Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Mu’minuun
(Orang-orang Yang Beriman)
Surah Makkiyyah; surah ke 23: 118 ayat
“Dan sesungguhnya Kami pernah menimpakan adzab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk kepada Rabb mereka, dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri. (QS. 23:76) Hingga apabila Kami bukakan untuk mereka suatu pintu yang ada adzab yang amat sangat (di waktu itulah) tiba-tiba mereka menjadi putus asa. (QS. 23:77) Dan Dialah yang telah menciptakan bagimu sekalian, pendengaran, penglihatan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur. (QS. 23:78) Dan Dialah yang menciptakan serta mengembang-biakkanmu di bumi ini dan kepada-Nyalah kamu akan dihimpunkan. (QS. 23:79) Dan Dialah yang mengbidupkan dan mematikan, dan Dialah yang (mengatur) pertukaran malam dan siang. Maka apakah kamu tidak memahaminya? (QS. 23:80) Sebenarnya mereka mengucapkan perkataan yang serupa dengan perkataan yang diucapkan oleb orang-orang dahulu kala. (QS. 23:81) Mereka berkata: ‘Apakah betul apabila kami telah mati dan kami telah menjadi tanah dan tulang-belulang, apakah sesungguhnya kami benar-benar akan dibangkitkan? (QS. 23:82) Sesungguhnya kami dan bapak-bapak kami telah diberi ancaman (dengan) ini dahulu, ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu kala. ‘ (QS. 23:83)” (al-Mu’minuun: 76-83)
Allah Ta’ala berfirman: walqad akhadnaaHum bil’adzaabi (“Dan sesungguhnya Kami pernah menimpakan adzab kepada mereka,”) yakni, Kami menguji mereka dengan berbagai musibah dan kesulitan. Fa mastakaanuu li rabbiHim wamaa yatadlarra’uun (“Maka mereka tidak tunduk kepada Rabb mereka, dan [juga] tidak memohon [kepada-Nya] dengan merendahkan diri.”) Maksudnya, hal itu tidak mencegah mereka dari kekufuran dan penentangan yang ada pada mereka, tetapi justru mereka terus pada penyimpangan dan kesesatan mereka, dan mereka tidak tunduk atau khusyu’.
Wa maa yatadlarra’uun (“Dan tidak pula memohon dengan merendahkan diri.”) Maksudnya, mereka tidak berdo’a, sebagaimana yang difirmankan Allah yang artinya: “Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan syaitan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.” (Al-An’aam: 43).
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu `Abbas, di mana dia Abu Sufyan, pernah datang kepada Rasulullah saw, lalu dia berkata: “Hai Muhammad, mudah-mudahan Allah melimpahkan kebaikan dan rahmat kepadamu. Sesungguhnya kami telah memakan “alhaz” [yakni, bulu dan darah] lalu Allah menurunkan ayat ini: walqad akhadnaaHum bil’adzaabi Wa maa yatadlarra’uun (“sesungguhnya Kami pernah menimpakan adzab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk.”) Demikian pula yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i. Asal hadits itu terdapat dalam kitab ash-Shahihain, bahwa Rasulullah saw. pernah mendo’a-kan keburukan kepada kaum Quraisy, yaitu ketika mereka berbuat durhaka, dimana beliau berdo’a: “Ya Allah, bantulah aku dalam menghadapi mereka dengan binatang buas seperti binatang buasnya Yusuf.”
Firman Allah Ta’ala: hattaa idzaa fatahnaa ‘alaiHim baaban dzaa ‘adzaabin syadiidin idzaa Hum fiiHi mublisuun (“Hingga apabila Kami bukakan untuk mereka suatu pintu yang ada adzab yang amat sangat [di waktu itulah] tiba-tiba mereka menjadi putus asa.”) Maksudnya, sehingga apabila ketetapan Allah sampai kepada mereka dan hari Kiamat pun telah datang kepada mereka secara tiba-tiba, lalu Dia menimpakan kepada mereka adzab yang tiada pernah mereka sangka-sangka, maka pada saat itu mereka merasa putus asa dari segala bentuk kelepasan dan hilangnya harapan mereka.
Kemudian Allah Ta’ala menyebutkan beberapa nikmat-Nya yang telah dilimpahkan kepada hamba-hamba-Nya, di mana Dia telah memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati, yaitu akal dan pemahaman yang dengan-nya mereka mengingat berbagai hal serta mengambil pelajaran dari alam berupa tanda-tanda yang menunjukkan keesaan Allah, dan bahwasanya Dia
Mahaberbuat dan memilih apa saja yang Dia kehendaki. Firman-Nya: qaliilam maa tasy-kuruun (“Amat sedikit kamu bersyukur.”) Maksudnya, sangat sedikit sekali rasa syukur kalian kepada Allah Ta’ala atas segala nikmat yang telah dilimpahkan kepada kalian.
Selanjutnya, Allah Ta’ala memberitahukan tentang kemampuan-Nya yang agung dan kekuasaan-Nya yang tangguh dalam menciptakan makhluk dan mengembang-biakkannya di seluruh belahan bumi ini dengan berbagai macam jenis dan aneka ragam bahasa dan sifat mereka. Kemudian pada hari Kiamat kelak, mereka akan dikumpulkan dari yang paling awal di antara mereka sampai yang paling akhir pada waktu yang telah ditentukan. Tidak ada satu orang pun yang ditinggalkan, baik kecil maupun besar, laki-laki maupun perempuan, mulia maupun hina, melainkan Dia mengembalikan hidup (mereka) secara keseluruhan sebagaimana Dia telah menciptakan pertama kali.
Oleh karena itu, Dia berfirman: wa Huwal ladzii yuhyii wa yumiitu (“Dan Dialah yang menghidupkan dan mematikan,”) yakni, menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur berantakan dan mematikan umat-umat yang hidup. Wa laHukh tilaaful laili wan naHaari (“Dan Dialah yang [mengatur pertukaran malam dan siang.”) Yakni, dan kuasa-Nya juga untuk mengendalikan malam dengan siang, masing-masing menuntut untuk saling silih berganti, tidak hilang dan tidak pula digantikan oleh masa yang lain selain keduanya.
Firman-Nya: afalaa ta’qiluun (“Maka apakah kamu tidak memahaminya?”) Maksudnya, apakah kalian tidak memiliki akal yang menunjukkan keberadaan Yang Mahamulia lagi Maha-mengetahui yang telah mengalahkan segala sesuatu, menundukkan segala sesuatu kepada-Nya?
Kemudian Allah Ta’ala berfirman seraya menceritakan tentang orang-orang yang mengingkari adanya kebangkitan, yang mereka menyerupai pendahulu mereka dari kalangan kaum pendusta: bal qaaluu mitsla maa qaalal awwaluun. Qaaluu a idzaa mitnaa wa kunna turaabaw wa ‘idhaaman a innaa lamab’uutsuun (“Sebenarnya mereka mengucapkan perkataan yang serupa dengan perkataan yang diucapkan oleh orang-orang dahulu kala. Mereka berkata: ‘Apakah betul, apabila kami telah mati dan kami telah menjadi tanah dan tulang-belulang, apakah sesungguhnya kami benar-benar akan dibangkitkan?’”) Yakni, mereka menjauhi terjadinya kebangkitan tersebut setelah mereka menjadi hancur berantakan.
Laqad wu-‘idnaa nahnu wa aabaa-unaa Haadzaa min qablu in Haadzaa illaa asaathiirul awwaliin (“Sesungguhnya kami dan bapak-bapak kami telah diberi ancaman [dengan] ini dahulu, ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu kala.”) Yang mereka maksudkan, kebangkitan manusia itu merupakan suatu hal yang mustahil, sesungguhnya hal itu hanya diberitahukan oleh orang yang memperolehnya dari buku-buku orang-orang terdahulu dan peninggalan mereka.
Bersambung
Tag:agama islam, al mukminun, Al-qur'an, ayat, bahasa indonesia, ibnu katsir, islam, religion, surah, surah al-mu’minuun, surat, surat al mu’minuun, tafsir, tafsir alquran, tafsir ibnu katsir, Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Mu’minuun ayat 76-83