Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi
Allah lah yang menakdirkan segala perkara yang akan terjadi pada alam semesta ini. Karenanya keimanan kepada takdir Allah ini merupakan bagian terpenting dalam konsep keimanan kepada Allah. Yang jelas, Allah telah mengatur seluruh proses semesta ini, mulai dari hal yang menyangkut penciptaan alam semesta ini, hubungan manusiawi, hubungan manusia dengan alam semesta, dan seterusnya.
Pada dasarnya, keimanan pada takdir Allah ini, takdir baik maupun takdir buruk, merupakan landasan pendidikan Islam. Karena itu Rasulullah saw. menjadikan keimanan tersebut sebagai rujukan tersendiri. Dari keimanan tersebut, banyak dampak edukatif yang dapat diambil oleh orang beriman.
1. Munculnya kekuatan tekad dan hilangnya keraguan. Dalam komunitas manusia, tidak akan ada tekad yang setajam tekadnya seorang mukmin dalam menghadapi takdir Allah. Jika seoran mukmin menghadapi berbagai permasalahan, lantas berniat untuk meminta nasehat kepada orang lain dan beristikharah kepada Rabb-nya, dia akan memiliki kemantapan hati serta meniatkan dan mengerjakan segalanya tanpa ragu, takut, atau termangu. Dia sangat meyakini bahwa seluruh situasi dan kemungkinan yang akan terjadi itu betul-betul di luar kemampuan. Semuanya merupakan bagian dari perkara yang ada dalam pengetahuan dan takdir Allah. Dia sangat yakin bahwa Allah akan menolongnya dengan memilih yang terbaik untuknya. Jika dia merasa bahwa Allah memudahkan pelaksanaan suatu niat, dia yakin bahwa Allah telah memberikan kepadanya sesuatu yang terbaik. Dia yakin bahwa Allah memeliharanya dari keburukan-keburukan.
2. Tidak menyesali atau merasa rugi terhadap sesuatu yang tidak dapat dia raih. Seorang mukmin tidak akan pernah meratapi hal-hal yang telah terjadi melalui penyesalan atau kesedihan yang berlebihan sebab dia menyadari bahwa penyesalan itu tidak akan dapat mengembalikan apa yang tidak dapat ia raihnya itu. Ia hanya bertekad untuk semaksimal mungkin meraih apa yang telah ditetapkan Allah untuknya dan tidak ada dalam benaknya upaya untuk menghalangi takdir Allah selama sesuatu telah terjadi. Untuk sesuatu yang membuatnya salah langkah, dia senantiasa mengambil hikmah dari semuanya, kemudian bertobat. Dia bertekad untuk tidak digigit ular dua kali pada lubang yang sama.
3. Berani menghadapi kematian. Jiwa ini tidak akan ditimpa kematian kecuali atas izin dan ketetapan dari Allah swt.
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya…” (Ali Imraan: 145)
Karena itu, tidak mungkin seorang mukmin sejati sesumbar bahwa dia tidak akan pernah mati. Untuk itu Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir (orang-orang munafik) itu, yang mengatakan kepada saudara-saudara mereka apabila mereka Mengadakan perjalanan di muka bumi atau mereka berperang: “Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh.” akibat (dari Perkataan dan keyakinan mereka) yang demikian itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat di dalam hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan. dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan.” (Ali Imraan: 156)
Jika seorang mukmin dididik untuk berani menghadapi maut, dia akan berani menghadapi segala tantangan hidup, baik itu berupa kehilangan anak, kekayaan, kedudukan, atau menghadapi musibah dan penyakit karena dia sangat yakin bahwa semua itu adalah rangkaian takdir Allah.
4. Optimis, rela, dan menghindarkan upaya pencarian penyebab musibah melalui ramal-meramal. Tidak mungkin dia mencari penyebab musibahnya melalui suara burung hantu atau seperti ramalan kaum kafir. Tentang itu Allah swt mengisahkannya dalam ayat berikut ini:
“Mereka menjawab: ‘Sesungguhnya Kami bernasib malang karena kamu, Sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya Kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami.’ Utusan-utusan itu berkata: ‘Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas.’ (Yaasiin: 18-19)
Dalam hadits riwayat Dawud dikatakan bahwa Urwah bin Amar telah menuturkan sebuah ramalan kesialan di hadapan Rasulullah saw. Mendengar itu, Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik ramalan adalah pengharapan yang baik. Ramalan tidak akan menggamangkan seorang muslim. Apabila salah seorang di antara kamu melihat sesuatu yang tidak disukainya, maka katakanlah: ‘Ya Allah, tiada yang mendatangkan berbagai kebaikan selain Engkau dan tiada yang dapat menolak berbagai keburukan selain Engkau. Tiada upaya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Engkau.’”
Tidak jarang manusia yang merasa jengkel terhadap penyakit. Padahal jika kita merenungkan lebih jauh, ketika kita tengah menghadapi penyakit, banyak waktu yang bisa kita gunakan untuk berdzikir dan instropeksi diri, sehingga kita berniat untuk menghaluskan budi pekerti dan menebus berbagai kesalahan kita.
Dalam hadits riwayat Muslim dikatakan, Rasulullah saw. pernah bertamu ke rumah Umi Sa’ib [Umi al-Musib]. Ketika itu beliau bertanya, “Mengapa engkau terengah-engah wahai Umi Sa’ib?” Dia menjawab, “Aku demam dan tiada keberkahan Allah di dalamnya.” Rasulullah saw. bersabda, “Jangan engkau memaki demammu, sebab ia dapat menghilangkan kesalahan-kesalahan manusia sebagaimana alat penghembus api [ubub] menghilangkan karat besi.”
Demikian juga kita dilarang mengaitkan kesialan pada suatu kejadian atau mengumpat masa [zaman] sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah saw. lewat Abu Hurairah ini: “Janganlah sekali-sekali salah seoran dari kamu mengatakan, ‘Hai zaman yang mengecewakan’ karena Allah adalah [pemilik] zaman.”
Rasulullah pun melarang mengaitkan kesialan kepada angin sebagaimana sabdanya melalui Ubai bin Ka’ab berikut ini: “Janganlah kamu memaki angin. Apabila kamu melihat sesuatu yang tidak kamu sukai, katakanlah: ‘Ya Allah, sesungguhnya kami memohon angin yang baik dan kebaikannya, dan kami berlindung kepada-Mu dari angin yang jahat dan kejahatannya serta kejahatan perkara yang Engkau suruh.’”
5. Semua dampak edukatif dari keimanan kepada takdir Allah itu mendidik kaum mukminin untuk bernalar dan tidak mengeksploitasi hawa nafsu dalam mencari penyebab suatu persoalan. Seorang mukmin akan mengetahui bahwa segala fenomena alam semesta ini berkisar antara kebaikan dan keburukan. Dengan demikian, dia harus berwaspada serta hanya memilih kebaikan dan membuang keburukan.
&
Tinggalkan Balasan