundukkan diri dengan rasa sedih atas sumpah Rasulullah saw. itu. Kemudian beliau melanjutkan sabdanya, “Tidak seorang pun yang mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa Ramadlan, dan meninggalkan dosa-dosa besar yang tujuh, melainkan dibukakan untuknya pintu-puntu surga yang delapan pada hari kiamat, sehingga pintu-pintu itu benar-benar bergetar.” Kemudian beliau membacakan firman Allah [yang artinya]: “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang kamu dilarang mengerjakannya, niscaya Kami menghapus kesalahan-kesalahanmu [dosa-dosa kecilmu].” (an-Nisaa’: 31) (Dlaif: Sunan an-Nasa’i [2438] dinyatakan dlaif oleh al-Albani)

Syaikh al-Qurthubi menyimpulkan, “Dengan demikian, berarti al-Qur’an telah menunjukkan bahwa dosa-dosa itu ada yang besar dan ada yang kecil. Jadi tidak seperti pendapat orang yang mengatakan bahwa semua dosa adalah besar, sebagaimana yang telah dijelaskan ketika menafsirkan surat an-Nisaa’. Dan bahwa dosa-dosa kecil [seperti sentuhan dan pandangan mata kepada selain mahram] bisa terhapus dengan menghindari dosa-dosa besar secara mutlak, berdasarkan janji Allah yang benar dan firman-Nya yang haq. Bukan berarti ini menjadi kewajiban Allah, tetapi merupakan cakupan dalam menghindari dosa-dosa besar yang diiringi dengan menegakkan kewajiban-kewajiban, sebagaiman yang dinyatakan dalam hadits.”

Senada dengan hal itu, ada hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah ra, Bersabda Rasulullah saw.: “Shalat lima waktu, [shalat] Jum’at sampai dengan Jum’at berikutnya, dan [puasa] Ramadlan sampai dengan [puasa] Ramadlan berikutnya, adalah penghapus dosa-dosa antara waktu-waktu tersebut, selagi menghindari dosa-dosa besar.” (Shahih Muslim [233])

Adapun dosa-dosa besar tidaklah bisa terhapus begitu saja, kecuali dengan bertaubat dan menghentikan diri sama sekali darinya, sebagaimana telah dijelaskan. Namun demikian, masih ada perbedaan pendapat tentang rincian hal yang termasuk dosa-dosa besar itu. Insya Allah akan dibahas pada bab Qishash.

&

Orang yang Dianjurkan Menghadiri Orang Mati

20 Mei

At-Tadzkirah Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Para ulama kita memberi penjelasan, bahwa sabda Nabi: “Apabila kamu sekalian menjenguk orang sakit atau orang mati, maka katakanlah yang baik-baik.” Adalah suruhan bersifat anjuran dan ganjaran tentang apa yang patut diucapkan di sisi orang sakit atau mayit. Di samping itu, merupakan pemberitahuan bahwa para malaikat mengamini doa orang-orang yang hadir di sana.

Oleh karena itu para ulama menganjurkan agar seseorang yang menghembuskan nafasnya yang terakhir hendaknya dihadiri oleh orang-orang yang shalih, yang gemar melakukan kebaikan. Tujuannya, agar mereka itu mengingatkannya kepada Allah, mendoakannya dan mendoakan keluarga yang ditinggalkannya. Di samping itu mereka juga akan berkata yang baik-baik. Dengan demikian, berhimpunlah antara doa mereka dan ucapan amin dari para malaikat. Sehingga kemanfaatannya meliputi si mayit, seluarganya yang sedang ditimpa kemalangan dan orang-orang yang ditinggalkannya secara menyeluruh.

&

Orang yang Hidup Sederhana dan Menggali Sumur Dijanjikan Masuk Surga Tanpa Hisab

20 Mei

At-Tadzkirah Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Telah mengabarkan secara ijazah kepada kami, Ibnu Rawah, dia berkata: telah menceritakan kepada kami, as-Salafi, dia berkata: telah mengabarkan kepada kami Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Musa bin Mardawaih bin Faurak bin Ja’far, dengan dibacakan di hadapannya, sedang aku mendengarkannya di Isfahan tahun 491, dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Abul Qasim Ali bin Umar bin Ishaq bin Ibrahim al-Asdibadzi al-hamadzani dengan dibacakan di hadapannya, pada bulan Sya’ban 409, dia berkata: telah mengabarkan kepada kami, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Ishaq bin as-Sunni al-Hafidz dia berkata: Telah mengabarkan kepadaku, Abu Abdillah al-Husain bin Muhammad al-Mathiqi dia berkata: Telah menceritakan kepada kami, Abu Bakar bin Zanjawaih, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai’ah, dari Darraj, dari Abu Juhairah, dari Abu Hurairah ra, dia berkata, Rasulullah saw. bersabda,

“Ada tiga golongan yang masuk surga tanpa hisab: orang yang mencuci pakaiannya, maka ia tidak punya gantinya; orang yang sama sekali tidak pernah memasang di atas perapiaannya dua buah periuk; dan orang yang diajak minum, tapi tidak dikatakan kepadanya, ‘Mana yang kamu sukai.?’”

Sedangkan menurut Ibnu Mas’ud:
“Barangsiapa menggali sumur di tanah kosong, atas dorongan iman dan mengharap pahala Allah, dia masuk surga tanpa hisab.”

&

Mereka yang Masuk Surga Tanpa Hisab

20 Mei

At-Tadzkirah Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Menurut riwayat Muslim dari Imran bin Hushain ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Dari umatku ada tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab.” Para shahabat bertanya, “Siapa mereka itu ya Rasulallah?” Rasul menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak mempercayai ramalan nasib, tidak mau berobat dengan cos, dan hanya bertawakal kepada Tuhannya.” (HR Muslim)

Cos, terjemahan dari “al-kayyu” yakni cara pengobatan klasik dengan membakar kulit, ditempeli besi panas setelah dibakar dalam api.

Sedang menurut riwayat at-Tirmidzi dari Abu Umamah ra, dia berkata, saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Tuhanku menjanjikan kepadaku, akan memasukkan ke dalam surga tujuh puluh ribu orang dari umatku tanpa dihisab ataupun diadzab. Tiap-tiap seribu orang disertai tujuh puluh ribu lainnya, dan tiga genggam dari genggaman Tuhanku.” (at-Tirmidzi berkata hadiits ini gharib, dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah. Dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ [7111])

Abu Bakar al-Bazzar telah meriwayatkan sebuah hadits dari Anas bin Malik ra, dia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya akan masuk surga dari umatku tujuh puluh ribu orang. Masing-masing dari tujuh puluh ribu itu disertai tujuh puluh ribu orang lainnya.” (Shahih, Shahih al-Jami’ [5366] karya al-Albani ra)

Al-Bazzar dan juga Abdillah al-Hakim at-Tirmidzi meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abu Bakar ash-Shiddiq ra. dia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memberiku tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab.” Umar ra. bertanya, “Ya Rasulallah, tidakkah engkau meminta tambahan?” Rasul menjawab, “Aku telah meminta tambahan kepada Allah maka Dia memberiku, masing-masing dari tujuh puluh ribu orang itu disertai tujuh puluh ribu orang lainnya.”
Umar ra. berkata, “Ya Rasulallah, tidakkah engkau meminta tambahan lagi ?”
Rasulullah saw. menjawab, “Aku telah meminta tambahan lagi kepada Allah, maka Dia memberiku sekian.”

Demikian Abu Wahab dalam periwayatannya, sambil membuka kedua belah tangannya, dia mengatkan, bahwa Hisyam berkata, “Ini dari Allah.” Sedang dia tidak tahu berapa jumlahnya.

At-Tirmidzi al-Hakim meriwayatkan pula dari Nafi’ bahwa Ummu Qais menceritakan kepadanya, bahwa Rasulullah saw. pada suatu hari keluar di sebuah jalan di antara jalan-jalan Madinah, sambil membimbing tangan wanita itu, sehingga sampai beliau di Baqi’ al-Gharqad. Maka beliau bersabda, “Dari sini akan dibangkitkan pada hari kiamat tujuh puluh ribu orang dalam rupa seperti bulan pada malam purnama. Mereka masuk surga tanpa hisab.”

[Mendengar itu] maka bangkitlah seseorang [namanya Ukkasyah] seraya berkata, “Ya Rasulallah, doakan aku kepada Allah supaya menjadikan aku tergolong mereka.”
Rasulullah saw. bersabda, “Kamu tergolong dalam mereka.”
Lalu seseorang lainnya berdiri pula seraya berkata, “Ya Rasulallah, doakan aku kepada Allah supaya menjadikan aku tergolong mereka.”
Rasul bersabda, “Kamu telah keduluan Ukkasyah.” (Nuwadir al-Ushul [837])

Jumlah sekian itu baru dari satu kuburan saja. maka bagaimana dengan kuburan-kuburan lainnya dari umat Islam. Adapun kalau Rasulullah saw. bersabda, “Kamu tergolong mereka,” agaknya beliau melihat Ukkasyah termasuk mereka ada di tempat itu. Sedang mengenai orang yang satu lagi, beliau tidak melihat dia termasuk golongan itu, maka beliau katakan, “Kamu telah keduluan Ukkasyah.” Dan Ummu Qais adalah putri Mihshan, saudara Ukkasyah bin Mihshan al-Asadi.

Imam Muslim juga telah meriwayatkan hadits yang semakna dengan ini.

&

Maksud Melihat Kenyataan Maut

20 Mei

At-Tadzkirah Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari, dia berkata, “Pernah saya bertanya kepada Rasulullah saw., ‘Kapankah orang mulai tidak mengenal sesama manusia?’ Maka beliau menjawab, ‘Apabila ia melihat kenyataan [maut].’” (diriwayatkan oleh Ibnu Majah [1453], tetapi didlaifkan oleh al-Albani)

“Apabila ia melihat kenyataan.” Maksudnya apabila orang yang akan meninggal itu telah melihat dengan mata dan kepalanya kehadiran Malaikat Maut atau para malaikat lainnya. wallaaHu a’lam.

Dalam hadits lain disebutkan, “Sesungguhnya Allah menerima taubat seseorang selagi belum terdengar dengkurnya [menjelang mati].” (HR at-Tirmidzi) (Hasan, Shahih al-Jami’ [1903] karya al-Albani)

Maksudnya selagi nyawanya belum sampai ke tenggorokan, dimana orang melihat kesudahan hidupnya, apakah mendapat rahmat atau kehinaan. Ketika itulah taubat dan iman tidak lagi bermanfaat, sebagaimana difirmankan Allah swt dalam al-Qur’an yang artinya:

“Maka iman mereka itu tiada berguna lagi bagi mereka, tatkala mereka telah melihat siksa Kami.” (al-Mu’min: 85)
“Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan : ‘Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.’ dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.” (an-Nisaa’: 18)

Jadi sebenarnya pintu taubat senantiasa terbuka lebar bagi manusia, sampai dia melihat malaikat pencabut nyawa, yaitu ketika mulai terdengar suara dengkurnya dari tenggorokan menjelang dicabutnya nyawa. Suara dengkuran itu mulai terdengar apabila urat jantungnya telah terputus, lalu suara itu naik ke dada dan tenggorokan. Ketika itulah dia melihat Malaikat Maut, dan ketika itulah dia menyaksikan kematian.

&

Jenis-Jenis Dosa dan Cara Bertaubat Darinya

20 Mei

At-Tadzkirah Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Secara garis besar, dosa-dosa yang harus ditaubati itu bisa berupa kekafiran atau lainnya. Bagi orang kafir, bertaubat artinya ia beriman disertai penyesalan atas kekafiran yang telah lalu. Jadi, tidak sekadar beriman saja. Bagi dia, sekadar beriman belum bisa disebut bertaubat.

Adapun dosa-dosa selain kekafiran, di antaranya ada yang berupa pelanggaran terhadap hak-hak Allah, ada pula pelanggaran terhadap hak-hak selain Allah. Bertaubat kepada pelanggaran terhadap hak-hak Allah caranya cukup dengan meninggalkan perbuatan itu saja. tetapi ada di antara dosa-dosa ini yang menurut Syara’ tidak cukup dengan sekadar meninggalkannya saja. sebagian harus ditambah dengan qadla’, seperti shalat dan puasa, dan sebagian harus ditambah dengan kaffarah, seperti melanggar sumpah dan sebagainya.

Adapun hak-hak manusia, maka harus disampaikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Kalau mereka tidak ada, hendaklah bersedekah atas nama mereka. dan barangsiapa tidak bisa melepaskan diri terhadap sesama manusia dengan cara bersedekah atau mengembalikan hak-hak mereka, karena miskin rupanya, maka harapan satu-satunya tinggal ampunan dari Allah swt. dan anugerahnya semoga diberikan. Terhadap orang-orang seperti ini, Allah seringkali menyatakan jaminan-Nya terhadap hak-hak yang wajib ditunaikan, dan mengganti keburukan-keburukannya dengan kebaikan-kebaikan, asalkan dia berupaya melakukan amal shalih sebanyak-banyaknya, dan sering meminta ampun bagi orang yang pernah ia dhalimi dari kalangan kaum mukminin dan mukminat.

&

Kehadiran Setan saat Orang Meninggal Dunia

20 Mei

At-Tadzkirah Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Diriwayatkan dari Nabi saw., “Sesungguhnya apabila seseorang hendak meninggal dunia, maka duduklah di sisinya dua setan. Yang satu ada di sebelah kanannya dan yang lain di sebelah kirinya. Setan yang di sebelah kanan berujud seperti ayah dari orang yang akan meninggal itu, dia berkata kepadanya, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku dulu adalah orang yang sangat menyayangi dan mencintai kamu, tetapi matilah kamu dalam agama Nasrani karena agama Nasrani ternyata adalah agama yang baik.’
Adapun setan di sebelah kirinya berujud seperti ibunya, dia berkata, ‘Hai anakku, dulu perutku telah mewadahi kamu. Tetekku telah memberimu minum, dan pahaku telah menjadi pangkuanmu, tetapi matilah kamu dalam agama Yahudi, karena agama Yahudi ternyata adalah agama yang terbaik.’” (tidak shahih; hadits ini disebutkan oleh Abu al-Hasan al-Qabisi dalam kitabnya, Syarh Risalah Ibni Abi Zaid. Dan ada pula hadits lain yang semakna, disebutkan oleh Abu Hamid dalam Kasyf ‘Ulum al-Akhirah)

Dan sesungguhnya ketika nyawa telah berada di tenggorokan dan nafas menyesak ke atas, maka datanglah berbagai cobaan dan ujian. Hal ini karena sebelumnya Iblis mengirim para pembantunya khusus kepada orang ini. Dia suruh dan tugasi mereka untuk menemaninya. Pada saat itu mereka mengerubungi orang yang sedang dalam sakaratul maut itu. Mereka menjelma di hadapannya dalam wujud orang-orang yang telah mati mendahuluinya. Yaitu para kekasih dan orang-orang yang dicintainya, yang selama di dunia dulu sangat menginginkan kebaikannya, seperti ayah, ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan, dan teman-teman dekatnya. Mereka seolah-olah menasehati: “Kamu baru akan mati, hai Fulan, sedang kami telah mendahuluimu. Maka matilah kamu dalam agama Yahudi, karena agama Yahudi adalah agama yang diterima di sisi Allah swt.”

Kalau orang itu tetap teguh imannya dan menolak ajakan mereka, maka datanglah yang lain seraya berkata, “Matilah kamu dalam agama Nasrani, karena agama Nasrani adalah agama al-Masih, dan dengan adanya agama Nasrani, Allah menghapus agama Musa.” Begitulah mereka menyebutkan aqidah tiap-tiap agama.

Dan ketika itulah Allah swt menyesatkan orang yang Dia kehendaki kesesatannya, dan itulah maka dari firman-Nya yang artinya: “Mereka berdoa: ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri kami petunjuk, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu.” (Ali ‘Imraan: 8)

Maksudnya, jangan palingkan hati kami ketika kami menghadapi maut, padahal sebelumnya Engkau telah memberi hidayah kepada kami sekian lamanya.

Jika Allah menghendaki hidayah dan keteguhan pada orang itu, maka datanglah kepadanya rahmat Allah. Ada yang mengatakan, yang dimaksud rahmat Allah di sini adalah Jibril as. Dia datang lalu mengusir setan-setan itu dari sisi orang yang akan meninggal itu. Jibril menghapus kecemberutan dari wajah orang itu, sehingga dia mati tampak sambil tersenyum, tanpa disangsikan lagi. Kebanyakan orang yang tampak tersenyum pada saat kematian adalah karena senang dengan hadirnya malaikat pembawa berita gembira itu yang datang dari Allah. Dia berkata, “Hai fulan, tidakkah kamu mengenalku? Aku adalah Jibril, dan mereka adalah setan-setan, musuhmu. Maka matilah kamu dalam agama yang lurus dan syariat yang agung.”

Tidak ada yang lebih menggembirakan manusia selain kehadiran malaikat Jibril tersebut. Dan itulah makna dari firman Allah, “Dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkau Maha Pemberi [karunia] seperti tersebut di atas. Setelah itu dicabutlah nyawa orang itu..

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku menghadiri kematian ayahku, Ahmad. Waktu itu tanganku memegang secarik kain untuk mengikat janggutnya. Tiba-tiba ia tak sadar, lalu sadar kembali seraya mengisyaratkan tangannya dan berkata, “Tidak, sampai kapanpun! Tidak, sampai kapanpun !” beliau melakukan seperti itu berkali-kali. Maka saya pun bertanya, “Wahai ayah, apa maksudmu?” beliau menjawab, “Sesungguhnya setan berdiri di depanku, mencengkeramku dengan ujung-ujung jarinya seraya berkata, ‘Hai Ahmad, menurutlah kepadaku!’ Tetapi aku katakan, ‘Tidak, sampai kapanpun ! Tidak, sampai kapanpun ! Tidak, sampai aku mati sekalipun !’”

Imam Syamsuddin al-Qurthubi berkata bahwa ia pernah mendengar dari gurunya, al Imam Abu al-Abbas Ahmad bin Umar al-Qurthubi di benteng Iskandaria, dia berkata, “Aku telah menyaksikan kematian saudara guru kami, Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Muhammad al-Qurthubi di Kordoba. Ketika dia menghadapi sakaratul maut, dikatakan kepadanya, ‘Ucapkanlah: Laa ilaaHa illallaaH.” Ternyata dia menolak, ‘Tidak, tidak!’

Ketika dia sadar, kami ceritakan hal itu kepadanya. Maka ia menjelaskan, “Ada dua setan datang kepadaku dari arah kananku dan dari arah kiriku. Satu di antaranya berkata: ‘Matilah dalam agama Yahudi, karena agama Yahudi adalah agama yang terbaik.’ Dan yang lain berkata, ‘Matilah dalam agama Nasrani, karena agama Nasrani adalah agama yang terbaik.’ Maka aku katakan kepada keduanya: ‘Tidak, tidak ! Kalian bedua mengatakan seperti itu kepadaku? Padahal aku telah menulis dengan tanganku dalam kitab at-Tirmidzi dan an-Nasa’i, dari Nabi saw. ‘Sesungguhnya setan akan datang kepada salah satu dari kamu sekalian, ketika ia akan meninggal dunia, maka dia berkata, ‘Matilah dalam agama Yahudi, matilah dalam agama Nasrani. (Ini tidak shahih dari Nabi saw) Jadi ucapan tadi adalah jawaban kepada kedua setan itu, bukan kepada kalian.

Imam Syamsuddin al-Qurthubi berkata bahwa peristiwa-peristiwa seperti ini, yakni jawaban yang ditujukan kepada setan, bukan kepada orang yang menalqin syahadat, banyak kita dengar dari orang-orang shalih. Sementara itu al-Qurthubi telah membuka-buka kitab Abu Isa at-Tirmidzi, dan telah mendengar seluruh isinya. Meski demikian tidak ditemukan cerita seperti di atas. Barangkali ada naskah lain, maka Allah-lah yang lebih tahu. Adapun kitab an-Nasa’i juga tidak ditemukan, wallaaHu a’lam.

Sedang menurut riwayat Ibnul Mubarak dan Sufyan dari Laits, dari Mujahid, dia berkata, “Tidak seorang pun yang akan mati, melainkan teman-teman sepergaulannya yang biasa bergaul dengannya tampil di hadapannya. Jika ia tukang main[senang berfoya-foya] maka yang datang adalah semisalnya. Dan apabila ahli dzikir, maka yang datangpun ahli dzikir pula.” (isnadnya dlaif)

Seorang ahli ibadah di Bashrah, ar-Rabi’ bin Sabirah bin Ma’bad al-Juhani mencontohkan kejadian yang dilihatnya. Saya pernah menghadiri beberapa orang yang akan mati di Syam. Antara lain ada seseorang dikatakan kepadanya: “Hai Fulan, ucapkanlah: Laa ilaaHa illallaaH.” Tetapi jawabnya malah: “Minumlah, dan tuangkanlah lagi untukku.” Dan seseorang lagi dari di al-Ahwaz ketika ditalqin ia menjawab: “Dah, yazidah, dawazidah.” Maksudnya: “Sepuluh, sebelas, dua belas.” Rupanya dia seorang pegawai kantor yang sering disibukkan oleh hitungan dan anggaran. Demikian tafsirannya, sebagaimana dinyatakan oleh Abu Muhammad Abdul Haq.”

Ar-Rabi’ menambahkan lagi kejadian lain. Kali ini adalah seorang Bashrah ketika ditalqin, dia justru menyenandungkan sebuah puisi:

“Hai, siapakah itu wanita,
Yang suatu hari berkata,
Sambil kelelahan terbata-bata:
“Manakah jalan ke pemandian Minjab?”

Peristiwa itu dijelaskan penafsirannya oleh al-Faqih Abu Bakar Ahmad bin Sulaiman bin al-Hasan an-Najd. Bahwa laki-laki itu pernah diminta menunjukkan jalan menuju ke rumahnya. Akhirnya, peristiwa itu dia ucapkan saat menghadapi sakaratul maut.

Abu Muhammad Abdul Haq dalam kitabnya, al-‘Aqibah, juga menjelaskan, “Untaian kata-kata lelaki tadi memiliki latar belakang tersendiri. Mulanya seorang lelaki itu berdiri di depan rumahnya. Pintu rumahnya mirip dengan pintu pemandian. Tiba-tiba lewatlah seorang wanita yang elok dipandang, wanita itu bertanya: “Mana jalan ke pemandian Minjab?”
“Ini pemandian Minjab.” Jawab laki-laki itu sambil menunjuk ke rumahnya sendiri. Maka wanita itupun masuk ke dalam rumah, dan laki-laki ikut mengiringiny dari belakang. Ketika menyadari ia bersama lelaki itu dalam sebuah rumah, yang ternyata bukan pemandian, maka tahu bahwa laki-laki itu telah menipunya. Akhirnya si wanita pura-pura gembira dan senang berkumpul berduaan [berkhalwat] di tempat sepi di dalam rumah tersebut. Wanita itu berkata: “Alangkah baiknya kalau ada sesuatu yang bisa kita nikmati bersama, maka senanglah hati kita.”

“Saat ini juga aku datangkan kepadamu apa yang kamu suka dan inginkan,” kata laki-laki itu. Lalu ia pun perni meninggalkan wanita itu dalam rumah tanpa menguncinya lebih dahulu. Sejenak kemudian ia datang membawa apa-apa yang diperlukan. Ketika memasuki rumahnya, ternyata wanita yang dikelabuhinya tadi sudah pergi tanpa bekas, sehingga kebingungan dan menyebut-nyebutnya. Dia menyesali hilangnya wanita itu. Dia berjalan mondar-mandir di jalan-jalan dan lorong-lorong sambil menyenandungkan kata-kata puitis di atas.

Tiba-tiba ada seorang wanita menjawab dari jendela sebuah rumah:
“Ketika kamu mendapatkannya,
Kenapa tidak ketat kau menjaganya
Di rumahmu yang kokoh perkasa,
Atau kau kunci rapat-rapat pintunya?”

Mendengar jawaban itu lelaki itu semakin bingung dan bergejolak perasaannya. Begitulah kelakuannya setiap hari, hingga akhirnya mengalami nasib seperti diceritakan tersebut di atas. Semoga Allah senantiasa melindungi kita dari berbagai macam bencana dan kebinasaan.

Saya katakan, peristiwa-peristiwa lain yang serupa sering terjadi di kalangan masyarakat, yang mengakibatkan mereka terlena dan tenggelam dalam kesibukan dunia. Sampai ada kisah yang sempat diceritakan kepada kita, bahwa ada seorang makelar, ketika akan meninggal dunia, dia dituntun untuk mengucapkan “Laa ilaaHa illallaaH”, maka jawabnya: “Tiga setengah, empat setengah.” Agaknya ia masih sibuk memikirkan pekerjaannya sebagai makelar.

Dan pernah juga saya lihat seorang juru hitung. Sewaktu sakit, dia masih juga melipat jari-jarinya sambil menghitung. Maka dikatakanlah kapanya: “Ucapkanlah: Laa ilaaHa illallaaH.” Jawabnya: “Rumah anu perbaiki ininya. Kebun anu buatlah begini.”

Dan kejadian aneh-aneh lainnya saat ditalqin seperti perkataan: “Dasar otak keledai kamu?” “Sapi kuning.” Dan seterusnya, akibat kebiasaan buruk yang dilakukan setiap harinya. Semoga Allah memberi keselamatan kepada kita dan memberi kita kematian dengan mengucapkan kalimat syahadat, berkat karunia dan kemurahan-Nya.

Sementara Ibnu Zhufar menceritakan dalam kitabnya “an-Nasha’ih”. Yunus bin Ubaid ra. adalah seorang penjual kain. Dia tidak mau berjualan di pagi hari, atau sore hari, atau waktu mendung. Pada suatu hari ia mengambil timbangannya lalu menghantamkannya di antara dua buah batu sampai ringsek. Maka seseorang menegurnya: “Kenapa engkau tidak serahkan saja kepada pembuatnya, supaya diperbaiki kerusakannya?” “Oh tidak,” katanya. “Baru saja saya menghadiri orang yang akan meninggal. Saya katakan kepadanya: ucapkanlah Laa ilaaHa illallaaH. Ternyata dia tidak bisa mengucapkannya. Maka saya ulangi lagi tetapi dia malah berkata: “Berdoalah kepada Allah untukku.” Lalu dia katakan pula: “Ini ada lidah timbangan pada lidahku, ia membuatku tidak bisa mengucapkannya.” Saya bertanya: “Apakah lidah timbangan itu hanya menghalangi kamu dari mengucapkan kalimat syahadat?” Dia jawab: “Ya.”
“Apa yang telah kamu perbuat dengan timbangan itu?” tanyaku pula. “Setahuku, saya tidak pernah mengambil atau memberi sesuatu dengan timbangan itu, kecuali dengan benar. Hanya selama ini saya memang tidak pernah memeriksa dan mengujinya.” Jawabnya.
Sejak peristiwa itu, Yunus mempersyaratkan kepada siapapun yang berjual beli dengannya supaya membawa timbangannya sendiri, dan menimbang sendiri. Kalau tidak, dia tidak mau melayaninya.

&

Hukum Taubat

20 Mei

At-Tadzkirah Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Bertaubat adalah fardlu atas seluruh kaum mukminin, menurut kesepakatan seluruh ulama kaum muslimin, berdasarkan firman Allah swt:

“Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” (an-Nuur: 31)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya.” (at-Tahrim: 8)

&

Hukum Ruqyah dan Pengobatan dengan Cos

20 Mei

At-Tadzkirah Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Jangan beranggapan bahwa orang yang meminta diruqyah dan diobati dengan cos itu otomatis tidak akan masuk surga tanpa hisab. Karena, Nabi saw. ternyata pernah meruqyah dirinya, dan menyuruh orang menggunakan ruqyah. Begitu pula, beliau pernah meruqyah beberapa orang shahabatnya dan dirinya sendiri, sebagaimana dituturkan oleh ath-Thabari dan lainnya. Itu berarti bahwa larangan Nabi menggunakan ruqyah dikhususkan oleh sabda Rasulullah saw. kepada keluarga Amr bin Hazm, “Perlihatkan kepadaku ruqyah kamu sekalian. Tidaklah mengapa menggunakan mantra selagi tidak memuat kemusyrikan.” (HR Muslim)

Demikian pula pengobatan dengan cos, jika diperlukan. Maksudnya barangsiapa melakukan cos pada bagian tubuh yang tepat, dengan memenuhi syarat yang diharuskan, maka itu tidaklah makruh dan tidak mengurangi keutamaannya. Dan juga masih bisa termasuk 70.000 orang tersebut di atas. Karena Nabi saw. sendir pernah berobat dengan cos, sebagaimana diriwayatkan oleh at-Tirimidzi dalam kitabnya, Adab an-Nufus. Dan juga oleh al-Hulaimi hal ini disebutkan dalam kitabnya, al-Minhaj fii ad-Diin.

Cos, terjemahan dari “al-kayyu” yakni cara pengobatan klasik dengan membakar kulit, ditempeli besi panas setelah dibakar dalam api.)

Memang, riwayat pengobatan dengan cos diperselisihkan. Namun demikian, diriwayatkan bahwa Nabi saw. telah mengobati luka yang menimpa wajahnya di perang Uhud denga cos. Begitu pula Sa’ad bin Zurarah mengecos kulitnya yang terkena duri. Demikian pula yang dilakukan oleh Mu’adz, yang secara khusus dinyatakan sebagai orang yang terpandai membaca al-Qur’an. Juga Imran bin Hushain telah menggunakan cos setelah kakinya dipotong oleh Urwah bin az-Zubair. Maka barangsiapa beranggapan bahwa orang-orang tersebut tidak patut termasuk yang 70.000, tidaklah diragukan bahwa perkataannya tidak benar.

&