Arsip | 23.59

Kehidupan adalah Ajang ujian dan cobaan Allah

9 Jul

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Islam memandang kehidupan dengan kesungguhan serta sikap tanggung jawab. Jika kita memperhatikan pandangan Islam terhadap manusia, kita akan menemukan bahwa kehidupan manusia itu mengalami proses penciptaan yang diawali dengan peristiwa Allah menciptakan Adam dari tanah kemudian menyempurnakannya serta meniupkan kepada manusia sebagian dari ruh-Nya. Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk sujud kepadanya.

“Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama, kecuali iblis. Ia enggan ikut bersama-sama [malaikat] yang sujud itu.” (al-Hijr: 30-32)

Sejak awal kehidupan manusia, Allah telah memberikan keistimewaan lebih kepada species manusia dibanding malaikat atau makhluk lainnya. Keistimewaan pertama terletak pada pemilikan ilmu, akal, kemauan, ikhtiar, dan kemampuan membedakan antara yang baik dan yang buruk. Keistimewaan kedua terletak pada asal-usulnya. Manusia diciptakan dari tanah, darah dan daging. Sebagai implikasinya, manusia diciptakan dengan memiliki syahwat, naluri dan hal-hal yang muncul dari naluri tersebut, yang di antaranya berbentuk kebodohan, pertumpahan darah, kerusakan, kerugian, kemalasan, keluh kesah, dan kerakusan. Allah berfirman:

“….Sesungguhnya manusia itu amat dhalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)

“Demi maasa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih…” (al-‘Ashr: 1-3)

“….Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan [khalifah] di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” (al-Baqarah: 30)

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah.” (al-Ma’aarij: 19-20)

“Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.” (al-‘Aadiyaat: 8)

“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (al-Fajr: 20)

Ayat tersebut menunjukkan naluri ketamakan dan kecintaan manusia pada harta.

“….dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (an-Nisaa’: 28)

Ayat tersebut menunjukkan adanya naluri manusia untuk mengikuti sesuatu yang lebih kuat.

“…..adalah manusia bersifat tergesa-gesa.” (al-Israa: 11)

Ini menunjukkan bahwa manusia itu adalah makhluk yang selalu tergesa-gesa dan cenderung tidak sabar.

“….dan adalah manusia itu sangat kikir.” (al-Israa’: 10)

“Tetapi kamu [orang-orang kafir] memilih kehidupan duniawi.” (al-A’laa: 16)

Sesungguhnya Allah telah memadukan dua keistimewaan manusia tersebut dengan sifat-sifat manusiawi yang berlawanan. Artinya, Allah telah memberikan kemampuan kepada manusia untuk memilih kebaikan atau keburukan. Untuk mengimbangi kekurangan manusia, Allah telah menyertakan pengontrol berupa akal, yang mengingatkan manusia pada syariat dan penyembahan kepada Allah. Pemahaman atas aspek diri, semesta, kehidupan, serta perpadanan dan hubungan saling menyempurnakan antaraspek memerlukan perenungan deskriptif kehidupan dari al-Qur’an. Dengan demikian, Islam telah menjadikan kehidupan duniawi sebagai ajang ujian dan cobaan yang harus dilalui manusia untuk mencapai kehidupan kekal di akhirat kelak. Di akhiratlah manusia akan dihisab, apakah kenikmatan atau kebinasaan yang akan di alaminya.

&

Keimanan adalah Salah Satu Landasan Pendidikan

9 Jul

Peranan Aqidah Islam dalam Pendidikan Awal
Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat; Abdurrahman An-Nahlawi

Aqidah adalah konsep-konsep yang diimani manusia sehingga seluruh perilaku dan perbuatannya bersumber pada konsepsi tersebut. Aqidah Islam dijabarkan melalui rukun-rukun iman dan berbagai cabangnya seperti tauhid uluhiyah atau penjauhan diri dari perbuatan syirik. Aqidah Islam pun dikaitkan pada keimanan atas yang ghaib, rasul, kitab-kitab, malaikat, dan hari akhir. Dengan demikian, keimanan merupakan landasan aqidah, bahkan dijadikan sebagai tiang utama untuk bangunan pendidikan Islam. Untuk memahami itu semua, kita mesti memahami hakekat keimanan tersebut beserta urgensi yang dikandungnya.

KEIMANAN: SALAH SATU LANDASAN PENDIDIKAN

1. Pertama, keimanan seseorang pada suatu hal dibuktikan dengan pengakuan bahwa sesuatu itu merupakan kebenaran dan keyakinan. Karenanya tidak lagi mengkhawatirkan adanya perkara lain yang akan mengotori hatinya. Itulah makna keimanan secara etimologi, yakni “membenarkan”. Sedangkan menurut syara’ keimanan adalah suatu perkara yang diakui oleh hati dan dibenarkan dalam amaliah.

2. Jika keimanan seseorang telah kuat, segala tindak tanduk orang itu akan didasarkann pada pikiran-pikiran yang telah dibenarkannya dan hatinya pun akan tenteram. Perilakunya senantiasa akan didasarkan pada landasan yang kokoh dan kuat sehingga dapat dijadikan pegangan dan tumpuan ketenteraman. Dia tidak akan mengerjakan suatu perbuatan yang tidak sejalan dengan segala pengertian yang terkandung dalam keimanan. Keimanan yang benar merupakan landasan yang kokoh bagi konsep pendidikan yang mantap dan hasilnya berkualitas tinggi.

Dengan bekal keimanan, insan mukmin akan memiliki perilaku istimewa karena hidupnya dilengkapi sistem, hukum, tatanan, dan keharmonisan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sistem pendidikan yang berpijak pada dasar-dasar keimanan akan mendatangkan hasil yang lebih berkualitas, lahir maupun batin, jika dibandingkan dengan pendidikan yang hanya mementingkan segi lahiriah, tanpa landasan keimanan. Kerena pendidikan yang tidak berlandaskan pada keimanan tidak memiliki alur dan tujuan yang jelas. Artinya, pendidikan tersebut dapat tampil bersama-sama setan atau, lain waktu, tampil bersama-sama penguasa. Tidaklah mengherankan jika sistem pendidikan tersebut menjerumuskan penganutnya pada perbuatan yang kapan saja bisa berubah karena tidak ada pegangan pikiran atau keyakinan.

3. Ketiga, pendidikan yang di dalamnya terdapat pembenaran dan keyakinan, kadang-kadang dijalankan secara tidak tepat. Dalam beberapa bentuk kepercayaan, misalnya animisme, keyakinan terhadap sesuatu dibangun atas dasar kurafat atau dongeng-dongeng. Melihat kenyataan tersebut, tampaknya seorang mukmin memerlukan pengontrol yang dapat memelihara daya fikir atau pola fikirnya dari pengaruh keyakinan yang dikotori kurafat atau dongeng-dongeng. Dengan upaya tersebut, segala perkara yang diimani itu harus benar dan shahih.

Ketika mengajak pada keimanan atau keyakinan, al-Qur’an menyentuh akal manusia. Melalui sentuhan itu, manusia diajak mengimani segala yang wajib diimani melalui argumentasi dan penalaran konkret untuk menunjukkan obyek yang harus diimani. Misalnya saja, ketika akan menjelaskan cabang-cabang aqidah, al-Qur’an mengawalinya dengan penunjukkan atas kebesaran Allah. Unsur-unsur keimanan yang shahih adalah unsur yang dipegang pada argumentasi yang shahih serta diterima oleh fitrah dan akal sehat. Dari sana lahirlah integritas dan keserasian antaraspek kepribadian manusia, aspek populasi manusia, aspek peradaban, aspek ilmu pengetahuan, aspek politik, dan aspek kehidupan manusia.

4. Keempat, melalui ketundukan perilaku, jalan hidup, dan hubungan antarindividu pada keimanan yang shahih, kehidupan kelompok individu pun akan teratur dan istiqamah. Melalui pemikiran yang memiliki satu tujuan yang benar, terutama dalam persoalan spiritual dan ketuhanan, mereka akan tersimpul menjadi umat yang berperadaban homogen dan sejalan dengan aqidah Islam. Kesamaan aqidahlah yang akan menggerakkan kehidupan setiap individu sehingga tercapailah keserasian antara peradaban umat dan sistem sosialnya dengan jalan hidup anggota masyarakat. Dalam umat seperti ini terdapat kesempurnaan hidup psikologis yang shahih dan interaksi sosial yang sehat sehingga masyarakat mukmin menjadi bangunan yang sebagiannya menguatkan bagian yang lain. Kaum mukmin menjadi seperti satu tubuh. Jika sebuah anggota mengeluh, anggota lainnya ikut meradang dan demam. Demikianlah, pendidikan sosial yang berpusat pada keimanan akan melahirkan masyarakat yang kuat, berperadaban, stabil, dan sehat dari segala penyakit dan penyimpangan.

Dalam pandangan Islam, rukun iman merupakan kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Setiap orang yang jelas-jelas mengingkari salah satunya atau salah satu dari ketetapan al-Qur’an, leburlah amalan keimanannya pada rukun iman yang lain. Hal ini membuktikan bahwa rukun iman merupakan mata rantai yang bersatu dan Islam merupakan bangunan pikiran yang bagian-bagian nya jalin menjalin.

Keimanan seseorang akan runtuh atau rusak jika salah satu rukun imannya hilang. Karena itu orang yang senantiasa mengikuti ayat-ayat al-Qur’an dan menuturkan ihwal keimanan akan memandang bahwa fondasi sistem Islam adalah keimanan yang jelas dan khas. Dengan demikian, sistem pendidikan yang menyepelekan salah satu rukun iman merupakan pendidikan yang cacat dan tidak berguna.

Pada hakekatnya, seperti yang difirmankan dalam awal surah al-Baqarah, Allah swt. menjadikan kandungan al-Qur’an sebagai pentunjuk orang-orang yang beriman, terutama keimanan pada hal-hal yang ghaib. Dalam al-Qur’an keghaiban dimutlakkan pada segala hal yang tidak ter-indera, tetapi wajib diimani. Artinya orang-orang yang tidak mengimani sesuatu yang ghaib, dia tidak akan memperoleh petunjuk al-Qur’an dan Allah pun tidak akan menerima keislamannya. Logikanya, bagaimana mungkin orang yan tidak beriman kepada Yang menurunkan al-Qur’an dapat mengamalkan berbagai ajaran yang dikandungnya; atau bagaimana mungkin orang yang tidak beriman kepada malaikat, terutama Jibril yang membawa al-Qur’an ke dalam hati Muhammad saw., dapat dikatakan beriman kepada al-Qur’an? Kemudian bagaimana mungkin orang yang tidak meyakini bahwa Muhammad saw diberi tugas oleh Allah untuk menyampaikan ajaran al-Qur’an dan diberi tugas sebagai pengaman syariat Allah dapat mengikuti berbagai ajaran al-Qur’an?

Dari gambaran di atas kita menemukan bahwa rukun iman merupakan mata rantai yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Sebuah mata rantai tidak berguna tanpa mata rantai lainnya. Demikianlah, betapa pentingnya keimanan bagi pendidikan generasi yang sehat dan benar serta masyarakat yang kuat dan kokoh.

a. Beriman kepada Allah: sebuah konsep ketuhanan
b. Beriman kepada malaikat
c. Beriman kepada kitab yang diturunkan Allah
d. Beriman kepada para rasul
e. Beriman kepada hari akhir
f. Beriman kepada takdir Allah

&

Orang yang Hidup Sederhana dan Menggali Sumur Dijanjikan Masuk Surga Tanpa Hisab

9 Jul

At-Tadzkirah Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Telah mengabarkan secara ijazah kepada kami, Ibnu Rawah, dia berkata: telah menceritakan kepada kami, as-Salafi, dia berkata: telah mengabarkan kepada kami Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Musa bin Mardawaih bin Faurak bin Ja’far, dengan dibacakan di hadapannya, sedang aku mendengarkannya di Isfahan tahun 491, dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Abul Qasim Ali bin Umar bin Ishaq bin Ibrahim al-Asdibadzi al-hamadzani dengan dibacakan di hadapannya, pada bulan Sya’ban 409, dia berkata: telah mengabarkan kepada kami, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Ishaq bin as-Sunni al-Hafidz dia berkata: Telah mengabarkan kepadaku, Abu Abdillah al-Husain bin Muhammad al-Mathiqi dia berkata: Telah menceritakan kepada kami, Abu Bakar bin Zanjawaih, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai’ah, dari Darraj, dari Abu Juhairah, dari Abu Hurairah ra, dia berkata, Rasulullah saw. bersabda,

“Ada tiga golongan yang masuk surga tanpa hisab: orang yang mencuci pakaiannya, maka ia tidak punya gantinya; orang yang sama sekali tidak pernah memasang di atas perapiaannya dua buah periuk; dan orang yang diajak minum, tapi tidak dikatakan kepadanya, ‘Mana yang kamu sukai.?’”

Sedangkan menurut Ibnu Mas’ud:
“Barangsiapa menggali sumur di tanah kosong, atas dorongan iman dan mengharap pahala Allah, dia masuk surga tanpa hisab.”

&

Pencabutan Nyawa Manusia dalam Perbedaan Tempat pada Waktu yang Sama

9 Jul

At-Tadzkirah Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Jika ada yang bertanya, “Bagaimana cara menggabungkan ayat-ayat tersebut di atas, dan bagaimana cara malaikat Maut mencabut dalam satu waktu beberapa nyawa manusia yang meninggal di timur dan barat?”

Jawabannya, bahwa kata “tawaffaa” adalah berasal dari “Tawaffaitu addaina” dan “Istaufaitu ad-daina” artinya: saya memegang [menerima] hutang tanpa menyisakan sedikitpun darinya. Dan terkadang kata “tawaffaa” dikaitkan dengan malaikat Maut, karena dialah yang melakukan langsung pekerjaan ini; terkadang dikaitkan dengang para pembantunya, karena merekalah yang akan melaksanakannya; dan terkadang dikaitkan dengan Allah swt, karena Dia-lah hakekatnya yang mematikan, sebagaimana firman-Nya:

“Allah memegang jiwa [orang] ketika matinya.” (az-Zumar: 42)
“Dan Dia-lah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu.” (al-Hajj: 66)
“[Allah] Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu.” (al-Mulk: 2)

Jadi, malaikat yang disuruh melakukan pekerjaan, pada hakekatnya dia hanya melaksanakan apa yang diperintahkan Allah.

Al-Kalabi mengatkan: “Malaikat Maut mencabut nyawa dari jasad, lalu menyerahkannya kepada malaikat Rahmat, jika yang dicabut itu nyawa seorang mukmin. Dan jika nyawa yang kafir maka dia serahkan kepada Malaikat Adzab. Pengertian inilah yang diterangkan dalam sebuah hadits al-Bara’.

Dalam sebuah khabar dari Nabi saw dinyatakan, “Sesungguhnya Malaikat Maut memanggil roh-roh, sebagaimana seorang dari kamu sekalian memanggil anak kudanya, atau anak sapihan kudanya, “Hai, kemarilah. Hai kemarilah!” (Penulis tidak mengenal hadits ini)

Pada khabar tersebut di atas Nabi saw. menyatakan yang maksudnya, “Bahwa malaikat Maut itu memanggil roh orang-orang yang akan dimatikan dan dicabut oleh Allah swt.”

Dan dalam khabar lainnya, bahwa Malaikat Maut duduk. Di hadapannya ada lembaran tempat menulis ajal orang itu di malam nisfu Sya’ban, yaitu malam untuk segala urusan yang penting-penting dijelaskan, seperti rizki dan ajal manusia, menurut pendapat sebagian ulama, seperti Ikrimah dan lainnya. Tapi yang benar, malam dijelaskannya urusan yang penting-penting adalah lailatul Qadar, yaitu menurut pendapat Qatadah, al-Hasan, Mujahid dan lain-lain. Pendapat kedua ini berdasarkan firman Allah yang artinya:

“Haa miim. Demi kitab [al-Qur’an] yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya [al-Qur’an] pada suatu malam yang diberkahi.” (ad-Dukkhan: 1-3) yakni Lailatul Qadar.

Ini jelas. Tetapi menurut Ibnu Abas bahwa Allah membuat keputusan-keputusan di malam Nisfu Sya’ban, lalu menyerahkannya kepada para malaikat yang akan mengurusnya di malam lailatul Qadar. Berarti Ibnu Abbas menggabungkan antara dua pendapat. wallaaHu a’lam.

Syahdan, apabila usia orang yang akan dicabut nyawanya telah habis, maka gugurlah dari Sidratul Muntaha selembar daun dimana nama orang itu tertulis. Daun itu gugur dan jatuh persis pada lembaran yang ada di tangan Malaikat Maut tadi. Dengan demikian maka diketahuilah bahwa umurnya telah habis, ajalnya telah tiba, dan jatah makanannya telah terputus.

Dan menurut khabar lagi, bahwa Malaikat Maut ada di bawah Arsy, dan lembaran-lembaran orang-orang yang akan mati berjatuhan kepadanya. Adapun yang dimaksud dengan lembaran-lembaran itu adalah daun-daun Sidratul Muntaha. wallaaHu a’lam.

Demikianlah, sebagaimana dikatakan dalam khabar sebelumnya, apabila malaikat Maut melihat seseorang rizkinya sudah habis dan makanannya telah terputus, maka dia tampakkan kepadanya sakaratul maut, sehingga diliputi berbagai kesusahan.

Tersebut pula dalam khabar tentang Isra’, dari Ibnu Abbas, dari Nabi saw, beliau bercerita, “Aku melewati malaikat lainnya sedang duduk di atas kursi. Dan ternyata dunia dengan segala penghuninya itu berada di antara kedua lututnya. Di tangan malaikat itu ada sebuah lauh [papan] tertulis, yang dia pandangi terus tanpa menengok ke kanan-kiri. Maka aku bertanya, ‘Hai Jibril, siapa ini?’ Jibril menjawab, ‘Ini malaikat Maut.’
Aku menegurnya, ‘Hai malaikat Maut, bagaimana kamu dapat mencabut nyawa orang di muka bumi, di darat maupun di laut?’
‘Tidakkah kamu lihat,’ kata malaikat Maut, ‘Bahwa dunia ini seluruhnya ada di antar kedua lututku, semua makhluk ada di depan mataku, dan kedua tanganku bisa mencapai timur dan barat. Apabila ajal seseorang manusia telah habis, maka aku memandang kepadanya. Dan apabila aku memandang kepadanya maka para pembantuku tahu bahwa orang itu akan dicabut nyawanya. Ketika nyawa telah mencapai tenggorokan, maka aku melihat hal itu, dan tidak ada satupun urusan orang itu yang samar bagiku. Aku ulurkan tanganku untuk mencabut nyawa dari jasadnyaa. Dan urusan pencabutan nyawa berikutnya adalah terserah kepadaku.’”

Dalam sebuah khabar lainnya dinyatakan, bahwa kepada orang yang akan mati itu didatangi empat malaikat, ada yang menarik nyawanya dari kaki kanannya, ada yang menariknya dari kaki kiri, ada yang menariknya dari tangan kanannya, ada yang menariknya dari tangan kiri. Demikian disebutkan oleh Abu Hamd (Kebanyakan apa yang dikatakan oleh Abu Hamid perlu ditinjau kembali dari segi keotentikan khabar-khabar yang disampaikannya).

Dikatakan pula oleh Abu Hamid, “Dan boleh jadi, sebelum nyawanya sampai ke tenggorokan, orang yang akan mati itu disingkapkan di hadapannya alam malakut, sehingga dia melihat para malaikat, apa yang sebenarnya mereka lakukan, dan dimana tempat masing-masing di alam mereka. jika lidahnyanya lancar, maka bisa menceritakan kehadiran mereka. dan bisa juga menceritakan kembali kepada dirinya sendiri tentang apa yang dia lihat. Dia menyangka bahwa itu semua perbuatan setan, dan oleh karenanya dia diam saja, yakni ketika lidahnya tampak kelu. Padahal pada saat itu para malaikat sedang menarik nyawanya dari ujung-ujung dan pucuk-pucuk jari. Dan yang terjadi selanjutnya adalah, bahwa nyawa itu tercerai dari tubuh bagai terpisahnya kotoran air dari gelas.

Adapun orang jahat, nyawanya dicabut dengan cara seperti sebatang besi pemanggang daging dihunus dari ulungan kain wol yang basah. Sebagaimana diceritakan oleh Pembawa Syariat saw. oleh karena itu, orang jahat yang akan mati merasakan perutnya dipenuhi duri. Seakan-akan bernafas lewat lubang jarum, dan langit menangkup dengan bumi, sedang dia dihimpit di antara keduanya. dan manakala nyawanya telah sampai jantung, maka matilah lidahnya, tidak bisa berbicara. Dalam keadaan seperti ini [yakni saat nafas telah terhimpun dalam dada] maka siapapun tidak sanggup berbicara. Hal ini dikarenakan adanya dua rahasia:

1. pertama, karena peristiwa ini adalah peristiwa terbesar dalam hidup manusia, sehingga dadanya terasa sesak oleh nafas yang terhimpun di sana. Bukankah kamu lihat, jika seseorang dipukul dadanya, maka dia gelagapan bahkan terkadang tidak bisa berbicara. Siapa pun, kalau dipukul bagian tubuhnya yang mana saja, dia masih bisa berteriak. Namun jika sudah dihantam bagian dadanya, dia akan jatuh tersungkur tanpa bersuara.

2. kedua, karena dalam tubuhnya sedang terjadi getaran suara yang cepat, terdorong oleh panas naluriah. Maka nafas menjadi terdesak naik dan dingin, karena kehilangan panas. Di saat seperti inilah keadaan masing-masing orang yang akan meninggal dunia berbeda-beda. Ada di antaranya merasakan seolah ditusuk malaikat dengan tombak beracun, atau diberi minuman racun dari neraka, sehingga nyawanya mengalir deras dan melimpah keluar, lalu diambil oleh Malaikat Maut dengan tangannya. Sementara nyawanya itu sendiri bergetar bagaikan air raksa seukuran belalang dalam wujud manusia, kemudian diterima oleh para malaikat juru siksa [Zabaniyah].

Dan ada pula orang meninggal dunia nyawanya ditarik perlahan, sehingga terputsat di tenggorokan. Kemudian ditarik kembali, sehingga tidak ada yang tersisa di tenggorokan kecuali cabang yang tersambung dengan jantung. Dan ketika itu barulah Malaikat Maut menusuknya dengan tombak sebagaimana tersebut di atas.

Penulis, syaikh al-Qurthubi ra mengatakan, “Saya tidak pernah mendapatkan kata tombak disebut-sebut dalam khabar-khabar, kecuali yang dikatakan oleh Abu Nu’aim al-Hafidz.”
Bahwa Abu Nu’aim bercerita dari Ahmad bin Abdullah bin Mahmud, dari Muhammad bin Ahmad bin Yahya, dari Salaham bin Syabib, dari al-Walid bin Muslim, dari Tsaur bin Yazid, dari Khalid bin Ma’dan, dari Mu’adz bin Jabal ra, “Sesungguhnya Malaikat Maut ‘alaihissalam mempunyai tombak [yang panjangnya] mencapai jarak antara timur dan barat. Apabila ajal seseorang di dunia telah habis, maka malaikat Maut memukul kepalanya dengan tombak itu seraya berkata, “Sekarang kamu akan diajak berkunjung ke rombongan orang-orang mati.” (Isnadnya dlaif: Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [5/214], sebagaimana dinyatakan dalam at-Tahrir al-Murasakh [329])

Sedang menurut riwayat Sulaiman bin Mahir al-Kilabi, dari Malik bin Anas, dia ditanya oleh seseorang, “Hai Abu Abdullah, apakah yang mencabut nyawa kutu-kutu juga Malaikat Maut?”
Malik menunduk lama, kemudian balik bertanya, “Apakah kutu-kutu itu juga punya roh?”
“Ya,” jawab orang itu. Maka Malik menegaskan, “Malaikat Maut juga mencabut nyawa mereka.” sesuai dengan firman-Nya: “Allah memegang nyawa-nyawa ketika matinya.” (az-Zumar: 42)
Demikian disebutkan oleh al-Khatib Abu Bakar ra.

&

Nasib Nyawa Orang Kafir

9 Jul

At-Tadzkirah Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Adapun nyawa orang kafir, maka dicabut secara paksa. Oleh karena itu, mukanya seketika berubah menjadi seperti orang yang memakan buah labu pahit, sementara malaikat berkata, “Keluarlah hai nyawa yang busuk, dari jasad yang busuk.” Maka berteriaklah si kafir itu sekeras-kerasnya, lebih keras dari teriakan keledai.

Dan apabila Izra’il telah mencabutnya, maka dia serahkan nyawa si kafir itu kepada para malaikat juru siksa (Zabaniyah) yang berwajah buruk, berbaju hitam dan berbau busuk. Di tangan mereka ada kain kasar dari rambut. Mereka membungkus nyawa itu di dalamnya, maka berubah menjadi sesosok manusia seukuran belalang. Padahal orang kafir itu sebenarnya lebih besar tubuhnya daripada orang mukmin. Maksudnya, besar tubuhnya kelak di akhirat, sebagaimana diriwayatkan dalam kitab shahih, “Bahwa geraham orang kafir di neraka adalah sebesar gunung Uhud.” (Shahih Muslim [2851])

Selanjutnya nyawa orang kafir itu dibawa naik sampai langit terendah, lalu ketua rombongan malaikat yang bertugas membawanya mengetuk pintu, maka ditanya, “Siapa kamu?”
“Aku Daqyail,” jawab malaikat itu. Daqyail adalah nama ketua rombongan yang memimpin para malaikat juru-siksa.
“Siapakah yang kamu bawa?” tanya penjaga pintu.
“Fulan bin Fulan.” Jawab Daqyail, dia menyebut nama terburuk dari orang yang dibawanya, dan yang paling dibencinya di dunia.
Kata penjaga pintu, “Tidak ada ucapan selamat datang baginya, dan tidak ada ucapan ahlan wa sahlan,” sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an: “Sekali-sekali tidak dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit, dan tidak [pula] mereka masuk surga.” (al-A’raaf: 40)

Ketika Daqya’il mendengar perkataan tersebut, maka dia buang nyawa dari tangannya. Begitulah kiranya yang difirmankan oleh Allah Azza wa Jalla: “Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah dia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (al-Hajj: 31)

Ketika nyawa itu sampai ke bumi, para malaikat Zabaniyah segera menangkapnya dan membawanya ke Sijjin, yaitu sebuah batu besar tempat kembali roh orang-orang jahat.

Adapun orang-orang Nasrani dan Yahudi, mereka ditolak dari Kursi lalu dikembalikan ke kuburan mereka. ini apabila mereka masih mengikuti syariat masing-masing. Karena dengan mengikuti syariatnya, berarti nyawa mereka sempat menyaksikan pemandian maupun penguburan jasadnya sendiri.

Sedangkan orang-orang musyrik, dia sama sekali tidak sampai menyaksikan peristiwa tersebut, karena dia dijatuhkan.

Adapun orang-orang munafik, dia seperti orang kedua tadi, ditolak dalam keadaan dimurkai dan diusir, lalu dikembalikan ke lubang kuburnya.

Sedangkan orang-orang mukmin yang lalai, mereka berbeda-beda nasibnya. Di antara mereka ada yang ditolak justru oleh shalat yang telah dilakukannya. Karena orang yang melalaikan shalat dan tidak melakukannya dengan sempurna adalah seperti pencuri. Di waktu itu shalatnya dilipat seperti kain usang, lalu dihantamkan ke wajahnya. Sesudah itu shalat itu sendiri naik seraya berkata, “Semoga Allah menyia-nyiakan kamu, sebagaimana kamu telah menyia-nyiakanku.” (Dlaif: Dlaif al-Jami’ [301] karya al-Albani)

Ada yang ditolak oleh zakatnya sendiri, karena dia berzakat hanya karena ingin dikatakan, “Fulan suka bersedekah.”

Dan ada yang ditolak oleh puasanya, karena hanya berpuasa dari makan saja, dan tidak berpuasa dari perkataan, yakni perkataan keji dan semua perkara yang merugikan. Maka dari itu bulan Ramadlan muncul lalu memalingkannya.

Ada pula yang ditolak oleh hajinya, karena dia berhaji hanya supaya dikatakan, “Fulan itu haji.” Atau dia berhaji dari harta yang kotor.

Dan ada juga yang ditolak karena kedurhakaannya, atau karena amal kebajikan lainnya, yang hanya diketahui oleh para ulama yang mengerti rahasia-rahasia muamalah dan bagaimana cara membersihkan amal, yang semestinya dilakukan semata-mata karena Allah, Raja Yang Maha Pemberi.

Ketika nyawa telah dikembalikan lagi kepada jasad, dan dia dapati jasadnya telah diangkat untuk dimandikan, maka apabila telah hampir usai dimandikan, dia duduk di kepalanya, sampai kepala itu dimandikan.

Saat mayit itu sudah dimasukkan ke dalam kafan, maka nyawa itu menempel pada dada dari luar kain. Ia berteriak keras-keras, “Cepatlah kalian bawa aku kepada rahmat Allah, yakni rahmat yang andaikan kalian tahu maka aku bawa aku menuju kepadanya.”

Setelah diberitahu akan bernasib celaka, maka ia berkata, “Perlahankanlah kalian, jangan cepat-cepat membawaku pada adzab, yang andaikan kalian tahu, betapa dahsyat adzab yang kalian bawa aku menuju kepadanya.”

Ketika dimasukkan ke dalam liang kubur lalu ditimbun tanah, maka kubur itu berseru kepadanya, “Dulu kamu bersenang-senang di atas punggungku, sekarang kamu bersedih di dalam perutku. Dulu kamu makan bermacam-macam makanan, sekarang kamu menjadi makanan ulat dan cacing dalam perutku.” Dan masih banyak lagi kata-kata kecaman lainnya sampai tanah diratakan. Lalu datanglah seorang malaikat yang bernama Malaikat Ruman memanggilnya. Dia adalah malaikat yang pertama-tama menemui mayit apabila telah dimasukkan ke dalam kubu. &

Kemana Perginya Roh dan Bagaimana Keadaannya Setelah Keluar dari Tubuh

9 Jul

At-Tadzkirah Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Abu al-Hasan al-Qabisi ra berkata, Madzab yang shahih yang menjadi pegangan Ahlus sunnah wal jama’ah ialah, bahwa roh itu –setelah keluar dari tubuhnya- diangkat oleh para malaikat, sampai dihadapkan kepada Allah swt, lalu Allah menanyainya. Jika roh itu tergolong ke dalam mereka yang mendapat kebahagiaan, maka Allah menitahkan, “Bawalah dia, dan perlihatkan kepadanya bakal tempatnya dalam surga.” Maka para malaikat membawanya masuk ke surga selagi jasadnya dimandikan.

Jika jasad orang itu telah dimandikan dan dikafani, maka rohnya dikembalikan dan dimasukkan di antara jasad dan kafannya. Oleh karena itu, ketika jasadnya dibawa di atas keranda, dia dapat mendengar perkataan orang-orang; yang baik maupun yang buruk. Dan apabila dishalati dan sampai di kuburan, maka roh itu dikembalikan lagi, dan orang itu didudukkan sebagai manusia yang bernyawa dan berjasad. Kemudian dua malaikat datang menemuinya untuk mengujinya, sebagaimana akan diterangkan nanti.”

Dari Amr bin Dinar, dia berkata, “Tidaklah seseorang meninggal dunia, melainkan rohnya ada di tangan malaikat. Mayit itu melihat bagaimana jasad dirinya dimandikan, bagaimana dikafani, dan bagaimana dia dibawa berjalan. Lalu dia duduk dalam kuburnya.”

Abu Hamid berkata dalam kitabnya, Kasyf Ulum al-Akhirat, “Apabila Malaikat Maut telah mencabut nyawa seseorang yang mendapat kebahagiaan, maka nyawa itu dibawa oleh dua malaikat yang berwajah rupawan, berpakaian indah, dan beraroma harum. Mereka membungkusnya dalam kain sutra surga seukuran batang pohon kurma. Sosoknya tetap sebagai manusia yang tidak hilang akalnya maupun ilmunya yang telah diperolehnya di dunia.

Para malaikat membawa nyawa itu naik ke angkasa. Selama dalam perjalanan, nyawa itu melewati umat-umat yang telah lalu dan generasi-generasi yang telah lampau bagaikan belalang yang tersebar, hingga akhirnya mencapai langit terendah. Maka ketua rombongan mengetuk pintu, lalu ditanya, “Siapakah kamu?”

Dia menjawab, “Aku Shalsha’il, dan ini yang kubawa adalah Fulan.” Sambil menyebut namanya yang terbaik dan yang paling disukainya. Maka penjaga pintu berkata, “Sebaik-baik orang adalah Fulan, karena dia tidak ragu dalam keyakinannya.”

Kemudian sampailah rombongan di langit kedua, lalu malaikat itu mengetuk pintu, dan ditanya, “Siapakah kamu?” maka dijawab seperti tadi. Para penjaga pintu berkata, “Selamat datang Fulan, aHlan wa saHlan, dia selalu menjaga shalatnya dengan semua kewajibannya.”

Kemudian lewatlah mereka hingga sampai di langit ketiga, lalu malaikat itu mengetuk pintu, dan ditanya, “Siapakah kamu?” ketua rombongan menjawab seperti jawaban pertama dan kedua. Maka para penjaga pintu mengucapkan, “Selamat datang, Fulan. Dia selalu memperhatikan perintah Allah mengenai kewajiban hartanya, dan tidak kikir sedikitpun.”

Kemudian mereka meneruskan hingga sampai di langit keempat, lalu ketua rombongan mengetuk pintu dan ditanya, “Siapa kamu?” maka dia menjawab seperti jawaban tadi dan mendapat sambutan, “Selamat datang Fulan. Dia telah berpuasa sebaik-baiknya dan menjaganya dari perkataan-perkataan kotor dan makanan yang haram.”

Kemudian sampailah mereka di langit kelima, lalu ketua rombongan mengetuk pintu dan ditanya, “Siapakah kamu?” Maka dia jawab seperti tadi juga dan mendapat sambutan, “Selamat datang, Fulan. Dia telah menunaikan haji wajib, tanpa dibarengi sum’ah [kewibawaan] dan riya’.”

Kemudian sampai di langit keenam, ketua rombongan itu mengetuk pintu dan ditanya, “Siapakah kamu?” maka dia jawab seperti tadi dan mendapat sambutan, “Selamat datang, orang yang shalih, jiwa yang baik, dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya,” lalu pintu dibukakan untuknya.

Akhirnya sampai di langit ketujuh, ketua rombongan mengetuk pintu, dan ditanya, “Siapakah kamu?” Maka dia jawab seperti tadi, dan mendapat sambutan, “Selamat datang, Fulan. Dia banyak beristighfar saat dini hari, bersedekah secara diam-diam, dan menjamin anak-anak yatim.” Lalu dibukakan pintu.

Kemudian lewatlah rombongan itu, hingga tiba di Suradiqat al-Jalal (kemah-kemah keagungan), ketua rombongan mengetuk pintu, dan ditanya, “Siapa kamu?” Maka dia jawab seperti tadi juga, dan mendapat sambutan, “Selamat datang, ahlan wa sahlan, hamba yang shalih dan jiwa yang baik. Dia banyak beristighfar, beramar ma’ruf dan nahi munkar, dan memuliakan orang-orang miskin.”

Dan mereka terus berjalan dan bertemu dengan para malaikat, semuanya senang menerima kedatangannya dan menyalaminya. Sehingga sampailah di Sidratul Muntaha, lalu ketua rombongan mengetuk pintu, dan ditanya, “Siapa kamu?” Maka dia jawab seperti tadi, dan mendapat sambutan, “Selamat datang Fulan, ahlan wa sahlan. Amalnya shalih, ikhlas semata-mata karena Allah.” Lalu dibukakan pintu.

Kemudian mereka melewati lautan api, melewati lautan cahaya, melewati lautan kegelapan, melewati lautan es, lalu melewati lautan embun. Lautan-lautan itu panjangnya masing-masing seribu tahun perjalanan. Kemudian mereka menembus hijab yang terpasang pada ‘Arsy Tuhan Yang Maha Pengasih. Hijab-hijab itu sebanyak 80.000 kemah, yang mempunyai beberapa balkon. Pada masing-masing kemah ada 80.000 balkon. Di atas setiap balkon ada 80.000 bulan. Mereka semua bertahlil kepada Allah, bertasbih dan mensucikan-Nya. Andaikan salah satu dari bulan-bulan itu muncul ke langit dunia [yang terendah], niscaya dia disembah sebagai tuhan selain Allah, dan niscaya akan membakar cahaya langit.

Ketika itulah ada panggilan dari hadirat Allah lewat belakang kemah-kemah itu, “Nyawa siapakah yang kalian bawa?” Maka dijawab, “Fulan bin Fulan.”

Selanjutnya Allah Yang Maha Agung bertitah, “Dekatkan dia. kamu adalah sebaik-baik hamba hai hamba-Ku.”

Dan ketika nyawa itu dihadapkan di hadirat-Nya, dia merasa malu dikarenakan beberapa perbuatan tercela dan hina anag telah diperbuatnya, sehingga dia mengira dirinya pasti binasa. Namun Allah memaafkannya.” (Untuk memastikan kebenaran perkataan ini diperlukan isnad yang shahih)

Demikianlah sebagaimana diriwayatkan dari Yahya bin Aktsum al-Qadhi, bahwasannya dia ditampakkan dalam mimpinya setelah meninggalnya. Maka dia ditanya, “Apa yang Allah lakukan terhadapmu?”
“Dia menyuruhku menghadap ke hadirat-Nya.” jawab Yahya menerangkan. Kemudian berfirman, “Hai orang tua buruk! Kamu telah melakukan begini dan begini.”
Aku berkata, “Wahai Tuhanku, bukan begitu yang telah Engkau ceritakan mengenai diri-Mu?”

“Jadi apa yang telah Aku ceritakan mengenai diri-Ku hai Yahya?” tanya Tuhan. Aku jawab, “Telah cerita kepadaku az-Zuhri, dari Ma’mar, dari Urwah, dari Aisyah, dari Nabi saw. dari Jibril, dari Engkau Yang Mahasuci, bahwa Engkau berfirman, “Sesungguhnya Aku malu menyiksa orang yang telah berubah dalam Islam.”

Maka Dia berfirman, “Hai Yahya, kamu benar. Benar pula az-Zuhri, Ma’mar, Urwah, Aisyah, Muhammad, dan Jibril. Dan sungguh, Aku Aku ampuni kamu.”

Dan dari Ibnu Nabatah, ketika dia ditampakkan dalam mimpi, dia ditanya, “Apakah yang dilakukan Allah terhadap dirimu?”
“Allah telah menyuruh aku menghadap kehadirat-Nya.” jawab Ibnu Nabatah menerangkan. Lalu Dia berfirman, “Kamu orang yang lancar bicara, sampai orang mengatakan, ‘Alangkah fasihnya dia.’” Maka aku katakan, “Maha suci Engkau. Sesungguhnya aku telah menyifati Engkau.”
Allah berfirman, “Katakan apa yang kamu katakan di dunia.”
Aku berkata, “Mereka dihancurkan Tuhan Yang telah menciptakan mereka. mereka dibikin diam oleh Tuhan Yang telah membuat mereka bicara. Dan Tuhan akan mengadakan mereka kemari, sebagaimana Dia telah meniadakan mereka dan Dia akan menghimpun mereka kembali, sebagaimana Dia telah memisahkan mereka.”
Maka Allah berfirman kepadaku, “Kamu benar, pergilah. Sesungguhnya Aku benar-benar telah mengampuni kamu.”

Dan dari Manshur bin Ammar, bahwa dia ditammpakkan dalam mimpi, maka ditanya, “Apa yang Allah lakukan terhadapmu?”
“Dia menyuruh aku menghadap ke hadirat-Nya,” jawab Manshur menerangkan. “Lalu berfirman kepadaku, “Bawa apa kamu datang kepada-Ku, hai Manshur?’”
“Membawa tiga puluh enam kali haji,” jawabku.
Tapi Dia menolak, “Tidak ada yang Aku terima, satu pun.” Tegas-Nya. Kemudian Dia bertanya pula, “Bawa apa lagi kamu datang kepada-Ku, hai Manshur?”
“Membawa 360 kali khatam al-Qur’an,” jawabku.
Namun Dia menolak juga. Kemudian Dia bertanya pula, “Bawa apa lagi kamu datang kepada-Ku hai Manshur?”
Aku menjawab, “Aku datang kepada-Mu membawa Engkau.”
Allah swt berfirman, “Sekarang, barulah kamu benar-benar datang kepada-Ku. Pergilah, Aku telah mengampunimu.”

Di antara manusia ada yang ketika baru sampai di Kursi sudah mendengar seruan, “Tolak dia.” dan ada pula yang ditolak ketika baru akan sampai di wilayah hijab-hijab tadi. Adapun yang sampai kepada Allah swt hanyalah orang-orang yang mengenal-Nya.

&

Cara Mati yang Berbeda-beda Bagi Masing-Masing Orang

9 Jul

At-Tadzkirah Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Allah swt telah menceritakan dalam kitab-Nya cara mematikan manusia, adakalanya secara global, dan terkadan secara rinci. Seperti firman-Nya:

“Orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat.” (an-Nahl: 32)
“Katakanlah: Malaikat maut yang diserahi untuk [mencabut nyawa]mu akan mematikan kamu.” (as-Sajdah: 11)
“Dia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya.” (al-An’am: 61)
“Orang-orang yang dimatikan oleh para malaikat dalam keadaan berbuat dhalim kepada diri mereka sendiri.” (an-Nahl: 28)

Ayat-ayat di atas semuanya menceritakan secara garis besar bagaimana cara Allah Ta’ala mematikan manusia. Ayat-ayat itu kemudian diterangkan lebih lanjut oleh Rasulullah saw. dalam hadits-haditsnya. Sedangkan dalam ayat lain Allah berfirman yang artinya:

“Andaikan kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir, seraya memukul muka dan punggung mereka.” (al-Anfaal: 50)
“Bagaimanakah [keadaan mereka] apabila malaikat [maut] mencabut nyawa mereka, seraya memukul muka mereka dan punggung mereka?” (Muhammad: 27)

Kedua ayat ini khusus membicarakan tentang matinya orang-orang kafir yang terbunuh dalam perang Badar, menurut versi yang disepakati oleh para ahli ta’wil, sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama kita, meskipun ada perbedaan pendapat, seperti al-Mahdawi misalnya. Dia mengatakan bahwa orang-orang kafir sampai sekarang pun masih tetap dimatikan dengan dipukul dan dihinakan. wallaaHu a’lam.

Sementara itu Muslim meriwayatkan dalam sebuah hadits yang panjang, Abu Zamil bercerita dari Ibnu Abbas ra, dia berkata, “Tatkala ada seorang laki-laki dari kaum Muslimin berupaya keras mengejar seorang lelaki dari kaum musyrikin yang ada di depannya, tiba-tiba ia mendengar suara pukulan cambuk di angkasa dan suara seorang penunggang kuda berseru, “Cepatlah, hai Haizum!!” tiba-tiba ia melihat orang musyrik yang ada di depannya tadi telah roboh terlentang. Dia memeriksanya, ternyata telah terpotong hidungnya dan terbelah mukanya, akibat pukulan cambuk. Maka orang-orang menyaksikan peristiwa itu semuanya. Lalu seorang shahabat Anshar menemui Rasulullah saw. untuk melaporkan kejadian itu. Maka sabda beliau, “Kamu benar. Itu adalah bantuan dari langit kedua.” (Shahih Muslim [1723])
Pada hari itu kaum muslimin berhasil membunuh sebanyak 70 orang, dan menawan 70 orang lainnya dari kaum musyrikin.” Dan seterusnya, sebagaimana dituturkan oleh Abu Zamil.

Allah swt berfirman yang artinya:
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: “Telah diwahyukan kepada saya”, Padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang yang berkata: “Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah.” Alangkah dahsyatnya Sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang Para Malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawamu” di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.” (al-An’am: 93)

&

Li’an

9 Jul

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Para imam madzab sepakat bahwa suami yang menuduh istrinya berzina [li’an] atau mengingkari janin yang ada di rahim istrinya, dan istrinya pun mengingkari tuduhan suaminya serta suami tidak memiliki bukti, maka ia wajib dikenai had [hukuman]. Ia pun tidak boleh melakukan sumpah li’an untuk menolak hukuman tersebut, yaitu dengan cara bersumpah berulang-ulang empat kali dengan menyebut nama Allah bahwa ia termasuk orang-orang yang benar. Kemudian pada kali kelima ia bersumpah bahwa Allah akan menimpakan laknat-Nya kepadanya jika ia berdusta. Jika ia sudah melakukan sumpah demikian maka istrinya wajib dikenai had. Tetapi ia boleh menolak had tersebut dengan sumpah li’an juga, yaitu ia bersaksi dengan nama Allah sebanyak empat kali bahwa ia tidak termasuk orang-orang yang benar.

Jika suaminya menolak untuk bersumpah li’an, ia dikenai had. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Namun menurut pendapat Syafi’i: jika ia menolak maka dihukumi fasik. Sedangkan menurut pendapat Maliki: suami tersebut tidak dipandang fasih hingga ia dikenai had.

Hanafi berpendapat: suami tidak dikenai had, tetapi ia dipenjara hingga mau bersumpah li’an atau mengakui ketidakbenaran tuduhan itu.

Apabila istri menolak bersumpah li’an maka ia pun harus dipenjarakan hingga mau bersumpah li’an atau mengakui tuduhan suaminya. Demikian menurut pendapat Hanafi dan menurut pendapat Hambali dalam riwayatnya yang paling jelas.
Maliki dan Syafi’i mengatakan: istri tersebut wajib dikenai had.

Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai apakah li’an itu boleh dilakukan oleh pasangan suami istri yang merdeka atau budak adil atau fasik, keduanya atau salah satunya?
Maliki: setiap orang Islam yang sah talaknya, maka sah pula li’annya, baik ia seorang yang merdeka ataupun budak, baik ia seorang yang adil maupun fasik.

Syafi’i dan Hambali berpendapat seperti pendapat Malik di atas. Namun, Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa bagi seorang kafir tidak diperbolehkan talak dan li’an. Menurut penapat Maliki pun demikian, sebab pernikahan orang kafir tidak sah, maka tidak sah pula li’annya.

Hanafi berpendapat: li’an adalah suatu kesaksian. Apabila ia menuduh zina, sedangkan ia sendiri tidak termasuk orang-orang yang bisa diterima kesaksiannya, maka ia dikenai had.

Para imam madzhab berbeda pendapat, apakah sah li’an untuk mengingkari bahwa kandungan istrinya itu bukan dari dirinya sebelum istrinya melahirkan? Menurut Hanafi dan Hambali: apabila seorang suami mengingkari kandungan istrinya maka tidak diadakan li’an di antara keduanya, dan tidak diputuskan bahwa kandungan itu bukan darinya. Jika ia menuduh istrinya dengan terang telah berzina maka ia harus bersumpah li’an lantaran tuduhannya itu, tetapi anak yang dikandung tetap dinasabkan kepadanya, baik anak itu dilahirkan dalam masa kandungan enam bulan maupun kurang dari itu.

Menurut Maliki dan Syafi’i: suami boleh melakukan li’an untuk mengingkari anak yang ada dalam kandungan istrinya. Namun Maliki mensyaratkan supaya masa suci istri dijadikan tiga kali haid atau satu kali haid saja berdasarkan perbedaan pendapat yang ada di antara ulama pengikutnya, yaitu untuk mengetahui istrinya mengandung atau tidak.
Para imam madzhab sepakat bahwa li’an dapat menceraikan antara suam dan istri.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang dengan apa perceraian tersebut bisa terjadi? Maliki berpendapat: perceraian itu tidak dapat terjadi hanya dengan li’an tanpa adanya ketetapan dari hakim. Artinya, harus ada penetapan hakim. Seperti ini juga salah satu riwayat dari Hambali. Sedangkan Hanafi dan Hambali dalam riwayat yang lain mengatakan: perceraian itu belum berlaku sebelum istrinya melakukan li’an dan hakim menetapkan perceraian, yaitu hakim mengatakan, “Aku ceraikan di antara kalian berdua.”

Syafi’i berpendapat: talak jatuh cukup dengan li’an suami, sebagaimana terjadi pengingkaran nasab dengan li’an saja. namun li’an istri dapat menggugurkan had atasnya.

Para imam madzhab berbeda pendapat, apakah perceraian yang disebabkan li’an dapat dicabut karena suami mendustai dirinya? Hanafi: dapat dicabut. Oleh karena itu jika suami mendustakan dirinya maka ia harus dicambuk dengan kulit, dan setelah itu ia diperbolehkan menikahi istrinya lagi. Demikian juga menurut salah satu riwayat dari Hambali.

Sedangkan menurut Maliki, Syafi’i dan riwayat lain dari Hambali yang lebih jelas: ia merupakan perceraian yang tetap, yang tidak dapat dicabut kembali.

Para imam madzhab berbeda pendapat apakah perceraian karena li’an dihukumi fasakh atau talak? Hanafi: ia merupakan talak ba’in. Maliki, Syafi’i dan Hambali: ia merupakan fasakh.

Apabila talak karena li’an dihukumi talak maka keharaman untuk dinikahi kembali tidak selama-lamanya, dan jika ia berbohong atas dirinya dalam menuduh zina kepada istrinya maka ia diperbolehkan menikahinya lagi.

Menurut Maliki dan Syafi’i: ia merupakan keharaman yang permanen, sebagaimana haram karena sepersusuan yang haram permanen. Demikian juga pendapat ‘Umar, Ali, Ibn Mas’ud, Ibn ‘Umar, ‘Atha’, az-Zuhri, al-Awza’i dan ats-Tsawri.

Sa’id bin al-Jubair berpendapat: li’an ini hanya mengharamkan bersenang-senang dengan istri. Oleh karena itu apabila suami berbohong maka hilanglah keharaman itu, dan kembalilah istri kepadanya jika masih dalam masa ‘iddah.

Apabila seseorang menuduh istrinya berzina dengan seorang laki-laki disertai bukti, seperti orang mengatakan, “Si Fulan telah berzina denganmu” maka menurut Hanafi dan Maliki: suami hendaknya melakukan li’an terhadap tuduhannya. Jika orang lain dituduh itu menuntut had atas suami tersebut maka hendaknya ia dikenai had. Had itu tidak gugur lantaran li’an yang dilakukan.

Syafi’i dalam masalah ini mempunyai dua pendapat. Pertama, salah seorang di antara mereka wajib dienai had. Inilah pendapatnya yang paling kuat. Kedua, keduanya dikenai had. Jika dalam li’an disebutkan nama orang yang dituduh itu maka menjadi gugur.
Hambali: dikenakan had kepada salah seorang di antara mereka, dan had dapat gugur jika ia melakukan li’an untuk keduanya.

Apabila suami memanggil istrinya: “Hai wanita pezina,” maka ia wajib dikenai had jika tuduhannya tidak disertai dengan bukti. Menurut Maliki: suami tidak dikenai had sehingga ia mengakui bahwa ia telah melihatnya sendiri.
Syafi’i dan Hanafi: ia dapat menolak had dengan li’an-nya itu, meskipun ia tidak menyebutkan telah melihatnya sendiri.

Apabila empat orang bersaksi, dan salah seorang di antara mereka adalah suaminya sendiri, bahwa istrinya telah berzina, maka kesaksian tersebut tidak dapat diterima, dan semuanya dikenai had, kecuali suami yang dapat menggugurkan had-nya dengan li’an. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi: kesaksian mereka dapat diterima, dan istri dikenai had.

Jika istri melakukan li’an sebelum suaminya maka tidak sah li’an-nya. demikian Maliki, Syafi’i dan Hambali. Menurut Hanafi: dapat diterima.

Orang bisu yang mengerti isyarat dan tulisan serta mengerti pula apa yang diucapkan dianggap li’an dan tuduhannya. Demikian halnya dengan istri-istri bisu. Inilah pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi: tidak sah.

Apabila seorang istri telah ditalak ba’in oleh suaminya, lalu suami melihat istrinya berzina dalam masa ‘iddahnya, maka suami boleh melakukan li’an. Begitu juga jika ternyata istrinya hamil sesudah talak. Demikian pendapat Maliki.

Syafi’i: jika telah nyata istrinya hamil atau melahirkan maka suaminya boleh melakukan li’an. Sedangkan jika tidak demikian, maka suami tidak boleh melakukan li’an. Hanafi dan Hambali mengatakan: suami tidak dibolehkan melakukan li’an sama sekali.

Apabila seorang perempuan bersuami dan ia ditalak suami sesudah terjadi akad, sebelum ada kemungkinan untuk menyetubuhinya, kemudian setelah enam bulan sesudah akad lahir anak istrinya, maka anak tersebut tidak dinasabkan kepada mantan suaminya. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Begitu juga jika ia melahirkan anak sebelum usia pernikahan mencapai enam bulan.

Hanafi: apabila akad tersebut dilakukan di depan hakim, lalu istri ditalak sesudah akad, kemudian melahirkan anak sesudah enam bulan dari akad, maka anak dinasabkan kepada suaminya meskipun tidak ada kemungkinan untuk bersetubuh. Sedangkan jika lebih dari enam bulan atau kurang, tidak dinasabkan kepadanya. Karena jika anak tersebut lahir setelah lewat enam bulan, jelas anak tersebut terjadi sesudah talak tiga dijatuhkan, maka anak tidak jelas dinasabkan kepadanya. Sedangkan jika anak tersebut lahir sebelum enam bulan maka ia terjadinya sebelum akad, dan ia tidak dinasabkan kepada suami ibunya.

Hanafi berkata: seorang istri bersuami dengan seseorang, lalu suaminya pergi keluar negeri selama beberapa tahun. Kemudian, datang kabar tentang kematian suaminya. Maka ia terus ber’iddah. Setelah itu menikah lagi dengan orang lain dan melahirkan anak dari suami kedua. Tiba-tiba datang suami pertama. dalam hal ini anak dinasabkan kepada suami yang pertama.

Menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali: anak itu dinasabkan kepada suaminya yang kedua.
Hanafi mengatakan lagi: seorang perempuan yang berada di barat menikah dengan pria yang berada di timur. Sesudah enam bulan, istri melahirkan anak. Dalam hal ini anak tersebut dinasabkan kepada pasangan suami istri tersebut, meskipun jarak antara keduanya tidak memungkinkan bertemu, tetapi ada akad.

&

Ila’

9 Jul

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Ila’ adalah suami bersumpah untuk tidak mendekati istrinya.
Para imam madzab sepakat bahwa bersumpah dengan nama Allah untuk tidak menyetubuhi istrinya selama empat bulan lebih, maka ia dihukumi sebagai orang yang bersumpah ila’ [muli’]. Sedangkan jika kurang dari empat bulan, maka tidak dihukumi sebagai muli’.

Para imam madzhab berbeda pendapat apabila suami bersumpah dalam masa empat bulan, apakah dapat dikatakan ila’?
Hanafi berpendapat: benar, dipandang sebagai ila’. Diriwayatkan seperti ini juga pendapat Hambali. Sedangkan Maliki, Syafi’i dan Hambali dalam riwayat lainnya mengatakan: tidak dipandang sebagai ila’.

Apabila telah lewat empat bulan, apakah dengan lewatnya masa itu terjadi talak atau tidak? Maliki, Syafi’i, dan Hambali mengatakan: tidak langsung terjadi talak, tetapi suami tersebut disuruh untuk rujuk kembali dengan istrinya atau menalaknya. Hanafi berpendapat: dengan lewatnya masa empat bulan maka terjadi talak.

Para imam madzab yang berpendapat bahwa suami disuruh memilih antara kembali atau mentalaknya berbeda pendapat tentang suami yang bersumpah ila’ tersebut menolak untuk menalakya, apakah dijatuhkan talaknya oleh hakim? Menurut pendapat Maliki dan Hambali: dijatuhkan talak atasnya oleh hakim. Dari Hambali dirperoleh riwayat lain, yaitu bahwa suami tersebut terus didesak sehingga menjatuhkan talaknya.
Syafi’i mempunyai dua pendapat: pertama, hakim harus menjatuhkan talaknya. Inilah pendapat yang paling kuat. Kedua, hakim hanya berkewajiban mendesak suami itu.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang seseorang bersumpah ila’ tidak menggunakan nama Allah, melainkan dengan menggunakan lafadz seperti talak, memerdekakan, menyedekahkan harta, dan menunaikan peribadatan, apakah orang tersebut dapat dihukumi telah melakukan ila’?

Hanafi berpendapat: ia dihukumi bersumpah ila’, baik ia maksudkan untuk memelaratkan istrinya maupun berniat untuk menghindarkan istrinya dari kemelaratan, seperti istrinya menyusui atau menderita sakit.

Maliki berpendapat: suami tersebut tidak dihukumi bersumpah ila’ kecuali ia bersumpah dalam keadaan marah atau bermaksud untuk memelaratkan istrinya, maka ia tidak dihukumi bersumpah ila’.
Hambali berpendapat: suami tersebut tidak dihukumi bersumpah ila’ kecuali jika ia bermaksud untuk memelaratkan istrinya.
Syafi’i mempunyai dua pendapat, yang shahih adalah sebagaimana pendapat Hanafi.

Apabila orang yang bersumpah ila’ tersebut kembali lagi kepada istrinya, maka ia dikenai kafarah sumpah dengan nama Allah. Demikian menurut kesepakatan pendapat para imam madzhab kecuali qaul qadim Syafi’i.

Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai suami yang tidak mau menyetubuhi istrinya dengan maksud untuk menyusahkannya selama lebih dari empat bulan, tetapi tidak menggunakan sumpah. Apakah orang tersebut dapat dihukumi orang yang telah bersumpah ila’?

Hanafi dan Syafi’i mengatakan: tidak dapat dihukumi telah bersumpah ila’.
Maliki dan Hambali dalam salah satu riwayatnya mengatakan: dihukumi telah bersumpah ila’.
Para imam madzhab berbeda pendapat tentang ila’ orang kafir, apakah sah hukumnya?

Maliki berpendapat tidak sah. Hanafi, Syafi’i dan Hambali mengatakan sah, dan kegunaannya dituntut untuk memenuhi peraturan ila’ sesudah ia masuk Islam.

&

Dhihar

9 Jul

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Para imam madzab sepakat bahwa seorang muslim apabila berkata kepada istrinya: “Engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku” maka ia dihukumi telah mendhihar istrinya. Dengan demikian ia tidak boleh menyetubuhi istrinya sehingga membayar kafarah, yaitu memerdekakan seorang budak jika ada. Jika tidak ada maka ia wajib berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu maka ia diwajibkan memberi makan enam puluh orang miskin.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang dhihar orang dzimmi. Hanafi dan Maliki mengatakan: tidak sah. Syafi’i dan Hambali mengatakan: sah.
Tidak sa dhihar seorang tuan atas budak perempuannya. Demikian menurut pendapat para imam madzhab kecuali Maliki.

Para imam madzhab berbeda pendapat dalam masalah seseorang yang mengatakan kepada istrinya, “Engkau haram bagiku.” Hanafi berpendapat: jika diniatkan talak maka terjadilah talak. Jika diniatkan talak tiga maka jatuh talak tiga. Jika diniatkan talak satu atau dua maka tajuh satu talak ba’in. Jika dimaksudkan untuk mengharamkan istrinya tanpa diniatkan apa-apa maka tidak dianggap sumpah, dan dipandang ia sebagai orang yang bersumpah ila’. Jika ia membiarkan istrinya lebih dan empat bulan maka jatuhlah talak ba’in. Jika diniatkan dhihar maka ia dihukumi sebagai orang yang mendhihar istrinya. Jika diniatkan sumpah maka jadilah sumpah. Terserah pada niatnya, berapa ia kehendaki, satu atau lebih, baik istri tersebut sudah disetubuhi ataupun belum.

Maliki berpendapat: hal demikian dihukumi sebagai talak tiga jika istri tersebut sudah disetubuhi. Sedangkan jika belum disetubuhi maka jatuh talak satu.
Syafi’i: jika diniatkan talak atau dhihar maka ia dihukumi sesuai dengan yang diniatkannya. Jika diniatkan sumpah maka tidak jadi sumpah, tetapi ia dikenai kafarah sumpah.

Adapun jika tidak diniatkan apa-apa maka dalam hal ini Syafi’i mempunyai dua pendapat. Pertama, ia tidak dikenai kewajiban apa-apa, inilah pendapat yang paling shahih. Kedua, ia dikenai kafarah sumpah.

Dari Hambali diperoleh tiga riwayat. Pertama, pendapat yang dipandang paling kuat adalah jelas ucapan tersebut adalah dhihar, baik diniatkan dhihar maupun tidak, dan ia dikenai kafarah dhihar. Kedua, hal tersebut dianggap sumpah, dan ia dikenai kafarah sumpah. Ketiga, hal demikian dihukumi sebagai talak.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang seseorang yang mengharamkan makanan dan minumannya. Hanafi dan Hambali mengatakan: orang tersebut dihukumi bersumpah. Ia dikenai kafarah jika melanggar sumpahnya. Ia bisa dianggap melanggar sumpah meskipun hanya makan atau minum sebagiannya, tidak seluruhnya.

Syafi’i: jika ia mengharamkan makanan, minuman atau pakaian maka tidak apa-apa. Ia tidak dikenai kafarat apa-apa jika melanggarnya.

Para imam madzhab berbeda pendapat apakah diharamkan orang yang mendhihar istrinya untuk mencium dan menyetebuhi dengan syahwat? Hanafi dan Maliki mengatakan: haram. Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan qaul jadid menyatakan boleh.
Dari hambali diperoleh dua riwayat, dan yang lebih jelas adalah mengharamkan.

Para imam madzhab berbeda pendapat, apakah orang yang sedang melakukan puasa kafarah dhihar, menyetubuhi istrinya pada dua bulan itu, baik siang maupun malam, karena lupa ataupun disengaja. Menurut Hanafi, Maliki, dan Hambali dalam salah satu riwayatnya yang jelas: puasa harus dimulai kembali dari awal. Syafi’i: jika menyetubuhinya pada malam hari, tidak diharuskan mengulanginya kembali secara mutlak. Sedangkan jika menyetubuhinya pada siang hari dan dengan sengaja, maka batal puasanya dan harus diulang kembali dari awal, karena ada nash al-Qur’an yang menyatakan demikian.

Para imam madzhab sepakat bahwa tidak dibolehkan menyetubuhi istri yang telah didhihar sehingga dibayar kafaratnya, dan kafarat dhihar tidak boleh diberikan kepada kafir harbi.

Para imam madzhab berbeda pendapat, jika kafarah dhihar tersebut diberikan kepada kafir dzimmi. Hanafi: boleh. Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan tidak boleh.

Jika seorang istri mengatakan kepada suaminya, “Engkau bagiku seperti punggung ayahku.” Maka ia tidak dikenai kafarat apa-apa. Demikian menurut pendapat yang disepakati oleh para imam madzhab kecuali menurut riwayat al-Khiraqi dari Hambali: istri tersebut wajib memberikan kafarah. Pendapat ini yang dipilih oleh al-Khiraqi sendiri.

&