Arsip | 01.16

Beriman Kepada Allah adalah Sebuah Konsep Ketuhanan

10 Jul

Beriman Kepada Allah adalah Sebuah Konsep Ketuhanan
Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat; Abdurrahman An-Nahlawi

Penyerahan diri dan keyakinan akan adanya Allah serta keberadaan-Nya sebagai Pencipta alam semesta ini belumlah dapat dikatakan sebagai aqidah yang memadai dan dapat menyelamatkan kita dari adzab Allah. Kaum kafir Quraisy pun mempunyai keyakinan seperti itu. Dan ternyata Allah memandang mereka sebagai orang-orang yang berpaling dari seruan Islam. Lewat firman-Nya Allah mencela keberpalingan mereka dari keyakinan bahwa Allah adalah Pencipta langit dan bumi, misalnya “….maka betapa mereka [dapat] dipalingkan [dari jalanyang benar].” (al-Ankabuut: 61)

Pada dasarnya, keimanan kepada Allah swt. harus mencakup tiga konsep atau unsur dasar, yaitu:
1. Mengetahui dan memahami konsep ketuhanan. Konsep inilah yang ditolak oleh kaum musyrikin karena mereka tidak mau menisbatkan ketuhanan kepada Allah Yang Maha Esa dan menolak menghilangkan tuhan-tuhan lain dalam konsep peribadatan mereka.
2. Menetapkan konsep ketuhanan hanya kepada Allah Yang Mahamulia lagi Mahaagung.
3. Meniadakan konsep ketuhanan kepada selain Allah.

Agama-agama di luar Islam memiliki deskripsi ketuhanan yang salah, tidak lengkap, atau terkontaminasi oleh penyerupaan, reinkarnasi, dan proses keturunan. Satu-satunya kitab yang berisi penyempurnaan deskripsi tentang ketuhanan adalah al-Qur’an. Abu A’la al-Maududi menyimpulkan konsep ketuhanan al-Qur’an itu lewat bukunya al-Hadharah al-Islaminyah, halaman 138-139:

1. Pertama, yang menjadi Tuhan itu hanyalah Yang menjadi tempat bergantung, Yang Hidup, Yang Kekal, Yang tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, Yang berasal dari azali sehingga tiada sesuatu pun sebelumnya; Dia kekal untuk selamanya sehingga tiada sesuatu sesudah-Nya; pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu, rahmat-Nya menyelimuti segala sesuatu, kekuatan-Nya mendominasi segala sesuatu, hikmah-Nya Mahasuci dari segala kekurangan, dan keadilan-Nya Mahasuci dari segala kecacatan, Dia Mahakuasa, Dia Pembuat syariat dan Dia Hakim yang mutlak, Yang memberi kehidupan, Yang menyiapkan segala sebab dan sarananya, Yang memiliki segala kekuatan baik untuk memberi manfaat maupun mudlarat. Semua pihak selain Dia membutuhkan pemberian-Nya serta memerlukan penjagaan dan pemeliharaan-Nya. Kepada Dialah tempat kembali segala makhluk. Dialah yang menghisab dan membalas setiap perilaku pihak selain Dia.

2. Kedua, di dalam al-Qur’an, selain terdapat deskripsi ketuhanan yang shahih, sempurna, dan jelas, melalui kata-kata yang sangat kuat berupa dalil penguat dan aneka metode penjelasan yang terarah, terdapat juga petunjuk bahwa di alam semesta ini tiada suatu kekuatan atau perkara pun yang dapat menuju deskripsi ketuhanan tersebut karena segala yang ada di alam ini tunduk kepada-Nya dan tidak dapat berdiri sendiri. Segala yang ada di alam semesta ini tidak kekal selamanya dan tidak mampu menolak kemudlaratan yang ada pada dirinya. Sesuatu yang mendorong lahirnya perilaku bukan berasal dari dirinya sendiri dan kekuatan yang mendorongnya bisa eksis atau melakukan sesuatu merupakan pengaruh dari pihak lain. Jika demikian, bagaimana mungkin ia memberikan manfaat kepada orang lain?

3. Ketiga, al-Qur’an telah meniadakan deskripsi ketuhanan dari segala perkara yang ada di alam semesta. Dengan demikian, al-Qur’an hanya menetapkan konsep ketuhanan kepada Dzat Yang Maha Satu, yaitu Allah swt. Al-Qur’an menuntut manusia untuk hanya mengimani Allah Yang Satu. Tidak boleh bersujud kecuali kepada Allah, tidak boleh mengagugkan kecuali mengagungkan-Nya, tidak boleh berserah diri kecuali kepada-Nya. Manusia harus meyakini seyakin-yakinnya, hanya kepada Allah-lah dirinya akan kembali. hanya di hadapan Allah lah dirinya akan dihisab. Dan hanya bergantung pada qadla Allah lah kesudahan baik atau buruknya.

Gambaran konkretnya bisa kita lihat dari perjuangan bangsa Arab atau bangsa lain yang belum mengetahui konsep ketuhanan. Mereka berusaha mengubah perilaku dan mendidik dirinya sendiri sesuai dengan tuntunan konsep ketuhanan. Dengan demikian, Allah telah mengganti bumi mereka dengan bumi yang berbeda dan alam yang mereka taklukkan pun bukan alam yang ada sebelumnya. Hasilnya, lewat kegigihan mereka untuk berubah, mereka telah mengeluarkan manusia dari kedhaliman para thaghut menuju keadilan Allah dan syariat-Nya. Mereka telah mengangkat manusia dari kebohongan dan kurafat. Mereka menjunjung tinggi seluruh ajaran dan kebenaran Islam. Sekarang kita dapat melihat mukjizat yang ditunjukkan Allah bagi orang-orang yang bertauhid. Allah telah memberikan kekuatan kepada umat Islam untuk menaklukkan kejahiliahan dan mengokohkan peradabannya di muka bumi. Maka dalam sejarah peradaban manusia, tercatatlah kekokohan peradaban Islam.

Pada hakekatnya, tauhid telah menata kehidupan psikologis manusia sekaligus menyatukan tendensi, fikiran, dan tujuan hidupnya. Selain itu, segala perasaan, perilaku, dan kebiasaan manusia dijadikan kekuatan yang saling mendukung dan menunjang sehingga semuanya tertuju pada perwujudan yang satu, yaitu ketundukan kepada Allah Yang Maha Esa dengan segala kekuasaan dan sifat-Nya yang dilengkapi dengan kesamaan perasaan ketuhanan dan kasih sayang dalam diri manusia.

Setiap sifat ketuhanan yang fundamental membiasi kehidupan psikologis manusia. Dengan demikian, dia tidak akan memiliki kebahagiaan, keistiqamahan, dan kontrol diri kecuali terkait konsep-konsep ketuhanan yang selaras. Berikut ini ada beberapa gambaran yang dapat memperjelas hal itu:

1. Pertama, sesuai fitrahnya, manusia itu cenderung pada kemakmuran, kecintaan kepada kekekalan, dan bekerja untuk kehidupan duniawi yang semuanya disertai dengan kontrol diri. Ditinjau dari segi kesenangan, fitrah tersebut berpadanan dengan optimisme terhadap rahmat dan surga Allah. Kontrol diri dan keteraturan berpadanan dengan keabadian dan kekekalan Allah serta kefanaan kehidupan dunia. Dengan demikian, wajar jika kita melihat seorang mukmin yang akan bekerja dengan sungguh-sungguh, optimisme, dan penuh harapan. Masalahnya ia menganggap, dunia ini ladang yang hasilnya dapat kita petik di akhirat kelak tanpa menghilangkan perenungan terhadap kematian. Dia tidak mengabaikan akan turunnya berbagai musibah yang harus dia hadapi dengan keikhlasan dan kenikmatan berjumpa dengan Rabbnya.

2. Kedua, manusia itu mempunyai ketamakan dan kecintaan pada kekayaan. Yang kita lihat dari seorang mukmin adalah penggunaan kekayaan dengan tetap menyadari bahwa kekayaan itu adalah titipan Allah dan segala perkara yang ada pada alam semesta ini adalah milik Allah. Dengan demikian, seorang mukmin akan mengembangkan hartanya tanpa menjadikan hatinya sebagai budak kekayaan. Jika kekayaannya ternyata diperlukan untuk kemaslahatan umat, dia tidak segan-segan mendermakan harta karena dia sangat meyakini bahwa Allah Yang Maha Segalanya adalah Pemberi rizky dan Pemilik kekuasaan Yang Mahaperkasa. Dengan demikian seorang mukmin harus menyikapi kecintaannya kepada kedudukan, keinginannya pada wanita, keinginannya atau kecintaannya kepada anak, serta berbagai penyaluran aspek psikologis lainnya melalui perenungan atas ke-Mahasegalaan Allah. Yang jelas, seorang mukmin sejati memiliki keistimewaan berupa kemuliaan diri untuk tidak diperbudak kekayaan, kedudukan, atau thaghut lainnya.

3. Al-Qur’an telah menjelaskan keutamaan aqidah tauhid dalam mewujudkan intregitas diri manusia, di antaranya adalah:
“Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (az-Zumar: 29)

Ayat di atas mengisyaratkan perbedaan antara budak yang dimiliki oleh seorang laki-laki dan budak yang dimiliki oleh sekumpulan orang yang berserikat. Dalam kondisi pertama, budak tersebut hidup dalam satu perintah atau keinginan sehingga kehidupannya pun tidak kacau oleh banyaknya orang yang menyuruhnya dengan keinginan yang berbeda-beda. Dia akan merasa hidup istiqamah dan hidup dalam satu pola. Sebaliknya dalam kondisi kedua apalagi jika dibumbui dengan perselisihan, seorang budak akan menemukan hidupnya dalam kegamangan dan kekhawatiran.

Demikian halnya hidup seorang musyrik. Melalui fitrahnya, dia memahami keagungan Allah, tetapi dalam hidupnya dia menyekutukan tuhan lain bersama Allah. Maka kita akan menemukan mereka dalam kemunafikan, menuhankan hawa nafsu, atau diperbudak harta. Kadang-kadang diapun terlalu asyik menikmati kehidupan duniawi sehingga lupa pada perenungan tentang kematian atau akan datangnya musibah. Sehingga ketika menghadapi musibah dia akan tampil dalam kegamangan. Dia tidak memiliki Tuhan Yang Satu, Yang dalam kekuasann-Nya lah segala perkara akan terselesaikan.

Dari gambaran di atas, jelaslah untuk mewujudkan dampak edukatif melalui keimanan kepada Tuhan Yang Satu, seluruh sistim pendidikan harus bersumber kepada keesaan Allah swt beserta seluruh aspeknya. Misalnya saja, kajian atas alam semesta [Ilmu Pengetahuan Alam] harus ditujukan untuk menghadirkan keagungan Allah Yang Maha Pencipta, Yang Memiliki alam semesta, Yang Hidup, Yang Abadi, serta yang mengatur segala aktifitas alam semesta. Pelajaran bahasa harus merupakan sarana menghadirkan konsep bahwa Allah akan menghisab tujuan kita berbahasa. Apakah kemampuan berbahasa yang kita miliki itu digunakan untuk memutar balikkan fakta, membela diri ketika salah, atau untuk berbagai kemanfaatan? Hal seperti ini harus dilakukan dalam mata pelajaran lainnya. Jelasnya, pemberian seluruh pelajaran harus memiliki tujuan yang satu, yaitu menyatukan umat Islam di bawah panji ketuhanan dan ketauhidan.

4. Keempat, aqidah tauhid dan keimanan kepada Allah mendidik akal manusia agar berpandangan luas, gemar meneliti alam semesta, dan semangat mencari hikmah di balik hal-hal yang terlihat. Segala perkara yang ada di alam semesta ini, baik yang terlihat maupun tidak, adalah milik Allah. Dan segala yang ada baik yang besar maupun kecil, bertasbih memuji Allah dan mempersaksikan keagungan-Nya. sesungguhnya Al-Qur’an memerintahkan kita untuk merenungkan semua itu, merenungkan penciptaan langit, bumi, lautan, sungai dan lain-lain. Tidak ada satu perkara pun yang luput dari perhatian Allah. “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya….” (al-An’am: 59)

5. Kelima, aqidah tauhid mendidik manusia untuk tawadlu dan tidak ekstrim. Dia tidak tertipu oleh sifat-sifat kemanusiannya. Jika dia menemukan gejala bahwa dirinya akan tertipu oleh kekuatan dan kemampuan dirinya, dia segera ingat bahwa Allah-lah yang berhak menunjukkan kekuasaan dan menghidupkan dan mematikan manusia sehingga terhindarlah dia dari perbuatan mendhalimi atau jahat kepada orang lain. Jika dia menemukan dirinya akan tertipu oleh kekayaan yang dapat menjerumuskan dirinya pada kehidupan berfoya-foya, tinggi hati, atau takabur,

6. Dengan bertauhid dan mengkhususkan segala sifat ketuhanan hanya kepada Allah, manusia akan terhindar dari harapan yang sia-sia. Tidaklah berguna syafaat kecuali dari orang yang diizinkan dan diridlai Allah. Tidak akan ada pertolongan dari hamba yang dekat dengan Allah kecuali akibat amal shalih kita. Allah tidak mengenal kedekatan hubungan kekeluargaan, hubungan orang tua, atau hubungan persahabatan dengan salah satu makhluk. Semua adalah hamba Allah yang akan dihisab sesuai dengan amal perbuatannya. Allah akan membalas dengan kebaikan jika memang perbuatan hambanya baik. Dan sebaliknya.

7. Ketenteraman, harapan, upaya, dan kerja keras merupakan kondisi yang akan dimiliki manusia-manusia yang beriman kepada Allah. Mereka akan merasakan tenteram karena Allah selalu dekat, menerima tobat, mengabulkan doa, dan merahmati kehidupan mereka. untuk itu Allah berfirman:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (al-Baqarah: 186)

“….dan bahwasannya Allah sekali-sekali tidak menganiaya hamba-hamba-Nya.” (Ali ‘Imraan: 182)

“….Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa saja yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu…” (al-A’raaf: 156)

Dengan demikian terdapat keseimbangan antara upaya menjauhi tipu daya dan mempersenjatai diri dengan cita-cita dan harapan. Seorang mukmin akan merasa takut terhadap adzab Allah dan jika terlanjur salah, dia akan senantiasa mengharapkan rahmat Allah. Jika itu terwujud, manusia akan sangat jauh dari keputusasaan, bunuh diri, melarikan diri dari kenyataan, atau melakukan kompensasi dengan obat-obat terlarang atau dengan khamr. Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa putus asa bukanlah sifat orang-orang yang beriman sebagaimana firman Allah:

“… dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (Yusuf: 87)

Jika seorang mukmin tergelincir, dia akan memperbarui tekadnya melalui tobat, istighfar, dan berlindung kepada rahmat Allah sebagaimana firman-Nya:

“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (az-Zumar: 53)

8. Seorang mukmin akan merasakan keterkaitannya dengan Allah, merasa bangga dengan pertolongan-Nya, dan bernaung di bawah panji-Nya. Hanya Allah lah penolong mereka. adakah perkara yang lebih besar daripada keterkaitan dan keterikatan kita dengan Yang Maha Pencipta, Yang merendahkan kaum tiran, serta Pemilik kematian, kehidupan, ba’ats, perkumpulan, dan pembalasan? Firman Allah:

“Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut [agama] Allah itulah yang pasti menang.” (al-Maaidah: 56)

Untuk mensifati kelompok setan, Allah swt berfirman:
“Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka Itulah golongan syaitan. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya golongan syaitan Itulah golongan yang merugi.” (Mujadilah: 19)
“Yang demikian itu karena Sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman dan karena Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai Pelindung.” (Muhammad: 11)

Mensifati kelompok setan merupakan upaya mendidik manusia untuk selalu melawan dengan para pengikut setan atau kejahatan. Kelompok setanlah yang telah menjerumuskan manusia pada kemaksiatan, melupakan Allah, dan memenuhi syahwat. Selain itupun, umat Islam akan bangga dengan keislamannya sehingga terciptalah kondisi yang saling mengasihi dan tolong-menolong di antara mereka. dengan demikian terciptalah kesatuan pandangan manusia atas landasan kebaikan dan keimanan, tanpa fanatisme unsur tertentu atau pengutamaan kepentingan material-imperial yang mengeksploitasi rakyat.

Setiap orang yang beriman kepada Allah adalah kelompok Allah, apapun jenis kelaminnya, rasnya, atau warna kulitnya. Dan setiap orang kafir akan senantiasa memerangi kelompok Allah atau menentang dakwah sehingga bagaimanapun ras dan warna kulitnya, dia jelas-jelas kafir. Orang-orang yang berwali kepada Allah disifati-Nya melalui ayat berikut:

“Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Yunus: 62-63)

Agar rasa bangga terhadap keterkaitan dengan Allah dan kelompok-Nya tetap dalam rangka keimanan kepada Allah, seorang hamba harus berani melawan kelompok setan, menjauhi kaum kafir, dan tidak cenderung kepada mereka. untuk itu Allah berfirman:

“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka Sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (an-Nisaa’: 138-139)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin…” (an-Nisaa’: 144)

Lebi jauh lagi, Allah swt telah menjadikan perwalian dengan-Nya, Rasul-Nya, dan kelompok kaum muslimin berada di atas perwalian orang tua, kerabat, dan orang-orang yang dekat. Sebagaimana firman-Nya ini:

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (at-Taubah: 23)

Konsep-konsep di atas merupakan segi-segi penting dalam pendidikan yang harus menjadi dasar seluruh tujuan pendidikan masyarakat. Seluruh buku acuan, baik itu buku Geografi, Sejarah dan lain-lainnya harus ditinjau ulang menurut landasan tersebut karena perwalian kepada Allah dan kelompok-Nya merupakan kesempurnaan dalam mengesakan dan menyembah-Nya. Sebaliknya, perwalian kita kepada kaum kafir merupakan aspek yang dapat meniadakan ketauhidan.

Kenyataannya dewasa ini, kita menemukan ilmu-ilmu sosial rujukan mayoritas sistem pengajaran di negara-negara Arab, bahkan negara Islam, dibangun atas landasan kekafiran, agnotisme, serta anggapan bahwa negara-negara barat merupakan sentral yang di sekelilingnya berorientasi. Artinya, dari sentral itulah bersumber segala sejarah dunia sehingga periodisasi sejarahpun didasarkan atas landasan dan anggapan barat. Padahal, dalam realita sejarah, Islamlah sumber kebangkitan ilmiah dan peradaban dunia itu.

Untuk itu para cendekiawan Islam mempunyai tugas untuk meninjau ulang penyusunan terminologi ilmu-ilmu sosial menurut realita yang sebenarnya dan berpihak pada kebenaran. Kodifikasi tersebut harus bertitik tolak dari sejarah kenabian dan pasang surutnya akidah tauhid. Pada dasarnya, al-Qur’an pun telah mengisyaratkan hal itu, khususnya ketika al-Qur’an menyajikan berita-berita tentang umat terdahulu.

Menurut konvensi al-Qur’an, sejarah manusia berpusat pada konflik antara wali Allah dan wali setan atau antara kekafiran dan keimanan yang berlangsung sepanjang masa. Penyajian tersebut diarahkan untuk menjadi cermin dan pelajaran sehingga kita mampu menjauhkan diri dari sesuatu yang buruk yang berasal dari kekafiran, kelemahan, dan kejauhan dari Allah. Dengan demikian, terlahirlah manusia-manusia shalih yang memakmurkan bumi dengan keimanan, keadilan, cara hidup yang baik, pengesaan Allah, dan penghambaan diri kepada-Nya. Dengan penyajian seperti itu, pendidikan akan tampil berdasarkan perwalian kepada Allah swt.

&

Hikmah Kependidikan Ibadah

10 Jul

Hikmah pendidikan ibadah
Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Melalui peribadahan, banyak hal yang dapat diperoleh oleh seorang muslim yang kepentingannya bukan hanya mencakup individual, melainkan bersifat luas dan universal. Di antara hikmah pendidikan yang dapat kita ambil adalah:

a. Pertama, dalam konsepsi Islam, melalui ibadah manusia diajari untuk memiliki intensitas kesadaran berfikir. Dilihat dari segi syaratnya, ibadah yang diterima Allah adalah ibadah yang memiliki syarat. Syarat yang dimaksud adalah:
– Keikhlasan dan ketaatan kepada Allah.
– Pelaksanaan ketaatan sesuai dengan cara yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
b. Kedua, dimanapun seorang muslim berada, melalui kegiatan yang ditujukan semata-mata untuk ibadah kepada Allah, ia akan selalu merasa terikat oleh ikatan yang berkesadaran, sistematis, kuat, serta didasarkan atas perasaan jujur dan kepercayaan diri. Dikatakan kesadaran karena pada dasarnya tidak ada ikatan yang luput dari perhatian masyarakat atau dilakukan secara membabi buta.

Sesungguhnya amal ibadah yang dilakukan melalui kerja sama antara seorang muslim dengan muslim lainnya akan melahirkan rasa kebersamaan dan kekuatan yang besar. Selain itu secara pribadi pun, muslim akan merasakan kelezatan dari sikap mengutamakan Allah sebagai sumber. Hasilnya, jika ternyata ikatan itu pecah karena masalah yang prinsipil, setiap individu muslim tidak akan merasakan kehilangan jati diri.

Tanpa bersatu secara lahir, landasan kesamaan akidah akan tetap menyatukan mereka. selain itu, dalam diri seorang muslim, selama dia mampu, selalu tertanam keutamaan beribadah secara berjamaah daripada munfarid. Jika ternyata langkah penyatuan umat Islam mendapatkan hambatan, mereka akan menyatukan hati dan jiwa melalui keimanan sehingga mereka menjadi tubuh dan jiwa yang satu.

c. Ketiga, dalam Islam, ibadah dapat mendidik jiwa seorang muslim untuk merasakan kebanggaan dan kemuliaan kepada Allah. Dia adalah Yang Paling Besar dari segala yang besar dan Paling Agung dari segala yang agung. Dalam kekuasaan Allah-lah kehidupan kaum tirani; Allah dapat menjatuhkan mereka kapanpun Dia kehendaki. Dalam kekuasaan-Nya lah kematian, kehidupan, rizky, kerajaan, keagungan dan kekuasaan. Konsep seperti itulah yang senantiasa diulang-ulang oleh seorang muslim dalam ibadah hariannya hingga ibadah tahunannya. Para khatib pun senantiasa mengulang konsep tersebut dalam ibadah mingguan, shalat Jum’at. Jika rasa bangga tersebut mengakar dalam jiwa umat Islam, dalam kehidupan individual atau dalam kehidupan masyarakatnya, setiap insan akan istiqamah dan senantiasa berada dalam batas-batas yang tetap hingga sirnalah kedhaliman, kecongkakan, eksploitasi, kehinaan, perbudakan, atau rasialisasi. Semua akan berada di bawah kibaran panji Allah.

d. Keempat, ibadah yang terus menerus dilakukan dalam kelompok yang padu, dibawah panji Allah yang satu, dan semuanya bermunajat kepada Rabb yang satu, akan melahirkan rasa kebersamaan sehingga kita terdorong untuk saling kenal, saling menasehati, atau bermusyawarah. Dari situ akan lahir umat Islam yang selalu bermusyawarah dengan dasar kerjasama, persamaan, dan keadilan.

e. Kelima, Sayyid Quthub dalam Manhaj at-Tarbiyat al-Islamiyah hal 39-40, mengatakan bahwa ibadah, seorang muslim akan terdidik untuk memiliki kemampuan dalam melakukan berbagai keutamaan secara konstan dan mutlak. Artinya setiap gerak seorang muslim tidak terbatas pada batasan geografis, bangsa, kepentingan nasional, atau partai yang berkuasa. Jelasnya, pergaulan seorang muslim itu meliputi seluruh manusia. Namun demikian, sebagai konsekuensi dari keyakinan bahwa Allah senantiasa mengawasi hamba-Nya, dimanapun dia berada, seorang muslim tetap sebagai muslim yang berakhlak mulia dan memperhatikan segi kemanusiaan.

f. Keenam, pendidikan yang berdasarkan ibadah dapat membekali manusia dengan muatan kekuatan yang intensitasnya tinggi dan abadi karena semuanya bersumber dari kekuatan Allah, kepercayaan kepada Allah, optimisme yang bersumber dari pertolongan Allah dan pahala surga, serta kesadaran dan cahaya yang bersumber dari Allah. Muatan inilah yang mendorong seorang muslim untuk tampil, memberinya kemampuan yang terus menerus untuk berjuang dan berjihad, serta menyuguhkan kepada manusia kekuatan yang hidup produktif, dan berkesadaran. Setiap muslim harus mempunyai muatan yang dinamis yang dapat menyiagakan kalbu dan menerangi jalan. Dengan demikian maka setiap muslim akan bangkit dari keterpurukannya sekaligus memperoleh cahaya Ilahi ketika sekelilingnya gulita sehingga dia akan menunjukkan segala perbuatan, muamalah dan penyiapan bekal untuk akhiratnya melalui ibadah kepada Allah.

Dalam Islam konsep perbuatan yang digolongkan ibadah sangat jelas, yaitu selama tujuan pelaksanaan perbuatan tersebut diarahkan kepada Allah. Untuk itu Allah berfirman:

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.” (al-Baqarah: 177)

Itulah manhaj ibadah yang ditetapkan Islam. Otomatis, metode dan program pendidikan Islam pun didirikan di atas landasan manhaj yang mengandung kejujuran dan ketakwaan kepada Allah melalui komunikasi yang kekal dengan Allah.

g. Ketujuh, sesungguhnya mendidik seorang muslim dengan ibadah akan mempengaruhi jiwa yang bukan hanya karena di dalamnya ada muatan cahaya, kekuatan, perasaan dan harapan, melainkan karena melalui ibadah seorang muslim memiliki sarana untuk mengekspresikan tobatnya. Dengan tobat itu, kesalahan dan dampak dosa yang dilakukan anggota tubuh akan hilang.

Terjadinya sebuah dosa menunjukkan berpalingnya manusia dari kebenaran, ketaatan, dan ibadah kepada Allah, yang disertai dengan niat dan realisasi untuk tidak kembali melakukan perbuatan dosa tersebut. Melalui tobat, perbuatan dosa itu diganti dengan amal shalih.

Tobat merupakan ekspresi ibadah yang bertumpu pada kesadaran bahwa Allah, dengan segala nikmat, keperkasaan, dan hukum-Nya. Kesadaran itu menuntut adanya penyesalan atas apa yang luput dari kewaspadaan manusia untuk selalu menaati Allah. Lebih jauh lagi, Rasulullah saw. menyunahkan tobat. Setiap hari beliau memohon ampun sebanyak 70 kali setiap selesai shalat fardlu bahkan Allah memerintahkan untuk bertobat:

“…. dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” (an-Nuur: 31)

Allah pun berjanji atas diri-Nya untuk menghapus berbagai kesalahan orang-orang yang bertobat dan mengampuni mereka seperti firman-Nya:

“…Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, [yaitu] bahwa barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertobat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (al-An’am: 54)

Rasulullah saw. mengajarkan bentuk tobat dan istighfar yang baik lewat sayyidul istighfar:
AllaaHumma anta rabbii laa ilaaHa illaa anta, khalaqtanii wa ana ‘abduka, wa ana ‘alaa ‘aHdika wa wa’dika mastatha’tu, a-‘uudzubika min syarri maa shana’tu, abuu-ulaka bini’matika ‘alayya wa abuu-u bidzanbii faghfirlii, innaHuu laa yaghfirudz dzunuuba illaa anta.
(“Ya Allah, Engkau adalah Rabbku, tidak ada Tuhan kecuali Engkau. Engkau telah menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku menepati janjiku kepada-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari perbuatanku yang jahat. Aku mengakui atas nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan aku pun mengakui dosaku. Maka ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau.”

Hal ini diperjelas dengan hadits berikut ini:
“Barangsiapa yang mengucapkannya pada pagi hari dengan yakin, kemudian dia mati pada hari itu, maka ia akan masuk surga. Barangsiapa yang mengucapkannya pada sore hari dengan yakin, kemudian malam harinya meninggal, maka dia akan masuk surga.” (HR Bukhari).

Pakar psikologi, kedokteran, dan kesehatan mental sepakat mengatakan bahwa tobat dapat menyembuhkan berbagai krisis dan penyakit psikologis melalui pengembalian manusia pada adaptasi dengan diri, prinsip-prinsip, idealisme, dan dengan masyarakat muslim. Melalui tobat pun, masyarakat dapat terdidik untuk saling menumbuhkan sikap toleransi antar anggota. Sehubungan dengan konsep toleransi ini, Allah berfirman:

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nuur: 22)

Contoh konkritnya terjadi pada zaman Abu Bakar ash-Shiddiq. Dia pernah bersumpah untuk tidak memberikan shadaqah, yang biasa dia berikan kepada Masthah karena dia telah memfitnah putrinya, ‘Aisyah. Namun setelah ayat tersebut turun, Abu Bakar memaafkannya. Dengan demikian tobat dan permintaan ampun kepada Allah telah mengajari Abu Bakar untuk memaafkan Masthah.

&

Hakekat Ibadah

10 Jul

Hakekat Ibadah
Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Setiap sistem berfikir memerlukan sarana perealisasian atau perwujudan yang dilengkapi dengan penyemangat, usaha, dan gerak anggota tubuh yang sistematis. Jika perwujudan ini dilakukan secara berkelompok, maka setiap kelompok dibentuk berdasarkan usia, intelektual, dan kedudukan seseorang. Dengan demikian, kelompok tersebut dapat selaras dalam hal karakter psikologis, daya intelektual dan kemampuan fisik. Hal di atas membuktikan bahwa dunia manusia itu dunia yang tidak dapat memisahkan tubuh, akal, dan spiritualnya. Konsep seperti itulah yang dewasa ini dianut oleh manusia-manusia modern.

Lebih dari itu, sejak lama, Islam telah memiliki sistem berfikir yang lebih sempurna, bersifat edukatif, dan tidak dapat disamai oleh sistem manapun. Misalnya saja, dalam melakukan olah raga, manusia sekarang lebih menitikberatkan tujuan pada penyia-nyiaan waktu, sebab olah raga dilakukan tanpa mengaitkannya dengan berfikir dan bernalar sehat, apalagi dengan fitrah psikologi manusia. “[yaitu] orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka…” (al-A’raaf: 51)

Dengan kesempurnaan sistem berfikir itu, berbagai ibadah dalam Islam lebih merupakan amal shalih dan latihan spiritual yang berakal dan diikat oleh makna yang hakiki dan bersumber dari fitrah manusia. Pelaksanaan ibadah merupakan pengaturan hidup seorang muslim, baik itu melalui pelaksanaan shalat, pengaturan pola makan tahunan melalui puasa, pengaturan kehidupan sosial ekonomi muslim yang bertanggung jawab melalui zakat, pengaturan atau penghidupan integritas seluruh umat Islam dalam ikatan perasaan sosial melalui haji. Yang jelas, pelaksanaan ibadah telah menyatukan umat Islam dalam satu tujuan, yaitu penghambaan kepada Allah semata serta penerimaan berbagai ajaran Allah, baik itu untuk urusan duniawi maupun ukhrawi. Firman Allah:

“….walaupun kamu membelanjakan semua [kekayaan] yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka…” (al-Anfaal: 162-163)

Setiap detik, menit, jam atau hari yang diisi dengan ibadah oleh seorang muslim, tiada lain, kecuali sebagai hubungan yang abadi antara dirinya dengan Allah sekaligus sebagai penjinak nafsu agar senantiasa tunduk dan patuh kepada Allah. Karena itu seorang muslim bangun pada saat fajar atau tidur setelah isya untuk berdzikir kepada Allah; hanya memakan makanan yang halal dan menahan diri dari makanan yang dilarang oleh Allah; mengeluarkan harta yang wajib dikeluarkan; menyalurkan syahwat sesuai dengan jalan Allah; menahan syahwat yang hina, membahayakan, dan manusia telah dilindungi daripadanya oleh Allah; memasuki rumah, tidur dan kegiatan lainnya selalu disertai doa mengingat Allah; atau berdzikir kepada Allah ketika dianugerahi anak.

&

Aspek Pendidikan Kehidupan Dunia

10 Jul

Aspek Pendidikan Kehidupan Dunia
Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Pemahaman mendalam terhadap kehidupan dunia akan membawa sekaligus mendidik kaum muslimin pada pemahaman berbagai persoalan hidup dan terbiasa untuk hidup positif, terutama untuk hal-hal berikut:

– Pertama, seorang muslim harus berupaya keras menghindarkan tipuan dunia yang dapat melalaikannya dari tujuan penciptaan manusia. Hendaknya ia mengerjakan sesuatu dengan sungguh-sungguh, waspada, bersabar dalam menghadapi bencana, dinamis, serta sering bermuhasabah agar tidak terpaku pada tujuan duniawi.

– Kedua, walaupun harus mengutamakan akhirat, seorang muslim tidak lantas harus menutup diri dari kebaikan dunia. Artinya, fasilitas dunia dia manfaatkan untuk kelancaran ibadah kepada Allah serta mengarahkan segala kenikmatan dunia ini untuk meraih keridlaan Allah.

– Ketiga, dengan pemahaman bahwa dunia ini adalah ajang ujian dan cobaan Allah, seorang muslim hendaknya bersabar dalam menghadapi persoalan dunia. Artinya hidupnya jauh dari rasa putus asa karena di dalam dirinya telah dipersiapkan kesabaran dan perjuangan.

– Keempat, setiap individu atau kelompok manusia harus bersiap diri memerangi musuh yang menghambat berkibarnya kebenaran dan keutamaan. Hendaknya kita tersadarkan bahwa Allah adalah penolong umat yang mewujudkan keimanan dalam perilakunya, mengikuti Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, serta memanfaatkan aneka potensi kekuatan dan keperkasaan sesuai dengan perintah Allah.

&

Sifat Kehidupan Dunia Menurut al-Qur’an

10 Jul

Sifat kehidupan dunia menurut al-Qur’an
Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Karena hanya berisi kesenangan sementara, dunia bukan tujuan akhir manusia. Karenanya manusia dikatakan tertipu jika dia melupakan tujuan akhir yang diciptakan Allah untuknya, yaitu akhir yang abadi. firman Allah:

“Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, Maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.” (al-Baqarah: 86)

“Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) Pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, Mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan.” (Yunus: 7-8)

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (Hud: 15-16)

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali ‘Imraan: 14)

“…Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.” (at-Taubah: 38)

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi …..” (al-Qashash: 77)

“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (al-A’raaf: 32)

Kutipan terjemahan ayat-ayat di atas mengisyaratkan hubungan manusia dengan dunia serta sifat-sifat dunia yang penting kita ketahui. Sifat ini, diantaranya, adalah:

– Pertama, dunia adalah gambaran kesenangan yang sementara atau hanya sebagai sarana lintasan manusia untuk menuju ke akhirat. Karenanya dunia bukanlah tujuan terakhir manusia.

– Kedua, dunia sangat sarat perhiasan, keindahan, nafsu, syahwat, dan kelezatan yang justru inilah ujian dan cobaan hakiki bagi manusia.

– Ketiga, seorang muslim boleh, bahkan berhak menikmati keindahan dunia dalam batas yang sesuai syar’i. Dia dapat menikmati dunia bersama-sama orang kafir atau orang yang melihat Allah dari segi material [agnotis] dengan syarat tidak mendorong kelalaian kepada Allah. Dia dapat memiliki harta dengan pengeluaran zakatnya atau mempunyai anak untuk dididik ketaatan kepada Allah. Artinya seorang muslim dapat menikmati perkara yang dibolehkan syariat dengan tujuan untuk mengamalkan syariat tersebut.

– Keempat, dunia memiliki kaidah-kaidah sosial dan kamanusiaan yang diwujudkan dalam bentuk masyarakat dan bangsa. Barangsiapa yang berusaha di dunia, hasilnya akan dirasakan di dunia. Dan barangsiapa yang menaklukkan dunia untuk keridlaan Allah, dia akan beruntung dunia dan akhirat.

– Kelima, rentang waktu kehidupan di dunia ini sangatlah singkat tidak lebih dari sesaat menurut perhitungan akhirat.
“(yaitu) di hari (yang di waktu itu) ditiup sangkakala dan Kami akan mengumpulkan pada hari itu orang-orang yang berdosa dengan muka yang biru muram; mereka berbisik-bisik di antara mereka: “Kamu tidak berdiam (di dunia) melainkan hanyalah sepuluh (hari)” Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan, ketika berkata orang yang paling Lurus jalannya di antara mereka: “Kamu tidak berdiam (di dunia), melainkan hanyalah sehari saja”. (Thaahaa: 102-104)

– Keenam, kehidupan dunia adalah ajang keletihan, kerja keras, dan kesungguhan, sebagaimana firman Allah:
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (al-Isyiqaq: 6)

– Ketujuh, orang-orang yang beriman akan mendapatkan pertolongan Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Pada dasarnya, tujuan kehidupan dunia ini bukan untuk melahirkan kekafiran dan kerusakan sebagaimana difirmankan Allah:
“Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).” (al-Mu’min: 51)

– Kedelapan, kehidupan dunia lebih banyak digunakan sebagai permainan, senda gurau, dan kebanggaan oleh manusia. Firman Allah:

“Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (al-Hadid: 20)

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (at-Takaatsur: 1-2)

Kehidupan adalah Ujian dan Cobaan Allah terhadap Manusia Pertama

10 Jul

Kehidupan adalah Ujian dan Cobaan Allah terhadap Manusia Pertama
Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Kehidupan manusia diawali oleh pengujian Allah kepada Adam, manusia pertama yang diciptakan Allah. Ketika itu Allah melarang Adam mendekati syajaratul khuldi (pohon kekekalan). Datanglah iblis yang menggoda Adam untuk memakan buah pohon surga ini. “…. dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia.” (Thaahaa: 121).

Akibat kelalaian tersebut Adam diturunkan ke bumi dan mulailah babak baru permusuhan manusia dengan iblis. Untuk bekal Adam di bumi, Allah menerima tobat Adam, “Kemudian Tuhannya memilihnya, maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk.” (Thaahaa: 122). Dengan demikian Allah memberi petunjuk unttuk membedakan kebaikan dan keburukan lewat wahyu dan syariat kepada Adam dan turunannya.

Penurunan Adam dan iblis dari surga merupakan awal mulainya ujian Allah kepada setiap manusia sehingga berlakulah berbagai konflik batin, antara kebaikan dan keburukan, antara keimanan dan kekafiran, serta antara pengikut syariat dan pengikut hawa nafsu.

Dengan turunnya syariat dan ajaran Islam, manusia diharapkan akan mampu mengatasi konflik-konflik tersebut. Al-Qur’an dan as-Sunnah yang merupakan sumber utama syariat Islam harus menjadi bahan renungan manusia. Seruan-seruan di dalamnya, diantaranya adalah seruan Allah tentang konflik panjang manusia sejak Adam. Seruan-seruan tersebut tersebut diantaranya terdeskripsikan setelah pengisahan Adam, seperti:

“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya ‘auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman.” (al-A’raaf: 27)

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (al-A’raaf: 31)

“Hai anak-anak Adam, jika datang kepadamu Rasul-rasul daripada kamu yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, Maka Barangsiapa yang bertakwa dan Mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, mereka itu penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (al-A’raaf: 35-36)

Kemudian, dalam puluhan ayat lainnya, Allah menerangkan hasil akhir orang-orang yang beruntung dan yang rugi. Maka Dia memasukkan kaum mukminin yang menyambut seruan-Nya ke dalam surga Na’im.

&