Arsip | 23.57

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Anbiyaa’ ayat 21-23

28 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Anbiyaa’ (Nabi-Nabi)
Surah Makkiyyah; surah ke 21: 112 ayat

tulisan arab alquran surat al anbiyaa' ayat 21-23“Apakah mereka mengambil ilah-ilah dari bumi, yang dapat menghidupkan (orang-orang mati)? (QS. 21: 21) Sekiranya ada di langit dan di bumi ilah-ilah selain Allah, tentulah keduanya itu sudah rusak binasa. Maka Mahasuci Allah yang mempunyai ‘Arsy daripada apa yang mereka sifatkan. (QS. 21: 22) Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai. (QS. 21: 23)” (al-Anbiyaa’: 21-23)

Allah Ta’ala mengingkari orang yang menjadikan selain-Nya sebagai Ilah. Dia berfirman: amit takhadzuu aaliHatam minal ardli Hum yunsyiruun (“Apakah mereka mengambil ilah-ilah dari bumi yang dapat menghidupkan?”) yaitu, apakah mereka menghidupkan yang mati dan menebarkan mereka di bumi? Mereka tidak mampu melakukan semua itu, maka bagaimana mungkin mereka menjadikannya sebagai tandingan bagi Allah serta menyembahnya bersama Dia.

Kemudian, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa jika terdapat ilah-ilah lain selain-Nya, niscaya rusaklah langit dan bumi. Maka Dia berfirman: lau kaana fiiHimaa aaliHatun (“Sekiranya ada pada keduanya ilah-ilah selain Allah”) yaitu di langit dan di bumi; lafasadataa (“Tentulah keduanya itu telah rusak binasa”)
Seperti firman Allah Ta’ala: “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak dan sekali-kali tidak ada ilah (yang lain) beserta-Nya, kalau ada ilah beserta-Nya, masing-masing ilah itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari ilah-ilah itu mengalahkan sebagian yang lain. Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.” (QS. Al-Mu’minuun: 91).

Sedangkan di sini, Dia berfirman: fasubhaanallaaHi rabbil ‘arsy ‘ammaa yashifuun (“Maka Mahasuci Allah yang mempunyai ‘Arsy dari pada apa yang mereka sifatkan,”) yaitu dari apa yang mereka katakan bahwa Allah memiliki anak atau sekutu. Mahasuci Dia, Mahatinggi, dan Mahabersih dari apa yang mereka tuduhkan dan mereka buat-buat setinggi-tinggi dan sebesar-besarnya.

Firman-Nya: laa yus-alu ‘ammaa yaf’alu waHum yus-aluun (“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai,”) Dialah Hakim yang tidak ada pengimbang bagi kebijaksanaan-Nya serta tidak ada satu pun yang dapat membantah kebesaran-Nya, keagungan-Nya, kehormatan-Nya, ilmu-Nya, kebijaksanaan-Nya, keadilan-Nya dan kelembutan-Nya.

waHum yus-aluun (“Dan merekalah yang akan ditanya”) yaitu Dia-lah yang akan menanya kepada makhluknya tentang apa yang mereka lakukan.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Anbiyaa’ ayat 16-20

28 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Anbiyaa’ (Nabi-Nabi)
Surah Makkiyyah; surah ke 21: 112 ayat

tulisan arab alquran surat al anbiyaa' ayat 16-20“Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main. (QS. 21: 16) Sekiranya Kami hendak membuat sesuatu permainan (isteri dan anak), tentulah Kami membuatnya dari sisi Kami. Jika Kami menghendaki berbuat demikian, (tentulah Kami telah melakukannya). (QS. 21: 17) Sebenarnya Kami melontarkan yang haq kepada yang bathil lalu yang haq itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang bathil itu lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tak layak bagi-Nya). (QS. 21: 18) Dan kepunyaan-Nyalah segala yang ada di langit dan di bumi. Dan para Malaikat yang di sisi-Nya, mereka tidak mempunyai rasa angkuh untuk beribadah kepada-Nya dan tidak (pula) merasa letih. (QS. 21: 19) Mereka selalu bertasbih malam dan Siang tiada henti-hentinya. (QS. 21: 20)” (al-Anbiyaa’: 16-20)

Allah Ta’ala mengabarkan bahwa penciptaan langit dan bumi adalah dengan kebenaran yaitu dengan keadilan dan kebenaran agar orang-orang yang buruk akan dibalas sesuai dengan apa yang mereka amalkan serta membalas orang-orang yang baik dengan kebaikan. Dia tidak menciptakan semua itu dengan sia-sia dan main-main, sebagaimana Dia berfirman:

“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.” (QS. Shaad: 27)

Firman-Nya: lau aradnaa an nat-takhidza laHwal lat-takhadzadznaaHu mil ladunnaa in kunnaa faa’iliin (“Sekiranya Kami hendak membuat sesuatu permainan, tentulah Kami membuatnya dari sisi Kami. Jika Kami menghendaki berbuat demikian,”) berkata Ibnu Abi Najih dari Mujahid, “Yaitu dari sisi kami.”
Dia berfirman: “Kami tidak menciptakan jannah, naar, kematian, kebangkitan dan hisab,”
Al-Hasan, Qatadah dan lain-lain berkata: “al-LaHwu; yaitu seorang wanita, menurut lisan orang Yaman.”

`Ikrimah dan as-Suddi berkata: “Yang dimaksud dengan al-Lahwu di sini adalah anak.” Pendapat ini dan pendapat sebelumnya adalah dua hal yang saling terkait. Dia mensucikan diri-Nya sendiri dari memiliki anak secara mutlak, apalagi tentang kedustaan dan kebathilan yang mereka katakan dengan menjadikan ‘Isa, ‘Uzair atau Malaikat sebagai anak Allah.

“Mahasuci dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka katakan setinggi-tingginya dan sebesar-besarnya.” (QS. Al-Israa’: 43)

Firman-Nya: in kunnaa faa’iliin (“Jika Kami menghendaki berbuat demikian.”) Qatadah, as-Suddi, Ibrahim an-Nakha’i dan al-Mughirah bin Miqsam berkata: “Yaitu kami tidak berbuat demikian.” Mujahid berkata: “Setiap kata =in= yang ada di dalam al-Qur’an, maka itu adalah pengingkaran.”

Firman-Nya: bal naqdzifu bilhaqqi ‘alal baathili (“Sebenarnya Kami melontarkan yang haq kepada yang bathil.”) yaitu Kami menjelaskan kebenaran, lalu lunturlah kebathilan. Untuk itu Dia berfirman, fayadmaghuHuu fa idzaa Huwa zaaHiq (“Lalu yang haq itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang bathil itu lenyap,”) yaitu hilang dan hancur. Wa lakumul wailu (“Dan kecelakaanlah bagimu,”) hai orang-orang yang berkata: ‘Allah memiliki anak.’
Mimmaa tashifuun (“Disebabkan kamu mensifati,”) yaitu kalian katakan dan kalian tuduhkan.

Kemudian, Allah Ta’ala mengabarkan tentang peribadatan Malaikat kepada-Nya dan adat kebiasaan mereka yang berada dalam ketaatan di waktu malam dan Siang. Maka Dia berfirman,
laHuu man fis samaawaati wal ardli wa man ‘indaHu (“Dan kepunyaan-Nyalah segala yang ada di langit dan di bumi dan makhluk-makhluk yang di sisi-Nya,”) yaitu para Malaikat;
laa yastakbiruuna ‘an ‘ibaadatiHi (“Mereka tidak mempunyai rasa angkuh untuk beribadah kepada-Nya,”) yaitu tidak merasa enggan untuk beribadah.
Firman-Nya: walaa yastahsiruun (“Dan tidak pula merasa letih,”) yaitu tidak lelah dan tidak bosan. Yusabbihuunal laila wan naHaara laa tafturuun (“Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya,”) yaitu mereka terus-menerus dalam beramal siang dan malam, mereka taat dalam niat dan amal serta mampu dalam semua itu.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Anbiyaa’ ayat 10-15

28 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Anbiyaa’ (Nabi-Nabi)
Surah Makkiyyah; surah ke 21: 112 ayat

tulisan arab alquran surat al anbiyaa' ayat 10-15“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepadamu sebuah Kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya? (QS. 21: 10) Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang dhalim yang telah Kami binasakan, dan Kami adakan sesudah mereka itu kaum yang lain (sebagai penggantinya). (QS. 21: 11) Maka tatkala mereka merasakan adzab Kami, tiba-tiba mereka melarikan diri dari negerinya. (QS. 21: 12) Janganlah kamu lari tergesa-gesa; Kembalilah kamu kepada nikmat yang telah kamu rasakan dan kepada tempat-tempat kediamanmu (yang baik), supaya kamu ditanya. (QS. 21:13) Mereka berkata: ‘Aduhai, celaka kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang dhalim.’ (QS. 21: 14) Maka tetaplah demikian keluhan mereka, sehingga Kami jadikan mereka sebagai tanaman yang telah dituai, yang tidak dapat hidup lagi. (QS. 21:15)” (al-Anbiyaa’: 10-15)

Allah Ta’ala berfirman mengingatkan tentang kemuliaan al-Qur’an serta mendorong mereka untuk mengenal kedudukannya.
Laqad anzalnaa ilaikum kitaaban fiiHi dzikrukum (“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepadamu sebuah Kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab dzikrumu.”) Ibnu `Abbas berkata: “Kemuliaan kalian.” Mujahid berkata: “Cerita kalian.” Sedangkan al-Hasan berkata: “Agama kalian.”

Afalaa ta’qiluun (“Maka, apakah kamu tiada memahaminya,”) yaitu nikmat ini dan kalian menampungnya dengan penerimaan, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu akan diminta pertanggungan jawab.” (QS. Az-Zukhruf: 44)

Firman-Nya: wa kam qashamnaa min qaryatin kaanat dhaalimatan (“Dan berapa banyak [penduduk] negeri yang zhalim yang telah Kami binasakan,”) ini merupakan kata yang menunjukkan banyak, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Dan berapa banyaknya kaum sesudah Nuh telah Kami binasakan.” (QS. Al-Israa’:17)

Firman-Nya: wa ansya’naa ba’daHaa qauman aakhariin (“Dan Kami adakan sesudah mereka itu kaum yang lain.”) yaitu umat lain sesudah mereka.
Falammaa ahassuu ba’sanaa (“Maka tatkala mereka merasakan adzab Kami,”) yaitu merasa yakin bahwa adzab akan menimpa mereka, sebagaimana yang dijanjikan oleh Nabi mereka.
Idzaa Hum minHaa yarkudluun (“Tiba-tiba mereka melarikan diri dari negerinya,”) yaitu melarikan diri untuk kabur.

Laa tarqudluu warji’uu ilaa maa utriftum fiiHi wa masaakinikum (“Jangan-lah kamu lari tergesa-gesa; Kemballilah kamu kepada nikmat yang telah kamu rasakan dan kepada tempat-tempat kediaman,”) ini adalah ancaman untuk mereka, janganlah kalian lari tergesa-gesa dari turunnya adzab dan kembalilah kalian kepada apa yang dahulu kalian rasakan berupa nikmat, kegembiraan, kehidupan dan tempat-tempat tinggal yang balk.

Qatadah berkata dalam rangka mengejek mereka: la’allakum tus-aluun (“Agar kamu ditanya,”) yaitu tentang mensyukuri nikmat yang dahulu kalian rasakan.

Qaaluu yaa wailanaa innaa kunnaa dhaalimiin (“Mereka berkata: ‘Aduhai celaka kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang dhalim,’”) mereka mengakui dosa-dosa mereka di saat pengakuan itu tidak bermanfaat bagi mereka.
Wa maa zaalat tilka da’waaHum hattaa ja’alnaaHum hashiidan khaamidiin (“Maka, tetaplah demikian keluhan mereka, sehingga Kami jadikan mereka sebagai tanaman yang telah dituai, yang tidak dapat hidup lagi,”) yakni perkataan itu terus-menerus diucapkan, yaitu pengakuan kedhaliman, sampai mereka tidak bergerak, juga (sampai) perkataan mereka lenyap.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Anbiyaa’ ayat 7-9

28 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Anbiyaa’ (Nabi-Nabi)
Surah Makkiyyah; surah ke 21: 112 ayat

tulisan arab alquran surat al anbiyaa' ayat 7-9“Kami tiada mengutus para Rasul sebelummu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui. (QS. 21: 7) Dan tidaklah Kami jadikan mereka tubuh-tubuh yang tiada memakan makanan, dan tidak (pula) mereka itu orang-orang yang kekal. (QS. 21: 8) Kemudian Kami tepati janji (yang telah Kami janjikan) kepada mereka. Maka Kami selamatkan mereka dan orang-orang yang Kami kehendaki dan Kami binasakan orang-orang yang melampaui batas. (QS. 21: 9)” (al-Anbiyaa’: 7-9)

Allah Ta’ala berfirman menolak orangyang mengingkari diutusnya Rasul dari kalangan manusia. Wa maa arsalnaa qablaka illaa rijaalan nuuhii ilaiHim (“Kami tiada mengutus para Rasul sebelummu, melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka,”) yaitu seluruh Rasul yang terdahulu adalah laki-laki. Tidak ada seorang pun di antara mereka berasal dari Malaikat, sebagaimana Dia berfirman menceritakan umat-umat terdahulu, karena mereka mengingkarinya. Lalu, mereka berkata: “Apakah manusia yang akan memberi petunjuk kepada kami?” (QS. At-Taghaabun: 6)

Untuk itu, Allah Ta’ala berfirman: fas-aluu aHladz-dzikri in kuntum laa ta’lamuun (“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.”) Yaitu, tanyakanlah oleh kalian kepada orang yang berilmu di antara umat-umat tersebut, seperti Yahudi, Nasrani dan aliran-aliran lain; Apakah para Rasul yang datang kepada mereka itu manusia atau para Malaikat? Mereka hanyalah manusia. Hal itu merupakan kesempurnaan nikmat Allah kepada makhluk-Nya dengan diutusnya para Rasul dari jenis mereka yang memungkinkan untuk sampainya penyampaian dan penerimaan dari mereka.

Firman-Nya: wa maa ja’alnaaHum jasadan illaa ya’kuluunath tha’aama (“Dan tidaklah Kami jadikan mereka tubuh-tubuh yang tiada memakan makanan,”) yaitu, bahkan mereka adalah jasad-jasad yang memakan makanan.

Firman-Nya: wa maa kaanuu khaalidiin (“Dan tidak pula mereka itu orang-orang yang kekal,”) di dunia. Bahkan, mereka hidup, kemudian mereka akan mati.
“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelummu.” (QS. Al-Anbiyaa’: 34)

Keistimewaan mereka adalah bahwa mereka diberi wahyu dari Allah di mana para Malaikat turun kepada mereka membawa sesuatu ketetapan hukum bagi makhluk-Nya berupa apa yang diperintah dan yang dilarang.

Firman-Nya: tsumma shadaqanaaHumul wa’da (“Kemudian, Kami tepati janji [yang telah Kami janjikan] kepada mereka,”) yaitu yang dijanjikan Rabb mereka kepada mereka adalah sesungguhnya orang-orang yang dhalim akan dibinasakan. Allah telah menepati janji-Nya kepada mereka dan melaksanakan hal tersebut.

Untuk itu, Dia berfirman: fa anjainaaHum wa man nasyaa-u (“Maka Kami selamatkan mereka dan orang-orang yang Kami kehendaki,”) yaitu pengikut-pengikut mereka yang termasuk orang-orang yang beriman.
Wa aHlaknaa musrifiin (“Dan Kami binasakan orang-orang yang melampaui batas,”) yaitu orang-orang yang mendustakan risalah yang dibawa oleh para Rasul.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Thaahaa ayat 133-135

28 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Thaahaa
Surah Makkiyyah; surah ke 20: 135 ayat

tulisan arab alquran surat thaaHaa ayat 133-135“Dan mereka berkata: ‘Mengapa ia tidak membawa bukti kepada Kami dari Rabbnya?’ Dan apakah belum datang kepada mereka bukti yang nyata dari apa yang tersebut di dalam kitab-kitab yang dahulu? (QS. 20:133) Dan sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu adzab sebelum al-Qur’an itu (diturunkan), tentulah mereka berkata: ‘Ya Rabb kami, mengapa tidak Engkau utus seorang Rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau sebelum kami menjadi hina dan rendah?’ (QS. 20:134) Katakanlah: ‘Masing-masing (kita) menanti, maka nantikanlah olehmu sekalian! Maka kamu kelak akan mengetahui, siapa yang menempuh jalan yang lurus dan siapa yang telah membawa petunjuk. (QS. 20:135)” (ThaaHaa: 133-135)

Allah menceritakan dalam firman-Nya tentang orang-orang kafir, yaitu mengenai ucapan mereka: lau laa (“Mengapa tidak,”) maksudnya, mengapa Muhammad tidak membawakan kepada kami tanda dari Rabbnya yang menunjukkan kebenarannya bahwa ia seorang Rasul Allah?

Allah Ta’ala berfirman: awalam ta’tiHim bayyinatu maa fish shuhufil uulaa (“Dan apakah belum datang kepada mereka bukti yang nyata dari apa yang tersebut di dalam kitab-kitab yang dahulu?”) Yaitu, al-Qur’an yang agung, yang diturunkan Allah Ta’ala kepada Muhammad, seorang yang ummi, tidak dapat menulis dan tidak pernah belajar dari Ahlul Kitab.

Mengenai hal ini, telah banyak diceritakan di dalam al-Qur’an berita orang-orang terdahulu yang sesuai dengan kitab-kitab terdahulu yang benar, di antaranya bahwa al-Qur’an sebagai hakim atas kitab-kitab terdahulu, membenarkan yang benar dan menjelaskan kesalahan yang didustakan dan diselewengkan.

Dalam kitab ash-Shahihain telah disebutkan dari Rasulullah saw. di mana beliau bersabda: “Tidak ada seorang Nabi pun melainkan telah diberikan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kekuasaan, yang kepadanya manusia beriman. Sedangkan yang diberikan kepadaku adalah berupa wahyu yang diwahyukan oleh Allah kepadaku. Maka aku berharap, aku mempunyai pengikut yang paling banyak pada hari Kiamat kelak.”

Di sini disebutkan mukjizat besar (agung) yang diberikan kepada Rasulullah saw, yaitu al-Qur’an. Namun, beliau pun mempunyai mukjizat-mukjizat lain yang tidak terbatas dan tidak terhitung, sebagaimana yang disebutkan dan dijelaskan dalam kitab-kitab yang berkenaan dengan hal itu.

Kemudian Allah berfirman: wa lau annaa aHlaknaaHum bi’adzaabim min qabliHi laqaaluu rabbanaa lau laa arsalta ilainaa rasuulan (“Dan sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu adzab sebelum al-Qur’an itu [diturunkan], tentulah mereka berkata: ‘Ya Rabb kami, mengapa tidak Engkau utus seorang Rasul kepada kami,’”) maksudnya, seandainya Kami binasakan para pendusta itu sebelum Kami mengutus Rasul yang mulia ini kepada mereka dan sebelum Kami menurunkan kepada mereka Kitab yang agung ini, niscaya mereka akan berkata: “Ya Rabb kami, mengapa tidak Engkau utus seorang Rasul kepada kami,” sebelum Engkau membinasakan kami sehingga kami beriman kepadanya dan mengikutinya?

Sebagaimana firman-Nya: “Lalu kami mengikuti ayat-ayat-Mu sebelum kami menjadi hina dan rendah?” Allah Ta’ala menjelaskan bahwa para pendusta itu enggan lagi menentang seraya tidak beriman. Allah telah beriman: “Meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan adzab yang pedih.” (QS. Yunus: 97)

Kemudian Allah berfirman: qul (“Katakanlah,”) hai Muhammad, kepada orang-orang yang mendustakan dan menentangmu serta selalu berada dalam kekafiran dan keingkarannya; kullum mutarabbashun (“Masing masing kita menanti,”) yaitu dari kalangan kami dan juga kalian. Fatarabbashuu (“Maka nantikanlah oleh kamu.”) Maksudnya, tunggulah! Fa sata’lamuuna man ash-haabush shiraathis sawiyyi wa maniHtadaa (“Maka kamu kelak akan mengetahui, siapakah yang menempuh jalan yang lurus dan siapa yang telah mendapat petunjuk,”) kepada kebenaran dan jalan lurus.

Dan hal itu sama seperti firman-Nya: “Dan mereka kelak akan mengetahui pada saat mereka melihat adzab, siapakah yang paling sesat jalannya.” (QS. Al-Furgaan: 42)

Selesai

Tafsir Ibnu Katsir Surah Thaahaa ayat 131-132

28 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Thaahaa
Surah Makkiyyah; surah ke 20: 135 ayat

tulisan arab alquran surat thaaHaa ayat 131-132“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami coba mereka dengannya. Dan karunia Rabbmu adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS. 20: 131) Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa. (QS. 20:132)” (ThaaHaa: 131-132)

Allah berfirman kepada Nabi-Nya, Muhammad: “Janganlah kamu melihat kenikmatan yang ada pada orang-orang yang berlebih-lebihan dan yang semisalnya, karena sesungguhnya semuanya itu merupakan bunga yang akan punah dan kenikmatan yang tidak dapat bertahan. Yang dengan sernuanya itu mereka Kami uji, tetapi hanya sedikit sekali dari hamba-Ku yang mau bersyukur.”

Mujahid berkata: “Kata `golongan-golongan dari mereka’ itu adalah orang-orang kaya.” Sesungguhnya kamu telah diberi apa yang lebih baik dari apa yang diberikan kepada mereka. Sebagaimana yang Dia firmankan dalam ayat yang lain sebagai berikut:
“Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca ulang-ulang dan al-Qur’an yang agung. Janganlah sekali-kali kamu menujukan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu). ” (QS. Al-Hijr: 87-88)

Demikian juga yang disimpan Allah untuk Rasul-Nya, Muhammad saw. di akhirat kelak berupa suatu hal yang sangat agung, yang tidak dapat dibatasi dan disifati. Sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala:
“Dan kelak Rabbmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu hatimu menjadi puas.” (QS. Adh-Dhuhaa: 5)

Oleh karena itu, Allah A berfirman: wa rizqu rabbika khairuw wa abqaa (“Dan karunia Rabb-mu adalah lebih baik dan lebih kekal.”) Di dalam hadits shahih disebutkan, bahwa ketika `Umar bin al-Khaththab masuk menemui Rasulullah di tempat itu, di mana ia mengasingkan diri dari isterinya ketika beliau meng-ila’ (bersumpah untuk tidak menggauli isteri) mereka. la melihat Rasulullah berbaring di atas kerikil sebagai tikar, sedang di rumah itu tidak terdapat apa pun kecuali secuil daun salam yang tergantung. Maka kedua mata Umar pun berlinang. Lalu beliau berkata kepadanya: “Hai `Umar, apa yang menyebabkanmu menangis?” `Umar menjawab: “Ya Rasulullah, sesungguhnya Kisra dan Kaisar menikmati apa yang mereka miliki, sedangkan engkau adalah dipilih Allah di antara makluk-Nya.
Maka beliau berkata: “Apakah kamu masih ragu, hai putera al-Khaththab? Mereka itu merupakan kaum yang kesenangan mereka didahulukan dalam kehidupan dunia.”

Rasulullah merupakan orang yang paling zuhud di dunia ini, padahal beliau mempunyai kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dunia tersebut. Setiap kali beliau mendapatkannya, beliau menafkahkannya dan membaginya kepada hamba-hamba Allah, dan beliau tidak menyimpan sesuatu pun untuk dirinya sendiri buat hari esok. Qatadah dan as-Suddi mengemukakan: “Bunga kehidupan dunia, yakni perhiasan kehidupan dunia.”

Mengenai firman-Nya: linaftinaHum fiiHi (“Untuk Kami coba mereka dengannya,”) Qatadah berkata: “Supaya Kami menguji mereka.”

Firman-Nya: wa’mur aHlaka bish-Shalaati wash-thabir ‘alaiHaa (“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya”) Maksudnya, selamatkanlah mereka dari adzab Allah dengan mendirikan shalat, dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Sebagaimana yang difirmankan Allah berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (at-Tahriim: 6)

Firman-Nya: laa nas-aluka rizqan nahnu narzuquk (“Kami tidak meminta kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu.”) Maksudnya, jika kamu mendirikan shalat, maka akan datang kepadamu rizki dari arah yang tidak kamu sangka. Sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam surat yang lain: “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan berinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath-Thalaaq: 2-3)

At-Tsauri berkata: “Firman-Nya: laa nas-aluka rizqan (“Kami [Allah] tidak meminta rizki kepadamu”) maksudnya, “Kami tidak membebanimu untuk mencari rizki.”

Imam at-Tirmidzi dan Ibnu Majah telah meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia bercerita, Rasulullah i bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: ‘Hai anak cucu Adam, luangkanlah waktumu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku akan memenuhi dadamu dengan kekayaan dan akan Aku tutup kemiskinanmu. Dan jika kamu tidak melakukannya, maka akan Aku penuhi dadamu dengan kesibukan dan tidak pula Aku menutupi kemiskinanmu.’”

Ibnu Majah juga meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, aku pernah mendengar Nabi bersabda: “Barangsiapa yang menjadikan semua kesusahan menjadi satu kesusahan yaitu kesusahan pada hari kembali kepada-Nya (Kiamat), maka Allah mencukupkan baginya dari kesusahan dunianya. Dan barangsiapa yang menjadikan kesusahannya bercabang-cabang dalam berbagai kehidupan dunia, maka Allah tidak akan peduli kepadanya, di lembah mana dari bumi-Nya ini ia akan binasa.”

Diriwayatkan pula dari hadits Syu’bah, dari Zaid bin Tsabit, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai pusat perhatiannya (tujuannya), maka Allah menceraikan urusannya dan menjadikan kemiskinannya ada di hadapan matanya. Tidak ada sesuatu pun dari dunia ini datang kepadanya kecuali apa yang telah ditetapkan baginya. Dan barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai tujuannya, maka Allah akan menyatukan urusannya dan melimpahkan kekayaan-Nya di dalam hatinya, lalu dunia datang kepadanya dalam keadaan hina.”

Firman-Nya lebih lanjut: wal ‘aaqibatu littaqwaa (“Dan akibat itu adalah bagi orang yang bertakwa.”) Maksudnya, kesudahan yang baik di dunia dan akhirat, yaitu surga adalah untuk orang yang bertakwa kepada Allah.

Di dalam hadits shahih disebutkan, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Semalam aku bermimpi seolah-olah kita berada di rumah ‘Uqbah bin Rafi’, dan seakan-akan diberikan kepada kita kurma Ibnu Thab. Lalu aku menakwilkan hal itu bahwa kesudahan yang baik dan kemuliaan di dunia bagi kita, dan bahwasanya agama kita sudah baik.”

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Thaahaa ayat 128-230

28 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Thaahaa
Surah Makkiyyah; surah ke 20: 135 ayat

tulisan arab alquran surat thaaHaa ayat 128-130“Maka tidakkah menjadi petunjuk bagi mereka (kaum musyrikin) berapa banyaknya Kami membinasakan umat-umat sebelum mereka, padahal mereka berjalan (di bekas-bekas) tempat tinggal umat-umat itu? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (QS. 20: 128) Dan sekiranya tidak ada suatu ketetapan dari Allah yang terdahulu atau tidak ada ajal yang telah ditentukan, pasti (adzab itu) menimpa mereka. (QS. 20: 129) Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Rabbmu, sebelum terbit matahari dan terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang. (QS. 20: 130)” (ThaaHaa: 128-130)

Allah berfirman: afalam yaHdi (“Maka tidakkah menjadi petunjuk,”) bagi orang-orang yang mendustakan apa yang telah kamu bawa, hai Muhammad, berapa banyak umat-umat sebelum mereka yang telah mendustakan para Rasul telah Kami binasakan, sehingga mereka musnah tanpa sisa dan tidak juga meninggalkan bekas, sebagaimana hal itu dapat mereka saksikan dari
rumah-rumah kosong yang mereka tinggalkan dan mereka berlalu-lalang di atas peninggalan tersebut?

Inna fii dzaalika la aayaatil li-ulin nuHaa (“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”) Maksudnya, akal yang sehat dan pikiran yang lurus.

Di dalam surat as-Sajdah, Allah telah berfirman: “Dan apakah tidak menjadi petunjuk bagi mereka, berapa banyak umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binaskan, sedangkan mereka sendiri berjalan di tempat-tempat kediaman mereka itu?” (QS. As-Sajdah: 26)

Lebih lanjut, Allah berfirman: wa laulaa kalimatun sabaqat mir rabbika lakaana lizaamaw wa ajalum musamman (“Dan sekiranya tidak ada ketetapan dari Allah yang telah terdahulu atau tidak ada ajal yang telah ditentukan, pasti [adzab itu] menimpa mereka.”) Maksudnya, seandainya tidak ada ketetapan terdahulu dari Allah, yaitu bahwa Dia tidak akan mengadzab seseorang melainkan setelah adanya hujjah yang diberikan kepadanya serta waktu yang telah ditentukan Allah kepada para pendusta tersebut, niscaya akan datang kepada mereka adzab secara tiba-tiba.

Oleh karena itu, Dia berfirman kepada Nabi-Nya seraya menghibur beliau: fash-bir ‘alaa maa yaquuluuna (“Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan,”) yakni, atas pendustaan mereka terhadapmu.

Wa sabbih bihamdi rabbika qabla thuluu’isy syamsi (“Dan bertasbihlah dengan memuji Rabbmu, sebelum terbit matahari,”) yakni shalat fajar; wa qabla ghuruubiHaa (“Dan sebelum terbenamnya,”) yakni shalat ‘ashar.

Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab ash-Shahihain, dari Jarir bin `Abdullah al-Bajali, ia bercerita: kami pernah duduk-duduk bersama Rasulullah saw, lalu beliau melihat bulan pada malam purnama, kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian seperti kalian melihat bulan ini. Kalian tidak berdesak-desakan untuk melihat-Nya. Jika kalian mampu untuk tidak meninggalkan shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya matahari, maka kerjakanlah.” Kemudian beliau membaca ayat ini.

Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Imarah bin Ru-aibah, ia bercerita: aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Tidak akan masuk neraka orang yang mengerjakan shalat sebelum terbit dan terbenamnya matahari.” (HR. Muslim)

Dalam kitab al-Musnad dan kitab as-Sunan, dari Ibnu Umar ia bercerita: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya penghuni surga yang paling rendah adalah yang dapat melihat dalam kerajaannya perjalanan dua ribu tahun, ia melihat bagian yang paling jauh seperti ia melihat bagian yang paling dekat. Dan yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang melihat Allah Ta’ala dua kali dalam sehari.”

Firman Allah Ta’ala selanjutnya: wa min aanaa-al laili fasabbih (“Dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari.”) yakni, dari waktu malam hari hendaklah kamu mengerjakan shalat tahajjud. Dan sebagian ahli tafsir mengartikannya sebagai shalat Maghrib dan shalat Isya’. Wa ath-raafan naHaari (“Dan pada waktu-waktu di siang hari.”) yakni, kebalikan/lawan dari waktu malam; la’allaka tardlaa (“Supaya kamu merasa senang.”)

Sebagaimana yang difirmankan Allah: “Dan kelak Rabbmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu hatimu menjadi puas.” (QS. Adh-Dhuhaa: 5)

Dalam sebuah hadits shahih disebutkan: “Allah Ta’ala berfirman: `Wahai sekalian penghuni surga.’ Maka mereka menjawab: `Kami mendengar seruan-Mu ya Rabb Kami, dan kami menyambut-Mu.’ Maka Dia berfirman: `Apakah kalian puas?’ Mereka menjawab: `Bagaimana kami tidak puas, sedang Engkau telah memberikan kepada kami apa yang tidak Engkau berikan kepada siapa pun dari makhluk-Mu.’ Lebih lanjut Dia berfirman: `Sesungguhnya Aku akan memberi kalian apa yang lebih baik dari hal itu.’ ‘Lalu apakah yang lebih baik dari semuanya itu?’ tanya mereka. Dia menjawab: `Aku menghalalkan bagi kalian keridhaan-Ku, sehingga Aku tidak akan murka kepada kalian setelah ini untuk selamanya.’”

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Thaahaa ayat 127

28 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Thaahaa
Surah Makkiyyah; surah ke 20: 135 ayat

tulisan arab alquran surat thaaHaa ayat 127“Dan demikanlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya terhadap ayat-ayat Rabbnya. Dan sesungguhnya adzab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.” (QS. ThaaHaa: 127)

Allah berfirman: “Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang melampaui batas dan yang mendustakan ayat-ayat Allah di dunia dan di akhirat.”

Allah berfirman: laHum ‘adzaabun fil hayaatid dun-yaa wa la’adzaabul aakhirati asyaqqu wa maa laHum minallaaHi miw waaq (“Bagi mereka adzab dalam kehidupan dunia dan sesungguhnya adzab akhirat adalah lebih keras dan tidak ada bagi mereka seorang pelindung pun dari adzab Allah.”) (QS. Ar-Ra’d 34)

Oleh karena itu, Dia berfirman: wa la’adzaabul aakhirati asyaddu wa abqaa (“Dan sesunguhnya adzab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.”) Maksudnya, lebih menyakitkan daripada adzab dunia dan terus-menerus atas mereka serta mereka kekal abadi dalam keadaan seperti itu.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Thaahaa ayat 123-126

28 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Thaahaa
Surah Makkiyyah; surah ke 20: 135 ayat

tulisan arab alquran surat thaaHaa ayat 123-126“Allah berfirman: ‘Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh sebahagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. (QS. 20: 123) Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS. 20: 124) Berkatalah ia: ‘Ya Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang melihat?’ (QS. 20: 125) Allah berfirman: ‘Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini pun kamu dilupakan.’ (QS. 20:126)” (ThaaHaa: 123-126)

Allah memerintahkan kepada Adam dan Hawa serta iblis, agar mereka semua turun dari surga. Masalah ini telah kami jelaskan dalam pembahasan surat al-Baqarah. Ba’dlukum li ba’dlin ‘aduw (“Sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain.”) Yakni, Adam dan anak cucunya, serta iblis dan anak cucunya.

Fa immaa ya’tiyannakum minnii Hudan (“Jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku.”) Abul `Aliyah berkata: “Yaitu, petunjuk tersebut berupa para Nabi, para Rasul, serta penjelasan.
Fa manit taba’a Hudaaya falaa yadlillu walaa yasyqaa (“Lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, maka ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.”) Ibnu `Abbas berkata: “Tidak sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.”

Wa man a’radla ‘an dzikrii (“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku.”) Maksudnya, menentang perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, ia juga berpaling dan melupakan Rasul-Nya itu serta mengambil petunjuk dari selainnya,
fa inna laHuu ma’iisyatan dlankan (“Maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit.”) Yakni, sempit di dunia, sehingga tidak ada ketenangan dan kelapangan di dalam dadanya. Dadanya terasa sempit dan menyesakkan karena kesesatannya. Meskipun secara lahiriyah ia merasa senang, dapat berpakaian sekehendak hatinya, makan dan bertempat sesukanya, tetapi selama hatinya tidak tulus menerima keyakinan dan petunjuk, niscaya ia berada dalam kegoncangan, kebimbangan dan keraguan, dan ia akan terus dalam keraguan. Yang demikian itu merupakan bagian dari sempitnya kehidupan.

Firman-Nya: fa inna laHuu ma’iisyatan dlankan (“Maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit.”) ‘Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Yaitu, hidup sengsara.” Adh-Dhahhak mengatakan: “Yaitu perbuatan jahat dan rizki yang buruk.” Hal yang sama juga dikemukakan oleh `Ikrimah dan Malik bin Dinar.
Masih mengenai firman-Nya ini, al-Bazzar meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi, beliau berkata:”Yaitu adzab kubur.” (Sanad hadits ini jayyid)

Firman Allah selanjutnya: wa nahsyuruHuu yaumal qiyaammati a’maa (“Dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.”) Mujahid, Abu Shalih, dan as-Suddi mengemukakan: “Yakni, tidak ada hujjah baginya.”
Sedangkan `Ikrimah mengatakan: “Dibutakan matanya dari segala sesuatu kecuali neraka Jahannam.” Mungkin juga hal itu berarti bahwa ia akan dibangkitkan dan dihimpun menuju ke neraka dalam keadaan buta mata dan hati. Sebagaimana yank difirmankan Allah Ta’ala: “Dan Kami akanmengumpulkan mereka padahari Kiamat (diseret) atas muka mereka dalam keadaan buta, bisu dan pekak. Tempat kediaman mereka adalah neraka jahannam.” (QS. Al-Israa’: 97)

Oleh karena itu, ia berkata: rabbi lima hasyartanii a’maa wa qad kuntu bashiiran (“Ya Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?”) Yaitu, ketika di dunia.

Qaala kadzaalika atatka aayaatunaa fanasiitaHaa wa kadzaalikal yauma tunsaa (“Allah berfirman: ‘Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu pula pada hari ini kamu pun dilupakan.’”) Yakni, setelah kamu berpaling dari ayat-ayat Allah dan memperlakukannya seperti perlakuan orang yang belum pernah mendengarnya setelah semuanya disampaikan kepadamu, lalu kamu melupakan, berpaling darinya, dan mengabaikannya, maka seperti itulah sekarang ini Kami memperlakukanmu, yaitu perlakuan orang yang melupakanmu.

Sebagaimana Dia telah berfirman: “Maka pada hari (Kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini.” (QS. Al-A’raaf: 51)
Karena balasan itu setimpal dengan perbuatan.

Adapun lupa kepada lafazh al-Qur’an tetapi tetap memahami maknanya serta mengamalkan kandungannya, maka tidak termasuk dalam ancaman yang khusus ini, meskipun yang demikian itu juga mendapatkan ancaman dari sisi yang lain. Di mana sunnah Rasulullah telah melarang mengenai hal itu seraya memberikan ancaman yang keras terhadapnya.

Imam Ahmad meriwayatkan dari seseorang, dari Sa’ad bin `Ubadah, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Tidaklah seseorang membaca al-Qur’an, lalu melupakannya melainkan ia akan menemui Allah pada hari pertemuan dengan-Nya dalam keadaan berpenyakit kusta.”

Kemudian Imam Ahmad juga meriwayatkan dari hadits Ubadah bin ash-Shanit dari Nabi saw, lalu ia menyebutkan hal yang lama.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Thaahaa ayat 115-122

28 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Thaahaa
Surah Makkiyyah; surah ke 20: 135 ayat

tulisan arab alquran surat thaaHaa ayat 115-122“Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat. (QS. 20: 115) Dan (ingatlah) ketika Kami berkata kepada Malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka mereka sujud kecuali iblis, ia membangkang. (QS. 20: 116) Maka Kami berkata: ‘Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkanmu menjadi celaka. (QS. 20: 117) Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. (QS. 20: 118) Dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya.’ (QS. 20: 119) Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya dengan berkata: ‘Hai Adam, maukah aku tunjuk kan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?’ (QS. 20: 120) Maka keduanya memakan buah dari pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Rabb dan sesatlah ia. (QS. 20: 121) Kemudian Rabbnya memilihnya, maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk. (QS. 20: 122)” (ThaaHaa: 115-122)

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Disebut insan, karena ia pernah diberikan perjanjian, tetapi ia lupa (nasiya).” Hal yang sama juga diriwayatkan `Ali bin Abi Thalhah, juga dari Ibnu `Abbas. Sedangkan Mujahid dan al-Hasan berkata: “Tetapi ia malah mengabaikan.”

Firman Allah: wa idz qulnaa lil malaa-ikatis juduu li aadama (“Dan ingatlah ketika Kami berkata kepada Malaikat: ‘Sujudlah kepada Adam.’”) Allah swt menyebutkan pemuliaan dan penghormatan terhadap Adam serta pengutamaan dirinya atas banyak makhluk ciptaan-Nya. Kisah mengenai hal ini telah kami kemukakan dalam surat al-Baqarah, al-A’raaf, al-Hijr, al-Kahfi, dan yang akan disebutkan juga di akhir surat Shaad. Di dalamnya, Allah menceritakan penciptaan Adam dan perintah sujud yang Dia berikan kepada para Malaikat kepadanya (Adam) sebagai penghormatan dan pemuliaan. Selain itu, Dia juga menjelaskan permusuhan iblis terhadap anak cucu Adam dan kepada Adam sendiri.

Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman: fasajaduu illaa ibliisa abaa (“Maka mereka sujud kecuali iblis. Ia membangkan.”) Maksudnya, menolak seraya menyombongkan diri. Faqulnaa yaa aadamu in Haadzaa ‘aduwwallaka wa lizaujika (“Maka Kami berkata, ‘Hai Adam, sesungguhnya iblis ini adalah musuh bagimu dan bagi isterimu.’”) istri Adam yaitu Hawa.

Falaa yukhrijannakumaa minal jannati fatasyqaa (“Maka sekali-kali jangan sampai ia mengeluarkan kalian berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.”) Maksudnya, berhati-hatilah kamu, jangan sampai iblis itu mengeluarkanmu dari surga, sehingga kamu akan susah, payah, dan sengsara dalam mencari rizkimu. Sesungguhnya di sini (surga), kamu dapat hidup dengan senang lagi tenang tanpa beban dan juga tanpa kesulitan.
Inna laka allaa tajuu’a fiiHaa walaa ta’raa (“Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang.”) Di sini Allah menyebutkan bersamaan antara lapar dan telanjang, karena kelaparan adalah kehinaan bathin, sedangkan telanjang adalah kehinaan lahir.

Wa annaka laa tadhma-u fiiHaa wa laa tadl-haa (“Dan sesungguhnya kamu tidak merasa dahaga dan tidak pula akan ditimpa panas matahari di dalamnya.”) Kedua hal tersebut (dahaga dan panas) merupakan dua hal yang saling berdampingan, di mana dahaga sebagai panas bathin, sedangkan panas matahari sebagai panas lahir.

Firman Allah selanjutnya: fawaswasa ilaiHisy syaithaanu qaala yaa aadamu Hal adulluka ‘alaa syajaratil khuldi wa mulkil laa yab-laa (“Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya dengan berkata: ‘Hai Adam, maukah aku tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?’”)

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa iblis itu telah memperdaya mereka berdua, di mana ia telah berkata: “Dan ia (syaitan) bersumpah kepada keduanya: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua.’” (QS. Al-A’raaf: 21)

Sebagaimana yang telah diceritakan sebelumnya, bahwa Allah Ta’ala telah membuat perjanjian kepada Adam dan isterinya, Hawa untuk memakan dari segala buah-buahan dan tidak mendekati pohon yang telah ditentukan di dalam surga. Tetapi iblis masih terus berusaha menggodanya sehingga keduanya memakan buah khuldi, yaitu pohon yang barangsiapa memakan buah itu, maka ia akan kekal abadi.

Di dalam hadits telah disebutkan mengenai pohon khuldi ini, di mana Abu Dawud ath-Thayalisi meriwayatkan, Syu’bah memberitahu kami, dari Abu adh-Dhahhak, aku mendengar Abu Hurairah menyampaikan hadits dari Rasulullah saw, beliau bersabda: “Sesungguhnya di surga terdapat sebatang pohon yang pengendara kendaraan berjalan di bawah bayangan pohon itu selama seratus tahun, niscaya ia tidak akan mampu melintasinya. Itulah pohon khuldi.” (HR. Ahmad)

Firman Allah Ta’ala: fa akalaa minHaa fabadat laHumaa wa thafiqaa yakhsifaani ‘alaiHimaa miw waraqil jannati (“Maka keduanya memakan buah dari pohon itu, lalu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun yang ada di surga.”)
Mujahid berkata: “Keduanya mejadikan daun-daun itu seperti pakaian.” Hal yang sama juga dikemukakan oleh Qatadah dan as-Suddi.

Dan firman-Nya: wa ‘ashaa aadamu rabbaHuu faghawaa tsummajtabaaHu rabbuHuu fataaba ‘alaiHi wa Hadaa (“Dan durhakalah Adam kepada Rabbnya dan sesatlah ia. Kemudian Rabbnya memilihnya, maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk.”)

Bersambung