Arsip | 23.58

Shahih Bukhari Bab Fitnah; Hadits ke 1

17 Jul

Shahih Bukhari
Kumpulan Hadits Shahih Bukhari

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ السَّرِيِّ، حَدَّثَنَا نَافِعُ بْنُ عُمَرَ، عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، قَالَ قَالَتْ أَسْمَاءُ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏”‏ أَنَا عَلَى، حَوْضِي أَنْتَظِرُ مَنْ يَرِدُ عَلَىَّ، فَيُؤْخَذُ بِنَاسٍ مِنْ دُونِي فَأَقُولُ أُمَّتِي‏.‏ فَيَقُولُ لاَ تَدْرِي، مَشَوْا عَلَى الْقَهْقَرَى ‏”‏‏.‏ قَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ أَنْ نَرْجِعَ عَلَى أَعْقَابِنَا أَوْ نُفْتَنَ‏.‏

Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Abdullah Telah menceritakan kepada kami Bisyir bin As Sari telah menceritakan kepada kami Nafi’ bin Umar dari Ibnu Abi Mulaikah mengatakan, Asma’ mengatakan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam; “aku berada di telagaku menunggu-nunggu orang yang datang kepadaku, tiba-tiba orang di belakangku ditangkap dan dijauhkan dariku sehingga aku berteriak-teriak; ‘Itu umatku, itu umatku! ‘ Tiba-tiba ada suara menjawab; ‘Kamu tidak tahu! Mereka berjalan dengan melakukan bid’ah, maksiyat, dan dosa besar’.” Ibnu Abi Mulaikah terus memanjatkan doa; Ya Allah, aku berlindung kepada-MU dari berbalik ke belakang atau terkena hantaman fitnah!

 

&

Shahih Bukhari Bab Hukum; Hadits ke 1

17 Jul

Shahih Bukhari
Kumpulan Hadits Shahih Bukhari

حَدَّثَنَا عَبْدَانُ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، عَنْ يُونُسَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ ـ رضى الله عنه ـ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏”‏ مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي ‏”‏‏.‏

Telah menceritakan kepada kami Abdan telah mengabarkan kepada kami Abdullah dari Yunus dari Al Karmani telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin Abdurrahman, ia mendengar Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang mentaatiku berarti ia mentaati Allah, sebaliknya barangsiapa membangkang terhadapku, ia membangkang Allah, dan barangsiapa mentaatiku amirku berarti ia mentaatiku, dan barangsiapa membangkang amirku, berarti ia membangkang terhadapku.”

 

&

Shahih Bukhari Bab Mengharap; Hadits ke 1

17 Jul

Shahih Bukhari
Kumpulan Hadits Shahih Bukhari

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ، حَدَّثَنِي اللَّيْثُ، حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ خَالِدٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، وَسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ، قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ ‏”‏ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْلاَ أَنَّ رِجَالاً يَكْرَهُونَ أَنْ يَتَخَلَّفُوا بَعْدِي وَلاَ أَجِدُ مَا أَحْمِلُهُمْ مَا تَخَلَّفْتُ، لَوَدِدْتُ أَنِّي أُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، ثُمَّ أُحْيَا ثُمَّ أُقْتَلُ، ثُمَّ أُحْيَا ثُمَّ أُقْتَلُ، ثُمَّ أُحْيَا ثُمَّ أُقْتَلُ ‏”‏‏.‏

Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Ufair telah menceritakan kepadaku Al Laits telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Khalid dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah dan Sa’id bin Musayyab, bahwa Abu Hurairah mengatakan; aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-NYA, kalaulah bukan karena pertimbangan beberapa orang yang tidak suka jika mereka ketinggalan atau pun aku memang tidak punya kendaraan untuk mengangkut mereka, niscaya aku tidak pernah absen (dari peperangan), sungguh aku berkeinginan jika terbunuh dalam rangka (perang) fi sabilillah kemudian dihidupkan, kemudian terbunuh, kemudian dihidupkan, kemudian terbunuh, kemudian dihidupkan, kemudian terbunuh.”

 

&

Shahih Bukhari Bab Khabar Ahad; Hadits ke 1

17 Jul

Shahih Bukhari
Kumpulan Hadits Shahih Bukhari

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنْ أَبِي قِلاَبَةَ، حَدَّثَنَا مَالِكٌ، قَالَ أَتَيْنَا النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ، فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم رَفِيقًا، فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدِ اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا أَوْ قَدِ اشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ ‏”‏ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ، وَعَلِّمُوهُمْ، وَمُرُوهُمْ ـ وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا أَوْ لاَ أَحْفَظُهَا ـ وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ، وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ ‏”‏‏.‏

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Wahhab telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Abu Qilabah telah menceritakan kepada kami Malik bin Al Huwairits berkata, “Kami mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang ketika itu kami masih muda sejajar umurnya, kemudian kami bermukim di sisi beliau selama dua puluh malam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang pribadi yang lembut. Maka ketika beliau menaksir bahwa kami sudah rindu dan selera terhadap isteri-isteri kami, beliau bersabda: “Kembalilah kalian untuk menemui isteri-isteri kalian, berdiamlah bersama mereka, ajari dan suruhlah mereka, ” dan beliau menyebut beberapa perkara yang sebagian kami ingat dan sebagiannya tidak, “dan shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat. Jika shalat telah tiba, hendaklah salah seorang di antara kalian melakukan adzan dan yang paling dewasa menjadi imam.”

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Kahfi ayat 23-24

17 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Kahfi (Gua)
Surah Makkiyyah; surah ke 18: 110 ayat

tulisan arab alquran surat al kahfi ayat 23-24“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, (QS. 18:23) kecuali (dengan menyebut): ‘Insya Allah.’ Dan ingatlah kepada Rabbmu jika kamu lupa dan katakanlah: ‘Mudah-mudahan Rabbku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.’” (QS. 18:24)

Yang demikian ini merupakan bimbingan dari adab Allah kepada Rasulullah saw mengenai sesuatu jika beliau hendak melakukannya pada masa yang akan datang, yakni hendaklah beliau mengembalikan hal itu kepada kehendak Allah yang Mahaperkasa lagi Mahamulia, yang Mahamengetahui segala yang ghaib, yang mengetahui apa yang telah terjadi, yang akan terjadi, yang tidak akan terjadi, dan bagaimana akan terjadinya. Sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab ash-Shahihain, dari Abu Hurairah, dari Rasulullahbeliau bersabda:

“Sulaiman bin Dawud pemah berkata: ‘Aku akan berkeliling mendatangi tujuh puluh isteriku [yang dalam riwayat lain disebutkan, sembilan puluh isteri, dan dalam riwayat lainnya disebutkan seratus isteri] dalam satu malam, yang masing-masing akan melahirkan satu orang anak laki-laki yang berperang di jalan Allah.’ Kemudian dikatakan kepadanya, [dalam sebuah riwayat disebutkan, salah satu Malaikat berkata kepadanya] “Katakanlah, Insya Allah (jika Allah menghendaki).’ Tetapi Sulaiman tidak mengucapkannya. Kemudian ia berkeliling mendatangi isteri-isterinya itu. Maka tidak seorang pun dari mereka yang melahirkan anak kecuali seorang wanita raja yang melahirkan setengah orang.”
Selanjutnya, Rasulullah bersabda: “Demi Allah, seandainya ia (Sulaiman) berkata: ‘Insya Allah’, niscaya ia tidak berdosa dan demikian itu sudah cukup untuk memenuhi hajatnya.”
Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Dan akan berperang di jalan Allah semua orang-orang yang ahli berkuda.”

Pada awal Surat telah dikemukakan sebab turunnya ayat ini, yakni dalam sabda Nabi ketika beliau ditanya tentang kisah Ash-haabul Kahfi: “Akan aku berikan jawaban kepada kalian besok hari.” Lalu wahyu terlambat turun sampai lima belas hari.

Firman Allah Ta’ala: wadz-kur rabbaka idzaa nasiita (“Dan ingatlah kepada Rabb-mu jika kamu lupa.”) Ada yang mengatakan, artinya, jika kamu lupa mengucapkan pengecualian (insya Allah), maka berikanlah pengecualian pada saat kamu mengingatnya. Demikianlah yang dikemukakan oleh Abul `Aliyah dan al-Hasan al-Bashri.

Husyaim menceritakan dari al-A’masy, dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas mengenai orang yang bersumpah. la mengatakan, hendaklah ia memberikan pengecualian (dengan mengucapkan insya Allah) meski setelah satu tahun. Demikianlah yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari Abu Mu’awiyah, dari al-A’masy.
Dan arti ungkapan Ibnu `Abbas: “Hendaklah ia memberikan pengecualian meskipun setelah berlalu satu tahun,” berarti jika ia lupa dalam sumpahnya atau ucapannya untuk mengucapkan insya Allah, lalu ia mengingatnya setelah satu tahun berlalu, maka disunnahkan baginya mengucapkan hal itu, supaya ia datang dengan memberikan pengecualian meskipun setelah ia melakukan kesalahan. Demikian yang dikemukakan oleh Ibnu Jarir, dan ia menashkan hal tersebut. Namun, hal itu tidak menghapuskan dosa sumpah dan menggugurkan kaffarat. Dan yang dikatakan oleh Ibnu Jarir. inilah yang shahih dan yang lebih layak bagi ungkapan Ibnu `Abbas. Wallahu a’lam.

Selain itu, mungkin juga ayat di atas mempunyai sisi lain, yaitu bahwa Allah Ta’ala bermaksud menunjukkan orang yang lupa akan sesuatu dalam ucapannya supaya mengingat-Nya, karena lupa itu disebabkan oleh syaitan.
Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang anak muda yang bersama Musa as: “Dan tidak ada yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan.” (QS. Al-Kahfi: 63).
Allah mengingatkan agar mengusir syaitan. Jika syaitan itu telah pergi, maka lupa itupun lenyap. Maka Allah Ta’ala menyebutkan kapan harus mengingat. Oleh karena itu, Dia berfirman: wadz-kur rabbaka idzaa nasiita (“Dan ingatlah kepada Rabb-mu jika kamu lupa.”)

Firman-Nya lebih lanjut: wa qul ‘asaa ay yaHdiyanii rabbii li-aqraba min Haadzaa rasyadan (“Dan katakanlah: ‘Mudah-mudahan Rabbku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.’”) Maksudnya, jika kamu ditanya tentang sesuatu yang kamu tidak mengetahuinya, maka memohonlah kepada Allah Ta’ala dan menghadaplah kepada-Nya dengan memohon agar Dia memberimu taufiq untuk memperoleh kebenaran dan juga petunjuk mengenai hal tersebut. Ada juga yang berpendapat, mengenai penafsiran ayat tersebut terdapat penafsiran lain selain itu. Wallahu a ‘lam.

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Kahfi ayat 22

17 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Kahfi (Gua)
Surah Makkiyyah; surah ke 18: 110 ayat

tulisan arab alquran surat al kahfi ayat 22“Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang, yang keempat adalab anjingnya, dan (yang lain) mengatakan: ‘(Jumlah mereka) adalah lima orang, yang keenam adalah anjingnya,’ sebagai terkaan terhadap barang yang ghaib; dan (yang lain lagi) mengatakan: ‘(Jumlah mereka) tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya.’ Katakanlah: ‘Rabbku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit.’ Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka.” (QS. Al-Kahfi: 22)

Allah berfirman seraya menceritakan tentang perselisihan umat manusia tentang jumlah Ash-haabul Kahfi. Lalu Allah menceritakan tiga pendapat. Kemudian Allah melemahkan dua pendapat pertama melalui firman-Nya: rajmam bilghaibi (“Sebagai terkaan terhadap barang yang ghaib.”) Maksudnya, sebagai pendapat yang tidak didasari dengan pengetahuan, yang perumpamaannya adalah sama dengan orang yang melempar ke suatu tempat yang tidak diketahuinya, di mana lemparan itu tidak mengenai sasaran, kalau toh mengenai sasaran, maka yang demikian itu bukan suatu kesengajaan.

Kemudian Allah menceritakan pendapat yang ketiga, lalu mendiamkannya atau menetapkannya melalui firman-Nya: wa tsaaminuHum kalbuHum (“Dan yang kedelapan adalah anjingnya.”) Hal itu menunjukkan kebenarannya dan itulah kenyataan yang ada.

Firman-Nya: qur rabbi a’lamu bi-‘iddatiHim (“Katakanlab: ‘Rabbku lebih mengetahui jumlah mereka.’”) Hal itu merupakan petunjuk bahwa yang terbaik dalam kondisi seperti itu adalah mengembalikan pengetahuan itu kepada Allah Ta’ala, karena tidak diperlukan pendalaman terhadap hal tersebut tanpa didasari oleh ilmu pengetahuan, tetapi kalau kita dapat mengetahui atas sesuatu, dapat kita menyatakannya, kalau tidak, kita diam.

Dan firman-Nya lebih lanjut, maa ya’lamuHum illaa qaliil (“Tidak ada orang yang mengetahui [bilangan) mereka kecuali sedikit,”) yakni, dari umat manusia.
Qatadah menceritakan, Ibnu ‘Abbas mengemukakan, “Aku termasuk dari golongan yang sedikit yang diberi pengecualian oleh Allah. Mereka itu berjumlah tujuh orang.” Demikian pula yang diriwayatkan Ibnu jarir, dari Atha’ al-Khurasani dan ‘Ikrimah, dan Ibnu ‘Abbas. Sanadnya itu merupakan sanad yang shahih yang disandarkan kepada Ibnu ‘Abbas, bahwa mereka itu berjumlah tujuh orang, dan hal itu sejalan dengan apa yang kami kemukakan sebelumnya.

Dan Allah Ta’ala telah berfirman: falaa tumaari fiiHim illaa miraa-an dhaaHiran (“Karena itu janganlah kamu [Muhammad] bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja.”) Yakni, pertengkaran yang sederhana dan ringan, karena pengetahuan mengenai masalah itu tidak membawa faedah yang banyak.
Walaa tastafti fiiHim minHum ahadan (“Dan jangan kamu menanyakan tentang mereka pemuda-pemuda itu kepada seorang pun di antara mereka.”) Maksudnya, karena sesungguhnya mereka tidak mempunyai ilmu pengetahuan tentang hal itu kecuali ungkapan yang bersumber dari diri mereka sendiri, sebagai terkaan terhadap hal yang ghaib. Dengan kata lain, tidak didasarkan pada ucapan yang ma’shum. Dan sesungguhnya Allah Ta’ala telah mendatangkan kepadamu hai Muhmmad, kebenaran yang tidak ada keraguan di dalamnya, dan Dialah pemberi keputusan yang harus didahulukan atas kitab-kitab dan pendapat-pendapat yang ada.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Kahfi ayat 21

17 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Kahfi (Gua)
Surah Makkiyyah; surah ke 18: 110 ayat

tulisan arab alquran surat al kahfi ayat 21“Dan demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka, agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari Kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: “Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Rabb mereka lebih mengetahui tentang mereka.” Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya.” (QS. Al-Kahfi: 21)

Allah berfirman: wa kadzaalika a’tsarnaa ‘alaiHim (“Dan demikian pula Kami mempertemukan [manusia] dengan mereka.” Maksudnya, Kami perlihatkan mereka [Ash-haabul Kahfi] kepada umat manusia: liya’lamuu anna wa’dallaaHi haqquw wa annas saa’ata laa raiba fiiHaa (“Agar manusia itu mengetahui bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari Kiamat tidak ada keraguan padanya.”) Tidak sedikit dari kalangan ulama salaf yang menyebutkan, orang-orang pada zaman itu telah dirasuki keraguan terhadap adanya kebangkitan dan hal-hal yang menyangkut hari Kiamat. ‘Ikrimah mengatakan, ada satu kelompok di antara mereka yang mengemukakan bahwa yang dibangkitkan itu hanyalah arwah, bukan jasad. Lalu Allah membangkitkan Ash-haabul Kahfi sebagai hujjah dan dalil sekaligus tanda yang menunjukkan bahwa yang dibangkitkan itu arwah dan juga jasad.

Mereka menyebutkan, ketika salah seorang di antara mereka akan keluar ke kota guna membeli sesuatu untuk mereka makan, maka ia pergi dengan menyamar dan berjalan kaki tidak di jalan umum hingga akhirnya sampai di kota. Selain itu, mereka juga menyebutkan bahwa nama kota itu adalah Daqsus. la mengira bahwa hal itu baru saja terjadi, padahal umat manusia telah mengalami pergantian dari kurun ke kurun, dari generasi ke generasi, dari satu umat ke umat yang lain, dan negeri serta penduduknya pun telah mengalami perubahan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang penyair:

Adapun rumah-rumah tempat tinggal adalah lama seperti rumah mereka.
Dan aku melihat penduduk kampung bukan penduduknya.

Dengan demikian, ia tidak melihat sesuatu pun tanda-tanda negeri yang dulu pernah dikenalnya dan ia juga tidak mengenal seorang pun dari penduduknya, baik yang khusus maupun yang awam. Sehingga ia pun merasa bingung dan bertanya-tanya pada dirinya sendiri: “Apa mungkin aku ini tidak waras atau mungkinkah aku ini bermimpi.” la pun berkata, “Demi Allah, aku tidak gila dan tidak pula bermimpi, karena aku baru kemarin sore meninggalkan kota ini, dan ia belum mengalami perubahan seperti ini.”

Lebih lanjut ia mengemukakan: “Sesungguhnya segera pergi dari kota ini adalah lebih baik bagiku.” Kemudian ia melangkah menuju penjual makanan, lalu ia menyerahkan uang yang ada padanya dan meminta agar ditukar dengan makanan. Setelah mengetahui uang peraknya itu, maka penjual itu pun menolak menerima uang tersebut. Kemudian ia membayarkan kepada penjual yang lain, hingga akhirnya mereka saling bergantian melihat seraya berucap: “Mungkin orang ini menemukan harta karun.”
Lalu mereka bertanya kepadanya mengenai keperluannya dan dari mana uang itu ia peroleh, apa mungkin ia memperolehnya dari harta karun, dan siapakah anda sebenarnya? Maka ia menjawab: “Aku adalah penduduk negeri ini dan aku tinggal di kota ini baru saja kemarin sore. Di kota tersebut terdapat seorang yang bernama Daqyanus.”
Maka mereka pun menyebutnya sebagai orang yang tidak waras. Kemudian mereka membawa orang itu kepada pemimpin mereka. Lalu pemimpin mereka itu menanyakan kepadanya tentang keadaannya sehingga ia memberitahukan apa yang dialaminya sedang ia sendiri merasa bingung terhadap keadaan dan apa yang dialaminya. Setelah ia memberitahukan hal itu kepada mereka, maka mereka [raja dan rakyatnya] pun segera berangkat bersamanya ke gua, hingga akhirnya mereka sampai di gua tersebut. Lalu ia berkata kepada rombongan itu: “Tinggallah di sini dulu sehingga aku mohonkan izin kepada teman-temanku agar kalian bisa masuk.” Maka ia pun masuk.

Dikatakan, bahwa rombongan itu tidak mengetahui bagaimana ia memasuki gua, dan Allah Ta’ala telah menyembunyikan berita mereka.
Ada pula yang menyatakan, tetapi rombongan itu masuk menemui dan melihat mereka. Lalu si raja itu mengucapkan salam kepada mereka, lalu memeluk mereka. Raja itu adalah seorang muslim. Menurut suatu pendapat, raja itu bernama Yandusus. Maka mereka pun merasa senang dengannya dan bercengkerama bersamanya, lalu mereka meninggalkannya dan mengucapkan salam kepadanya dan kemudian kembali ke tempat pembaringan mereka
hingga akhirnya Allah mewafatkan mereka. Wallahu a’lam.

Firman-Nya: wa kadzaalika a’tsarnaa ‘alaiHim (“Dan demikian pula Kami mempertemukan [manusia] dengan mereka.”) Maksudnya, sebagaimana Kami telah menidurkan mereka, maka Kami juga membangunkan mereka seperti keadaan mereka semula, di mana mereka Kami perlihatkan kepada orang-orang yang hidup pada zaman itu.

liya’lamuu anna wa’dallaaHi haqquw wa annas saa’ata laa raiba fiiHaa idz yatanaaza’uuna bainaHum amraHum (“Agar manusia itu mengetahui bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari Kiamat itu tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka.”) Yakni, dalam masalah hari Kiamat. Ada di antara mereka yang mempercayai keberadaannya dan ada pula yang mengingkarinya. Maka Allah Ta’ala menjadikan peristiwa yang dialami oleh Ash-haabul Kahfi yang mereka saksikan itu sebagai hujjah yang memperkuat orang-orang yang mengimani dan sebagai hujjah untuk mengalahkan orang-orang yang mengngingkarinya.

Faqaalubnuu ‘alaiHim bun-yaanan. rabbuHum a’lamu biHim (“Orang-orang itu berkata, ‘Dirikanlah sebuah bangunan di atas [gua] mereka, Rabb mereka lebih mengetahui tentang mereka.’”) Maksudnya, tutuplah pintu gua mereka itu dan tinggalkan mereka dalam keadaan seperti itu. Qaalal ladziina ghalabuu ‘alaa amriHim lanat takhidanna ‘alaiHim masjidan (“Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya.’”) Mengenai orang-orang yang mengungkapkan hal tersebut, Ibnu Jarir mengisahkan dua pendapat: Pertama, mereka adalah orang-orang Islam di antara mereka. Kedua, orang-orang musyrik di antara mereka. Wallahu a’lam.

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Kahfi ayat 19-20

17 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Kahfi (Gua)
Surah Makkiyyah; surah ke 18: 110 ayat

tulisan arab alquran surat al kahfi ayat 19-20“Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: ‘Sudah berapa lamakah kamu berada [di sini]?’ Mereka menjawab: ‘Kita berada [di sini] sehari atau setengah hari.’ Berkata [yang lain lagi]: “Rabbmu lebih mengetahui berapa lama kamu berada [di sini]. Maka suruhlah salah seorang di antaramu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih suci, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun. (al Kahfi: 19) Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melemparmu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian, niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.” (al Kahfi:20)
(al Kahfi: 19-20)

Allah berfirman, sebagaimana Kami telah menidurkan mereka, maka Kami bangunkan mereka dalam keadaan badan, rambut, dan kulit mereka tetap sehat. Mereka tidak kehilangan sedikit pun dari keadaan dan kondisi mereka setelah berlangsung selama tiga ratus sembilan tahun. Oleh karena itu, di antara mereka saling bertanya, kam labits-tum (“Sudah berapa lamakah kamu berada [di sini]?”) Maksudnya, berapa lama kalian tertidur di sini? qaaluu labitsnaa yauman au ba’dla yaumin (“ Mereka menjawab: ‘Kita berada [di sini] sehari atau setengah hari.”) Hal itu, karena mereka masuk ke gua pada permulaan siang dan bangun pada akhir siang. Oleh karena itu, mereka mendapati keadaan itu seraya berkata, au ba’dla yaumin qaaluu rabbukum a’lamu bimaa labits-tum (‘Atau setengah hari.’ Berkatalah [yang lain lagi], ‘Rabbmu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada [di sini].’”) Maksudnya, Allah yang lebih mengetahui apa yang kalian alami.
Seolah-olah pada diri mereka dihinggapi semacam keraguan karena tidur mereka yang cukup lama, wallahu a’lam.

Kemudian mereka beralih kepada apa yang lebih penting untuk urusan mereka pada saat itu, yaitu keperluan mereka pada makanan dan minuman, di mana mereka berkata, fab’atsuu ahadakum biwariqikum (“Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini.”) Kata “waraqah” berarti uang perak. Hal itu, karena mereka telah membawa beberapa uang dirham dari rumah mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kemudian mereka bersedekah, hingga masih ada sisa di tangan mereka. Oleh karena itu, mereka berkata, fab’atsuu ahadakum biwariqikum ilal madiinati (“Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini.”) Yakni, kota yang kalian telah pergi darinya. Fal yandhur ayyuHaa azkaa tha’aaman (“Dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih suci,”) yakni, makanan yang lebih baik. Yang demikian itu adalah seperti firman Allah berikut ini: “Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun dari kamu yang bersih selama-lamanya.” (QS. An-Nuur: 21).
Dari kata itu pula [zakaa], muncullah kata az-zakat yang membersihkan dan menyucikan harta kekayaan.

Firman-Nya: wal yatalath-thaf (“Dan hendaklah dia berlaku lemah lembut.”) Yakni, dalam pergi dan pulangnya, dalam berbelanja dan dalam menyembunyikan dirinya, dan hendaklah ia berusaha semaksimal mungkin untuk bersembunyi. Walaa yus’iranna (“Dan jangan sekali-kali menceritakan,”) yakni, memberitahukan, bikum ahadan innaHun iy yadh-Hiruu ‘alaikum yarjumuukum (“Perihal kamu kepada seorang pun. Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melemparmu dengan batu.”) Yaitu, jika mereka mengetahui tempat kalian. Yaarjumuukum au yu’iiduukum fii millatiHim (“Niscaya mereka akan melemparmu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka.”) Yang mereka maksudkan adalah para pengikut Daqyanus. Mereka takut para penganut Daqyanus mendapati tempat mereka. Karena mereka akan terus disiksa oleh penganut Daqyanus dengan berbagai siksaan sampai mereka kembali kepada agama mereka semula atau kalau tidak, harus mati. Dan jika kalian setuju untuk kembali kepada agama kalian semula, maka tidak ada keberuntungan bagi kalian di dunia dan tidak juga di akhirat.

Oleh karena itu, Allah berfirman: wa lan tuflihuu idzan abadan (“Dan jika demikian, niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Kahfi ayat 18

17 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Kahfi (Gua)
Surah Makkiyyah; surah ke 18: 110 ayat

tulisan arab alquran surat al kahfi ayat 18“Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur; dan Kami bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan [diri] dan tentulah [hati] kamu akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka. (QS. Al-Kahfi: 18)

Sebagian ulama menyebutkan bahwa ketika Allah menidurkan telinga mereka, maka mata mereka tidak tertutup dan tetap terbuka sehingga tidak mudah rusak, karena jika tetap terbuka bagi udara, maka akan lebih langgeng baginya. Oleh karena itu Allah berfirman: wa tahsabuHum aiqaadhaw wa Hum ruquuduw wa nuqallibuHum dzaatal yamiini wa dzaatasy syimaali (“Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur, dan Kami bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri.”)

Dan firman-Nya: wa kalbuHum baasithun dziraa’aiHi bil washiid (“Sedang anjing mereka mengunjurkan ke dua lengannya di muka pintu gua.”) Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, dan Qatadah mengemukakan: “Al-washiid berarti al-finaa’ (halaman).” Dan kata itu berarti anjing mereka berbaring dengan menyimpuhkan kaki ke muka pintu, sebagaimana yang sudah menjadi kebiasaan anjing.

Ibnu Juraij berkata: “Anjing itu menjaga mereka di pintu gua.” Hal itu merupakan kelebihan dan karakternya, di mana ia berbaring sambil menyimpuhkan kakinya di depan pintu, seolah-olah dia menjaga mereka. Duduknya anjing itu berada di luar pintu, karena Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya terdapat anjing. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits shahih. Malaikat juga tidak masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat gambar, orang junub dan atau orang kafir, sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits hasan.

Anjing itu merasakan pula berkah mereka, di mana ia mengalami apa yang dialami oleh mereka, yaitu tidur dalam keadaan seperti itu. Demikian lah manfaat berteman dengan orang-orang baik, sehingga anjing ini pun disebut dan termasuk dalam berita.
Ada yang berpendapat, bahwa ia adalah anjing untuk berburu milik salah seorang di antara mereka dan itulah yang paling cocok. Wallahu a’lam.

Dan firman Allah Ta’ala: lawith thala’ta ‘alaiHim lawallaita minHum firaaraw wa lamuli’tum ru’ban (“Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan [diri] dan tentulah [hati] kamu akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka.”) Maksudnya, Allah telah menyelimuti diri mereka dengan hal-hal yang menakutkan, di mana tidak ada pandangan seseorang yang melihat kepada mereka melainkan akan melarikan diri dari mereka, karena mereka telah diselimuti hal-hal yang menyeramkan dan menakutkan agar tidak ada seorang yang mendekati dan menyentuh mereka sampai pada batas waktu yang ditentukan dan selesainya tidur mereka yang telah dikehendaki Allah Ta’ala itu berakhir, yang di dalamnya terdapat hikmah, hujjah yang kuat dan rahmat yang sangat luas.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Kahfi ayat 17

17 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Kahfi (Gua)
Surah Makkiyyah; surah ke 18: 110 ayat

tulisan arab alquran surat al kahfi ayat 17“Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda [kebesaran] Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapat seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. Al-Kahfi: 17)

Dalam hal ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa pintu gua ini menghadap ke utara, karena Allah menceritakan bahwa ketika matahari terbit, maka akan condong dari gua tersebut, dzaatal yamiini (“Ke sebelah kanan.”) Yakni, bayang-bayang dari sinar matahari itu berada di sebelah kanan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu `Abbas, Sa’id bin Jubair, dan Qatadah: “Tazaawaru ” berarti condong. Yang demikian itu, karena setiap kali matahari semakin meninggi, maka bayang-bayang itu pun berpindah sehingga tidak ada yang tersisa darinya pada saat zawal (tergelincir).

Oleh karena itu, Allah berfirman: wa idzaa gharabat taqridluHum dzaatasy syimaali (“Dan apabila matahari itu terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri.”) Yakni, sinar matahari itu masuk ke gua mereka dari sebelah kiri pintu gua tersebut, yaitu berasal dari arah timur. Dan hal itu menunjukkan kebenaran apa yang kami katakan. Hal itu sudah sangat jelas bagi orang yang benar-benar memperhatikan dan mempunyai ilmu pengetahuan tentang gaya dan perjalanan matahari, bulan, dan bintang.

Seandainya pintu gua itu berada di sebelah timur, niscaya tidak akan ada sinar yang masuk ketika matahari hendak terbenam, tidak juga bayang-bayang itu akan berada di sebelah kanan dan juga kiri. Dan seandainya pintu gua itu menghadap ke barat, niscaya pada waktu matahari terbit, tidak akan ada sinar matahari yang masuk ke gua tersebut, tetapi sinar itu masuk setelah zawal (tergelincir), dan masih terus ada sampai matahari terbenam. Dengan demikian, jelas apa yang kami sebutkan di atas. Segala puji bagi Allah, wallahu a’lam, di negeri Allah yang mana. Maka, Dia pun memberitahukan sifatnya kepada kita tetapi tidak memberitahu tempatnya. Di mana Dia berfirman:

Wa tarasy syamsa idzaa thala’at tazaawaru ‘an kaHfiHim (“Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka,”) Malik menceritakan dari Ibnu Zaid bin Aslam, yakni, condong.

Dzaatal yamiini wa idzaa gharabat taqridluHum dzaatasy syimaali wa Hum fi fajwatim minHu (“Ke sebelah kanan, dan apabila matahari itu terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu.”) Maksudnya, mereka berada di tempat yang luas di dalam gua tersebut, di mana mereka tidak terjangkau oleh sinar matahari, karena jika sinar matahari itu mengenai mereka, niscaya badan dan pakaian mereka akan terbakar. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas.

Dzaalika min aayaatillaaHi (“Demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda [kebesaran] Allah.”) Di mana Allah Ta’ ala mengarahkan mereka menuju ke gua tersebut yang di dalamnya diberikan kehidupan, sedang matahari dan angin dapat dengan leluasa masuk, sehingga keberadaan fisik mereka itu tetap. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman, Dzaalika min aayaatillaaHi (“Demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda [kebesaran] Allah.”)

Setelah itu, Dia berfirman: may yaHdillaaHu fa Huwal muHtadi (“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk.”) Maksudnya, Dialah yang membimbing para pemuda itu menuju kepada petunjuk di tengah-tengah kaum mereka. Karena sesungguhnya orang yang telah diberi hidayah oleh-Nya, niscaya ia akan mendapatkan petunjuk. Dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, niscaya tidak akan ada seorang pun yang mampu memberi petunjuk kepadanya.

Bersambung