Arsip | 17.23

Kitab Induk Sejarah: Taariikh ath-Thabari

25 Mei

Fakta Sejarah Islam;
Dr. Utsman bin Muhammad al-Khamis; Pustaka Imam Syafi’i

Taariikh ath-Thabari adalah kitab terpenting dalam sejarah Islam. Sering kali penulis sejarah mengutip berbagai peristiwa darinya. Ahlus sunnah dan ahli bid’ah mengutip dan berdalil dengan kitab ini. Lantas, mengapa kitab ini lebih didahulukan daripada kitab-kitab sejarah lainnya?

Penurut Dr. Utsman bin Muhammad al-Khamis, didahulukannya kitab tersebut didasarkan pada fakta-fakta berkut:
1. Dekatnya zaman penyusunnya, yaitu Imam ath-Thabari, dengan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh para shahabat
2. Penyusun meriwayatkan semuanya dengan sanad
3. Kemuliaan penyusun dan tingkat keilmuannya
4. Mayoritas kitab sejarah mengutip riwayat-riwayat darinya.

Jika kandungan kitab Taariikh ath-Thabari demikian unggul, maka kita bisa saja langsung merujuk pada kitab beliau ketika ingin membaca sejarah –tanpa melihat kitab-kitab sejarah lainnya yang menginduk kepadanya. Akan tetapi, seperti yang telah disampaikan bahwa tidak hanya ahlus sunnah yang merujuk kitab tersebut, tetapi juga para ahlu bid’ah yang mengambil apa-apa yang sesuai dengan madzab mereka.

Nah bagaimanakah sebaiknya menyikapi dua hal yang berlawanan ini? Jawabannya masih terkait dengan keistimewaan kitab sejarah ini, yakni semua peristiwa sejarah yang dinukil di dalamnya disertai sanad; jadi kalangan ahlus sunnah mengambil sanad ath-Thabari yang shahih saja, sedangkan ahli bid’ah mengambil semua riwayat baik yang shahih, yang baik maupun yang buruk, yang penting sesuai dengan hawa nafsu mereka.

Kalau demikian, sudah semestinya kita mengetahui metode yang dipakai oleh Imam ath-Thabari dalam menyusun Taariikhnya tersebut.

&

Kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq (11-13 H)

25 Mei

Fakta Sejarah Islam;
Dr. Utsman bin Muhammad al-Khamis; Pustaka Imam Syafi’i

Ketika kabar wafatnya Rasulullah saw. diumumkan, Abu Bakar ash-Shiddiq ra. baru datang dari Sanh (di tempat itulah tinggal istri Abu Bakar ra: Habibah binti Kharijah), sebuah daerah dekat Madinah. Kemudian ia membuka penutup wajah Rasulullah saw. dan mencium kening beliau seraya berkata, “Ayah dan ibuku sebagai tebusan, engkau adalah suci baik ketika masih hidup maupun setelah wafat.”

Abu Bakar menutup wajar Rasulullah saw. kemudian berdiri naik ke mimbar, lalu menyadarkan orang-orang, “Siapa saja di antara kalian yang menyembah Muhammad, maka ketahuilah bahwasannya Muhammad telah meninggal. Dan siapa saja di antara kalian yang menyembah Allah, maka ketahuilah bahwasannya Allah Mahahidup, tidak akan pernah mati.” Lalu ia membacakan firman Allah [yang artinya]:

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Ali ‘Imraan: 144)

Lalu mulailah para shahabat menangis terisak-isak. Mereka keluar ke jalan-jalan seraya mengulang-ulang ayat tersebut. Anas ra. berkata, “Seolah-olah kami belum pernah mendengar ayat ini kecuali saat itu.” Padahal al-Qur’an telah sempurna pada zaman Rasulullah saw. sebelum wafat. Walaupun demikian, ayat ini seolah-olah baru bagi mereka, dan itu disebabkan dahsyatnya musibah wafatnya Nabi saw.

Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib, ‘Ali bin Abu Thalib dan al-Fadhl bin al-‘Abbas, yang dibantu oleh shahabat lain memandikan dan mengkafani Rasulullah saw. Kemudian beliau dishalatkan dan dikebumikan. Pengurus jenazah Nabi saw seperti itu karena al-‘Abbas adalah paman beliau, serta ‘Ali dan al-Fadhl adalah sepupu beliau. Maka merekalah yang paling berhak mengurus jenazah beliau.

&

Hal-Hal yang Harus Diwaspadai ketika Membaca Kitab Sejarah

25 Mei

Fakta Sejarah Islam;
Dr. Utsman bin Muhammad al-Khamis; Pustaka Imam Syafi’i

Yang perlu diwaspadai adalah agar tidak mudah condong kepada pendapat penyusunnya. Untuk itu kita diharuskan meneliti asal riwayat yang dinukilkan, bukan berpegang pada pendapat si penulis. Kita juga harus bersikap objektif ketika membacanya. Dan ada dua hal yang harus kita yakini ketika membaca sejarah para shahabat.

Pertama, meyakini bahwa para shahabat adalah manusia terbaik setelah para Nabi, karena Allah telah memuji mereka (sebagaimana dalam ayat terakhir surah al-Bayyinah). Nabi juga telah menyanjung mereka, dan menjelaskan dalam banyak hadits bahwa merekalah manusia terbaik setelah Nabi dan Rasul-Nya.

Kedua, meyakini bahwa para shahabat tidak ma’shum atau terpelihara dari kekeliruan. Namun kita meyakini bahwa mereka tidak mungkin keliru dalam ber-ijma’, karena Nabi saw. telah menegaskan bahwa umat ini (generasi shahabat) tidak akan berkolaborasi di atas kesesatan. Dengan kata lain, mereka ma’shum dari bersepakat dalam kesesatan. Mereka ma’shum bila dilihat secara komunal, tetapi secara perorangan tidak demikian. Yang ma’shum hanyalah para Nabi Allah dan malaikat-Nya. selain mereka, kita tidak meyakini adanya ke-ma’shum-an seseorang.

Penulis buku ini menegaskan bahwa tidak masalah bila kita membahas tentang kealpaan beberapa di antara mereka sekadar untuk pendalaman yang bersifat ilmiah. Yang tercela adalah mendalaminya dengan dasar kebodohan, niat yang buruk, atau dengan keduanya sekaligus. Adapun jika pembahasan itu dibangun atas dasar ilmiah, objektivitas, dan ketakwaan, maka menurut penulis hal itu tidaklah tercela.

Bagaimanapun kita harus meyakini bahwa para shahabat adalah manusia terbaik. Kita juga harus meyakini ketidak-ma’shum-an pribadi mereka. kealpaan mereka adalah kesalahan yang tidak disengaja, bukan kesalahan yang disengaja; dan, terdapat perbedaan mendasar di antara dua hal ini. Karena itulah, jangan cepat-cepat menolak atau menerima suatu riwayat berisi celaan kepada seorang shahabat yang disampaikan kepada anda, sampai anda benar-benar meneliti keabsahannya. Jika anda meyakini keshahihan sanadnya, maka lihatlah kekeliruan itu dari sudut pandang ketidak-ma’shum-an mereka; sehingga wajar apabila mereka terjatuh dalam kesalahan, seperti halnya manusia yang lain. Sebaliknya, jika anda meyakini sanadnya dla’if, maka tetaplah berpegang pada hukum asal, yaitu mereka adalah manusia terbaik setelah para Nabi Allah.

Mengenai pujian Allah kepada para shahabat Nabi saw. hal ini tertera dalam firman-Nya yang artinya:
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (al-Fath: 29)

Dalam ayat ini Allah memuji para shahabat. jadi menurut hukum asalnya, mereka adalah terpuji. Dalam satu riwayat shahih disebutkan bahwasannya Nabi saw. bersabda: “Janganlah kalian mencela shahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidak akan menyamai infak mereka yang hanya sebesar satu mud (sekitar 675 gram), bahkan setengahnya pun tidak.”

Inilah pujian Rasulullah saw. kepada shahabat-shahabatnya. Dan ini akan dijelaskan dalam bahasan khusus. Abu Muhammad al-Qahthani dalam bait syair Nuuniyyah-nya menggubah sebuah syair:
Janganlah terima sejarah dengan mengambil semua
Yang dituturkan perawi dan ditulis setiap tangan
Terimalah riwayat terpilih dari para ahlinya
Terlebih dari perawi yang cerdas dan berpengalaman
Sebut saja Ibnul Musayyib, al-‘Ala’, dan Malik
Juga oleh al-Laits, az-zuhri, atau Sufyan

Maksudnya, jika anda menginginkan sejarah yang otentik dan shahih, maka berpeganglah kepada riwayat ulama-ulama tersebut dan ulama tsiqah lainnya seperti mereka. janganlah bersikap skeptis seperti terlihat dari ungkapan beberapa golongan pencela shahabat Rasulullah saw.: “Sesungguhnya sejarah kita hitam begitu kelam.” Padahal tidak demikian, sejarah kita begitu cemerlang, indah, dan disenangi pembaca.

Siapa saja yang ingin mengetahui lebih luas lagi hendaknya merujuk kitab-kitab induk sejarah Islam, seperti kitab Taariikh Umam wal Muluuk atau yang masyhur dengan nama Taariikh ath-Thabari; atau kitab al-Badaayah wan nihaayah karya Ibnu Katsir; atau kitab Taariikh Islam karya adz-Dzahabi; ataupun kitab-kitab sejarah lainnya yang dijadikan pegangan atau rujukan umat ini.

&

Kitab Sejarah Siapa yang Sebaiknya Kita Baca?

25 Mei

Fakta Sejarah Islam;
Dr. Utsman bin Muhammad al-Khamis; Pustaka Imam Syafi’i

Jawabannya adalah jika anda mampu menganalisa sanad dan menelitinya, maka bacalah kitab Imam ath-Thabari (Taariikh ath-Thabari). Kitab beliau ini adalah pegangan bagi para ulama yang menulis kitab sejarah.

Sedangkan jika anda tidak mampu menganalisa dan meneliti sanad, maka bacalah:
1. Kitab al-Hafidzh Ibnu Katsir; al-Bidaayah wan Nihaayah
2. Kitab al-hafidzh adz-Dzahabi; Taariikhul Islam
3. Kitab al-‘Allamah Abu Bakar Ibnul ‘Arabi, al-‘Awaashim minal Qawaashim, yakni kitab terbaik di antara kitab lainnya yang membahas periode sejarah paska wafatnya Nabi saw. hingga terbunuhnya al-Husain ra.

Di antara kitab-kitab atau buku-buku sejarah lain yang bermanfaat berkaitan dengan pembahasan kita ini, yang ringkas tapi bernas adalah:

1. Marwiyyat Abi Mikhnaf fii Taariikh ath-Thabari karya Dr. Yahya Ibrahim al-Yahya
2. Al-Khilaafah ar-Raasyidah wad Daulah al-Umawiyyah min Fat-hil Baari karya Dr. Yahya Ibrahim al-Yahya.
3. Tahqiiq Mauqifish Shahaabah minal Fitan karya Dr. Muhammad Amhazun.
4. ‘Ashrul Khilaafah ar-Raasyidah karya Dr. Akram Dhiya’ al-‘Umari.
5. Marwiyyaat Khilaafah Mu’awiyah fii Taariikh ath-Thabari karya Khalid al-Ghaits.
6. Ath-Thabaqaatul Kubraa karya Ibnu Sa’ad. Kitab ini amat penting, karena penyusun menukil riwayat dengan sanad.
7. At-Taariikh karya Khalifah bin Khayyath. Kitab ini singkat, namun sangat memperhatikan sanad.
8. Taariikhul Madiinah karya Ibnu Syabah. Kitab ini juga begitu memperhatikan sanad.
9. Ahdaats wa Ahaadiits Fitnatil Haraj karya Dr. ‘Abdul ‘Aziz Dakhan.
10. Akhtaa’ Yajid an Tushahhah minat Taarikh karya Dr. Jamal ‘Abdul Hadi dan Dr. Wafa’ Jam’ah.

&

Fakta Sejarah Islam; Pendahuluan

25 Mei

Fakta Sejarah Islam; Pendahuluan
Dr. Utsman bin Muhammad al-Khamis; Pustaka Imam Syafi’i

Di antara kebohongan terbesar dalam sejarah Islam adalah tudingan bahwa para shahabat Rasulullah saw. menyembunyikan permusuhan di antara mereka. sungguh, tudingan itu sangat bathil dan jauh dari apa yang difirmankan Allah:

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah..” (QS Ali ‘Imraan: 110)

Demikian juga tidak sesuai dengan sabda Rasulullah yang diriwayatkan sebagai berikut: “Sebaik-baik manusia adalah generasiku.”

Di antara tanda keterasingan Islam setelah berlalunya periode tiga generasi yang utama adalah munculnya penulis-penulis yang mendistorsi dan menyelewengkan fakta sejarah. Mereka menyelisihi dan menentang kebenaran. Mereka menyangka bahwasannya tidak ada rasa persaudaraan di antara para shahabat Rasulullah saw. Mereka juga menyangka bahwa para shahabat tidak saling mengasihi, tetapi saling bermusuhan, saling mengutuk, saling menipu, bersifat hipokrit dan melakukan konspirasi satu sama lain. Semua diperbuat shahabat-shahabat Nabi saw. karena penentangan, permusuhan, kecenderungan mengikuti hawa nafsu dan egoisme untuk menggapai dunia.

Demi Allah mereka berbohong! Sungguh mereka telah melemparkan kedustaan yang besar dan nyata. Sebab justru sebaliknya, yang benar adalah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Thalhah, Az-Zubair, Abu ‘Ubaidah, ‘Aisyah, Fathimah, dan shahabat-shahabat lain begitu mulia dan suci; sehingga tidak mungkin mereka terjatuh dalam hal-hal yang hina tersebut. Terlebih lagi, Bani Hasyim dan Bani Umayyah –mengingat keislaman, kasih sayang, dan kekerabatan mereka- disamping hubungan keduanya sangat erat, mereka lebih bersemangat dalam berbuat kebaikan (daripada beselisih paham). Melalui kepemimpinan merekalah negeri-negeri di luar jazirah Arab ditaklukkan, sehingga orang berbondong-bondong memeluk agama Allah swt. berkat upaya tersebut. Perlu diketahui pula bahwa nama-nama yang disebutkan itu nasabnya bertemu pada Bani Hasyim, baik dari jalur hubungan paman, kekerabatan, ataupun pernikahan.

Anda harus yakin bahwa berita-berita yang benar, yaitu yang dinukil orang Mukmin yang jujur dan shalih menetapkan bahwa semua shahabat Rasulullah saw. adalah orang-orang terbaik sepanjang sejarah manusia setelah para Nabi dan Rasul. Adapun berita-berita miring tentang para shahabat yang isinya menuduh mereka sebagai orang yang berjiwa sempit, itu hanyalah bualan yang disebarkan oleh para pendusta dan pemalsu hadits.

Sejarah kaum Muslimin perlu ditata ulang dengan mengambil setiap nukilan dari sumber-sumbernya yang otentik. Apalagi berkaitan dengan bagian-bagian yang banyak mengalami distorsi dan pencampur adukan. Penataan ulang ini bukanlah sesuatu yang berlebihan karena umat Islam adalah umat yang paling membutuhkan materi sejarah yang otentik dan dinukil dengan sanad shahih.

Sebelum potongan-potongan sejarah Islam lenyap, sejarawan Islam dari kalangan salafush shlih telah mencatat semuanya. Mereka mengumpulkan semua nukilan yang diperoleh, yang layak maupun yang tidak, seraya menerangkan sumber dan nama-nama perawinya. Upaya ini dilakukan supaya pembaca kitab mereka mengetahui mana riwayat yang shahih dan mana riwayat yang dhaif.

Sekarang tiba saatnya kita sebagai generasi khalaf (orang-orang setelah generasi salaf) untuk mengambil bagian supaya dapat berjalan mengikuti langkah salafush shalih, memurnikan kitab-kitab tersebut, memisahkan riwayat yang dhaif dari yang shahih, dan peristiwa yang benar dari yang salah. Dengan demikian kita menjadi khalaf terbaik yang mewarisi para salaf terbaik. Upaya pelurusan sejarah seperti ini ditujukan agar semua orang tahu bahwa perjalanan hidup para sahabat Muhammad saw. itu sesuci, sebersih, dan semurni hati mereka.

Sekian lama kaum Muslimin terhalang dari salah satu sumber kekuatan yang paling besar, yaitu keyakinan terhadap keagungan sejarah mereka. padahal kaum Muslimin adalah penerus para salaf yang sejarah belum pernah menyaksikan perjalanan hidup sesuci, sebesar, secemerlang mereka. Maka itu, siapa saja yang ingin menulis buku tentang sejarah Islam harus berhati lurus (bersikap obyektif) terhadap para pelaku sejarah yang teguh dalam kebenaran dan kebaikan, serta mengetahui hak dan kedudukan mereka.

Selama itu, dia juga dituntut untuk jeli dalam membedakan setiap pewarta sejarah, mana yang riwayatnya shahih dan mana yang dlaif. Yang tidak kalah penting adalah, dia harus bersikap amanah, jujur, dan selalu komitmen dalam mencari kebenaran.

&

Cara Sejarawan Mendistorsi Sejarah

25 Mei

Fakta Sejarah Islam;
Dr. Utsman bin Muhammad al-Khamis; Pustaka Imam Syafi’i

1. Membuat-buat cerita dan berbohong.
Para sejarawan mengarang kisah yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Contohnya, mereka menceritakan perihal ‘Aisyah yang bersujud syukur kepada Allah ketika menerima kabar tentang terbunuhnya ‘Ali bin Abu Thalib. Penuturuan peristiwa ini bohong belaka.

2. Menambah atau mengurangi suatu kisah.
Yang berbeda dalam hal ini adalah kisah yang disampaikan shahih, seperti peristiwa Saqifah. Cerita tentang Saqifah in memang benar: bahwasannya terjadi pertemuan antara Abu Bakar, ‘Umar, dan Abu ‘Ubaidah dari kalangan Muhajirin di satu sisi; dan al-Hubab bin al-Mundzir, Sa’ad bin ‘Ubaidah, serta shahabat dari kalangan Anshar lainnya di sisi yang lain. Para sejarawan menambahkan atau mengurangi banyak hal dengan tujuan mendistorsi kejadian yang sebenarnya, sebagaimana akan dipaparkan di tulisan lain nanti, insya Allah.

3. Menginterpretasi suatu kejadian secara tidak benar.
Yakni para sejarawan serampangan dalam menginterpretasi suatu peristiwa yang terjadi secara tidak benar. Interpretasi ini disesuaikan dengan hawa nafsu, keyakinan sesat, dan bid’ah yang mereka anut.

4. Menampakkan kesalahan dan kekeliruan suatu riwayat.
Kisah yang diriwayatkan shahih, tetapi para sejarawan menampakkan dan memfokuskan pada kesalahan-kesalahan yang disebutkan di dalamnya. Sampai-sampai, semua kebaikannya tertutupi.

5. Membuat syair sebagai penguat peristiwa bersejarah.
Para sejarawan menggubah syair yang berisi celaan terhadap salah seorang shahabat dan menisbatkannya kepada Amirul Mukminin ‘Ali bin Abu Thalib, atau menisbatkannya kepada Ummul Mukminin ‘Aisyah atau menisbatkannya kepada az-Zubair bin al-Awwam, atau menisbatkannya kepada Thalhah bin ‘Ubaidullah. Cara yang sama mereka lakukan pada syair yang dinisbatkan kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas berikut; di dalamnya dinyatakan bahwa dia berkata tentang ‘Aisyah ra:

Engkau menunggang baghal kemudian unta
Dan jika ingin, engkau bisa menunggang gajah

Maksudnya, ‘Aisyah menunggangi baghal lau unta untuk berperang dan menimbulkan fitnah, bahkan jika menghendakinya bisa saja dia menunggangi gajah.

6. Mengarang kitab serta risalah palsu.
Pembahasannya akan disampaikan –insya Allah- dalam uraian peristiwa terbunuhnya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Ketika itu terjadi pemalsuan kitab-kitab (surat) atas nama ‘Utsman, ‘Aisyah, ‘Ali, Thalhah, dan az-Zubair. Ini di luar karangan-karangan palsu lainnya, seperti Nahjul Balaaghah yang dinisbatkan kepada ‘Ali bin Abu Thalib dan al-Imaamah was Siyaasah yang dinisbatkan kepada Ibnu Qutaibah.

7. Memanfaatkan kesamaan nama.
Sebagai contoh, perihal dua orang yang sama-sama bernama [mempunyai kun-yah] Ibnu Jarir: 1) Muhammad bin Jarir bin Yazid Abu Ja’far ath-Thabari, salah seorang Ahus Sunnah (Sunni); dan 2) Muhammad bin Jarir bin Rustum Abu Ja’far ath-Thabari, salah seorang imam Syi’ah. Para sejarawan menisbatkan kitab-kitab Ibnu Jarir yang beraliran Syi’ah kepada Ibnu Jarir yang berpaham Sunni, seperti Dalaa-ilul Imaamah al-Waadhihah wa Nuurul Mu’jizaat. Terlebih lagi, dua orang ini hidup pada tahun yang sama, yakni 310 H.

Nama [kun-yah] Ibnu Hajar juga dimiliki oleh dua orang: 1) Ahmad bin Hajar al-‘Asqalani, salah seorang imam dalam ilmu hadits; dan 2) Ahmad bin Hajar al-Haitami, salah seorang imam dalam ilmu fiqih tetapi tidak mempunyai keahlian dalam ilmu hadits. Maka tidak jarang mereka mengambil penshahihan Ibnu Hajar al-Haitami terhadap suatu riwayat, kemudian menisbatkannya kepada Ibnu Hajar al-‘Asqalani.

&

Bagaimana Kita Membaca Sejarah Islam?

25 Mei

Fakta Sejarah Islam;
Dr. Utsman bin Muhammad al-Khamis; Pustaka Imam Syafi’i

Kita harus membaca sejarah seperti halnya membaca hadits-hadis Rasulullah saw. Tatkala hendak membaca hadits-hadits beliau tentu saja kita mengklarifikasikan riwayatnya terlebih dahulu; apakah sanadnya shahih, ataukah tidak? Tidak mungkin riwayat dari Rasulullah saw. diketahui benar tidaknya tanpa melalui penelitian sanad dan matan. Karena nya para ulama mengumpulkan setiap redaksi hadits yang diriwayatkan oleh perawi, memilah-milahnya, menilainya, dan memisahkannya yang shahih dari yang dlaif. Dengan metode ini, hadits-hadits yang dinisbatkkan kepada Rasulullah saw. bisa dibersihkan dari cela, kebohongan, dan hal buruk semisal yang disisipkan kepadanya.

Akan tetapi, riwayat-riwayat terkait sejarah amat berbeda. Terkadang, kita menemukan riwayat-riwayat yang tidak bersanad. Terkadang pula, kita menemukan sanadnya tetapi biografi para perawi itu tidak ditemukan. Sering juga kita tidak menemukan jarh (kritik) ataupun ta’dil (sanjungan) ulama terhadap perawinya terkait kredibilitas periwayatannya. Alhasil kita kesulitan untuk menghukumi riwayat tentang sejarah itu dikarenakan tidak mengetahui keadaan sebagian dari perawinya. Dengan kata lain, meneliti tentang keotentikan sejarah lebih sulit daripada keotentukan hadits. Oleh sebab itu kita tidak boleh menyepelekannya. Justru kita harus mengklarifikasi dan mengetahui cara pengambilan riwayat sejarah yang shahih.

Mungkin ada yang berpendapat, dengan standar penilaian demikian berarti banyak sejarah kita yang akan hilang. Pendapat tersebut dapat kita bantah. Sejarah kita tidak akan hilang sebanyak sangkaan anda. Karena banyak riwayat sejarah yang dibutuhkan –khususnya dalam pembahasan ini- disebutkan beserta sanadnya. Baik sanad itu disebutkan dalam kitab sejarah, seperti Taarikh ath-Thabari; dalam kitab-kitab hadits, seperti Shahiihul Bukhari, Musnad Ahmad, dan Jaami’ut Tirmidzi; dalam kitab-kitab Mushannaf, yang menyebutkan riwayat sejarah disertai sanadnya, seperti Tafsiir Ibni Jariir dan Tafsir Ibni Katsiir; maupun dalam kitab-kitab yang secara khusus berbicara tentang peristiwa-peristiwa sejarah tertentu, seperti Huruubur Riddah karya al-Kula’i atau kitab singkat berjudul Taariikh Khaliifah Ibnu Khayyath.

Intinya, kita tidak boleh menyerah untuk menemukan sanad dari riwayat-riwayat sejarah yang beredar saat ini. Kalaupun kita tidak menemukan sanadnya, kita tetap mempunyai pedoman umum, khususnya berkaitan dengan para shahat; yaitu pujian Allah swt. dan sanjungan Rasul-Nya kepada mereka. dan itu menunjukkan bahwa pada hakekatnya mereka adalah orang-orang yang shalih sebagaimana dijelaskan dalam tulisan ini. Maka setiap riwayat yang mengandung celaan kepada para shahabat Rasulullah saw. harus dilihat sanadnya terlebih dahulu. Jika memang shahih, maka kita melihat penafsiran dan keterangannya. Namun jika sanadnya dlaif, atau tidak memiliki sanad, maka kita berpengang pada kaidah awal yaitu semua shahabat adalah shalih.

Jadi, ketika membaca sejarah, kita harus bersikap teliti, sebagaimana tatkala membaca hadits. Apalagi jika bacaan tersebut terkait dengan sejarah pokok umat Islam, yaitu sejarah para shahabat Rasulullah saw.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan: “Seseorang harus mempunyai pegangan atau pedoman umum sebagai sumber penyandaran hal-hal yang bersifat parsial dan lebih rinci, agar dia bisa berbicara berdasarkan ilmu dan obyektif, di samping akan mengetahui bagaimana hal-hal itu sampai terjadi. Jika tidak demikian, maka dia akan mudah terhasut oleh kedustaan dan kebodohan mengenai masalah-masalah parsial tersebut, dan tetap bodoh terhadap pedoman umumnya. Dan bisa dipastikan hal itu akan melahirkan kesimpulan (pemahaman) yang sangat kacau.” (Majmuu’ul Fataawaa [xix/203])

Ironisnya, dewasa ini orang-orang justru gemar membaca tulisan modern mengenai sejarah yang hanya memperhatikan keindahan cerita atau melogiskan situasi dan kondisi, atau keduanya sekaligus, tanpa memperhatikan shahih tidaknya riwayat-riwayat yang dinukil, seperti buku-buku karya ‘Abbas al-‘Aqqad, Khalid Muhammad Khalid, Thaha Husain, George Zaidan seorang Nashrani, atau buah tangan tokoh-tokoh masa kini lainnya.

Mereka para penulis yang disebutkan tadi hanya memperhatikan keterkaitan alur, keunikan kisah, dan keindahan penyusunan ketika berbiara tentang sejarah. Mereka tidak memperhatikan apakah kisah-kisah itu dinukilkan secara shahih atau tidak. Sebagian mereka bahkan sengaja ingin mendistorsi kisah tersebut. Bagi mereka, yang terpenting adalah menyajikan kisah yang enak dibaca oleh anda.

Berikut beberapa kitab sejarah yang harus diwaspadai:

1. Al-Ghaanii karya Abul Faraj al-Ashbahani. Kitab ini berisi obrolan, syair, dan nyanyian yang dicampuri berita-berita yang tidak benar.
2. Al-‘Iqdul Fariid karya Ibnu ‘Abdi Rabbih. Kitab sastra ini banyak memuat nukilan-nukilan palsu.
3. Al-Imaamah was Siyaasah yang dinisbatkan kepada Ibnu Qutaibah, tetapi penisbatan ini adalah dusta belaka.
4. Muruujudz Dzahab atau Taariikh al-Mas’udi karya al-Mas’udi. Kisah-kisah yang dituturkan dalam kitab ini tidak bersanad. Ibnu Taimiyah bahkan mengomentarinya: “Dalam Taariikh al-Mas’udi terdapat banyak kebohongan, saking banyaknya sampai-sampai tidak ada yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah swt. Bagaimana mungkin riwayat dengan sanad terputus dalam sebuah kitab yang terkenal banyak dustanya itu bisa dipercaya.” (minhaajus Sunnah an-Nabawiyyah [iv/84]) Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalani juga berkomentar: “Kitab-kitabnya menunjukkan bahwa dia (al-Mas’udi) berpaham Syi’ah dan Mu’tazilah.” (Lisaanul Miizaan [v/532] terbitan Maktab al-Mathbuu’aat al-Islaamiyyah)
5. Syarh Nahjil Balaaghah karya ‘Abdul Hamid bin Abul Hadid, seorang Mu’tazilah yang dinilai dlaif oleh para ulama al-Jarh wat Ta’dil. Orang yang mengetahui alasan penyusunan kitab ini pasti akan meragukan diri dan karya penulisnya. Kitab ini disusun demi al-Wazir bin al-‘Alqami, seseorang yang menjadi penyebab utama terbunuhnya jutaan Muslim Baghdad di tangan bangsa Tartar. Al-Khawanisari menegaskan: “Dia (Ibnu Abul Hadid) menyusunnya untuk memenuhi lemari (perpustakaan pribadi) al-Wazir Muayyidduddin Muhammad bin al-‘Alqami.” (Raudhaatul Jannaat karya al-Khawanisari [v/20,21]). Bahkan, banyak ulama Syi’ah yang mencela penulis dan karyanya ini. Al-Mirza Habibullah al-Khu-i mengomentari sosok Ibnu Abul Hamid: “Orang ini tidak termasuk ahli dirayah (ahli fiqih) maupun atsar (ahli hadits). Pendapatnya kacau dan pandangannya bobrok. Keberadaannya justru memperkeruh kegaduhan; dia telah menyesatkan banyak orang, dan dia sendiri tersesat dari jalan yang lurus.” Adapun mengenai karyanya, al-Mirza berkomentar: “Tulisannya seperti jasad tanpa roh. Bahasanya berputar-putar pada kulit dan tidak menyentuh isi, sehingga tidak banyak berfaedah. Kitab ini juga mengandung takwil-takwil yang jauh (dari kebenaran); tabiat orang lari menghindarinya, pendengarannya pun mengingkarinya.”
6. Taariikh al-Ya’qubi. Kitab ini dipenuhi riwayat-riwayat mursal, tidak ada sanadnya yang bersambung secara utuh. Penulisnya sendiri adalah seorang yang tertuduh sebagai pembohong.

&

Awal Mula Penelitian Hadits

25 Mei

Fakta Sejarah Islam;
Dr. Utsman bin Muhammad al-Khamis; Pustaka Imam Syafi’i

Penelitian terhadap hadits dimulai ketika terjadi huru-hara di tengah umat Islam. Keterangan ini sebagaimana pernyataan Imam Muhammad bin Sirin, seorang Tabi’in mulia, ia berkata: “Dahulu orang-orang tidak pernah bertanya tentang sanad [periwayatan hadits]. Tetapi setelah terjadi fitnah [huru-hara], mereka berkata kritis, ‘Sebutkan kepada kami siapa saja perawi anda.’ Jika ternyata perawi riwayat tersebut dari golongan Ahlus Sunnah, maka haditsnya diterima; sedangkan jika ternyata perawi riwayat tersebut dari kalangan ahli bid’ah, maka haditsnya ditolak.” (Muqaddimah Shahih Muslim [I/15], bab “Bayaan annal Isnaad minad Diin.”)

Tidak bertanyanya orang-orang mengenai sanad terjadi karena ketika itu manusia begitu bisa dipercaya. Ibnu Sirin termasuk pembesar Tabi’in dan melihat langsung kehidupan para shahabat, bahkan dia hidup bersama para Tabi’in generasi awal dan generasi akhir. Fitnah yang dimaksud di sini adalah pemberontakan yang dilakukan golongan-golongan sesat pada akhir-akhir pemerintahan ‘Utsman ra.

&

Targhib-Tarhib Qur’ani dan Nabawi

25 Mei

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat; Abdurrahman An-Nahlawi

Targhib dan tarhib dalam pendidikan Islam lebih memiliki makna dari apa yang diistilahkan dalam pendidikan barat “imbalan dan hukuman”. Kelebihan ini bersumber dari karakteristik ketuhanan yang tidak membunuh fitrah manusia dan yang menjadi identitas pendidikan Islam. Kelebihan yang penting adalah:

a. Targhib-tarhib Qur’ani dan Nabawi bertumpu pada pemberian kepuasan dan argumentasi. Maka ayat-ayat tentang targhib dan tarhib yang menyangkut salah satu perkara akhirat senantiasa berkaitan dan mengandung isyarat keimanan kepada Allah dan hari akhirat, atau ayat itu mengandung seruan yang mengarahkan dan membina kaum mukminin.

Implikasi pendidikan dari ayat-ayat tersebut di atas adalah kewajiban manusia untuk menanamkan keimanan dan aqidah yang shahih dalam diri anak didik sehingga mereka mudah memahami syarat masuk surga dan menghindari hal-hal yang dapat menjerumuskan manusia pada azab Allah. Dan yang perlu diingat, targhib dan tarhib harus menghasilkan buah amaliah dalam perilaku. Perwujudan hasil tersebut dapat dilakukan melalui pengambilan ibrah sebuah kisah Qur’ani yang kemudian diikuti penerapan targhib dan tarhib.

b. Targhib-tarhib Qur’ani dan Nabawi itu disertai oleh gambaran keindahan dan keindahan surga yang menakjubkan atau pembeberan azab neraka. untuk itu seorang pendidik dituntut untuk memilih imajinasi dan konsep Qur’ani dan Nabawi yang tepat dalam menyajikan materi tentang pahala dan azab Allah. Seorang pendidik pun dituntut untuk menyederhanakan imajinasi itu agar dapat dipahami oleh anak didik dengan cepat. Dengan demikian ketika memandang kurikulum seorang pendidik tidak boleh kaku. Dia dituntut untuk mengambil penjelasan rincinya dari buku-buku hadits, riyadush shalihin, dan lain-lain ketika ia menyajikan materi apapun dengan metode targhib dan tarhib.

c. Targhib dan tarhib Qur’ani dan Nabawi bertumpu pada pengobaran emosi dan pembinaan afeksi ketuhanan. Pendidikan yang mentalistik ini merupakan salah satu tujuan penetapan syariat Islam. Afeksi ketuhanan itu ialah:

1. Perasaan takut kepada Allah dan memang itulah yang diwajibkan-Nya sebagaimana firman-Nya ini:
“Karena itu, janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Ali ‘Imraan: 175)

Allah memuji hamba-hamba-Nya yang takut kepada-Nya dan menjanjikan pahala yang besar bagi mereka:
“Dan bagi orang yang takut saat menghadap Tuhannya ada dua surga.” (ar-Rahmaan: 46)

Bahkan kita disuruh berdoa kepada-Nya dengan rasa takut terhadap azab-Nya dan penuh harap atas pahala-Nya, firman-Nya:
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (al-A’raaf: 55-56)

Di atas dasar pengembangan afeksi ketuhanan inilah didirikan beberapa ibadah, seperti shaum dan keharaman berburu pada saat haji.

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombakmu supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya. barang siapa yang melanggar batas sesudah itu, Maka baginya azab yang pedih.” (al-Maidah: 94)

Selain itu, banyak pula hubungan muamalah Islam yang didasarkan pada pengembangan afeksi ketuhanan, seperti kejujuran dalam jual beli, perawatan anak yatim, perlakuan yang baik kepada istri, dan menyikapi anak dengan adil. Setiap insan yang takut kepada Tuhannya merupakan insan utama dan memiliki keselarasan dalam perilaku dan muamalahnya. Dan manusia yang tidak malu kepada Tuhannya dan melakukan apapun yang diinginkannya tanpa pengontrol dan kekang merupakan pemilik hati yang sekeras batu, atau lebih keras dari batu.

2. Rasa khusyu, kerendahan, ketundukan, perasaan patu, serta menghambakan diri kepada Allah swt. Khusyu ialah buah rasa takut. Dalam kenyataannya di dunia ini jika manusia merasa takut terhadap thaghut yang tiran, mereka segera pura-pura taat dan tunduk terhadap segala perintahnya. Namun kekhusu’an kepada Allah tidaklah sama dengan ketundukan yang pura-pura, sebab kekhusyu’an kepada Allah disertai perasaan yang taat dan patuh yang hakiki serta pengakuan atas keagungan-Nya sebagai pengakuan yang bersumber dari kekaguman terhadap tanda-tanda ciptaan dan pengaturan-Nya terhadap makros kosmos ini. Anjuran khusyu’ ketika berdzikir kepada Allah terdapat dalam firman-Nya:

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (al-Hadid: 16)

Kekhusu’an ketika membaca al-Qur’an menimbulkan tanda dan perubahan fisik sebagaimana firman Allah:
“Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. (az-Zumar: 23)

Kondisi fisik seperti ini terjadi karena dia sangat takut kepada Allah dan merasa bahwa setiap gerak geriknya senantiasa diawasi oleh-Nya, termasuk ketika membaca kitab-Nya. Afeksi takut dan khusyuk merupakan emosi terpenting yang disertakan dalam ayat-ayat yang berkenaan dengan tarhib. Sikap seperti ini pun dimiliki oleh manusia yang khusyuk dan takut kepada Tuhannya.

Dalam alQur’an kedua emosi tersebut diungkapkan melalui istilah takut, risi, ketakutan, kekhusyukan. Perasaan sepeti ini harus dimiliki pula oleh seorang pendidik untuk kemudian ditransfer kepada anak didik atau anak-anaknya melalui transfer emosi, keteladanan, kecintaan dan peniruan. Praktik pengajaran dan pendidikan harus mengekspresikan mimik wajah dan gaya bicara yang dapat mengobarkan emosi-emosi tersebut. Selain itu, pendidik pun harus memperhatikan pemuasan, argumentasi, dan pengulangan dalam mengembangkan afeksi ketuhanan anak didik. Pengulangan emosi untuk topik yang sama dari waktu ke waktu, misalnya dengan menggunakan kisah, deskripsi, dialog, dan evaluasi, dalam membina kesiapan diri untuk menerima kobaran emosi dan perasaan.

Dapat dikatakan bahwa afeksi adalah dorongan untuk berperilaku, anjuran untuk bersabar, serta anjuran untuk mengobarkan semangat manusia. Afeksi tidak kalah pentingnya dari dorongan naluriah, bahkan afeksi itulah yang mendukung, mengarahkan, menata, dan meninggikannya. Karena afeksi itulah manusia berbeda dari binatang. Dengan demikian, jika dalam diri manusia itu terdapat afeksi negatif, pendidikan Islam menganjurkan dilakukannya targhib, afeksi-afeksi yang positif yang paling penting adalah:

3. Kecintaan yang merupakan kecenderungan yang dimiliki manusia sejak lahir. Karena itu, manusia memiliki kecenderungan untuk mencintai dan dicintai. Cinta sebagaimana yang wajar terjadi di kalangan manusia, pada prinsipnya merupakan keterikatan antara yang mencintai dan orang yang dicintai. Hasilnya seseorang yang mencintai seseorang yang lain akan mengikuti jejaknya, mengingatnya, melakukan sesuatu yang disukainya, dan mewujudkan hal-hal yang dapat menggembirakannya. Untuk itu Allah berfiman:

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah…” (al-Baqaarah: 165)

Dalam tafsir al-Qur-aanul ‘Adhiim, Ibnu Katsir berkata: “Karena kecintaan mereka kepada Allah, kesempurnaan pengetahuan mereka tentang Dia, serta pengakuan dan pentauhidan mereka kepada-Nya, mereka tidak menyekutukan-Nya dengan apapun, bahkan mereka menyembah Dia semata, bertawakkal kepada-Nya, dan berlindung kepada-Nya dalam segala persoalannya.”

Allah swt berfirman: “Katakanlah: ‘Jika kamu [benar-benar] mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (Ali ‘Imraan: 31)

Allah menjadikan ketaatan dalam mengikuti Rasul-Nya merupakan salah satu syarat sikap mencintai-Nya, sebagaimana Allah mensifati orang-orang yang dicintai-Nya dan mereka mencintai-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” (al-Maidah: 54)

Jika kita mengikuti kehidupan Rasulullah saw. dan para shahabatnya, kita akan menemukan bahwa kecintaan kepada Allah merupakan motivasi utama yang menjadikan manusia berambisi untuk mewujudkan syariat Allah dalam perilaku dan kehidupannya tanpa perlu diawasi oleh manusia lain. Kita pun akan menemukan kesimpulan bahwa faktor utama yang mendorong timbulnya kecintaan kepada Allah adalah sikap merasakan karunia-Nya, pengenalan atas segala nikmat duniawi dan jannatun Naim bagi orang-orang yang bertakwa, disiplin dan ikhlasnya dalam bermunajat dan membaca firman-Nya, serta perenungan atas jejak-jejak rahmat-Nya.

4. Sikap raja’, yaitu keingingan atau optimisme yang kuat untuk mendapatkan rahmat Allah dan mengharapkan pahala serta ganjaran yang banyak dari sisi-Nya. pada dasarnya, sikap raja’ dapat menjadi pnedorong jihad dan meraih kematian di jalan Allah. Dahulu para shahabat yang tengah berjuang senantiasa berkata: “Bagus, bagus. Bukankah tiada jarak antara aku dengan surga, kecuali aku harus bertempur di jalan Allah?” maka mereka pun menyerang musuh hingga mati syahid.

Menurut riwayat Rasulullah saw. mengutus Abdullah bin Jahsyi bersama delapan orang muhajirin untuk membawa pesan tertulis yang tidak boleh dibuka kecuali setelah menempuh perjalanan pada jarak tertentu. Ketika Abdullah membukanya, ternyata isinya adalah perintah untuk pergi ke desa Nakhlah yang terletak antara Thaif dan Makkah guna memata-matai dan mencari informasi tentang kaum Quraisy. Di Nakhlah mereka bertemu dengan rombongan pedagang Quraisy yang terdiri dari tiga orang yang seorang mereka bunuh dan yang dua mereka tawan bersama seekor unta mereka. peristiwa tersebut diperkirakan terjadi pada akhir bulan Rajab [ada yang mengatakan Rajab, atau Jumadil Awal, atau Jumadil Akhir]. Namun orang-orang mengecam dan menyangka bahwa Abdullah dan kawan-kawan telah melanggar bulan yang diharamkan untuk berperang. Ketika mereka menghadap Rasulullah saw. beliau tidak mau menerima rampasan perang. Abdullah dan kawan-kawan menyesali perbuatannya. Atas kejadian itu Allah menurunkan ayat yang dilatar belakangi peristiwa tersebut:

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 217)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa untuk menghadang sepak terjang kaum musyrikin yang sudah melewati batas, Allah membolehkan kaum muslimin berperang pada bulan tersebut karena gangguan dan fitnah kaum musyrikin lebih berbahaya. Kemudian kaum muslimin pada saat itu berkata kepada Rasulullah saw.: “Wahai Rasulallah, apakah kami boleh berharap adanya perang melawan orang-orang kafir yang dengan itu kami memperoleh pahala sebagai mujahid?” dari pertanyaan tersebut Allah menurunkan ayat:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 218)

Karena itu harta rampasan perang pun pertama kali diterima oleh sembilan orang Muhajirin yang memata-matai wilayah musuh. Semua itu merupakan perwujudan sikap taat pada perintah Rasulullah saw. dan harapan akan rahmat, surga serta pahala Allah. Demikianlah betapa besar dampak harapan terhadap diri mereka. mereka benar-benar mengharapkan rahmat Allah. Dengan demikian para pendidik dituntut untuk mampu menanamkan harapan itu dalam diri anak didik. Penanaman harapan itu harus dilakukan dengan dasar keimanan kepada Allah dan hari akhir. Untuk memperlancar, para pendidik pun dapat melakukan penanaman itu dengan menjelaskan masalah surga, kenikmatannya, dan kaitannya dengan pentingnya keterikatan pada perintah-perintah Allah, peninggalan larangan-Nya, berjihad, serta meninggikan agama Allah.

d. Pendidikan melalui targhib dan tarhib bertumpu pada pengontrolan emosi, afeksi, dan keseimbangan antara keduanya. dengan demikian, rasa takut tidak boleh menghilangkan harapan dan hasrat sehingga menimbulkan keputusasaan terhadap rahmat dan ampunan Allah di dalam diri pelaku dosa. Melalui firman-Nya, Allah melarang manusia berputus asa:

“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (az-Zumar: 53)

Allah sangat mengetahui bahwa karakter dasar manusia adalah jika mereka tidak bersenjatakan iman dan harapan untuk mendapatkan pahala dari Allah, mereka cenderung berputus asa dan patah arang ketika ditimpa berbagai kemelut. Untuk itu, Allah berfirman:

“Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan.” (Fushilat: 49)

Keputusasaan ini merupakan hal yang tidak disukai Allah sehingga Dia memadamkan keputusasaan itu dengan kekafiran sebagaimana firman-Nya ini:

“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah Dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih. Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya, niscaya Dia akan berkata: “Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku”; Sesungguhnya Dia sangat gembira lagi bangga, kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.” (Huud: 9-11)

Demikianlah, selayaknya kegembiraan karena hilangnya kesulitan jangan sampai melampaui batas sehingga manusia lalai terhadap adzab Allah dan kekuasaan-Nya serta menjadikan dirinya congkak dan membanggakan upaya dan kekuatannya. Bagaimanapun hal itu akan menyeret manusia pada berbagai kemaksiatan. Idealnya manusia harus berupaya memadukan rasa takut dan harap sehingga pada dirinya timbul rasa takut terhadap adzab Allah, keagungan-Nya, dan kedudukan-Nya sehingga ia tidak melampaui batas atau terpedaya; serta harapan terhadap rahmat Allah sehingga dia tidak berputus asa dari ampunan-Nya. Keputusasaan dan keterpedayaan yang terus melekat pada diri manusia dapat menimbulkan kekafiran, kefasikan, dan kedhaliman, sebagaimana ditegaskan firman Allah yang artinya:

“…Tiada yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (al-A’raaf: 99)
“… Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir.” (Yusuf: 87)

Jika dalam hati manusia telah mampu memadukan salah satu sifat kesempurnaan Allah dengan sifat-sifat lain yang menjadi padanannya, niscaya dia tidak akan terjerumus ke dalam konflk yang berkepanjangan, sikap berlebihan, atau kesia-siaan sehingga ia merasa bahwa kemurkaan Allah itu tidak sampai melalaikannya dari rahmat-Nya, kehendak-Nya yang mutlak tidak sampai melalaikannya dari hikmah-Nya, dan seterusnya.

Untuk itu Allah berfirman yang artinya: “….Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksa-Nya, dan sesungguhnya Dia adalah Mahapengampun lagi Maha Penyayang.” (al-A’raaf: 167)

Dalam hadits yang berasal dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda: “Apabila seorang mukmin yang mengetahui adzab ada pada sisi Allah, niscaya tak seorang pun yang mengharapkan surga-Nya. Dan apabila orang kafir mengetahui rahmat yang ada pada sisi Allah, niscaya tak seorang pun yang berputus asa untuk mendapatkan surga-Nya.” (HR Muslim)

Dalam hadits dari Ibnu Mas’ud ra. dikatakan bahwasannya Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya surga itu lebih dekat kepadamu daripada dekatnya tali sandalmu. Demikian pula neraka.” (HR Bukhari)

Demikianlah, selayaknya kita mengembangkan afeksi-afeksi ketuhanan pada diri anak didik secara seimbang dan proposional agar mereka tidak bergelimang dalam kemaksiatan kepada Allah, terpedaya oleh rahmat dan ampunan Allah, serta menangguhkan tobatnya kepada Allah. Mereka harus dibina untuk tidak berputus asa dari pertolongan dan rahmat Allah. Apalagi dalam kondisi zaman sekarang yang sarat dengan masyarakat yang berkubang dalam kemaksiatan dan penyimpangan dari ajaran Islam sehingga mereka meninggalkan pengamalan syariat Allah.

Padalah Allah telah berfirman yang artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk [mencari keridlaan], kami benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (al-Ankabuut: 69)

Segala puji bagi Allah yang menuntaskan berbagai amal shalih berkat nikmat-Nya.

&

Kurikulum

25 Mei

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat; Abdurrahman An-Nahlawi

Dewasa ini, proses pendidikan lebih bertumpu pada program yang meliputi tujuan, metode, dan langkah-langkah pendidikan dalam membina suatu negerasi pada periode usia dan kalangan umat tertentu. Seluruh program pendidikan yang di dalamnya tercakup masalah-masalah metode, tujuan, tingkatan pengajaran, materi pelajaran setiap tahun ajaran, topik-topik pelajaran, serta aktifitas yang dilakukan setiap siswa pada setiap materi pelajaran terdefinisikan sebagai kurikulum pendidikan.

Di dalam kurikulum manapun, kita akan menemukan kelompok program, tujuan jangka panjang dan jangka pendek, metode pendidikan, intisari materi pelajaran, pengetahuan, serta soal dan ujian yang harus diberikan untuk mengasah atau mengontrol penalaran, perilaku, pengalaman, dan aktifitas siswa. Semua ditujukan untuk mengarahkan siswa pada realisasi tujuan umum: tujuan intelektual, ideologis, ekonomis, politis, dan yuridis. Hal-hal seperti ini merupakan tujuan suatu bangsa bagi warga dan masa depannya, atau bagi warisan peradaban dan agamanya sebagai realisasi yang bertahab serta selaras dengan tingkat periode usia, intelektual, kebudayaan, dan lingkungan.

Berdasarkan pengertian di atas, kurikulum merupakan suatu rencana tingkat pengajaran dan lingkungan sekolah tertentu. Kurikulum pun ditujukan untuk mengantarkan anak didik pada tingkatan pendidikan, perilaku, dan intelektual yang diharapkan membawa mereka pada sosok anggota masyarakat yang berguna bagi bangsa dan masyarakatnya, serta mau berkarya bagi pembangunan bangsa dan perwujudan idealismenya.

&