Arsip | 16.40

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Kahfi ayat 55-56

19 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Kahfi (Gua)
Surah Makkiyyah; surah ke 18: 110 ayat

tulisan arab alquran surat al kahfi ayat 55-56“Dan tidak ada sesuatu pun yang menghalangi manusia dari beriman, ketika petunjuk telah datang kepada mereka, dan memohon ampun kepada Rabb-nya, kecuali (keinginan menanti) datangnya bukum (Allah yang telah berlaku pada) umat-umat yang dahulu atau datangnya adzab atas mereka dengan nyata. (QS. 18:55) Dan tidaklah Kami mengutus Para Rasul melainkan sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan; tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang bathil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang baq, dan mereka menganggap ayat-ayat Kami dan peringatan-peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokan. (QS. 18:56) (al-Kahfi: 55-56)

Allah memberitahu tentang keingkaran orang-orang kafir pada zaman dahulu dan zaman yang baru terjadi, juga kedustaan orang-orang dahulu terhadap kebenaran yang sudah nyata. Tidak ada sesuatu pun yang menghalangi mereka untuk mengikuti yang demikian itu melainkan permintaan mereka untuk dapat menyaksikan secara langsung adzab yang telah dijanjikan bagi
mereka, sebagaimana yang mereka katakan kepada Nabi mereka: “Maka jatuhkanlah kepada kami gumpalan dari langit, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” (QS. Asy-Syu’araa’:187)

Kemudian Dia berfirman: illaa an ta’tiyaHum sunnatul awwaliina (“Kecuali [keinginan menanti] datangnya hukum [Allah yang telah berlaku pada] umat-umat yang dahulu.”) Berupa pencengkeraman adzab kepada mereka dan penimpaan siksaan kepada mereka. Au ya’tiyaHumul ‘adzaabu qubulan (“Atau datangnya adzab atas mereka dengan nyata.”) Maksudnya, mereka melihat adzab secara langsung dan kasatmata serta berhadap-hadapan.

Lebih lanjut Allah berfirman: wa maa nursilu mursaliina illaa mubasy-syiriina wa mundziriina (“Dan tidaklah Kami mengutus para Rasul melainkan sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan.”) Yakni, sebelum penimpaan adzab. Mereka menyampaikan kabar gembira kepada orang-orang yang membenarkan dan beriman kepada mereka, dan memberikan peringatan kepada orang-orang yang mendustakan dan menentang mereka.

Setelah itu, Allah Ta’ala menceritakan tentang orang-orang kafir, yang mereka; yujaadiluuna bil baathili liyudhidluu biHii (“Membantah dengan yang bathil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang haq.”) Maksudnya, agar mereka dapat melemahkan kebenaran yang dibawa oleh para Rasul, namun hal itu tidak pernah tercapai.

Wat takhidzuu aayaatii wa maa undziruu Huzuwan (“Dan mereka menganggap ayat-ayat Kami dan peringatan-peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokan.”)
Maksudnya, mereka menjadikan berbagai macam hujjah, bukti dan mukjizat yang diberikan kepada para Rasul itu serta berbagai peringatan akan adanya adzab “Huzuwan” (“Sebagai olok-olokan.”) Maksudnya, sebagian mereka mengolok-olok hal tersebut, dan yang demikian itu merupakan kedustaan yang amat sangat.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Kahfi ayat 54

19 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Kahfi (Gua)
Surah Makkiyyah; surah ke 18: 110 ayat

tulisan arab alquran surat al kahfi ayat 54“Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam al-Qur’an ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.” (QS. Al-Kahfi: 54)

Allah berfirman, sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepada umat manusia melalui al-Qur’an ini, dan Kami terangkan kepada mereka berbagai permasalahan secara rinci supaya mereka tidak tersesat dari kebenaran dan tidak keluar dari jalan petunjuk. Dengan penjelasan dan al-Qur’an ini, manusia banyak memperselisihkan, membantah dan mempertikaikan tentang kebenaran dengan cara yang bathil, kecuali orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan diperlihatkan kepada mereka jalan menuju keselamatan.

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa `Ali bin Abi Thalib memberitahukan bahwa Rasulullah pernah mengetuk pintu rumahnya pada malam hari yang ketika itu ia bersama Fathimah binti Rasulullah seraya berkata: “Tidakkah kalian berdua mengerjakan shalat?” Lalu aku menjawab: “Ya Rasulullah, sesungguhnya jiwa kami berada di tangan Allah, jika Dia berkehendak untuk membangunkan kami, maka kami bangun.” Maka beliau pun kembali pada saat kukatakan hal itu kepadanya, sedang beliau sama sekali tidak melontarkan sepatah kata pun kepadaku. Kemudian ketika beliau membalikkan pungungnya sambil menepuk pahanya, beliau membacakan: wa kaanal insaanu aktsara syai-in jadalan (“Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak menibantah.”) Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab ash-Shahihain.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Kahfi ayat 52-53

19 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Kahfi (Gua)
Surah Makkiyyah; surah ke 18: 110 ayat

tulisan arab alquran surat al kahfi ayat 52-53“Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Dia berfirman: ‘Panggilah olehmu sekalian sekutu-sekutu-Ku yang kamu katakan itu.’ Mereka lalu memanggilnya, tetapi sekutu-sekutu itu tidak membalas seruan mereka dan Kami adakan untuk mereka tempat kebinasaan (neraka). (QS. 18:52) Dan orang-orang berdosa melihat mereka, maka mereka meyakini, bahwa mereka akan jatuh ke dalamnya dan mereka tidak menemukan tempat berpaling daripadanya. (QS. 18:53)” (al-Kahfi: 52-53)

Allah berfirman seraya memberitahukan tentang apa yang dikatakan kepada orang-orang musyrik pada hari Kiamat kelak di hadapan para saksi sebagai kecaman dan celaan terhadap mereka, “Panggillah olehmu sekalian sekutu-sekutu-Ku yang kamu katakan itu.” Maksud-nya, ketika masih di dunia, panggillah mereka sekarang agar mereka dapat menyelamatkan kalian dari apa yang kalian alami sekarang ini. Sebagaimana yang difirmankan-Nya ini:
“Di-katakan (kepada mereka): “Serulah sekutu-sekutumu,” lalu mereka pun menyerunya, maka sekutu-sekutu itu tidak memenuhi seruan mereka itu… ” dan ayat seterusnya. (QS. Al-Qashash: 64)

Firman-Nya: wa ja’alnaa bainaHum maubiqan (“Kami adakan untuk mereka tempat kebinasaan.”) Ibnu `Abbas, Qatadah, dan beberapa ulama lainnya mengemukakan: “Yakni, tempat pembinasaan.” Artinya, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa tidak ada jalan bagi orang-orang musyrik yang mengantarkan mereka sampai kepada ilah mereka yang dulu pernah mereka aku di dunia. Dia memisahkan mereka dan ilah-ilah mereka itu di akhirat kelak. Sehingga tidak ada jalan bagi masing-masing dari keduanya untuk menyelamatkan satu dengan yang lainnya. Justru di antara keduanya terdapat kebinasaan, hal yang sangat menyeramkan, dan suatu keadaan yang sangat besar.

Jika dhamir (kata ganti) itu dalam firman-Nya “bainaHum” itu dikembalikan kepada orang-orang mukmin dan orang-orang kafir, seperti yang dikemukakan oleh `Abdullah bin `Amr, maka hal itu berarti bahwa Dia memisahkan antara orang-orang yang mendapat petunjuk dengan orang-orang yang sesat. Hal ituseperti firman-Nya:
“Dan pada hari terjadinya Kiamat, pada hari itu mereka (umat manusia) bergolong-golongan.” (QS. Ar-Ruum: 14).

Dan firman-Nya: wa ra-al mujrimuuna naaran fa dhannuu annaHum muwaaqi’uuHaa wa lam yajiduu ‘anHaa mashrifan (“Dan orang-orang yang berdosa melihat neraka, maka mereka meyakini bahwa mereka akan jatuh ke dalamnya dan mereka tidak menemukan tempat berpaling darinya.”) Maksudnya, bahwa ketika diperlihatkan jahannam kepada mereka, yakni ketika mereka digiring ke sana yang terdiri dari tujuh puluh ribu golongan, yang bersama setiap golongan terdapat tujuh puluh ribu Malaikat.

Wa ra-al mujrimuuna naaran (“Dan orang-orang yang berdosa melihat neraka,”) dan mereka benar-benar akan jatuh ke dalamnya. Agar mereka segera merasakan kedukaan dan kesedihan, karena akan terjadinya adzab, dan rasa takut sebelum terjadinya, juga merupakan adzab.

Firman-Nya: wa lam yajiduu ‘anHaa mashrifan (“Dan mereka tidak menemukan tempat berpaling darinya.”) Maksudnya, mereka tidak mendapatkan jalan yang menyimpangkan mereka dari semuanya itu, dan mereka pasti akan merasakannya.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Kahfi ayat 51

19 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Kahfi (Gua)
Surah Makkiyyah; surah ke 18: 110 ayat

tulisan arab alquran surat al kahfi ayat 51“Aku tidak menghadirkan mereka (iblis dan anak cucunya) untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan diri mereka sendiri; dan tidaklah Aku mengambil orang-orang yang menyesatkan itu sebagai penolong.” (QS. Al-Kahfi: 51)

Allah berfirman: Aku sendiri yang lebih dulu menciptakan segala sesuatu, mengatur, dan menentukannya, tidak ada sekutu bersama-Ku, tidak ada juga pembantu, penasihat, maupun tandingan. Oleh karena itu, Dia berfirman: wa maa kuntu muttakhidzal mudlilliina ‘adludan (“Dan tidaklah Aku mengambil orang-orang yang menyesatkan itu sebagai penolong.”) Malik menyebutkan, “Yakni, para pembantu.”

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Kahfi ayat 50

19 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Kahfi (Gua)
Surah Makkiyyah; surah ke 18: 110 ayat

tulisan arab alquran surat al kahfi ayat 50“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam “, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Rabbnya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain dari-pada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zhalim. (QS. Al-Kahfi: 50)

Allah berfirman seraya mengingatkan anak cucu Adam akan permusuhan iblis terhadap mereka dan juga terhadap bapak mereka. Dan Dia juga sangat mengecam orang-orang yang mengikutinya, menentang Pencipta dan Pelindungnya, padahal Dialah yang telah mencipta dan memulai kejadiannya. Dengan kelembuatan-Nya, Dia memberi rizki dan makan. Kemudian setelah itu semua, iblis justru berpaling dan memusuhi Allah Ta’ala. Di mana Dia berfirman: wa idz qulnaa lil malaa-ikati (“Dan ingatlah ketika Kami berfiman kepada para Malaikat,”) yakni, kepada seluruh Malaikat, sebagaimana yang telah dikemukakan pembahasannya di awal Surat al-Baqarah. Usjuduu li aadama (“Sujudlah kamu kepada Adam.”) Yakni, sujud penghormatan, pemuliaan dan pengagungan.

Dan firman-Nya: fasajaduu illaa ibliisa kaana minal jinni (“Maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin.”) Maksudnya, kecuali iblis yang mengkhianati. Asalnya iblis diciptakan dari nyala api, sedangkan Malaikat diciptakan dari cahaya. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Shahih Muslim, dari `Aisyah, dari Rasulullah, beliau bersabda: “Para Malaikat itu diciptakan dari nur, dan iblis diciptakan dari nyala api, sedangkan Adam diciptakan seperti yang telah disifatkan kepada kalian.”

Maka pada saat diperlukan, setiap wadah akan menumpahkan isinya dan iblis dikhianati oleh tabi’atnya. Karena itu, iblis bercirikan perilaku Malaikat dan menyerupai mereka dalam beribadah dan dalam melakukan kewajiban. Karena itu, iblis termasuk dalam apa yang diserukan kepada Malaikat dan iblis bermaksiat karena menyalahi urusan itu.

Di sini Allah , mengingatkan bahwa iblis itu termasuk dari golongan jin karena ia diciptakan dari api, sebagaimana yang Dia firmankan berikut ini: “Aku lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api sedang Engkau ciptakan Adam dari tanah.” (QS. Al-A’raaf: 12)

Al-Hasan al-Bashri mengemukakan, iblis itu bukan dari golongan Malaikat sama sekali meski sedikit pun, sesungguhnya ia berasal dari golongan jin, sebagaimana Adam as adalah asal manusia. Demikian yang diriwayatkan Ibnu Jarir dengan isnad yang shahih.

Mengenai firman-Nya: kaana minal jinni (“Dia adalah dari golongan jin,”) Ibnu `Abbas mengatakan: “Yakni dari perbendaharaan Jannah, sebagaimana seseorang disebut Makki (dari Makkah) dan Madani (dari Madinah).”

Firman-Nya: fa fasaqa ‘an amri rabbiHii (“Maka ia mendurhakai perintah Rabb-nya.”) Artinya, ia keluar dari ketaatan kepada Allah Ta’ala, karena al-fisqu berarti keluar. Dikatakan, fasaqatir ruthbatu (kurma itu berjatuhan) jika ia telah keluar dari tangkainya, atau fasagatil fa’-ratu min juhriha (tikus itu keluar dari lobangnya), jika ia memang keluarnya untuk melakukan kerusakan.

Kemudian Allah berfirman seraya mengecam dan mencela orang-orang yang mengikuti iblis dan mentaatinya: a fa tattakhidzuunaHu wa dzurriyyataHu auliyaa-a min duunii (“Patutkah kamu mengambil dia dan keturunannya sebagai pemimpin selain dari-Ku.”) Yakni, sebagai pengganti diri-Ku. Oleh karena itu, Dia pun berfirman: bi’sa lidh-dhaalimiina badalan (“Sangat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zhalim.”

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Kahfi ayat 47-49

19 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Kahfi (Gua)
Surah Makkiyyah; surah ke 18: 110 ayat

tulisan arab alquran surat al kahfi ayat 47-49“Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung dan kamu akan melihat bumi itu datar dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dari mereka. (QS. 18:47) Dan mereka akan dibawa ke hadapan Rabbmu dengan berbaris. Sesungguhnya kamu datang kepada Kami, sebagaimana Kami menciptakanmu pada kali yang pertama; bahkan kamu mengatakan bahwa Kami sekali-kali tidak akan menetapkan bagimu waktu (memenuhi) perjanjian. (QS. 18:48) Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang pun.” (QS. 18:49) (al-Kahfi: 47-49)

Allah menceritakan tentang keadaan hari Kiamat yang menyeramkan dan berbagai peristiwa besar yang terjadi pada saat itu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Pada hari ketika langitbenar-benar bergoncang dari gunung-gunung benar-benar berjalan. ” (QS. At-Thuur: 9-10).
Yakni beranjak dari tempatnya masing-masing dan kemudian menghilang.

Oleh karena itu, Allah berfirman: wa taral ardla baarizatan (“Dan kamu akan melihat bumi itu datar.”) Maksudnya, rata dan tampak jelas, tidak ada di dalamnya tanda bagi seseorang dan juga tempat yang dapat menutupi seseorang, tetapi makhluk secara keseluruhan tampak jelas bagi Rabb mereka dan tidak sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya.

Mengenai firman-Nya ini, wa taral ardla baarizatan (“Dan kamu akan melihat bumi itu datar.”) Mujahid dan Qatadah mengatakan: “Tidak ada batu dan semak-semak (hutan) di atas bumi.” Qatadah juga mengemukakan: “Tidak ada bangunan dan juga pepohonan.”

Firman-Nya: wa hasyarnaaHum falam nughaadir minHum ahadan (“Dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dari mereka.”) Maksudnya, Kami kumpulkan orang-orang yang hidup pertama-tama dan (hingga) yang hidup terakhir, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang Kami tinggalkan, baik anak-anak maupun yang sudah tua. Sebagaimana yang difirmankan-Nya:
“Hari Kiamat itu adalah suatu hari yang semua manusia dikumpulkan untuk menghadapnya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk).” (QS. Huud: 103)

Firman-Nya: wa ‘uridluu ‘alaa robbika shaffan (“Dan mereka akan dibawa ke hadapan Rabbmu dengan berbaris.”) Dimungkinkan maksud penggalan ayat ini adalah bahwa seluruh makhluk berdiri di hadapan Allah Ta’ala dalam satu barisan. Sebagaimana yang difirmankan Allah: “Pada hari ketikaruh dan para Malaikat berdiri dalam barisan, mereka tidak berkata-kata kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Rabb Yang Mahapemurah, dan ia mengucapkan kata yang benar.” (QS. An-Naba’: 38).

Mungkin juga berarti bahwa mereka berdiri dalam beberapa barisan, sebagaimana yang difirmankan-Nya: “Dan datanglah Rabbmu, sedang para Malaikat berbaris-baris.” (QS. Al-Fajr: 22)

Firman-Nya: laqad ji’tumuunaa kamaa khalaqnaakum awwala marratin (“Sesungguhnya kamu datang kepada Kami, sebagaimana Kami menciptakanmu pada kali yang pertama.”
Yang demikian itu merupakan kecaman keras bagi orang-orang yang mengingkari akan adanya hari Kiamat, sekaligus sebagai celaan bagi mereka di hadapan para saksi. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman yang ditujukan kepada mereka: bal za’amtum allan naj’ala lakum mau-‘idan (“Bahkan kamu mengatakan bahwa Kami sekali-kali tidak akan menetapkan bagimu waktu [memenuhi] perjanjian.”)
Maksudnya, kalian mengira bahwa hal ini tidak akan terjadi kepada kalian dan tidak juga datang.

FirmanNya: wa wudli’al kitaabu (“Dan diletakkan kitab.”) Yakni, kitab amal perbuatan yang di dalamnya terdapat perbuatan yang mulia dan perbuatan yang hina, yang kecil dan yang besar. Fa taral mujrimiina musy-fiqiina mimmaa fiiHi (“Lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang [tertulis] di dalamnya.”) Yakni, berupa amal perbuatan mereka yang jahat lagi buruk.

Wa yaquuluuna yaa wailatanaa (“Dan mereka berkata: ‘Aduhai celaka kami.’”) Maksudnya, sungguh kami sangat merugi dan kecelakaan bagi kami atas kelengahan kami dalam menjalani masa hidup kami.
Maa li Haadzal kitaabi laa yughaadiru shaghiirataw wa laa kabiiratan illaa ah-shaaHaa (“Kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak pula yang besar, melainkan ia mencatat semuanya.”) Maksudnya, tidak ada satu dosa pun baik kecil maupun besar yang ditinggalkan dan tidak juga amal perbuatan sekecil apa pun melainkan akan tertulis dan tercatat di dalamnya secara teliti dan terpelihara.

Firman-Nya: wa wajaduu maa ‘amiluu haadliran (“Dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada [tertulis].”) Yakni, perbuatan baik maupun buruk. Dengan kata lain, semua yang tersembunyi akan terlihat jelas.

Imam Ahmad meriwayatkan, dari Anas bin Malik, dari Nabi, di mana beliau pernah bersabda: “Setiap pengkhianat mempunyai bendera pada hari Kiamat yang dapat dikenali dengannya.” Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab shahih mereka.

Firman-Nya: wa laa yadh-limu rabbuka ahadan (“Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang pun.”) Maksudnya, Dia akan memberikan keputusan di tengah-tengah hamba-hamba-Nya mengenai amal perbuatan mereka secara keseluruhan dan Dia tidak mendhalimi seorangpun dari makhluk-Nya, bahkan sebaliknya, Dia senantiasa memberi maaf, menghapuskan dosa, memberikan ampunan, menganugerahkan kasih sayang. Dia juga akan mengadzab siapa saja yang Dia kehendaki melalui kekuasaan, hukum dan keadilan-Nya. Dia akan memenuhi neraka itu dengan orang-orang kafir dan orang-orang yang berbuat maksiat, lalu orang-orang yang berbuat maksiat tersebut akan diselamatkan, sedangkan orang-orang kafir akan tetap kekal di dalamnya. Dia adalah Rabb yang Mahabijaksana yang tidak melampaui batas dan tidak pula melakukan kezhaliman.

Dia berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang meski sebesar dzarrah pun, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya.” (QS. An-Nisaa’: 40)

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Kahfi ayat 45-46

19 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Kahfi (Gua)
Surah Makkiyyah; surah ke 18: 110 ayat

tulisan arab alquran surat al kahfi ayat 45-46“45. Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, Maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu. 46. harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (al-Kahfi: 45-46)

Allah berfirman: wadl-rib (“Berilah”) hai Muhammad kepada umat manusia. Matsalal hayaatid dun-yaa (“perumpamaan kepada mereka kehidupan di dunia”) yakni dalam kehancuran, kefanaan, kehancuran dan ke-berakhiran-nya:
Kamaa-in anzalnaaHu minas samaa-i fakh-talatha biHii nabaatul ardli (“Adalah seperti air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi”) yakni semua yang ada di dalamnya, berupa biji-bijian lalu tumbuh indah dan meninggi menjadi bunga. Setelah itu semuanya: fa ash-baha Hasyiiman tadz-ruuHur riyaahu (“menjadi kering yang diterbangkan angin”) yakni diporak-porandakan dan diterbangkan ke kanan dan ke kiri. Wa kaanallaaHu ‘alaa kulli syai-in qadiir (“dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”) maksudnya Dia Mahakuasa untuk menjadikan keadaan seperti itu.

Seringkali Allah memberikan perumpamaan tentang kehidupan dunia ini dengan perumpamaan tersebut. Dalam hadits shahih disebutkan, bahwa Rasulullah bersabda: “Dunia ini adalah hijau lagi manis.”

Firman Allah Ta’ala: al maalu wal banuuna ziinatul hayaatid dun-yaa (“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.”) Menghadap kepada-Nya dan menyempatkan waktu luang untuk beribadah kepada-Nya adalah lebih baik bagi kalian daripada kesibukan kalian dengan semuanya itu dan sibuk mencari kekayaan untuk mereka serta belas kasihan yang berlebihan terhadap mereka.

Oleh karena itu, Dia berfirman: wal baaqiyatush shaalihatu khairun ‘inda rabbika tsawaabaw wa khairun amalan (“Tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”) Ibnu `Abbas, Sa’id bin Jubair dan beberapa ulama Salaf mengatakan: “Yang dimaksud dengan al-baaqiyaat ash-shaalihaat adalah shalat lima waktu.”

Sedangkan `Atha’ bin Abi Rabah dan Sa’id bin Jubair, dari Ibnu `Abbas, yang dimaksud dengan al-baaqiyaat ash-shaalihaat adalah kalimat: laa ilaaHa illallaaHu wa subhaana wal hamdulillaaHi wallaaHu akbar (“Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada Ilah [yang berhak diibadahi] kecuali Allah, Allah Mahabesar.”).

Demikin pula Amirul Mukminin `Utsman bin `Affan ditanya tentang al-baagiyaat ash-shalihaat beliau mengatakan: “Al-Baagiyaat
ash-Shaalihaat adalah kalimat: laa ilaaHa illallaaHu wa subhaana wal hamdulillaaHi wallaaHu akbaru wa laa haula wa laa quwwata illaa billaaHil ‘aliyyil ‘adhiim (“Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada Ilah [yang berhak diibadahi] kecuali Allah, Allah Mahabesar. Dan tidak ada daya dan upaya melainkan hanya pada Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung”). Demikian yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

Imam Malik juga meriwayatkan dari `Imarah bin `Abdullah bin Shayyad, dari Said bin al-Musayyab, ia mengatakan: “Al-Baagiyaat ash-Shaalihaat adalah: laa ilaaHa illallaaHu wa subhaana wal hamdulillaaHi wallaaHu akbaru wa laa haula wa laa quwwata illaa billaaHi (“Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada Ilah [yang berhak diibadahi] kecuali Allah, Allah Mahabesar. Dan tidak ada daya dan upaya melainkan hanya pada Allah”).

Ibnu Jarir meniwayatkan dan Abu Hurairah, ia bercerita, Rasulullah bersabda: “Mahasuci Allah dan segala puji bagi Allah. Tiada Ilah (yang berhak diibadahi) selain Allah, dan Allah Mahabesar adalah al-Baagiyaat ash-Shaalihaat.”

Ibnu Jarir juga menceritakan, diberitahukan kepadaku dari Abu Said bahwa Rasulullah bersabda: “Perbanyaklah kalian membaca al-Baaqiyaat ash-Shaalihaat.” Ditanyakan: “Lalu apakah al-Baaqiyaat ash-Shaalihaat itu, ya Rasulallah?” Beliau menjawab: “Yaitu, millah.” Ditanyakan lagi: “Lalu apa yang dimaksud dengan millah itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Yaitu takbir, tahlil, tasbih dan alhamdulillaah, serta laa haula wa laa quwwata illaa billaah.” (Demikianlah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad).

`Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu `Abbas, mengenai firman-Nya: wal baaqiyatush shaalihaatu; ia mengatakan: “la adalah dzikir kepada Allah berupa ucapan: Laa Ilaaha illallaah wallaahu Akbar (tiada Ilah (yang haq) selain Allah, Allah Mahabesar), Subhaanallaah (Mahasuci Allah), Alhamdulillaah (segala puji bagi Allah) Tabaarakallaahu (Mahasuci Allah), Laa haula wa laa quwwata illaa billaah (tiada daya dan upaya melainkan hanya pada Allah), Astaghfirullaah (aku memohon ampunan kepada Allah), Shallallaahu ‘alaa Rasuulillaah (semoga Allah melimpahkan kesejahteraan kepada Rasulullah), puasa, shalat, haji, sedekah, membebaskan budak, jihad, silaturahmi, dan semua amal perbuatan baik. Semuanya itu adalah al-Baagiyaat ash-Shaalihaat yang akan mengekalkan pelakunya di surga selama masih ada langit dan bumi.

`Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengemukakan, “Ia adalah amal perbuatan shalih secara keseluruhan.”
Dan yang terakhir ini menjadi pilihan Ibnu Jarir.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Kahfi ayat 42-44

19 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Kahfi (Gua)
Surah Makkiyyah; surah ke 18: 110 ayat

tulisan arab alquran surat al kahfi ayat 42-44“Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia membolak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata: ‘Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Rabbku.’ (QS. 18: 42) Dan tidak ada bagi dia segolongan-pun yang menolongnya selain Allah; dan sekali-kali dia tidak dapat membela dirinya, (QS. 18: 43) Disana pertolongan itu hanya dari Allah yang Haq. Dia adalah sebaik-baik Pemberi pahala dan sebaik-baik Pemberi balasan. (QS. 18:44)” (al-Kahfi: 42-44)

Allah befirman: wa uhiitha bitsamariHii (“Dan harta kekayaannya dibinasakan,”) yakni seluruh harta kekayaannya. Menurut yang lainnya adalah buah-buahan-nya. Maksudnya, apa yang dulu pernah diperingatkan oleh kawannya, seorang mukmin, yakni pengiriman ketentuan (pembinasaan) terhadap kebunnya yang karenanya ia menyombongkan diri dan menjadikan dirinya lupa kepada Allah.

Fa ash-bahu yuqallabu kaffaiHi ‘alaa maa anfaqa fiiHaa (“Lalu ia membolak-balikkan kedua tangannya [tanda menyesal] terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu.”)
Qatadah mengatakan: “Yakni, menepukkan kedua telapak tangannya seraya menyayangkan dan menyesalkan harta kekayaannya yang dibinasakan-Nya.

Wa yaquulu yaa laitanii lam usy-rik birabbii ahadan wa lam takul laHuu fi-atun (“Dan ia berkata: ‘Aduhai kiranya dulu aku tidak menyekutukan seorang pun dengan Rabbku. Dan tidak ada bagi
dia segolongan pun.’”) Yakni, keluarga atau keturunan, sebagaimana dulu ia pernah membanggakan diri karena mereka.

YanshuruunaHu min duunillaaHi wa maa kaana munashiran Hunaalikal walaayatu lillaaHil haqqi (“Yang akan menolongnya selain Allah. Dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya. Di sana pertolongan itu hanya dari Allah yang Haq.”) Para qurra’ [ahli qira-at] telah berbeda pendapat di sini. Di antara mereka ada yang berhenti pada firman-Nya ini: wa maa kaana munashiran Hunaalika (“Dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya di sana.”)

Maksudnya, di tempat itulah akan ditimpakan adzab Allah kepadanya, sehingga tidak ada yang dapat menyelamatkannya dari adzab tersebut. Dan kemudian ia mulai meneruskan bacaannya dengan firman-Nya: al walaayatu lillaaHil haqqi (“Pertolongan itu hanya dari Allah yang Haq.”)

Di antara mereka juga ada yang menghentikan bacaannya pada firman-Nya: wa maa kaana muntashiran (“Dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya,”) dan memulai lagi bacaannya dengan firman-Nya: Hunaalikal walaayatu lillaaHil haqqi (“Di sana pertolongan itu hanya dari Allah yang Haq.”)

Selanjutnya mereka berbeda juga dalam bacaan “al-wilaayah.” Di antara mereka ada yang membacanya dengan memberikan harakat fathah pada huruf wawu, yaitu al-walaayah, yang berarti, di sanalah ketundukan kepada Allah berada. Artinya, di sanalah setiap orang, baik mukmin maupun kafir kembali kepada Allah dan kepada ketundukan kepada-Nya, jika tertimpa adzab. Yang demikian itu seperti firman Allah Ta’ala berikut ini: fa lammaa ra-au ba’sanaa qaaluu aamannaa billaaHi wahdaHuu wa kafarnaa bimaa kunnaa biHii musyrikiin (“Maka ketika mereka melihat adzab Kami, mereka berkata: ‘Kami beriman hanya kepada Allah saja dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah.’”) (QS. Al-Mu’min: 84).

Di antara para qurra’ itu juga ada yang membaca dengan harakat kasrah di bawah wawu, yaitu al-wilaayah, yang berarti di sana hanya hukum Allah yang Haq yang berlaku. Ada juga yang membacanya dengan memberikan harakat dhammah pada huruf gaaf, yaitu pada kata al-Haqqu dengan anggapan bahwa kata itu merupakan na’at (sifat) untuk kata al-wilaayatu. Yang
demikian itu sama seperti firman Allah ini: “Kerajaan yang haq pada hari itu adalah kepunyaan Rabb yang Mahapemurah. Dan adalah hari itu, satu hari yang penuh kesulitan bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Furgaan: 26).

Di antara mereka ada juga yang memberikan harakat kasrah pada huruf qaaf dengan alasan bahwa kata itu merupakan na’at dari kata lillaahi. Yang demikian itu sama seperti firman-Nya ini: tsumma rudduu ilallaaHil maulaaHumul haqqi (“Kemudian mereka dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya.”) (Al-An’aam: 62)

Oleh karena itu, Allah berfirman: Huwa khairun tsawaabaw wa khairun ‘uqban (“Dia adalah sebaik baik pemberi pahala dan sebaik baik pemberi balasan.”) Yakni, berbagai amal perbuatan yang pahalanya berada di tangan Allah adalahlebih baik dan berakhir dengan kesudahan yang terpuji, yang semuanya adalah baik.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Kahfi ayat 37-41

19 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Kahfi (Gua)
Surah Makkiyyah; surah ke 18: 110 ayat

tulisan arab alquran surat al kahfi ayat 37-41“Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: ‘Apakah kamu kafir kepada (Rabb) yang menciptakanmu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikanmu seorang laki-laki yang sempurna? (QS. 18:37) Tetapi aku (percaya bahwa): Dialah Allah, Rabbku, dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Rabbku. (QS. 18:38) Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu: ‘Maa syaa Allah, laa quwwata illaa billaah’ (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan, (QS. 18:39) maka mudah-mudahan Rabbku, akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik daripada kebunmu (ini); dan mudah-mudahan Dia mengirimkan ketentuan (petir) dari langit kepada kebunmu, hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin; (QS. 18:40) atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi.” (QS. 18:41) (al-Kahfi: 37-41)

Allah Ta’ala berfirman dalam menceritakan jawaban yang diberikan kawannya, seorang yang beriman, seraya memberikan nasihat kepadanya serta mengecam kekafiran dan kesombongannya kepada Allah.

A kafarta bil ladzii khalaqaka min turaabin (“Apakah kamu kafir kepada Rabb yang menciptakanmu dari tanah?”) Yang demikian ini merupakan penolakan terhadap temannya sekaligus sebagai pengagungan terhadap Allah Ketika terjadi pengingkaran dalam dirinya terhadap Rabbnya yang telah menciptakannya dan memulai penciptaan manusia dari tanah, yaitu Adam, lalu Dia ciptakan keturunannya dari setetes air yang hina (jijik). Sesungguhnya tidak ada satu pun makhluk melainkan mengetahui bahwa sebelumnya ia tidak ada dan kemudian ada. Keberadaannya bukan oleh dirinya sendiri, dan juga bukan disandarkan kepada makhluk lainnya, karena segala sesuatu itu sama kedudukannya seperti dirinya. Maka ia mengetahui, bahwa keberadaannya itu harus ia sandarkan kepada yang mengadakannya, yaitu Allah yang tiada Ilah (yang berhak diibadahi) selain Dia, pencipta segala sesuatu.

Oleh karena itu, orang yang beriman itu berkata: laakinna HuwallaaHu rabbii (“Tetapi aku percaya bahwa) Dialah Allah, Rabbku.”) Maksudnya, tetapi aku tidak mengatakan seperti perkataanmu, aku mengakui keesaan dan ke-Rububiyyah-an Allah. Walaa usyriku birabbii ahadan (“Dan aku tidak menyekutukan seorang pun dengan Rabbku.”) Maksudnya, tetapi Dia adalah Allah, satu-satunya sembahan, yang tiada sekutu bagi-Nya.

Kemudian Allah Ta’ala berfirman: wa lau laa idz dakhalta jannataka qulta maa syaa allaaHu laa quwwata illaa billaaHi in tarani ana aqala minka maalaw wa waladan (“Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu: ‘Maa syaa Allah, laa quwwata illaa billaah’ [sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah]. Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan.’”)

Yang demikian itu merupakan anjuran dan dorongan untuk mengucapkan hal tersebut. Artinya, jika kebun itu membuatmu bangga ketika kamu memasukinya dan kamu melihatnya, maka panjatkanlah pujian kepada Allah atas nikmat yang telah dikaruniakan-Nya kepadamu dan Dia telah memberimu harta kekayaan dan juga keturunan yang tidak diberikan kepada selain dirimu. Dan hendaknya kamu mengucapkan: “Maa syaa Allah, laa quwwata illaa billaah.”

Oleh karena itu, sebagian ulama Salaf mengemukakan: “Barangsiapa yang merasa bangga atas keadaan, kekayaan, atau keturunannya sendiri, maka hendaklah ia mengucapkan: ‘Maa syaa Allah, laa quwwata illaa billaah.” Kalimat tersebut diambil dari ayat di atas, dan dalam hadits shahih juga telah ditegaskan, dari Abu Musa, bahwa Rasulullah pernah bersabda kepadanya: “Maukah kamu aku tunjukkan salah satu dari beberapa perbendaharaan surga? Yaitu kalimat, Laa haula walaa quwwata illaa billaah [tiada daya dan tiada upaya melainkan hanya dengan (pertolongan) Allah].”

Firman-Nya: fa ‘asaa rabbii aya yu’tiani khairam min jannataka (“Maka mudah-mudahan Rabbku akan memberi kepadaku [kebun] yang lebih baik daripada kebunmu ini.”) Yakni, di alam akhirat. Wa yursila ‘alaiHaa (“Dan mudah-mudahan Dia mengirimkan kepadanya,”) yakni kepada kebunmu di dunia yang kamu kira tidak akan hancur dan binasa. Husbaanam minas samaa-i (“Ketentuan dari langit.”) Ibnu `Abbas, adh-Dhahhak, Qatadah, dan Malik mengatakan, dari az-Zuhri, yakni, adzab dari langit. Secara lahiriyah ayat, ketentuan dari langit adalah hujan yang sangat lebat yang menumbangkan semua tanaman dan pepohonannya. Oleh karena itu, ia berkata: fa tush-biha sha-‘iidan zalaqan (“Sehingga [kebun itu] menjadi tanah yang licin.”) Maksudnya, menjadi tanah yang halus lagi licin, yang tidak ada satu kaki pun yang bisa berdiri tegak di sana. Ibnu `Abbas mengatakan, tanah lapang yang tidak tumbuh sesuatu apa pun.

Dan firman-Nya: au tush-biha maa-uHaa ghauran (“Atau airnya menjadi surut ke dalam tanah,”) yakni, surut masuk ke dalam bumi, dan itu berlawanan dengan cumber yang mengeluarkan air. Di sini, orang itu berkata: au tush-biha maa-uHaa ghauran fa lan tastathii’a laHuu thalaban (“Atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi.”) Kata al-ghaur berkedudukan sebagai mashdar yang berarti ghaa-ir (surut), yang mana kata tersebut (al-ghaur) lebih tepat artinya.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Kahfi ayat 32-36

19 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Kahfi (Gua)
Surah Makkiyyah; surah ke 18: 110 ayat

tulisan arab alquran surat al kahfi ayat 32-36“Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan diantara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. (QS. 18:32) Kedua kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikit pun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu, (QS. 18:33) dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawan-nya (yang mukmin) ketika is bercakap-cakap dengannya: ‘Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikut pengikutku lebih kuat.’ (QS. 18:34) Dan dia memasuki kebunnya sedang ia dhalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: ‘Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, (QS. 18:35) dan aku tidak mengira hari Kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Rabbku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu.’ (QS. 18:36)” (al-Kahfi: 32-36)

Setelah bercerita tentang orang-orang musyrik yang sombong lagi enggan untuk duduk bersama kaum muslimin yang lemah dan miskin, dan yang membanggakan diri atas mereka dengan harta kekayaan dan kedudukan mereka, maka Allah; berfirman seraya memberikan perumpamaan bagi kedua kelompok orang di atas dengan dua orang yang salah seorang dari keduanya diberi oleh Allah dua kebun anggur yang dikelilingi oleh pohon-pohon kurma. Di celah-celah kedua kebun tersebut terdapat ladang, yang semua pohon dan tanaman dipenuhi dengan buah yang sangat menyenangkan.

Oleh karena itu Dia berfirman: kiltal jannataini aatat ukulaHaa (“Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya,”) yakni, mengeluarkan buahnya. Wa lam yadh-lim minHu syai-an (“Dan kebun itu tiada mendhalimi buahnya sedikit pun.”) Yakni, mengurangi sedikit pun dari buahnya. Wa fajjarnaa khilaa laHumaa naHaran (“Dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu.”) Maksudnya, di dalam kedua kebun tersebut terdapat sungai-sungai yang berpencar-pencar, ada di sini dan di sana.

Wa kaana laHuu tsamarun (“Dan dia mempunyai kekayaan besar,”) ada yang berpendapat, “tsamar,” itu maksudnya harta atau kekayaan, itulah menurut riwayat dari Ibnu `Abbas dan Mujahid, juga Qatadah.

Ada juga yang mengatakan bahwa “tsamar” itu ialah buah-buahan, dan itu yang nampak jelas pada ayat ini, juga dikuatkan dalam bacaan lain.

Firman-Nya: Wa kaana laHuu tsumrun (“Dan dia mempunyai kekayaan besar,”) yaitu dengan memberikan harakat dhammah di atas huruf tsa’ dan sukun di atas huruf mim, sehingga kata tersebut merupakan jamak dari kata tsamrah (buah), seperti halnya kata khasybah dan khasyab. Ulama lainnya ada yang membaca tsamarun, yaitu dengan memberikan harakat fathah di atas huruf tsa’ dan huruf mim. Kemudian pemilik kedua kebun itu berkata kepada kawannya, yang ketika itu ia tengah berdebat dan berdialog dengannya seraya membanggakan
diri atas kawannya itu dan merasa mengunggulinya: ana aktsamu minka maalaw wa a-‘azzu nafaran (“Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat.”) Maksudnya, yang lebih banyak pembantu, pengikut dan juga anak.

Qatadah berkata: “Yang demikian itu merupakan angan-angan orang jahat, yaitu mempunyai banyak harta kekayaan dan memiliki kekuatan yang besar.”

Firman-Nya: wa dakhala jannataHuu wa Huwa dlaalimul linafsiHii (“Dan ia memasuki kebunnya
sedang ia dhalim terhadapi dirinya sendiri.”) Yakni, dengan kekafiran, keingkaran, kesombongan, keengganan, serta penolakannya terhadap adanya hari Kiamat.

Qaala maa adhunnu an tabiida HaadziHii abadan (“Ia berkata: Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya.’”) Perkataan itu menunjukkan bahwa dirinya tertipu, karena ia menyaksikan dalam kebun tersebut berbagai tanaman, buah-buahan, pepohonan, dan sungai-sungai yang mengalir di sakelilingnya. Ia mengira bahwa kebun itu tidak akan hancur, rusak dan binasa. Hal itu disebabkan oleh dangkalnya pemikiran dan lemahnya keyakinan kepada Allah, serta kebanggaan dirinya terhadap kehidupan dunia dan perhiasannya juga kekafirannya terhadap alam akhirat.

Oleh karena itu, ia berkata: maa adhunnu an tabiida HaadziHii abadan (“Ia berkata: Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya.’”)”Yakni, tidak akan terjadi. Wa lair rudidtu ilaa rabbii la-ajidanna khairam minHaa munqalaban (“Dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Rabbku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu.”) Maksudnya, seandainya tempat kembaliku kepada Allah Ta’ala, niscaya aku akan disediakan kebun di sisi Rabbku yang lebih baik dari kebun ini. Dan kalau bukan karena kemuliaanku atas-Nya, niscaya Dia tidak akan memberiku semua ini. Sebagaimana Dia berfirman dalam ayat yang lain: “Dan jika aku dikembalikan kepada Rabbku, maka sesungguhnya Au akan memperoleh kebaikan di sisi-Nya.” (QS. Fushshilat: 50)

bersambung