Targhib-Tarhib Qur’ani dan Nabawi

25 Mei

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat; Abdurrahman An-Nahlawi

Targhib dan tarhib dalam pendidikan Islam lebih memiliki makna dari apa yang diistilahkan dalam pendidikan barat “imbalan dan hukuman”. Kelebihan ini bersumber dari karakteristik ketuhanan yang tidak membunuh fitrah manusia dan yang menjadi identitas pendidikan Islam. Kelebihan yang penting adalah:

a. Targhib-tarhib Qur’ani dan Nabawi bertumpu pada pemberian kepuasan dan argumentasi. Maka ayat-ayat tentang targhib dan tarhib yang menyangkut salah satu perkara akhirat senantiasa berkaitan dan mengandung isyarat keimanan kepada Allah dan hari akhirat, atau ayat itu mengandung seruan yang mengarahkan dan membina kaum mukminin.

Implikasi pendidikan dari ayat-ayat tersebut di atas adalah kewajiban manusia untuk menanamkan keimanan dan aqidah yang shahih dalam diri anak didik sehingga mereka mudah memahami syarat masuk surga dan menghindari hal-hal yang dapat menjerumuskan manusia pada azab Allah. Dan yang perlu diingat, targhib dan tarhib harus menghasilkan buah amaliah dalam perilaku. Perwujudan hasil tersebut dapat dilakukan melalui pengambilan ibrah sebuah kisah Qur’ani yang kemudian diikuti penerapan targhib dan tarhib.

b. Targhib-tarhib Qur’ani dan Nabawi itu disertai oleh gambaran keindahan dan keindahan surga yang menakjubkan atau pembeberan azab neraka. untuk itu seorang pendidik dituntut untuk memilih imajinasi dan konsep Qur’ani dan Nabawi yang tepat dalam menyajikan materi tentang pahala dan azab Allah. Seorang pendidik pun dituntut untuk menyederhanakan imajinasi itu agar dapat dipahami oleh anak didik dengan cepat. Dengan demikian ketika memandang kurikulum seorang pendidik tidak boleh kaku. Dia dituntut untuk mengambil penjelasan rincinya dari buku-buku hadits, riyadush shalihin, dan lain-lain ketika ia menyajikan materi apapun dengan metode targhib dan tarhib.

c. Targhib dan tarhib Qur’ani dan Nabawi bertumpu pada pengobaran emosi dan pembinaan afeksi ketuhanan. Pendidikan yang mentalistik ini merupakan salah satu tujuan penetapan syariat Islam. Afeksi ketuhanan itu ialah:

1. Perasaan takut kepada Allah dan memang itulah yang diwajibkan-Nya sebagaimana firman-Nya ini:
“Karena itu, janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Ali ‘Imraan: 175)

Allah memuji hamba-hamba-Nya yang takut kepada-Nya dan menjanjikan pahala yang besar bagi mereka:
“Dan bagi orang yang takut saat menghadap Tuhannya ada dua surga.” (ar-Rahmaan: 46)

Bahkan kita disuruh berdoa kepada-Nya dengan rasa takut terhadap azab-Nya dan penuh harap atas pahala-Nya, firman-Nya:
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (al-A’raaf: 55-56)

Di atas dasar pengembangan afeksi ketuhanan inilah didirikan beberapa ibadah, seperti shaum dan keharaman berburu pada saat haji.

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombakmu supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya. barang siapa yang melanggar batas sesudah itu, Maka baginya azab yang pedih.” (al-Maidah: 94)

Selain itu, banyak pula hubungan muamalah Islam yang didasarkan pada pengembangan afeksi ketuhanan, seperti kejujuran dalam jual beli, perawatan anak yatim, perlakuan yang baik kepada istri, dan menyikapi anak dengan adil. Setiap insan yang takut kepada Tuhannya merupakan insan utama dan memiliki keselarasan dalam perilaku dan muamalahnya. Dan manusia yang tidak malu kepada Tuhannya dan melakukan apapun yang diinginkannya tanpa pengontrol dan kekang merupakan pemilik hati yang sekeras batu, atau lebih keras dari batu.

2. Rasa khusyu, kerendahan, ketundukan, perasaan patu, serta menghambakan diri kepada Allah swt. Khusyu ialah buah rasa takut. Dalam kenyataannya di dunia ini jika manusia merasa takut terhadap thaghut yang tiran, mereka segera pura-pura taat dan tunduk terhadap segala perintahnya. Namun kekhusu’an kepada Allah tidaklah sama dengan ketundukan yang pura-pura, sebab kekhusyu’an kepada Allah disertai perasaan yang taat dan patuh yang hakiki serta pengakuan atas keagungan-Nya sebagai pengakuan yang bersumber dari kekaguman terhadap tanda-tanda ciptaan dan pengaturan-Nya terhadap makros kosmos ini. Anjuran khusyu’ ketika berdzikir kepada Allah terdapat dalam firman-Nya:

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (al-Hadid: 16)

Kekhusu’an ketika membaca al-Qur’an menimbulkan tanda dan perubahan fisik sebagaimana firman Allah:
“Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. (az-Zumar: 23)

Kondisi fisik seperti ini terjadi karena dia sangat takut kepada Allah dan merasa bahwa setiap gerak geriknya senantiasa diawasi oleh-Nya, termasuk ketika membaca kitab-Nya. Afeksi takut dan khusyuk merupakan emosi terpenting yang disertakan dalam ayat-ayat yang berkenaan dengan tarhib. Sikap seperti ini pun dimiliki oleh manusia yang khusyuk dan takut kepada Tuhannya.

Dalam alQur’an kedua emosi tersebut diungkapkan melalui istilah takut, risi, ketakutan, kekhusyukan. Perasaan sepeti ini harus dimiliki pula oleh seorang pendidik untuk kemudian ditransfer kepada anak didik atau anak-anaknya melalui transfer emosi, keteladanan, kecintaan dan peniruan. Praktik pengajaran dan pendidikan harus mengekspresikan mimik wajah dan gaya bicara yang dapat mengobarkan emosi-emosi tersebut. Selain itu, pendidik pun harus memperhatikan pemuasan, argumentasi, dan pengulangan dalam mengembangkan afeksi ketuhanan anak didik. Pengulangan emosi untuk topik yang sama dari waktu ke waktu, misalnya dengan menggunakan kisah, deskripsi, dialog, dan evaluasi, dalam membina kesiapan diri untuk menerima kobaran emosi dan perasaan.

Dapat dikatakan bahwa afeksi adalah dorongan untuk berperilaku, anjuran untuk bersabar, serta anjuran untuk mengobarkan semangat manusia. Afeksi tidak kalah pentingnya dari dorongan naluriah, bahkan afeksi itulah yang mendukung, mengarahkan, menata, dan meninggikannya. Karena afeksi itulah manusia berbeda dari binatang. Dengan demikian, jika dalam diri manusia itu terdapat afeksi negatif, pendidikan Islam menganjurkan dilakukannya targhib, afeksi-afeksi yang positif yang paling penting adalah:

3. Kecintaan yang merupakan kecenderungan yang dimiliki manusia sejak lahir. Karena itu, manusia memiliki kecenderungan untuk mencintai dan dicintai. Cinta sebagaimana yang wajar terjadi di kalangan manusia, pada prinsipnya merupakan keterikatan antara yang mencintai dan orang yang dicintai. Hasilnya seseorang yang mencintai seseorang yang lain akan mengikuti jejaknya, mengingatnya, melakukan sesuatu yang disukainya, dan mewujudkan hal-hal yang dapat menggembirakannya. Untuk itu Allah berfiman:

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah…” (al-Baqaarah: 165)

Dalam tafsir al-Qur-aanul ‘Adhiim, Ibnu Katsir berkata: “Karena kecintaan mereka kepada Allah, kesempurnaan pengetahuan mereka tentang Dia, serta pengakuan dan pentauhidan mereka kepada-Nya, mereka tidak menyekutukan-Nya dengan apapun, bahkan mereka menyembah Dia semata, bertawakkal kepada-Nya, dan berlindung kepada-Nya dalam segala persoalannya.”

Allah swt berfirman: “Katakanlah: ‘Jika kamu [benar-benar] mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (Ali ‘Imraan: 31)

Allah menjadikan ketaatan dalam mengikuti Rasul-Nya merupakan salah satu syarat sikap mencintai-Nya, sebagaimana Allah mensifati orang-orang yang dicintai-Nya dan mereka mencintai-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” (al-Maidah: 54)

Jika kita mengikuti kehidupan Rasulullah saw. dan para shahabatnya, kita akan menemukan bahwa kecintaan kepada Allah merupakan motivasi utama yang menjadikan manusia berambisi untuk mewujudkan syariat Allah dalam perilaku dan kehidupannya tanpa perlu diawasi oleh manusia lain. Kita pun akan menemukan kesimpulan bahwa faktor utama yang mendorong timbulnya kecintaan kepada Allah adalah sikap merasakan karunia-Nya, pengenalan atas segala nikmat duniawi dan jannatun Naim bagi orang-orang yang bertakwa, disiplin dan ikhlasnya dalam bermunajat dan membaca firman-Nya, serta perenungan atas jejak-jejak rahmat-Nya.

4. Sikap raja’, yaitu keingingan atau optimisme yang kuat untuk mendapatkan rahmat Allah dan mengharapkan pahala serta ganjaran yang banyak dari sisi-Nya. pada dasarnya, sikap raja’ dapat menjadi pnedorong jihad dan meraih kematian di jalan Allah. Dahulu para shahabat yang tengah berjuang senantiasa berkata: “Bagus, bagus. Bukankah tiada jarak antara aku dengan surga, kecuali aku harus bertempur di jalan Allah?” maka mereka pun menyerang musuh hingga mati syahid.

Menurut riwayat Rasulullah saw. mengutus Abdullah bin Jahsyi bersama delapan orang muhajirin untuk membawa pesan tertulis yang tidak boleh dibuka kecuali setelah menempuh perjalanan pada jarak tertentu. Ketika Abdullah membukanya, ternyata isinya adalah perintah untuk pergi ke desa Nakhlah yang terletak antara Thaif dan Makkah guna memata-matai dan mencari informasi tentang kaum Quraisy. Di Nakhlah mereka bertemu dengan rombongan pedagang Quraisy yang terdiri dari tiga orang yang seorang mereka bunuh dan yang dua mereka tawan bersama seekor unta mereka. peristiwa tersebut diperkirakan terjadi pada akhir bulan Rajab [ada yang mengatakan Rajab, atau Jumadil Awal, atau Jumadil Akhir]. Namun orang-orang mengecam dan menyangka bahwa Abdullah dan kawan-kawan telah melanggar bulan yang diharamkan untuk berperang. Ketika mereka menghadap Rasulullah saw. beliau tidak mau menerima rampasan perang. Abdullah dan kawan-kawan menyesali perbuatannya. Atas kejadian itu Allah menurunkan ayat yang dilatar belakangi peristiwa tersebut:

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 217)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa untuk menghadang sepak terjang kaum musyrikin yang sudah melewati batas, Allah membolehkan kaum muslimin berperang pada bulan tersebut karena gangguan dan fitnah kaum musyrikin lebih berbahaya. Kemudian kaum muslimin pada saat itu berkata kepada Rasulullah saw.: “Wahai Rasulallah, apakah kami boleh berharap adanya perang melawan orang-orang kafir yang dengan itu kami memperoleh pahala sebagai mujahid?” dari pertanyaan tersebut Allah menurunkan ayat:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 218)

Karena itu harta rampasan perang pun pertama kali diterima oleh sembilan orang Muhajirin yang memata-matai wilayah musuh. Semua itu merupakan perwujudan sikap taat pada perintah Rasulullah saw. dan harapan akan rahmat, surga serta pahala Allah. Demikianlah betapa besar dampak harapan terhadap diri mereka. mereka benar-benar mengharapkan rahmat Allah. Dengan demikian para pendidik dituntut untuk mampu menanamkan harapan itu dalam diri anak didik. Penanaman harapan itu harus dilakukan dengan dasar keimanan kepada Allah dan hari akhir. Untuk memperlancar, para pendidik pun dapat melakukan penanaman itu dengan menjelaskan masalah surga, kenikmatannya, dan kaitannya dengan pentingnya keterikatan pada perintah-perintah Allah, peninggalan larangan-Nya, berjihad, serta meninggikan agama Allah.

d. Pendidikan melalui targhib dan tarhib bertumpu pada pengontrolan emosi, afeksi, dan keseimbangan antara keduanya. dengan demikian, rasa takut tidak boleh menghilangkan harapan dan hasrat sehingga menimbulkan keputusasaan terhadap rahmat dan ampunan Allah di dalam diri pelaku dosa. Melalui firman-Nya, Allah melarang manusia berputus asa:

“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (az-Zumar: 53)

Allah sangat mengetahui bahwa karakter dasar manusia adalah jika mereka tidak bersenjatakan iman dan harapan untuk mendapatkan pahala dari Allah, mereka cenderung berputus asa dan patah arang ketika ditimpa berbagai kemelut. Untuk itu, Allah berfirman:

“Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan.” (Fushilat: 49)

Keputusasaan ini merupakan hal yang tidak disukai Allah sehingga Dia memadamkan keputusasaan itu dengan kekafiran sebagaimana firman-Nya ini:

“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah Dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih. Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya, niscaya Dia akan berkata: “Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku”; Sesungguhnya Dia sangat gembira lagi bangga, kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.” (Huud: 9-11)

Demikianlah, selayaknya kegembiraan karena hilangnya kesulitan jangan sampai melampaui batas sehingga manusia lalai terhadap adzab Allah dan kekuasaan-Nya serta menjadikan dirinya congkak dan membanggakan upaya dan kekuatannya. Bagaimanapun hal itu akan menyeret manusia pada berbagai kemaksiatan. Idealnya manusia harus berupaya memadukan rasa takut dan harap sehingga pada dirinya timbul rasa takut terhadap adzab Allah, keagungan-Nya, dan kedudukan-Nya sehingga ia tidak melampaui batas atau terpedaya; serta harapan terhadap rahmat Allah sehingga dia tidak berputus asa dari ampunan-Nya. Keputusasaan dan keterpedayaan yang terus melekat pada diri manusia dapat menimbulkan kekafiran, kefasikan, dan kedhaliman, sebagaimana ditegaskan firman Allah yang artinya:

“…Tiada yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (al-A’raaf: 99)
“… Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir.” (Yusuf: 87)

Jika dalam hati manusia telah mampu memadukan salah satu sifat kesempurnaan Allah dengan sifat-sifat lain yang menjadi padanannya, niscaya dia tidak akan terjerumus ke dalam konflk yang berkepanjangan, sikap berlebihan, atau kesia-siaan sehingga ia merasa bahwa kemurkaan Allah itu tidak sampai melalaikannya dari rahmat-Nya, kehendak-Nya yang mutlak tidak sampai melalaikannya dari hikmah-Nya, dan seterusnya.

Untuk itu Allah berfirman yang artinya: “….Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksa-Nya, dan sesungguhnya Dia adalah Mahapengampun lagi Maha Penyayang.” (al-A’raaf: 167)

Dalam hadits yang berasal dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda: “Apabila seorang mukmin yang mengetahui adzab ada pada sisi Allah, niscaya tak seorang pun yang mengharapkan surga-Nya. Dan apabila orang kafir mengetahui rahmat yang ada pada sisi Allah, niscaya tak seorang pun yang berputus asa untuk mendapatkan surga-Nya.” (HR Muslim)

Dalam hadits dari Ibnu Mas’ud ra. dikatakan bahwasannya Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya surga itu lebih dekat kepadamu daripada dekatnya tali sandalmu. Demikian pula neraka.” (HR Bukhari)

Demikianlah, selayaknya kita mengembangkan afeksi-afeksi ketuhanan pada diri anak didik secara seimbang dan proposional agar mereka tidak bergelimang dalam kemaksiatan kepada Allah, terpedaya oleh rahmat dan ampunan Allah, serta menangguhkan tobatnya kepada Allah. Mereka harus dibina untuk tidak berputus asa dari pertolongan dan rahmat Allah. Apalagi dalam kondisi zaman sekarang yang sarat dengan masyarakat yang berkubang dalam kemaksiatan dan penyimpangan dari ajaran Islam sehingga mereka meninggalkan pengamalan syariat Allah.

Padalah Allah telah berfirman yang artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk [mencari keridlaan], kami benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (al-Ankabuut: 69)

Segala puji bagi Allah yang menuntaskan berbagai amal shalih berkat nikmat-Nya.

&

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: