Fakta Sejarah Islam;
Dr. Utsman bin Muhammad al-Khamis; Pustaka Imam Syafi’i
Kita harus membaca sejarah seperti halnya membaca hadits-hadis Rasulullah saw. Tatkala hendak membaca hadits-hadits beliau tentu saja kita mengklarifikasikan riwayatnya terlebih dahulu; apakah sanadnya shahih, ataukah tidak? Tidak mungkin riwayat dari Rasulullah saw. diketahui benar tidaknya tanpa melalui penelitian sanad dan matan. Karena nya para ulama mengumpulkan setiap redaksi hadits yang diriwayatkan oleh perawi, memilah-milahnya, menilainya, dan memisahkannya yang shahih dari yang dlaif. Dengan metode ini, hadits-hadits yang dinisbatkkan kepada Rasulullah saw. bisa dibersihkan dari cela, kebohongan, dan hal buruk semisal yang disisipkan kepadanya.
Akan tetapi, riwayat-riwayat terkait sejarah amat berbeda. Terkadang, kita menemukan riwayat-riwayat yang tidak bersanad. Terkadang pula, kita menemukan sanadnya tetapi biografi para perawi itu tidak ditemukan. Sering juga kita tidak menemukan jarh (kritik) ataupun ta’dil (sanjungan) ulama terhadap perawinya terkait kredibilitas periwayatannya. Alhasil kita kesulitan untuk menghukumi riwayat tentang sejarah itu dikarenakan tidak mengetahui keadaan sebagian dari perawinya. Dengan kata lain, meneliti tentang keotentikan sejarah lebih sulit daripada keotentukan hadits. Oleh sebab itu kita tidak boleh menyepelekannya. Justru kita harus mengklarifikasi dan mengetahui cara pengambilan riwayat sejarah yang shahih.
Mungkin ada yang berpendapat, dengan standar penilaian demikian berarti banyak sejarah kita yang akan hilang. Pendapat tersebut dapat kita bantah. Sejarah kita tidak akan hilang sebanyak sangkaan anda. Karena banyak riwayat sejarah yang dibutuhkan –khususnya dalam pembahasan ini- disebutkan beserta sanadnya. Baik sanad itu disebutkan dalam kitab sejarah, seperti Taarikh ath-Thabari; dalam kitab-kitab hadits, seperti Shahiihul Bukhari, Musnad Ahmad, dan Jaami’ut Tirmidzi; dalam kitab-kitab Mushannaf, yang menyebutkan riwayat sejarah disertai sanadnya, seperti Tafsiir Ibni Jariir dan Tafsir Ibni Katsiir; maupun dalam kitab-kitab yang secara khusus berbicara tentang peristiwa-peristiwa sejarah tertentu, seperti Huruubur Riddah karya al-Kula’i atau kitab singkat berjudul Taariikh Khaliifah Ibnu Khayyath.
Intinya, kita tidak boleh menyerah untuk menemukan sanad dari riwayat-riwayat sejarah yang beredar saat ini. Kalaupun kita tidak menemukan sanadnya, kita tetap mempunyai pedoman umum, khususnya berkaitan dengan para shahat; yaitu pujian Allah swt. dan sanjungan Rasul-Nya kepada mereka. dan itu menunjukkan bahwa pada hakekatnya mereka adalah orang-orang yang shalih sebagaimana dijelaskan dalam tulisan ini. Maka setiap riwayat yang mengandung celaan kepada para shahabat Rasulullah saw. harus dilihat sanadnya terlebih dahulu. Jika memang shahih, maka kita melihat penafsiran dan keterangannya. Namun jika sanadnya dlaif, atau tidak memiliki sanad, maka kita berpengang pada kaidah awal yaitu semua shahabat adalah shalih.
Jadi, ketika membaca sejarah, kita harus bersikap teliti, sebagaimana tatkala membaca hadits. Apalagi jika bacaan tersebut terkait dengan sejarah pokok umat Islam, yaitu sejarah para shahabat Rasulullah saw.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan: “Seseorang harus mempunyai pegangan atau pedoman umum sebagai sumber penyandaran hal-hal yang bersifat parsial dan lebih rinci, agar dia bisa berbicara berdasarkan ilmu dan obyektif, di samping akan mengetahui bagaimana hal-hal itu sampai terjadi. Jika tidak demikian, maka dia akan mudah terhasut oleh kedustaan dan kebodohan mengenai masalah-masalah parsial tersebut, dan tetap bodoh terhadap pedoman umumnya. Dan bisa dipastikan hal itu akan melahirkan kesimpulan (pemahaman) yang sangat kacau.” (Majmuu’ul Fataawaa [xix/203])
Ironisnya, dewasa ini orang-orang justru gemar membaca tulisan modern mengenai sejarah yang hanya memperhatikan keindahan cerita atau melogiskan situasi dan kondisi, atau keduanya sekaligus, tanpa memperhatikan shahih tidaknya riwayat-riwayat yang dinukil, seperti buku-buku karya ‘Abbas al-‘Aqqad, Khalid Muhammad Khalid, Thaha Husain, George Zaidan seorang Nashrani, atau buah tangan tokoh-tokoh masa kini lainnya.
Mereka para penulis yang disebutkan tadi hanya memperhatikan keterkaitan alur, keunikan kisah, dan keindahan penyusunan ketika berbiara tentang sejarah. Mereka tidak memperhatikan apakah kisah-kisah itu dinukilkan secara shahih atau tidak. Sebagian mereka bahkan sengaja ingin mendistorsi kisah tersebut. Bagi mereka, yang terpenting adalah menyajikan kisah yang enak dibaca oleh anda.
Berikut beberapa kitab sejarah yang harus diwaspadai:
1. Al-Ghaanii karya Abul Faraj al-Ashbahani. Kitab ini berisi obrolan, syair, dan nyanyian yang dicampuri berita-berita yang tidak benar.
2. Al-‘Iqdul Fariid karya Ibnu ‘Abdi Rabbih. Kitab sastra ini banyak memuat nukilan-nukilan palsu.
3. Al-Imaamah was Siyaasah yang dinisbatkan kepada Ibnu Qutaibah, tetapi penisbatan ini adalah dusta belaka.
4. Muruujudz Dzahab atau Taariikh al-Mas’udi karya al-Mas’udi. Kisah-kisah yang dituturkan dalam kitab ini tidak bersanad. Ibnu Taimiyah bahkan mengomentarinya: “Dalam Taariikh al-Mas’udi terdapat banyak kebohongan, saking banyaknya sampai-sampai tidak ada yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah swt. Bagaimana mungkin riwayat dengan sanad terputus dalam sebuah kitab yang terkenal banyak dustanya itu bisa dipercaya.” (minhaajus Sunnah an-Nabawiyyah [iv/84]) Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalani juga berkomentar: “Kitab-kitabnya menunjukkan bahwa dia (al-Mas’udi) berpaham Syi’ah dan Mu’tazilah.” (Lisaanul Miizaan [v/532] terbitan Maktab al-Mathbuu’aat al-Islaamiyyah)
5. Syarh Nahjil Balaaghah karya ‘Abdul Hamid bin Abul Hadid, seorang Mu’tazilah yang dinilai dlaif oleh para ulama al-Jarh wat Ta’dil. Orang yang mengetahui alasan penyusunan kitab ini pasti akan meragukan diri dan karya penulisnya. Kitab ini disusun demi al-Wazir bin al-‘Alqami, seseorang yang menjadi penyebab utama terbunuhnya jutaan Muslim Baghdad di tangan bangsa Tartar. Al-Khawanisari menegaskan: “Dia (Ibnu Abul Hadid) menyusunnya untuk memenuhi lemari (perpustakaan pribadi) al-Wazir Muayyidduddin Muhammad bin al-‘Alqami.” (Raudhaatul Jannaat karya al-Khawanisari [v/20,21]). Bahkan, banyak ulama Syi’ah yang mencela penulis dan karyanya ini. Al-Mirza Habibullah al-Khu-i mengomentari sosok Ibnu Abul Hamid: “Orang ini tidak termasuk ahli dirayah (ahli fiqih) maupun atsar (ahli hadits). Pendapatnya kacau dan pandangannya bobrok. Keberadaannya justru memperkeruh kegaduhan; dia telah menyesatkan banyak orang, dan dia sendiri tersesat dari jalan yang lurus.” Adapun mengenai karyanya, al-Mirza berkomentar: “Tulisannya seperti jasad tanpa roh. Bahasanya berputar-putar pada kulit dan tidak menyentuh isi, sehingga tidak banyak berfaedah. Kitab ini juga mengandung takwil-takwil yang jauh (dari kebenaran); tabiat orang lari menghindarinya, pendengarannya pun mengingkarinya.”
6. Taariikh al-Ya’qubi. Kitab ini dipenuhi riwayat-riwayat mursal, tidak ada sanadnya yang bersambung secara utuh. Penulisnya sendiri adalah seorang yang tertuduh sebagai pembohong.
&
Tinggalkan Balasan