Mewarnai Gambar Islami Untuk Anak Muslim
Untuk Kreatifitas dengan Mewarnai Gambar
alquranmulia.wordpress.com
&
Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi
Merujuk istri yang ditalak raj’i adalah dibolehkan. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab. Tetapi para imam berbeda pendapat tentang hukum menyetubuhi istri yang sedang menjalani ‘iddah dalam talak raj’i, apakah diharamkan atau tidak?
Menurut Hanafi dan Hambali dalam pendapat yang kuat: tidak haram. Sedangkan menurut Maliki, Syafi’i dan pendapat Hambali yang lainnya: haram.
Apakah dengan telah disetubuhinya istri tersebut telah terjadi rujuk atau tidak? Dalam masalah ini para imam madzhab berbeda pendapat. Menurut Hanafi dan pendapat Hambali dalam salah satu riwayatnya: persetubuhan itu berarti rujuk, dan tidak diperlukan lafadz rujuk, baik diniatkan rujuk maupun tidak.
Menurut Maliki dalam pendapatnya yang masyhur: jika diniatkan rujuk, maka dengan terjadinya persetubuhan itu terjadi rujuk. Syafi’i: tidak sah rujuk kecuali dengan lafadz rujuk.
Apakah di antara syarat-syarat rujuk adalah keharusan adanya saksi? Hanafi, Maliki dan Hambali dalam salah satu riwayatnya mengatakan: adanya saksi bukannya syarat tetapi mustahab.
Syafi’i punya dua pendapat: pertama, yang paling shahih adalah disunnahkan. Kedua, adanya saksi merupakan syarat. Seperti ini juga pendapat Hambali dalam riwayat lainnya.
Diriwayatkan dari ar-Raf’i bahwa para ulama pengikut madzhab Maliki mengatakan bahwa syarat rujuk dengan adanya saksi tidak diperoleh dalam kitab-kitab yang masyhur dari Maliki. Namun, al-Qadhi Abdul Wahhab dan al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan: “Madzhab Maliki memandang sunnah adanya saksi.” Tidak seorang ulama pun yang menentang pendapat tersebut. Demikian juga yang telah dijelaskan oleh Ibn Hubairah, seorang ulama Syafi’i, dalam kitab al-Ifsah.
Para imam madzhab sepakat tentang orang yang telah menalak istrinya dengan talak tiga, ia tidak boleh menikahinya hingga istrinya yang telah ditalaknya dinikah oleh orang lain dan disetubuhi dalam pernikahan yang sah. Adapun, yang dimaksud pernikahan dalam masalah ini adalah termasuk persetubuhannya. Hal ini merupakan syarat diperbolehkannya menikahi lagi bagi suami pertama apabila mantan istrinya tersebut bercerai dengan suami yang baru.
Persetubuhan dalam pernikahan yang tidak sah adalah tidak dibolehkan kecuali menurut pendapat Syafi’i.
Para imam madzhab berbeda pendapat, apakah istri tersebut halal dalam persetubuhan dalam masa haid atau dalam keadaan ihram? Menurut Maliki: tidak halal. Sedangkan tiga imam lainnya: halal.
Para imam madzhab berbeda pendapat tentang persetubuhan anak kecil yang sudah bisa bersetubuh dalam pernikahan yang sah. Menurut Maliki: tidak sah. Sedangkan menurut ketiga imam lainnya: halal.
&
Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi
Dimakruhkan menjatuhkan talak ketika hubungan pergaulan suami-istri sedang rukun, damai dan tenteram. Demikian menurut kesepakatan para ulama. Namun Hanafi yang mengharamkannya.
Apakah ta’liq talak itu sah? Misalnya seorang berkata kepada seorang perempuan yang bukan istrinya, “Jika aku menikahimu maka kamu bertalak.” Atau: “Setiap perempuan yang aku nikahi tertalak.”
Hanafi berpendapat: Ta’liq demikian hukumnya adalah sah dan jatuhlah talak, baik diucapkan secara mutlak atau umum maupun secara khusus.
Maliki berpendapat: sah ta’liq dan lazim talaq apabila ditentukan kabilahnya atau negerinya. Sedangkan jika ta’liq dikemukakan secara umum maka ta’liq itu tidak sah dan jatuh talak yang di-ta’liq itu.
Syafi’i dan Hambali berpendapat: ta’liq yang demikian itu tidak sah dan tidak lazim secara mutlak.
Apakah yang menjatuhkan talak itu laki-laki atau perempuan? Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: yang menjatuhkan talaq adalah laki-laki. Sedangkan Hanafi: yang menjatuhkan talak adalah perempuan.
Adapun bentuknya, menurut pendapat jama’ah, adalah bagi laki-laki merdeka mempunyai tiga talak, sedangkan bagi budak dua kali talak. Hanafi berpendapat: perempuan merdeka mempunyai tiga talak. Sedangkan budak perempuan mempunyai dua talak, baik suaminya merdeka maupun budak.
Seseorang menalak istrinya dengan suatu sifat, seperti seseorang berkat, “Jika kamu memasuki rumah ini maka tertalak.” Kemudian ia menceraikan istrinya, padahal istrinya tidak melanggar ta’liq tersebut dalam keadaan sudah diceraikan. Lalu suaminya menikahinya lagi, dan istri tersebut memasuki rumah yang pernah dijadikan ta’liq talak oleh suaminya. Dalam hal ini, jika talak tersbut bukan talak tiga maka ta’liq nya tidak berlaku lagi. Demikian pendapat Hanafi dan Maliki.
Sementara Syafi’i mempunyai tiga pendapat, pertama, seperti pendapat Hanafi. Kedua, jika talak itu adalah talak tiga maka ta’liq tersebut tidak ada gunanya. Ketiga, jika talak itu adalah talak ba’in, kemudian suaminya menikahinya lagi lalu menyetubuhinya maka ta’liq nya yang dahulu tidak berlaku lagi. Inilah pendapat yang paling shahih dari Syafi’i.
Hambali berpendapat: ta’liq talak itu tidak berlaku, baik istri sudah terlepas dengan talak tiga maupun dengan kurang dari talak tiga. Adapun jika perempuan tersebut memasuki rumah itu dalam keadaan ditalak maka tidak berulang ta’liq atau sumpah tersebut. Demikian menurut pendapat Hanafi, Syafi’i dan Maliki. Sedangkan Hambali berpendapat: ta’liq tersebut tetap berulang dengan berulangnya pernikahan.
Para imam madzhab sepakat bahwa talak yang dijatuhkan pada masa haid setelah disetubuhi atau pada masa suci setelah disetubuhi hukumnya adalah haram, tetapi talaknya tetap sah. Demikian pula, mengumpulkan tiga talak sekaligus dengan sekali ucapan hukumnya adalah haram, tetapi talaknya tetap sah.
Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai jenis talak yang dijatuhkan tersebut, apakah talak sunnah ataukah bid’ah?
Dari Hambali diperoleh dua pendapat, seperti dua pendapat di atas, dan al-Khiraqi memilih pendapat yang dinyatakan sebagai talak sunnah.
Para imam Madzhab juga berbeda pendapat tentang orang yang mengatakan, “Engkau tertalak sejumlah batu kerikil dan debu.” Dalam hal ini Hanafi berpendapat: talak tersebut menghendaki terlepasnya istri dari ikatan perkawinan. Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: jatuh talak tiga.
Para ulama pengikut Hanafi, Maliki dan Hambali sepakat bahwa orang yang mengatakan kepada istrinya, “Apabila aku menalakmu maka sebelum aku talak, engkau telah tertalak tiga.” Kemudian ia pun menalak istrinya, maka talak itu adalah talak tiga.
Sedangkan para ulama pengikut Syafi’i berlainan pendapat dalam masalah ini. Menurut pendapat ar-Rafi’i, yang paling shahih sebagaimana disebutkan dalam kitab ar-Rawdhah, yaitu talak jatuh sebanyak yang disebutkan pada waktu menjatuhkan talak. Adapun menurut pendapat al-Muzani, Ibn Suraij, al-Haddad, al-Qaffal, Syaikh Abu Hamid, penulis kitab al-Muhadzdzab (Abu Ishaq asy-Syirazi) dan lain-lain, yang demikian itu tidak jatuh talak sama sekali. Hal demikian telah diriwayatkan dari nas Syafi’i. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa jatuh talak tiga, sebagaimana pendapat jama’ah.
Para imam madzhab berbeda pendapat dalam masalah ungkapan kiasan dalam talak, seperti meninggalkan, terlepas, cerai, putus, engkau telah merdeka, urusanmu di tanganmu sendiri, ber-‘iddah-lah engkau, pulanglah ke keluargamu, dan sebagainya. Apakah talak semacam itu memerlukan niat?
Hanafi, Syafi’i dan Hambali mengatakan: memerlukan niat atau petunjuk keadaan. Maliki berpendapat: talak jatuh dengan menggunakan ungkapan tersebut, tidak perlu niat.
Jika ungkapan kiasan tersebut ditunjuki keadaan, seperti marah atau menyebut-nyebut talak, tetapi suami menyangkalnya dengan mengatakan bahwa ia tidak bermaksud menalak, maka ucapannya tidak dapat diterima. Artinya tetap jatuh talak. Apabila ia mengucapkannya dalam keadaan marah, tetapi tidak disebut-sebut kata talak, maka tidak jatuh jika yang diucapkan tiga kali ungkapan kiasan tersebut. Sedangkan jika menggunakan ungkapan lain maka tidak jatuh talak.
Maliki berpendapat: segalam macam ungkapan kiasan yang jelas jika diucapkan dengan kemauannya sendiri ataupun sebagai jawaban atas istri yang meminta talak, maka jatuh talak. Sedangkan pengakuan suami yang menyatakan bahwa yang dimaksud bukanlah menalak tidak dapat diterima.
Syafi’i berpendapat: semua bentuk ungkapan kiasan dalam talak membutuhkan niat.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, seperti pendapat Syafi’i. Kedua, tidak memerlukan niat, melainkan cukup dengan petunjuk keadaan.
Para ulama sepakat bahwa ungkapan talak, berpisah, dan melepaskan merupakan ungkapan yang jelas menunjukkan talak, yang tidak memerlukan niat.
Hanafi berpendapat bahwa ungkapan talak yang jelas, yang tidak memerlukan niat, hanyalah kata “talak”. Sedangkan ungkapan berpisah [firaq] atau melepaskan [sarah] tidak menyebabkan jatuh talak.
Para imam madzab berbeda pendapat tentang ungkapan kiasan dalam talak apabila diniatkan talak, tetapi tidak diniatkan berbilang, dan disebutkan sebagai jawaban atas permintaan talak. Dihitung jatuh talak berapa?
Hanafi berpendapat: jatuh talak satu dengan sumpah suami. Maliki berpendapat: jika istri telah dicampuri maka tidak dibenarkan pengakuan suami, kecuali dalam keadaan khulu’. Sedangkan jika ia belum dicampuri maka pengakuan suami dapat dibenarkan dengan sumpahnya. Semua yang diniatkan dapat menjatuhkan talak, kecuali lafadz albattah [putus]. Tentang lafadz tersebut ada perbedaan pendapat. Menurut satu riwayat, jatuh talak di bawah talak tiga. Sedangkan menurut riwayat lain, pengakuan suami dapat diterima dengan sumpahnya.
Syafi’i berpendapat: pengakuan suami dapat diterima, baik mengenai asal talak maupun soal bilangannya.
Hambali berpendapat: jika disertai petunjuk keadaan atau diniatkan talak, maka jatuh talak tiga, baik diniatkan maupun tidak, baik istri tersebut sudah dicampuri maupun belum.
Para imam madzhab berbeda pendapat tentang ungkapan kiasan yang tidak jelas, seperti pergilah kamu, engkau adalah perempuan yang ditinggalkan, dan sebagainya yang sepadan.
Hanafi berpendapat: semuanya seperti ungkapan kiasan yang jelas. Jika tidak diniatkan berbilang maka jatuh talak satu, tetapi jika diniatkan talak tiga maka jatuh talak tiga. Sedangkan jika diniatkan talak dua, maka tidak jatuh kecuali talak satu.
Syafi’i dan Hambali: jika diniatkan talak dua maka jatuh talah dua.
Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai ungkapan “ber-‘iddah-lah kamu” dan “Tuntutlah keberanian rahimmu” dengan niat menjatuhkan talak.
Hanafi: jatuh talak raj’i. Maliki: tidak jatuh talak kecuali suami menyebutkannya dengan kemauannya sendiri, bukan kehendak istri. Sedangkan jika dalam keadaan marah atau menyebut-nyebut talak maka jatuh talak yang diniatkan.
Syafi’i: tidak jatuh talak kecuali diniatkan talak, dan tidak jatuh sebanyak yang diniatkan terhadap istri yang sudah dicampuri. Sedangkan jika belum dicampur, maka jatuh satu talak.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, jatuh talak tiga. Kedua, jatuh talak sebanyak yang diniatkan.
Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai orang yang mengatakan kepada istrinya, “Aku adalah tertalak darimu” atau ia menyerahkan urusan kepada istrinya, lalu istrinya mengatakan, “Engkau tertalak dariku.”
Hanafi dan Hambali mengatakan: hal demikian tidak menjatuhkan talak. Sedangkan Maliki dan Syafi’i mengatakan: jatuh talak.
Jika suami mengatakan kepada istrinya: “Engkau adalah orang yang tertalak” dengan diniatkan talak tiga maka jatuh talak satu saja. demikian pendapat Hanafi dan salah satu pendapat Hambali yang dipilih oleh al-Khiraqi. Sedangkan menurut pendapat Maliki, Syafi’i, dan pendapat Hambali yang lain: jatuh talak tiga.
Jika suami mengatakan kepada istrinya, “urusanmu berada di tanganmu sendiri” serta diniatkan talak, kemudian istri tersebut menalak dirinya dengan talak tiga, dan suami meniatkannya talak tiga, maka jatuhlah talak tiga. Sedangkan jika diniatkan talak satu, maka tidak jatuh talak sama sekali. Demikian pendapat Hanafi.
Maliki berpendapat: jatuh talak sebanyak yang disebutkan istri jika suami tidak membantah atau mengingkarinya. Sedangkan jika suami mengingkarinya maka ia harus disumpah dan talak jatuh menurut pengakuan suami.
Syafi’i berpendapat: tidak jatuh talak tiga, kecuali jika suami meniatkannya talak tiga. Jika diniatkannya talak tiga. Jika diniatkannya kurang dari tiga maka jatuhlah talak kurang dari tiga.
Hambali berpendapat: jatuh talak tiga, baik diniatkan oleh suami dengan talak tiga maupun talal satu.
Apabila suami mengatakan pada istriya: “Talaklah dirimu sendiri” kemudian iapun menalak dirinya dengan talak tiga, maka tidak jatuh talak sama sekali. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Maliki. Sementara itu Syafi’i dan Hambali mengatakan: jatuh talak satu.
Para imam madzhab sepakat bahwa apabila suami mengatakan kepada istrinya, “Engkau tertalak tiga.” Maka jatuhlah talak tiga.
Para imam madzhab berbeda pendapat dalam hal apabila suami tersebut mengatakan kepada istrinya, “Engkau tertalak, engkau tertalak, engkau tertalak” dengan ucapan yang berulang-ulang.
Hanafi, Syafi’i dan Hambali mengatakan, “Tidak jatuh talak kecuali talak satu saja. sedangkan Maliki berpendapat: jatuh talak tiga.
Apabila suami mengatkan kepada istrinya yang sudah dicampuri “Yang kami maksudkan dengan sebutan kedua dan ketiga hanyalah untuk menegaskan saja” maka jatuhlah talak tiga. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Maliki.
Syafi’i dan Hambali mengatakan: tidak jatuh talak kecuali talak satu.
Apabila suami mengatakan kepada istrinya yang belum dicampuri, “Engkau tertalak, tertalak, tertalak” maka jatuhlah talak satu. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i.
Maliki dan Hambali mengatakan: jatuh talak tiga.
Para imam madzhab berbeda pendapat tentang talak anak kecil yang belum mengerti maksud talak. Menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Syafi’i: jika keadannya demikian, tidak jatuh talak. Dari Hambali diperoleh dua riwayat, dan yang paling jelas: terjadi talak.
Para imam madzhab berbeda pendapat tentang talak yang dijatuhkan oleh orang yang mabuk. Hanafi dan Maliki: jatuh talak. Dari Syafi’i diperoleh dua pendapat, dan yang lebih shahih menyatakan: jatuh talak. Dari Hambali diperoleh dua riwayat, dan yang lebih jelas adalah jatuh talak.
Ath-Thahawi dan al-Kurkhi dari madzab Hanafi serta al-Muzani dan Abu Tsawr dari madzhab Syafi’i mengatkan: orang yang mabuk tidak menjatuhkan talak.
Para imam madzhab berbeda pendapat tentang talak yang dilakukan oleh orang yang dipaksa dan pemerdekaan yang dipaksa. Hanafi berpendapat: talak jatuh dan pemerdekaannya sah. Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: tidak jatuh talak jika dilakukan untuk membela diri.
Para imam madzhab berbeda pendapat tentang ancaman yang menurut perkiraan dapat dilaksanakan atau dilakukan, apakah yang demikian termasuk paksaan?
Hanafi, Syafi’i, dan Maliki berpendapat: benar, termasuk paksaan. Hambali mempunyai tiga riwayat: pertama, seperti pendapat jamaah [tiga madzhab di atas]. Kedua, tidak termasuk paksaan. Pendapat ini dipilih oleh al-Kiraqi. Ketiga, apabila ancaman tersebut berupa pembunuhan atau berupa pemotongan jari, maka termasuk paksaan. Sedangkan jika tidak demikian maka tidak termasuk paksaan.
Para imam madzhab berbeda pendapat, apakah paksaan itu khusus dari penguasa? Maliki dan Syafi’i mengatakan: tidak ada perbedaan antara penguasa dan lainnya. Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, bukan paksaan kecuali dari penguasa. Kedua, seperti pendapat Maliki dan Syafi’i di atas. Dari Hanafi juga diperoleh dua riwayat, yaitu seperti dua pendapat di atas.
Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai suami yang mengatakan kepada istrinya, “Engkau tertalak, insya Allah.”
Menurut Hanafi dan Syafi’i: tidak jatuh talak. Sedangkan Maliki dan Hambali: jatuh talak.
Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai suami yang ragu-ragu, apakah ia telah menalak istrinya atau belum. Menurut Hanafi, Syafi’i dan Hambali: ditetapkan berdasarkan keyakinannya. Sedangkan menurut Maliki yang masyhur: yang dimenangkan adalah perasaan yang condong pada sudah menjatuhkan talak.
Para imam madzhab berbeda pendapat tentang suami yang dalam keadaan sakit menalak istrinya dengan talak ba’in [talak yang tidak dapat dirujuk, kecuali setelah dinikah dulu oleh laki-laki lain], kemudian suami tersebut meninggal karena sakitnya.
Hanafi, Maliki dan Hambali mengatakan: istrinya yang ditalak tersebut berhak mendapat warisan. Namun Hanafi mensyaratkan dalam mewarisinya bahwa talak tersebut bukan permintaan istri. Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan yang jelas: tidak berhak mewarisi.
Apakah ia berhak mewarisi, sampai kapan ia berhak atas warisan tersebut? Hanafi berkata: ia berhak mewarisinya selama dalam masa ‘iddahnya. Sedangkan jika suami meninggal sesudah masa ‘iddah maka istri tidak berhak mewarisi.
Maliki berpendapat: ia berhak mendapat waris, meskipun sudah menikah dengan orang lain. Hambali berpendapat: ia berhak mendapat waris selama belum menikah dengan orang lain. Dari Syafi’i ada tiga pendapat: pertama, ia berhak mewarisi selama dalam masa ‘iddahnya. Kedua, ia berhak mewarisi selama belum menikah dengan orang lain. Ketiga, ia berhak mewarisi walaupun ia sudah menikah lagi dengan orang lain.
Para imam madzhab berbeda pendapat tentang suami yang mengatakan kepada istrinya, “Engkau tertalak sampai setahun lagi.”
Menurut Hanafi dan Maliki: pada saat itu juga istri tertalak. Sedangkan Syafi’i dan Hambali: istri tidak tertalak hingga terpenuhinya satu tahun yang diucapkannya.
Para imam madzhab berbeda pendapat tentang suami yang menalak raj’i salah seorang istrinya, tetapi tidak ditentukan istri mana yang ditalaknya, atau ditentukan tetapi ia sudah lupa.
Menurut Hanafi dan Ibn Abi Hurairah dari seorang ulama pengikut Syafi’i: tidak ada halangan untuk menyetubuhi istri-istrinya, dan ia pun boleh menyetubuhi istri mana saja yang ia kehendaki. Apabila ia sudah mencampuri seorang di antara istri-istrinya maka talak jatuh pada istri yang belum disetubuhinya.
Menurut pendapat madzhab Syafi’i: jika talak ba’in, maka tertalaklah salah seorang di antara istri-istrinya, dan harus segera ditentukan mana yang ditalaknya. Ia pun tidak boleh menyetubuhi istri-istrinya sebelum ditentukan siapa yang ditalak tersebut, dan yang demikian harus dilakukan sesegera mungkin. Sedangkan jika talaknya raj’i, maka tidak harus ditentukan dengan segera, karena dalam talak raj’i masa ‘iddah mulai dihitung sejak suami menyatakan talak, tidak pada saat menentukan mana di antara istrinya yang ditalak.
Maliki berpendapat: semua istrinya tertalak.
Hambali: suami dilarag menyetubuhi semua istrinya sebelum diadakan undian siapa yang ditalaknya. Istri yang keluar dalam undian tersebut, maka itulah yang tertalak.
Para imam madzab sepakat bahwa apabila suami mengatakan kepada istrinya, “Engkau tertalak separuh talak,” maka jatuhlah talak satu.
Al-Qadhi ‘Abdul Wahhab al-Maliki berpendapat: diriwayatkan dari Dawud bahwa apabila seorang laki-laki mengatakan kepada istrinya, “Engkau tertalak separuh talak” maka hal itu tidak menjatuhkan talak.
Para imam madzab berbeda pendapat tentang suami yang memiliki empat istri mengatakan, “Istriku tertalak”, tetapi tidak menentukan istri mana yang ditalaknya.
Hanafi dan Syafi’i berpendapat: yang tertalak adalah salah satunya, dan suami berhak menjatuhkan talak tersebut kepada istrinya yang mana saja yang ia kehendaki.
Maliki dan hambali mengatakan: semua istrinya tertalak.
Para imam madzhab berbeda pendapat tentang suami lupa tentang jumlah talak yang telah dijatuhkannya.
Hanafi, Syafi’i dan Hambali mengatakan: ditetapkan yang sedikit. Maliki mengatakan dalam pendapatnya yang masyhur: yang dimenangkan adalah jatuh talak tanpa memandang berapa talak yang sudah dijatuhkannya.
Para imam madzhab berbeda pendapat tentang suami yang mengisyaratkan talak dengan satu anggota badan istri yang bersambung dalam keadaan selamat seperti tangan.
Menurut Hanafi: jika diisyaratkan pada salah satu dari lima anggota badan, yaitu muka, kepala, leher, punggung dan kemaluan, maka jatuh talak. Sedangkan jika diisyaratkan dengan satu anggota tubuh yang dapat dipisahkan dalam keadaan selama, seperti gigi, rambut dan kuku, maka tidak jatuh talak.
Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: jatuh talak dengan isyarat pada semua anggota badan yang bercerai, seperti jari-jari.
Adapun jika isyarat dengan anggota badan yang bersambung, seperti rambut, maka tetap jatuh talak juga. Demikian menurut pendapat Maliki dan Syafi’i. Tetapi menurut pendapat Hambali: tidak jatuh talak.
&