At-Tadzkirah Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi
Diriwayatkan dari Nabi saw., “Sesungguhnya apabila seseorang hendak meninggal dunia, maka duduklah di sisinya dua setan. Yang satu ada di sebelah kanannya dan yang lain di sebelah kirinya. Setan yang di sebelah kanan berujud seperti ayah dari orang yang akan meninggal itu, dia berkata kepadanya, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku dulu adalah orang yang sangat menyayangi dan mencintai kamu, tetapi matilah kamu dalam agama Nasrani karena agama Nasrani ternyata adalah agama yang baik.’
Adapun setan di sebelah kirinya berujud seperti ibunya, dia berkata, ‘Hai anakku, dulu perutku telah mewadahi kamu. Tetekku telah memberimu minum, dan pahaku telah menjadi pangkuanmu, tetapi matilah kamu dalam agama Yahudi, karena agama Yahudi ternyata adalah agama yang terbaik.’” (tidak shahih; hadits ini disebutkan oleh Abu al-Hasan al-Qabisi dalam kitabnya, Syarh Risalah Ibni Abi Zaid. Dan ada pula hadits lain yang semakna, disebutkan oleh Abu Hamid dalam Kasyf ‘Ulum al-Akhirah)
Dan sesungguhnya ketika nyawa telah berada di tenggorokan dan nafas menyesak ke atas, maka datanglah berbagai cobaan dan ujian. Hal ini karena sebelumnya Iblis mengirim para pembantunya khusus kepada orang ini. Dia suruh dan tugasi mereka untuk menemaninya. Pada saat itu mereka mengerubungi orang yang sedang dalam sakaratul maut itu. Mereka menjelma di hadapannya dalam wujud orang-orang yang telah mati mendahuluinya. Yaitu para kekasih dan orang-orang yang dicintainya, yang selama di dunia dulu sangat menginginkan kebaikannya, seperti ayah, ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan, dan teman-teman dekatnya. Mereka seolah-olah menasehati: “Kamu baru akan mati, hai Fulan, sedang kami telah mendahuluimu. Maka matilah kamu dalam agama Yahudi, karena agama Yahudi adalah agama yang diterima di sisi Allah swt.”
Kalau orang itu tetap teguh imannya dan menolak ajakan mereka, maka datanglah yang lain seraya berkata, “Matilah kamu dalam agama Nasrani, karena agama Nasrani adalah agama al-Masih, dan dengan adanya agama Nasrani, Allah menghapus agama Musa.” Begitulah mereka menyebutkan aqidah tiap-tiap agama.
Dan ketika itulah Allah swt menyesatkan orang yang Dia kehendaki kesesatannya, dan itulah maka dari firman-Nya yang artinya: “Mereka berdoa: ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri kami petunjuk, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu.” (Ali ‘Imraan: 8)
Maksudnya, jangan palingkan hati kami ketika kami menghadapi maut, padahal sebelumnya Engkau telah memberi hidayah kepada kami sekian lamanya.
Jika Allah menghendaki hidayah dan keteguhan pada orang itu, maka datanglah kepadanya rahmat Allah. Ada yang mengatakan, yang dimaksud rahmat Allah di sini adalah Jibril as. Dia datang lalu mengusir setan-setan itu dari sisi orang yang akan meninggal itu. Jibril menghapus kecemberutan dari wajah orang itu, sehingga dia mati tampak sambil tersenyum, tanpa disangsikan lagi. Kebanyakan orang yang tampak tersenyum pada saat kematian adalah karena senang dengan hadirnya malaikat pembawa berita gembira itu yang datang dari Allah. Dia berkata, “Hai fulan, tidakkah kamu mengenalku? Aku adalah Jibril, dan mereka adalah setan-setan, musuhmu. Maka matilah kamu dalam agama yang lurus dan syariat yang agung.”
Tidak ada yang lebih menggembirakan manusia selain kehadiran malaikat Jibril tersebut. Dan itulah makna dari firman Allah, “Dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkau Maha Pemberi [karunia] seperti tersebut di atas. Setelah itu dicabutlah nyawa orang itu..
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku menghadiri kematian ayahku, Ahmad. Waktu itu tanganku memegang secarik kain untuk mengikat janggutnya. Tiba-tiba ia tak sadar, lalu sadar kembali seraya mengisyaratkan tangannya dan berkata, “Tidak, sampai kapanpun! Tidak, sampai kapanpun !” beliau melakukan seperti itu berkali-kali. Maka saya pun bertanya, “Wahai ayah, apa maksudmu?” beliau menjawab, “Sesungguhnya setan berdiri di depanku, mencengkeramku dengan ujung-ujung jarinya seraya berkata, ‘Hai Ahmad, menurutlah kepadaku!’ Tetapi aku katakan, ‘Tidak, sampai kapanpun ! Tidak, sampai kapanpun ! Tidak, sampai aku mati sekalipun !’”
Imam Syamsuddin al-Qurthubi berkata bahwa ia pernah mendengar dari gurunya, al Imam Abu al-Abbas Ahmad bin Umar al-Qurthubi di benteng Iskandaria, dia berkata, “Aku telah menyaksikan kematian saudara guru kami, Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Muhammad al-Qurthubi di Kordoba. Ketika dia menghadapi sakaratul maut, dikatakan kepadanya, ‘Ucapkanlah: Laa ilaaHa illallaaH.” Ternyata dia menolak, ‘Tidak, tidak!’
Ketika dia sadar, kami ceritakan hal itu kepadanya. Maka ia menjelaskan, “Ada dua setan datang kepadaku dari arah kananku dan dari arah kiriku. Satu di antaranya berkata: ‘Matilah dalam agama Yahudi, karena agama Yahudi adalah agama yang terbaik.’ Dan yang lain berkata, ‘Matilah dalam agama Nasrani, karena agama Nasrani adalah agama yang terbaik.’ Maka aku katakan kepada keduanya: ‘Tidak, tidak ! Kalian bedua mengatakan seperti itu kepadaku? Padahal aku telah menulis dengan tanganku dalam kitab at-Tirmidzi dan an-Nasa’i, dari Nabi saw. ‘Sesungguhnya setan akan datang kepada salah satu dari kamu sekalian, ketika ia akan meninggal dunia, maka dia berkata, ‘Matilah dalam agama Yahudi, matilah dalam agama Nasrani. (Ini tidak shahih dari Nabi saw) Jadi ucapan tadi adalah jawaban kepada kedua setan itu, bukan kepada kalian.
Imam Syamsuddin al-Qurthubi berkata bahwa peristiwa-peristiwa seperti ini, yakni jawaban yang ditujukan kepada setan, bukan kepada orang yang menalqin syahadat, banyak kita dengar dari orang-orang shalih. Sementara itu al-Qurthubi telah membuka-buka kitab Abu Isa at-Tirmidzi, dan telah mendengar seluruh isinya. Meski demikian tidak ditemukan cerita seperti di atas. Barangkali ada naskah lain, maka Allah-lah yang lebih tahu. Adapun kitab an-Nasa’i juga tidak ditemukan, wallaaHu a’lam.
Sedang menurut riwayat Ibnul Mubarak dan Sufyan dari Laits, dari Mujahid, dia berkata, “Tidak seorang pun yang akan mati, melainkan teman-teman sepergaulannya yang biasa bergaul dengannya tampil di hadapannya. Jika ia tukang main[senang berfoya-foya] maka yang datang adalah semisalnya. Dan apabila ahli dzikir, maka yang datangpun ahli dzikir pula.” (isnadnya dlaif)
Seorang ahli ibadah di Bashrah, ar-Rabi’ bin Sabirah bin Ma’bad al-Juhani mencontohkan kejadian yang dilihatnya. Saya pernah menghadiri beberapa orang yang akan mati di Syam. Antara lain ada seseorang dikatakan kepadanya: “Hai Fulan, ucapkanlah: Laa ilaaHa illallaaH.” Tetapi jawabnya malah: “Minumlah, dan tuangkanlah lagi untukku.” Dan seseorang lagi dari di al-Ahwaz ketika ditalqin ia menjawab: “Dah, yazidah, dawazidah.” Maksudnya: “Sepuluh, sebelas, dua belas.” Rupanya dia seorang pegawai kantor yang sering disibukkan oleh hitungan dan anggaran. Demikian tafsirannya, sebagaimana dinyatakan oleh Abu Muhammad Abdul Haq.”
Ar-Rabi’ menambahkan lagi kejadian lain. Kali ini adalah seorang Bashrah ketika ditalqin, dia justru menyenandungkan sebuah puisi:
“Hai, siapakah itu wanita,
Yang suatu hari berkata,
Sambil kelelahan terbata-bata:
“Manakah jalan ke pemandian Minjab?”
Peristiwa itu dijelaskan penafsirannya oleh al-Faqih Abu Bakar Ahmad bin Sulaiman bin al-Hasan an-Najd. Bahwa laki-laki itu pernah diminta menunjukkan jalan menuju ke rumahnya. Akhirnya, peristiwa itu dia ucapkan saat menghadapi sakaratul maut.
Abu Muhammad Abdul Haq dalam kitabnya, al-‘Aqibah, juga menjelaskan, “Untaian kata-kata lelaki tadi memiliki latar belakang tersendiri. Mulanya seorang lelaki itu berdiri di depan rumahnya. Pintu rumahnya mirip dengan pintu pemandian. Tiba-tiba lewatlah seorang wanita yang elok dipandang, wanita itu bertanya: “Mana jalan ke pemandian Minjab?”
“Ini pemandian Minjab.” Jawab laki-laki itu sambil menunjuk ke rumahnya sendiri. Maka wanita itupun masuk ke dalam rumah, dan laki-laki ikut mengiringiny dari belakang. Ketika menyadari ia bersama lelaki itu dalam sebuah rumah, yang ternyata bukan pemandian, maka tahu bahwa laki-laki itu telah menipunya. Akhirnya si wanita pura-pura gembira dan senang berkumpul berduaan [berkhalwat] di tempat sepi di dalam rumah tersebut. Wanita itu berkata: “Alangkah baiknya kalau ada sesuatu yang bisa kita nikmati bersama, maka senanglah hati kita.”
“Saat ini juga aku datangkan kepadamu apa yang kamu suka dan inginkan,” kata laki-laki itu. Lalu ia pun perni meninggalkan wanita itu dalam rumah tanpa menguncinya lebih dahulu. Sejenak kemudian ia datang membawa apa-apa yang diperlukan. Ketika memasuki rumahnya, ternyata wanita yang dikelabuhinya tadi sudah pergi tanpa bekas, sehingga kebingungan dan menyebut-nyebutnya. Dia menyesali hilangnya wanita itu. Dia berjalan mondar-mandir di jalan-jalan dan lorong-lorong sambil menyenandungkan kata-kata puitis di atas.
Tiba-tiba ada seorang wanita menjawab dari jendela sebuah rumah:
“Ketika kamu mendapatkannya,
Kenapa tidak ketat kau menjaganya
Di rumahmu yang kokoh perkasa,
Atau kau kunci rapat-rapat pintunya?”
Mendengar jawaban itu lelaki itu semakin bingung dan bergejolak perasaannya. Begitulah kelakuannya setiap hari, hingga akhirnya mengalami nasib seperti diceritakan tersebut di atas. Semoga Allah senantiasa melindungi kita dari berbagai macam bencana dan kebinasaan.
Saya katakan, peristiwa-peristiwa lain yang serupa sering terjadi di kalangan masyarakat, yang mengakibatkan mereka terlena dan tenggelam dalam kesibukan dunia. Sampai ada kisah yang sempat diceritakan kepada kita, bahwa ada seorang makelar, ketika akan meninggal dunia, dia dituntun untuk mengucapkan “Laa ilaaHa illallaaH”, maka jawabnya: “Tiga setengah, empat setengah.” Agaknya ia masih sibuk memikirkan pekerjaannya sebagai makelar.
Dan pernah juga saya lihat seorang juru hitung. Sewaktu sakit, dia masih juga melipat jari-jarinya sambil menghitung. Maka dikatakanlah kapanya: “Ucapkanlah: Laa ilaaHa illallaaH.” Jawabnya: “Rumah anu perbaiki ininya. Kebun anu buatlah begini.”
Dan kejadian aneh-aneh lainnya saat ditalqin seperti perkataan: “Dasar otak keledai kamu?” “Sapi kuning.” Dan seterusnya, akibat kebiasaan buruk yang dilakukan setiap harinya. Semoga Allah memberi keselamatan kepada kita dan memberi kita kematian dengan mengucapkan kalimat syahadat, berkat karunia dan kemurahan-Nya.
Sementara Ibnu Zhufar menceritakan dalam kitabnya “an-Nasha’ih”. Yunus bin Ubaid ra. adalah seorang penjual kain. Dia tidak mau berjualan di pagi hari, atau sore hari, atau waktu mendung. Pada suatu hari ia mengambil timbangannya lalu menghantamkannya di antara dua buah batu sampai ringsek. Maka seseorang menegurnya: “Kenapa engkau tidak serahkan saja kepada pembuatnya, supaya diperbaiki kerusakannya?” “Oh tidak,” katanya. “Baru saja saya menghadiri orang yang akan meninggal. Saya katakan kepadanya: ucapkanlah Laa ilaaHa illallaaH. Ternyata dia tidak bisa mengucapkannya. Maka saya ulangi lagi tetapi dia malah berkata: “Berdoalah kepada Allah untukku.” Lalu dia katakan pula: “Ini ada lidah timbangan pada lidahku, ia membuatku tidak bisa mengucapkannya.” Saya bertanya: “Apakah lidah timbangan itu hanya menghalangi kamu dari mengucapkan kalimat syahadat?” Dia jawab: “Ya.”
“Apa yang telah kamu perbuat dengan timbangan itu?” tanyaku pula. “Setahuku, saya tidak pernah mengambil atau memberi sesuatu dengan timbangan itu, kecuali dengan benar. Hanya selama ini saya memang tidak pernah memeriksa dan mengujinya.” Jawabnya.
Sejak peristiwa itu, Yunus mempersyaratkan kepada siapapun yang berjual beli dengannya supaya membawa timbangannya sendiri, dan menimbang sendiri. Kalau tidak, dia tidak mau melayaninya.
&
Tag:akhirat, al-Qurthubi, aqidah, berita kiamat, hisab, iman, islam, jahanam, malaikat, mati, maut, Meninggal Dunia, Neraka, setan, surga, Syamsuddin